Friday, January 12, 2007

Pernikahan dalam Counter-Legal Kompilasi Hukum Islam

Pada hari Rabu siang tanggal 27 Oktober kemarin diadakan acara "Menyoal Pro Kontra Revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Acara ini sebelumya akan menghadirkan beberapa tokoh perwakilan kelompok Islam, diantaranya Fauzan Al-Anshari yang mewakili Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abdullah Moqsith Ghozali aktivis dari Jaringan Islam Liberal, dan KH. Ali Mustofa Ya'kub anggota Komisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, akhirnya pembicara yang hadir hanya Fauzan Al-Anshari dan Yayan Sofyan sebagai pembanding, dosen dari UIN Jakarta.
Sebenarnya acara-acara semacam ini telah banyak dilakukan terutama oleh kalangan akademis dan aktivis --baik yang pro ataupun kontra-- setelah ditampilkannya Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam oleh Kelompok Kerja Pengarus-utamaan Gender Departemen RI pimpinan Dr. Siti Musdah Mulia. Namun acara yang diadakan oleh UIN Jakarta ini menampilkan pendapat yang pro dan kontra yang dalam hal ini sebagai yang pro atau mendukung adalah Abdullah Moqsith Ghozali dari Islam Liberal yang identik dengan motonya "Mencerahkan dan Membebaskan". Dan pada pihak yang berlawanan atau kontra tampil Fauzan Al-Anshari dari MMI.
Masa ijtihad telah kembali muncul setelah hukum Islam (baca: fiqh) mengalami kemandegan. Hukum Islam bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah. Dan selanjutnya dalam sejarah awal Islam hukum Islam terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqh klasik yang dibuat oleh ahli-ahli fiqh jaman klasik, yang mana antara kitab-kitab fiqh itu menghasilkan kesimpulan hukum (istinbât al-hukm) yang berbeda-beda. Maka tak jarang pendapat antara para ahli fiqh itu berbeda dan tak jarang yang saling berlawanan, namun diantara para ahli fiqh itu tidak ada yang saling menyalahkan karena mereka menggunakan metode yang berbeda-beda. Ketidakfanatikan ahli fiqh itu tersirat misalnya dari kata-kata Imam Abu Hanifah, "Inilah pendapat saya... dan kalau ada orang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar." Juga kata Imam Syafi'i, "Pendapat saya benar, tapi mungkin juga salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar." Dari kata-kata para ahli fiqh itu terungkap betapa tidak adanya keangkuhan dalam diri mereka, tidak anti kritik dan menerima kebenaran dari orang lain kalau terbukti kebenarannya. Jadi tidak ada kemutlakan di dalam pendapat seseorang. Inilah yang seharusnya terjaga minimalnya dalam masyarakat akademis yang harus selalu kritis dan menerima kritikan, dan lebih luas lagi pada masyarakat agar tidak saling mengklaim bahwa kelompok mereka adalah yang paling benar.
Counter-Legal Draft KHI merupakan pembanding terhadap KHI yang berbentuk Instruksi Presiden tahun 1991 yang berisi hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Rencananya, setelah mengalami sosialisasi, Counter-Legal Draft KHI yang berisi pembaharuan terhadap KHI tahun 1991 akan diajukan menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk digolkan menjadi Undang-Undang (UU) agar mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat.
Counter-Legal Draft KHI tersebar melalui majalah Tempo tanggal 17 Oktober 2004. Pada permasalahan poligami, KHI Lama menyebutnya boleh, dengan catatan (pasal 55-59) sedangkan Draft KHI Baru meyebutkan mutlak tidak boleh (pasal 3). Dalam pembahasannya, Yayan Sofyan menampilkan tiga dalil, yaitu QS. An-Nisâ' ayat 4, QS. An-Nisâ' ayat 129 dan hadits Rasul dimana beliau keberatan atas permintaan Ali untuk menikahi Fatimah puterinya karena Ali waktu itu dalam keadaan beristri. Jadi menurut Yayan Sofyan asas dasar pernikahan dalam Islam adalah monogami. Sebaliknya, Fauzan Al-Anshari menyebutkan bahwa asas dasar pernikahan dalam Islam adalah poligami sesuai dengan QS. An-Nisâ' ayat 4. Fauzan Al-Anshari yang beristeri empat dan beranak delapan belas itu beralasan bahwa QS. An-Nisâ' ayat 4 memerintah umat muslim untuk berpoligami ditambah dengan alasan-alasan klasik bahwa jumlah wanita saat ini lebih banyak dibanding pria. Alasan ini ditolak oleh Yayan Sofyan yang mencamkan bahwa wanita adalah bukan komoditas seksual. Pendapat ini diambil dengan alasan bahwa nabi Muhammad menjalani monogami dengan Siti Khadijah selama lebih kurang 27 tahun, baru dua tahun setelah kematian Siti Khadijah beliau memperistri beberapa wanita, itupun bukan dengan motif kebutuhan seksual semata, tapi lebih mulia dari itu.
Namun dalam permasalahan perjanjian perkawinan berjangka (baca: kawin kontrak), disebutkan dalam KHI Lama tidak diatur dan dalam Draft KHI Baru diatur, sehingga perkawinan dinyatakan bubar bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan (pasal 22 dan 28). Saya sependapat dengan Yayan Sofyan yang menyebutkan bahwa pendapat ini terkesan paradoksal dengan semangat pernikahan yang tidak hanya bermotif kebutuhan seksual. Kawin kontrak atau mut'ah dipandang sebagai pernikahan yang hanya mementingkan kebutuhan seksual, yang bertolak belakang dengan pernikahan yang tidak hanya bermotif kebutuhan seksual semata.
Terlepas dari pro dan kontra ini, penulis mengajak pembaca untuk mengapresiasi setiap pendapat, bukan malah memenggal kreatifitas suatu usaha pengambilan hukum yang sesuai dengan jamannya, yang selalu berhubungan dengan konteks budaya sosial setempat.***
31 Oktober 2004,
* Tulisan ini untuk menanggapi progresifitas hukum Islam dalam KHI terutama dalam bidang pernikahan.