Thursday, February 1, 2007

PROBLEMATIKA ZAKAT DAN PAJAK SERTA PENYELESAIANNYA

Pendahuluan
Dalam ajaran Islam, zakat diyakini sebagai bagian yang integral dari pilar utama Islam. Tanpa zakat unsur lainnya tidak akan kokoh. Itulah sebabnya zakat dimasukkan menjadi salah satu rukun Islam. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan zakat. Gambaran itu dapat ditangkap dari beberapa ungkapan al-Qur’an yang menggandengak kata zakat dengan shalat. Ungkapan tersebut dimaksudkan agar umat Islam menyadari sepenuhnuya bahwa shalat tebih berorientasi pada nilai ritual, sedangkan zakat disamping mempunyai nilai ritual, juga mempunyai dimensi sosial.
Ayat al-Qur’an yang secara ekplisit menyebut kata zakat ternyata sudah ada pada periode Makkah. Pada periode ini memang zakat bersifat mutlak, belum ada aturan yang rinci mengatur mekanisme retribusi dan distribusinya. Aturan dimaksud baru terdapat pada ayat-ayat hukum yang diturunkan di Madinah. Penetapan aturan zakat di mulai dari periode Makkah sampai ke periode Madinah, menurut para ahli Ushul Fiqh merupakan bukti bahwa kewajiban zakat termasuk katagori Qath’I dilalah.
Zakat hukumnya wajib berdasarkan perintah al-Qur’an yang bersipat sharih (tegas dan jelas). Kemudian beberapa sunnah Nabi Muhammad memperkuat kewajiban dimaksud. Oleh karena itu ummat Islam tidak dibenarkan mengingkari kewajiban zakat itu. orang Islam yang mengingkari kewajiban zakat dinyatakan berdosa, bahkan dapat dikatakan kafir dalam artitan mengingakri kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya.
Meskipun zakat dikatagorikan sebagai ibadah makhdah, sebagaimana ibadah shalat dan ibadah lainnya, namun hakikatnya, zakat merupakan bagian dari ibadah yang bertatanan ekonomi dan sosial, bahkan politik umat Islam. Tidak heran kalau pembahasan masalah zakat ditemukan dalam literatur khusus membahas politik dan ekonomi umat Islam (siyasah al-syari’iyah wa al-maliyyah) Abu Ubaid, ulama pertama yang menyusun tentang masalah pendapatan negara, membahas masalah ini secara rinci dalam kurang sebih separoh kitabnya yang terkenal yakni “kitab al amwal” Abu Yusuf, ulama dari kalangan Hanafiyah yang menulis kitab “al-Kharaj” menguraikan juga masalah zakat. Begitu pula al-Mawardi penulis buku “al-ahkam al-Sulthaniyyah” mengemukakan zakat dalam bukunya. Sementara Ibnu Taimiyyah secara tegas menyebutkan bab khusus dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syari’iyyah”.
Dalam pandangan para penulis diatas zakat merupakan bagian pendapatan bagi negara sejajar dengan jizyah, ghanimah dan al-Fa’i. Sebagai sumber pendapatan negara, zakat harus diatur dan dikelola oleh pemerintah atau lembaga yang secara khusus menangani masalah restribusi dan distribusinya sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam. Memang harus dipahami bahwa pada dasarnya setiam muslim yang menjadi wajib zakat harus menyerahkan zakatnya dengan sukarela. Akan tetapi perlu juga dilihaat dari karakteristik manusia yang enggan dan segan untuk melaksanakan kewajibannya dengan sukarela. Dalam hal ini peranan lembaga amil zakat sangatlah berarti. Lembaga inilah yang harus mengambil secara “paksa” zakat yang harus dikeluarkan oleh para wajib zakat. Tindakan ini dilakukan dalam rangka mengambil hak fakir, miskin dan mustahik zakat lainnya.
Sejarah telah mencatat, bahwa petugas yang memungut dan menyalurkan zakat sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Pada saat itu dikenal istilah”su’at”, “mushadaq” dan lain-lain. Istilah dimaksud merupakan pelaksanaan dari istilah al-Qur’an “wa al-amiliina alaiha”. Begitu institusi ini terus berkembang dan mengalami penyempurnaan sesuai dengan permkembangan ummat Islam. Di Indonesia sekarang ini sudah banyak lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang berfungsi sebagai pengelola zakat.

Masalah Retribusi dan Distribusi Zakat
Masalah yang senantiasa berkembang di kalangan umat Islam saat ini adalah masalah mekanisme retribusi dan distribusi zakat. Secara normatif baik retribusi maupun distribusi zakat sudah diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini jelas bebeda dengan masalah umat Islam di masa lampau. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap norma yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah.
Dalam masalah retribusi zakat, kita saat ini menemukan ksaus pengabilan zakat dari kegiatan yang ada pada masa lampau tidak begitu lazim dilakukan. Masalah dimaksud adalah mengenai zakat profesi. Karena itu mereka hanya memmppkuskan pembicaraan pada jenis dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya yang berkembang saat itu, misalnya pertanian, pedaganagan peternakan, dan lain-lain. Sedangkan saat ini sudah harus dilihat dari bidang usaha pa yang mempunyai fungsi sama dengan kegiatan yang ada pada jaman Rasulullah SAW. Disini memang akan timbul kembali persoalan klasik, apakah zakat itu termasuk ibadah mahdhah yang ersifat ta’abuddi, ataukah merupakan idabah mahdah yang bersifat ta’aqulli?
Kalau dikatakan bahwa zakat termasuk ibadah mahdah yang bersifat ta’abuddi, maka harus difahami bahwa aturan zakat yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan suatu yang “dogmatis” dan tidak dapat dipertanyakan lagi dan kita terima dengan “bila kaifin”. Dengan kata lain, zakat termasuk kegiatan yang tidak dapat ditelusuri illatnya. Konsekuwensi dari pendapat ini,bahwa jenis benda dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya hanya terpbatas pada apa yang ada dalam keuda sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan masalah yang baru tidak dapat dikembangkan lagi. Lain halnya dengan pendapat yang menyatakan bahwa zakat termasuk ibadah yang bersifat ta’aqulli. Bagi penganut pendapat ini, zakat merupakan ibadah yang ”reasonable” karena itu harus diketahui illat atau sebab ditetapkannya aturan zakat dimaksud. Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah bahwa jenis benda dan kegiatan yang wajib dikeluarkan zakatnya akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sebenarnya masalah zakat profesi dan masalah benda lain yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat dikembalikan kepada keumuman ayat al-Qur’an : “wa anfiqu min thayibaati maa kasabtum” Dan nafkahkanlah yang baik-baik dari hartamu yang engkau dapati (Surat al-Baqarah : 276). Berdasarkan ayat ini dapat difahami bahwa segala garis besar benda dan kegiatan yang wajib dizakati adalah “hasil usaha” dan “hasil bumi”. Kemudian Nabi memberikan penjelasan sesuai dengan apa yang ada dan yang menjadi kebiasaan masyarakat pada waktu itu. itulah sebabnya beliau menyebut kegiatan perdangangan yang hasilnya harus dizakati, begitu pula dengan jenis komoditas pertanian apa yang saat itu ada. Dengan demikian, segala jenis usaha yang dapat menghasilkan”uang” dapat dianggap sebagai kegiatan atau benda yang wajib dizakati.
Kemudian mengenai masalah distribusi zakat akan sangat ditentukan oleh visi kita sebagai umat Islam yang hidup pada saat ini. apakah kita tetap berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah madah yang ta’abuddi dataukah ta’aqulli? Sebagaimana diketahui bahwa landasan hukum ditribusi zakat adalah surat at-Taubah : 60

إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat ini disebutkan dua kelompok besar pihak yang dapat menerima zakat, pertama pihak orang-orang tertentu yang dapat menerima zakat secara individual dan dapat memilikinya secara langsung. Kelompok ini adalah : fakir, miskin, mu’alaf, dan amil berdasarkan kepentingan tertentu. dalam hal ini kelompok kedua tidak secara langsung memiliki harta zakat itu. termasuk kolompok ini adalah : memerdekakan hamba, yang punya utang, sabilillah dan ibn sabil. Pemahaman ini didasarkan pada makna literal yang terdapat pada ayat ini. kelompok pertanda diungkapkan dengan huruf “lam” (lil fuqara..) yang berarti memiliki, sedangkan yang kedua diungkapkan dengan huruf “fi” (wa fi al- riqab …) yang berarti dalam atau mengenai.

Problematika Pengelolaan Zakat
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa zakat merupakan kewajiban yang bersifat pasti. Dikeluarkan oleh orang yang mengharapkan ridah Allah dan mengharap balasan dari kehidupan yang baik di akhirat nanti, tidak dilakukan oleh orang yang lemah keyakinannya terhadap hari kiamat, dan orang yang sedikit rasa takutnya kepada Allah, orang yang mencintai harta, sehingga kecintaannya itu mengalahkan kecintaan kepada Allah (Yusuf Qardhawi : 1991).
Yang jadi persoalan adalah, apakah pendistribusian zakat itu di bebankan kepada para muzakki, anrtinya para muzakkilah yang membagikan zakatnya kepada para mustahiq zakat. Kalau ini persoalannya, dimungkinkan adanya overlapping (ketumpang-tindihan) dalam pendistribusian zakat. Pembagian yang diserahkan kepada para muzakki akan menyebabkan ketidakmerataan dalam pembagian, hal ini akan membuat ketidak-adilan dan kesenjangan baru.
Atau perlukan pemerintah membuat sebuah lembaga pengumpul zakat, atau pihak swasta dalam pengawasan negara. Kalau demikian, diperlukan peraturan perundangan yang melegitimasi eksistensinya. Karena lembaga, apapun lembaga itu, tanpa adanya aturan yang mengikat kurang legitimed, atau permasalahan lain adalah sangat susah bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga tersebut.
Untunglah kini kita telah memiliki Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yakni UU No, 38 tahun 1999. Namun sayang mekanisme perundangannya yakni Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran operasional Undang-undang itu belum ada, yang ada hanyalah Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyebabkan daya paksa dan wibawa undang-undang ini kurang diperhatikan oleh publik.
Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelaksanaan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peran pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kedilan sosial serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infak, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perseorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha.
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari ulama, kaum cendikia, masyarakat, dan pemerintah serta adana sanksi hukum terhadap pengelola.
Dengan dibentuknya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk dapat menunaikan kewajiban zakat dalam rangka mensucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya kepforfesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT (Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999)

Mencari Solusi Pembayaran Fiskal Ganda
Tanggal 25-26 Maret 1997, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan seminar Nasional bertemakan “Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat”. Salah satu agenda pokok dalam seminar ini adalah mencari solusi atas sebuah problem yang dihadapi umat Islam dalam kehidupan negara bangsa, yaitu kewajiban membayar fiskal ganda : zakat dan pajak.
Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan topik tersebut adalah : haruskah pembayaran zakat disatukan dengan pajak ; sehingga dapat mengurangi beban kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam dalam negara bangsa? Ada dua pendapat yang saling bertolak belakang meresponi masalah ini. Pendapat pertama adalah pendapat yang tetap mempertahankan disparitas antara zakat dan pajak pada satu pihak, dan pendapat kedua, adalah mencoba mengitegrasikan zakat dengan pajak pada pihak yang lain.

Pro dan Kontra Seputar Penyatuan Zakat dan Pajak
Pendapat pertama dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Seminar Nasional yang pernah di selenggarakan pada tahun 1990. Adapun pendapat kedua adalah disuarakan oleh Masdar F. Mas’udi (1991) salah seorang tokoh muda Nahdhatul Ulama dan ketua P2M yang idenya tertuang dalam buku yang berjudul : Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta
Pendapat MUI yang tetap mempertahankan disparitas zakat dan pajak mengandaikan umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar nash al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan oleh ajaran Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan kewajiban agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama, sementara pajak wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warganegara kepada negara bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran zakat maupun pembayaran pajak adalah dua hal yang berbeda, tapi sama-sama bersifat impertif, dan karenanya wajib diamalkan oleh umat Islam kedua-duanya secara terpisah.
Memang, jika pendapat ini diamalkan akan menghasilkan input dana yang maksimal. Hanya saja misalnya, bagi sebagian besar umat Islam, adanya dua kewajiban itu sungguh merupakan beban yang sangat memberatkan. Terlebih pada dasarnya setiap manusaia mempunyai sifat mencintai harta benda, dan karenanya kerapkali enggan mendermakan sebagian hartanya, alias bakhil dan tamak. Hal ini tercantum dalam firman Allah :

إن الإنسان خلق هلوعا * إذا مسه الشر جزوعا * وإذامسه الخير منوعا

Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (Q.S. 70 : 19-21)

وإنه لحب الخير لشديد
Artinya : dan sesungguhnya dia amat bakhil karena cintanya kepada harta (Q.S: 100 : 8)

Para ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini adalah : manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta sehingga ia menjadi bakhil (Al-Qur’an dan terjemahnya)

وتحبون المال حبا جما
Artinya : dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Q.S : 89 : 20)

Akibatnya, berhubung zakat ditunaikan berdasarkan iman atau kesukarelaan, dan tidak ada kontrol dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya, yang diserahkan sepenuhnya kepada rasa ketaqwaan seseorang, maka pembayarannnya pun tidak jarang terabaikan. Dalam hal ini, zakat kalah pengaruh oleh pajak. Hal inilah yang seringkali menjadi kendala utama dalam meningkatkan jumlah penerimaan zakat pada lembaga-lembaga pengumpul zakat. Kenyataan itu berbeda sekali dengan pajak, yang karena didorong secara imperatif oleh negara, pembayarannya selalu dilunasi setiap jatuh tempo. Bagi yang terlambat, ditegur, bagi yang membayar tepat pada waktunya, diberikan diskon khusus atau diberi pengghargaan. Di negara barat, bagi orang yang tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat dihukum pidana dengan hukuman yang cukup berat.
Adapun pendapat Masdar Farid Mas’udi diatas mengasumsikan bahwa umat Islam yang telah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu karena pajak yang dibayarkan itu telah diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar, secara batin zakat adalah komitmen spiritual manusaia kepada Tuhannya, sedangkan secara lahir, zakat itu merupakan pajak yang merupakan komitmen sosial sesama manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian adalah hal yang identik; ibarat zakat adalah ruh, dan pajak sebagai raga yang bersama-sama embodied. Jadi, jika bagi Muslim, pajak berfungsi sebagai zakat, bagi non-Muslim pajak itu adalah pajak. (Masdar : 1993)
Karena pembayaran pajak telah diniatkan sebagai zakat, jumlah pajak yang diperbolehkan adalah juga merupakan jumlah zakat yang diterima. Dengan cara ini, pembayar pajak (zakat) dapat meminta kontraprestasi dari apa yang telah dibayarkan. Ini berarti, sega negara sebagai subjek wajib pajak, sekaligus sebagai muzakki, memiliki hak kontrol terhadap pengelolaan dana negara yang diperoleh dari sektor penerimaan pajak (zakat).
Memang, berhubung umat Islam tidak lagi merasa terbebani kewajiban fiskal ganda, jumlah angga penerimaan pajak (zakat) boleh jadi akan meningkat, tapi alokasi dan distribusi pemanvaatan dana pajak (zakat) itu sudah pasti akan menimbulkan persoalan baru.
Hal itu karena alikasi dan target distribusai pajak dan zakat, masing-masing saling berbeda. Bagaimanapun, reinterpretasi terhadap teks keagamaan (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang mengatur soal alokasi dan target distribusi zakat, khususnya tentang kebolehan zakat (pajak) diperuntukkkan kepada umat non-Muslim (bedakan dengan mu’allaf) masih merupakan hal yang teramat pelik. Pada titik inilah kontroversi dan keberatan dri kalangan umat Islam mungkin saja muncul.
Begitu pula, pemanfaatan dana pajak (zakat) untk sektor kepentingan ekslusif umat Islam tertentu saja akan menimbulkan keberatan dari wajib pajak yang beragama non-Muslim . sebab, para wajib pajak dari kalangan non-Muslim – meskipun mereka dari segi populasi merupakan minoritasssss, tetapi mengusai hampir 80% kekayaan di Republik ini—merupakan pembayar pajak yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang yang dibayarkan oleh wajib pajak (muzakki) dari kalangan Muslim sendiri. Walhasil, sungguhpun dari seg populasi umat Islam merupakan mayoritas, alokasi dan pemanfaatan dana pajak (zakat) utuk kepentingan eklusif umat Islam tidak dengan sendirinya akan besar jumlahnya, justru boleh jadi akan sangat terbatas.
Adapun jika pendapat Masdar F. Mas’udi ini dapat diterima, maka implikasi khrusial yang mungkin muncul adalah bahwa perorangan, yayasan, atau lembaga pengumpul dan penyalur ZIS yang telah eksis selama ni akan bergeser statusnya dan digantikan fungsinya oleh kantor-kantor pelayanan pajak. Lagi-lagi, kenyataan ini sulit diterima, karena mampunyai kecendrungan diskonstinuitas dan revolusioner.

Reduksi Pajak Bagi Pembayar Zakat
Menyadari kelemahan masing-masing dua pendapat diatas, kiranya sudah saatnya kita mempertimbangkan pendapat yang menghendaki bahwa bagi umat Islam yang telah membayar zakat kiranya dapat memperoleh reduksi (pengurangan) pembayran pajak, paling tidak sebesar dua setengah persen (2 ½ %)
Pendapat ini sesungguhnya merupakan sintesa dari pendapat MUI dan pendapat Masdar di atas. Sebab, dalam pola ini, zakat dan pajak tetap diangap sebagai hal yang terpisah. Namun begitu, dalam pola ini pun zakat dan pajak terlihat sebagai sebuah entitas yang kurang lebihnya hampir identik. Sebab, setiap zakat pastilah merupakan pajak. Demikian pula sebaliknya, setiap pajak adalah zakat juga.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat pasal 14 ayat (3) dikatakan :
Zakat yang terlah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang persangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal ini di uraikan :pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda. Yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Hal inipun berlaku di beberapa mancanegara, umpamanya Amerika Serikat. Di negara maju tersegut, indibidu atau perusahaan yang memberi sumbangan terhadap yayasan-yayasan spesial (LSM) yang terdaftar, mendapatkan reduksi pajak. Demikian pula di negeri jiran, Malaysia, bagi wajib pajak yang telah membayarkan pajaknya di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan kwitansi pembayaran pajak, ketika menyetorkan pajak akan mendapatkan reduksi dari kewajiban pajaknya.
Di Indonesia, pola semacam ini pernah diutarakan antara lain oleh Dawam Rahardjo (1992) dan juga didukung oleh sejumlah pengelola BAZIS Propinsi, seperti DKI Jakarta dan Kalteng.
Bagi Direktorat Jenderal Pajak sendiri, pola seperti di atas bukanlah hal yang baru. Sebag, melalui surat edaran Dirjen Pajak no SE-33/Pj.421/1996 tertanggal 2 September 1996, telah diberlakukan ketentuan-ketentuan bahwa setiap dana yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk di sumbangkan pada beasiswa dan disalurkan melalui Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dapat dibebankan sebagai biaya yang adapat dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak.
Jika memberikan sumbangan untuk GN-OTA bisa memperoleh keringanan pajak, mengapa tidak bila hal yang sama juga diwujudkan bagi umat Islam yang telah mengeluarkan zakat? Bukankah dana zakat dapat mengcover sekaligus memback-up target-target alokasi dan disribusi dana pajak seperti penanggulangan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, pemerataan pendapatan, dan bahkan juga pendidikan? Seperti firman Allah :
كى لا يكون دواة بين الأغنياء منكم
Artinya : Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu (Q.S. 59 : 7)

Dengan demikian, dana dan sektor penerimaan zakat sebenarnya bisa ikut meringankan beban anggaran belanja negara. Alhasil, institusi zakat seharusnya dapat dipetimbangkan sebagai instrumen alternatif dalam penyediaan dana pembangunan nasional.
Jika kebijaksanaan fiskal seperti diatas dapat terwujud, yang sunguhpun tampak seperti iming-iming “diskon”, ini bukan saja akan mendorong tanggung jawab sosial dan tanggung jawab sosial individu/perusahaan, tetapi juga akan menimbulkan terjadinya “revolusi” peningkatan jumlah pembayaran dan penerimaan baik bagi amil zakat maupun Kantor Pelayanan Pajak. Oleh karena itu, tidak perlu dikhawatirkan kebijaksanaan di atas akan mengurangi pendapatan dari sektor pajak.
Dengan demikian, hemat penulis, pola pembayaran di atas, merupakan solusi yang paling memungkinkan terhadap masalah kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam di dalam negara bangsa. Betapapun demikian, harus tetap diakui, masih ada ganjalan yang menghadang pola sintesis itu, seperti mengenai bentuk-bentuk pajak dan zakat yang beraneka ragam. Pertanyaan seperti itu :
n zakat macam apa (harta atau fitrah) yang jika sudah dibayar, akan memperoleh reduksi pajak?
n Apakah seluruh bentuk pajak akan menyediakan reduksi, atau hanya salah satu saja dari sekian bentuk pajak?
Hal ini merupakan sekedar contoh dari sekian agenda persoalan yang penting yang harus segera dibicarakan. Wallahu ‘a’lam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kedutaan Besar Saudi Arabia
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tentang Pengelolaan Zakat, BAZIS DKI Jakarta
Djamil, Fathurrahman Kedudukan dan Peran Zakat dalam Fiqh Islam, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997
Fadlullah, Cholid, Mengenal Hukum ZIS (zakat Infak Sedekah) dan Pengamalannya di DKI Jakarta, Jakarta BAZIS DKI 1993
Mas’udi. Masdar, F. Agama Keadilan, risalah zakat (pajak) dalam Islam, Jakarta Pustaka Firdaus. 1993
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Saudi Arabia Dar al Farh lia’lam al-arabi 1993
Salim, M. Arsal, Mencari Solusi Pembayarana Fiskal Ganda, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997
Syahhatih, Syauqi Ismail, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, alih bahasa Ansori Umar Sitanggal, Jakarta Pustaka Dian 1987
Qardhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, terjemahan Salman Harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin, (Bogor Lintera Antar Nusa) 1991
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Baerut Darul Fikr, 1991

SUMBER HUKUM ISLAM KONTEMPORER DAN METODE PENJELASANNYA

Pendahuluan
Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul di kalangan para sahabat dapat ditanyakan langsung kepada beliau. Biasanya beliau memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menyebut ayat al-Qur’an, atau menunggu jawaban wahyu dari Allah, atau dalam keadaan tertentu ketika tidak ditemukan jawabannya melalui wahyu, beliau memberikan jawaban melalui pendapat beliau pribadi atau hasil musyawarah beliau dengan para sahabat. Pendapat beliau seperti itu belakangan disebut Sunnah.
Setelah Nabi wafat dengan demikian wahyu terputus, artinya tidak ada lagi wahyu atau hadis yang turun. Persoalan hukum tidak berhenti dengan wafatnya Nabi atau telah terputusnya wahyu, malahan makin banyak, pelik, dan kompleks. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi, masyarakat yang ada hanyalah terbatas pada masyarakat Arab yang berada di kota Madinah dan sekitarnya, kehidupan mereka masih sederhana, mereka hanya bedagang, peternak dan sedikit bertani. Sementara pada zaman sesudahnya, Islam telah jauh menembus luar batas jazirah Arab. Orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab, tetapi juga orang Persia, Mesir, Yaman, dll. Tentu saja akulturasipun terjadi, sehingga persoalan kehidupan yang muncul akibat pergesekan budaya secara otomatis pasti lebih banyak dan pariatif.
Pada periode sahabat, persoalan yang timbul dapat segera diatasi dengan baik karena mereka adalah murid-murid terbaik Rasulullah (Khair al-qurun). Mereka sangat memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan seluk beluk keduanya. Mereka mengetahui dengan baik setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidaupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat serta Sunnah memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an, bila tidak menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan pada usaha memelihara kemaslahatan umat.[1]
Persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah timbul pada masa setelah masa sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur’an dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itu disebut ushul fiqh.[2]
Pada zaman keemasan Islam, - pase ini berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayah dan bani Abas - para ulama giat melakukan ijtihad derhadap berbagai persoalan, sehingga sering diantara mereka berijtihad dengan mempergunakan metode sendiri, tidak terikat dengan metode istinbath yang ditemui ulama lain. Mereke inilah yang terkenal dengan imam mujtahid. Mereka giat dalam mengembangkan ilmu, khususnya dibidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Selain mengarang berbagai buku, mereka juga mensyarah, mengomentari, mengkritik, atau meringkas buku-buku yang sudah ada. Mereka bedah segala persoalan yang bersangkutan dengan persoalan hukum. Bukan saja persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi, bahkan mereka merambah ke persoalan yang tidak membumi dan mengandai-andai, yang lebih terkenal dengan istilah fiqh iftiradhi.
Perkembangan pesat ini terjadi antara lain disebabkan oleh besarnya perhatian para khalifah terhadap ilmu, khususnya ilmu fiqh serta adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat. Di masa Abasiyah yang kedua, golongan Amawiyah mendirikan kekhalifahan yang kedua di Andalus, sebagaimana golongan Alawiyah mendirikan Daulah Fatimiyyah di Afrika. Dalam pemerintahan Abasiyah sendiri banyak daerah-daerah yang mendirikan pemerintahan sendiri, sedang pemerintahan Abasiyah pada kenyataannya tidak mempunayi kekuatan secara praktis.[3]
Kehancuran Abasiyah terjadi pada tahun 656 H/1258 M, dengan jatuhnya Bagdad ke kuasaan bahasa Mongol Tartar, yang meluaskan kekuasaannya ke Astanah (1453) ke Syam/Syiria dan Libanon (1516 dan ke Mesir (1517), sedangkan andalus jatuh ketangan kristen pada tahun 1492.
Ilmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit, dan setelah wafatnya imam At-Thabari, mujtahid tidak muncul lagi, bahwa mereka hanya melakukan ijtihad fil madzhab, menguraikan masalah yang telah diijtihadkan oleh imam madzhabnyaa, memberikan legitimasi dan justifikasi hukum-hukum yang telah ada dan mentarjihkan dalil-dalil dari pendapat yang berbeda-beda. Para khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang ada. Turki mendukung madzhab Hanafi, Daulah Ayubiyah mendukung madzhab Syafi’I, Daulah ‎Fatimiyah mendukung madzhab Syi’ah Isma’iliyah. Para hakim hanya menjadi pengikut madzhab yang dianut oleh negara dan tidak berijtihad sendiri.
Pada permulaan abad ke empat hijriyah, para fuqaha Sunni menetapkan pintu ijtihad tertutup, sehingga dengan ditutupnya pintu ijtihad, berkembanglah bid’ah dan khurufat, kejumudan berfikir dan terhentinya penelitian ilmu, yang berkembang hanyalah taqlid saja. Hal ini diperparah dengan ekspansi barat kedunia islam yakni pada abad ke 17, tepatnya tahun 1683 M hingga sebelum Perang Dunia I seluruh dunia Islam telah berada di bawah telapak kaki penjajah. Untuk menjamin kelangsungan penjajahan, kaum kolonialis memaksakan berlakunya hukum sekuler pada semua daerah jajahan sehingga timbullah dualisme ilmu pengetahuan dan hukum di dunia Islam. Adanya pemisahan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, sekolah umum dan sekolah agama, Para pakar hukum mereka yang mengetahui kulit hukum Islam, menyebarkan isyu-isyu yang dapat memberikan gambaran keliru mengenai agama Islam, khususnya ilmu fiqh. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam itu kolot, statis, kejam, adat bangsa Arab, tidak cocok untuk dunia masa kini, karena pintu ijtihad telah ditutup secara ijma’ oleh ulama sejak abad IV H, umat Islam wajib bertaqlid kepada salah satu dari madzhab yang empat, tidak boleh pindah madzhab, dan lain-lain.[4]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah itu, maka pada awal abad ke 13 H, timbullah ide-ide, usaha dan gerakan-gerakan untuk pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajahan dan pengaruh barat dengan mengadakan pembaharuan yang universal dalam bidang pendidikan, sosial, pilitik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam. Gerakan ini menyerukan untuk mengusir penjajah, mengembangkan ilmu Islam, meninggakan taqlid buta dan bid’ah dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-hadis serta mengikuti metode ulama salaf.
Ternyata perjuangan mereka itu telah nyata berhasil dan kini kita telah rasakannya, umat Islam kini sudah tidak dijajah lagi oleh kolonialis. Demikian juga dalam pembaharuan dibidang pendidikan, sosial, politik, dan militer.
Kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam pola fikir dan pola sikap masyarakat dalam menghadapi hidup ini. sikap rasional menjadi ciri utama masyarakat madern, karena itu paktek-praktek ilmu fiqh sebagai hasil pemikiran para fuqaha di masa lalu mulai kurang dapat menjawab berbagai persoalan. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata-mata membolak balik kitab-kitab fiqh yang sudah ada. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa beriktunya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya.
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kehidupannya diatur oleh hukum Allah, tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini - yang tidak lain merupakan formulasi resmi dari hukum syara- belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitabnya itu. Karena itu diperlukan usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.

Sumber Hukum Islam Kontemporer
Definisi fiqh kontemporer dan cakupannya telah dibicarakan dalam makalah pertama. Yang menjadi tugas pemakalah adalah menguraikan apa yang menjadi sumber hukum Islam kontemporer dan metode penjelasannya.
Yang dimaksud hukum Islam dalam makalah ini adalah fiqh, dan perbedaan sekaligus persamaannya telah dibahas secara panjang lebar oleh beberapa penulis.[5] Seperti kita ketahui bahwa makna fiqh adalah ilmu/pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang difahami dali dalil-dalilnya yang terperinci [6] Sebagai suatu ilmu tentu saja harus bersandar pada sumber yang kuat dan jelas. Sebelum kita membicarakan apa saja yang termasuk sumber Hukum Islam, ada baiknya kita bahas dulu arti dari sumber hukum itu.
Sumber dalam hukum fiqh merupakan terjemahan dari مصدر ج مصادر . Ada juga orang yang menyebutnya dengan dalil (دليل ) karena beranggapan bahwa kedua kata tersebut adalah sinonim. Namun, bila dilihat secara etimologis, keduanya tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan dengan kata “syari’ah”. Kata masdar dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.[7]
Kata “sumber” dalam pengertian ini dapat digunakan untuk al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah tempat ditimbanya hukum syara, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma, qiyas,dan yang lainnya , karena bukan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma, dan qiyas merupakan cara/metode dalam menemukan hukum.
Para ulama mengartikan dalil dengan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada apa yang dikehendaki. [8] Secara istilah dalil - seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab Khalaf - sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qathi’ maupun secara dhanni.[9] Oleh karena itu kata “dalil” dapat digunakan untuk al-Qur’an dan sunnah juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan الأدلة الأحكام المنصوصة sedangkan ijma dan qiyas merupakan الأدلة الأحكام غير المنصوصة . Untuk yang pertama sering para ulama menyebutnya dengan dalil naqli sementara yang kedua disebut dalil aqli. Sealain ijma dan Qiyas yang termasuk dalam katagori ini adalah al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-istishab, al-Urf, syar’u man qablana, qaul shahabi. Namun yang disepakati para ulama hanyalah ijma dan qiyas, artinya semua ulama memakai keduanya sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya para ulama berbeda pendapat ada yang memakai, ada pula yang menolaknya.
Yang termasuk sumber hukum dan dalil hukum Islam adalah :
Al-Qur’an
Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang membacanya merupakan ibadah.
Dari 6 ribuan lebih ayat al-Qur’an, hanya sebagian kecil yang mengandung hukum yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan perbuatan dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya Al-Qur’an merupakan sember utama bagi hukum Islam sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Alqur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Artinya sumber yang lain tidak boleh bertentangan/menyalahi al-Qur’an.

Al-Sunnah
al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. [10] Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah fi’liyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan sekaligus sebagai dalil hukum dalam hukum Islam setelah al-Qur’an.
Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad.[11] Ketiga tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.

Ijma
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis.[12] Para ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma shahabat.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat dibawah dalil nash (al-qur’an dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma’ tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafi’i.[13]

Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illah hukum.[14]
Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada sumbernya yani al-Qur’an dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar yang membentuknya.

Metode Penjelasan dan Pendekatan Hukum Islam Kontemporer
Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri, Syi’ah Imamiyah dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingak dengan hukum positif dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri.
Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah, mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan setiap waktu.
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya.
Agar selalu aktual dan membumi tentu saja aspek sosiologis, antropologis dan kemaslahatan selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hukum kontemporer tersebut. Wallahu A’lam.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Darul Fikr al-Arabi 1958
Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I Jakarta Logos 1997,
Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,
Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj, Yudian W, Asmin, Surabaya : al-Ikhlas 1995
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Baerut, Darul Fikr 1991

[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta Logos 1997, jilid I hal 33
[2] ibid
[3] Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986, hal 9
[4] Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, hal 44
[5] lihat Amir Syarifuddin dalam op.cit, lihat juga Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al-Arabi, 1958 hal 26
[7] Amir Syarifudin, op. Cit hal 43
[8] Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama, hal 41
[9] Abdul Waahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984, hal 20
[10] Ibid, hal 36
[11] walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syari’at dan terakhir perawi hadis ahad tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya, jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)
[12] Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hal 198
[13] Ibid, hal 205
[14] ibid, hal 218

HAK-HAK PEREMPUAN : SEJARAH PERKEMBANGAN GENDER

..Seorang laki-laki disebut terhormat,
apabila ia menghormati perempuan.
Jika ia melecehkan perempuan,
Maka tanggallah kehormatannya……..
(Ali bin Abi Thalib)

Pendahuluan
Pada hakikatnya, semua mahluk diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan, tak terkecuali manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan yang merupakan dua jenis kelamin yang berbeda namun satu sama lain saling membutuhkan. Keduanya diciptakan dalam harkat, derajat, dan martabat yang sama meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda gunanya agar bisa saling mengetahui dan melengkapi satu sama lainnya. Demikian yang tersurat dalam kitab suci.(al-Hujurat : 13)
Namun perbedaan laki-laki dan perempuan itu ternyata masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Dua jenis kelamin manusia itu secara biologis dengan mudah dapat dibedan, misalnya laki-laki mempunyai penis, berkumis, mempunyai gondok laki, dan bersuara besar. Sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara yang menonjol besar, mempunyai daur haid, bisa hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Intepretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. (Nazaruddin : 1999)
Dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan manusia banyak mengalami perubahan, peran, dan status dalam masyarakat sejak zaman nomaden dimana manusia menggantungkan hidupnya kepada alam semesta dengan melakukan perburuan, kemudian menetap dengan bercocok tanam dan mengambil ikan di lautan, diteruskan dengan penemuan teknologi industri yang dapat mempermudah kerja manusia. Namun tetap saja sejak zaman primitif hingga zaman modern kedudukan perempuan tetap saja sebagai jenis kelamin dua. Ada persepsi yang mengendap dibawah sadar seseorang jika ia mempunyai atribut biologis seperti laki-laki mempunyai penis atau perempuan mempunyai vagina, maka itu juga menjadi atribut untuk penentuan status sosial dalam masyarakat. Jadi dapat dibedakan antara pemilikan penis atau vagina sebagai peristiwa biologis (physical genetical) dan pemilikan penis atau vaginan sebagai peristiwa sosial-budaya (cultural gentical). Secara biologis, alat kelamin adalah kosntruksi biologis karena bagian tubuh dari seseorang yang tidak ada hubungan langsung dengan keadaan sosial-budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya alat kelamin menjadi faktor penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, maka pada sat itu konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi gender seperti pembagian fungsi, peran dan status dalam masyarakat. Sehingga karena laki-laki mempunyai penis, ia mengambil peran yang dominan dalam fungsi, peran dan status didalam masyarakat, sementara perempuan yang tidak mempunyai penis, ia tersisih dan terhempas dalam fungsi, peran, dan status di dalam masyarakat.
Ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam percaturan sosial inilah yang sangat menggugah rasa keadilan manusia. Dengan landasan sama-sama manusia dan sama-sama mahluk Tuhan, tetapi mengapa ada perbedaan?
Masalah keadilan dan kesetaraan gender merupakan topik yang relatif baru sehingga menimbulkan interpetasi yang berbeda dalam pemahamannya di kalangan pejabat, pakar, dan masyarakat. Karena itu materi kesetaraan gender merupakan bokok bahasan penting dalam rangka memberikan wawasan, persepsi, dan pemahaman yang sama bagi peserta pelatihan dan orientasi untuk menanamkan sikap dan prilaku yang responsif gender.

Makna Gender
Sebelum menerangkan lebih jauh apa dan bagaimana sejarah perjuangan kaum perempuan, ada baiknya kita mengetahui beberapa kata kunci dalam gender itu. Karena ternyata banyak orang yang salah faham tentang gender, orang sering menyamakan gender dengan kesetaraan, persamaan peran, emansipasi, bahkan sampai pada gerakan anti laki-laki.
Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan, misalnya laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempuan mempunyai vagina, payudara dan rahim, karenanya perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui. Seks adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi biologi. Seks lebih berorientasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karekteristik biologis lainnya. Seks adalah juga semua yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara biologis, karenanya tidak dapat dipertukarkan. Seks sering juga disebut kodrat, karenanya sifatnya yang abadi tidak bisa dipertukarkan dan sama disepanjang abad dan tempat.
Gender berasal dari bahasa Ingris yang berarti jenis kelamin, (John M. Echols, 1983) atau perbedaan yang nampak antara laki-laki den perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Webster’s : 1984) dan menurut istilah gender adalah pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibuat atau diciptakan oleh manusia melalui pembagian peran laki-laki dan permpuan. Gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. (Nazaruddin : 1999). Gender adalah suatu sifat dan prilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena bentukan, maka gender tidak berlaku selamanya. Gender bisa tergantuk kepada trend masanya. Misalnya, kalau dulu yang menggunakan anting-anting atau berambut panjang adalah perempuan, trend akhir-akhir ini justru kebalik, justru banyak laki-laki yang beranting dan berambut panjang sedangkan perempuan berambut pendek dan tidak memakai anting-anting. Gender juga sangat tergantung pada tempat atau wilayah, misalnya kalau disebuah desa perempuan memakai celana dianggap tidak pantas, maka ditempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan memakai rok. Karena bentukan, maka gender bisa dipertukarkan. Misalnya, kalau dulu pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan perempuan, bahkan kalau ada laki-laki yang ikut memasak disebut kethuk (banci : bencong : wadam), maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurus dapur atu susah karena harus tergantung kepada perempuan untuk tidak kelaparan.
Pada zaman dahulu orang belum banyak tertarik ntuk membedakan seks dan gender karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap bahwa keduanya adalah sama. Mereka menganggap eperbedaan gender sebagai akibat perbedaan seks. Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar, akan tetapi belakangan ini disadari bahwa tidak meski perbedaan seks menyebabkan ketidak adilan gender (gender inequality).
Dalam masyarakat kita, dikenal perbedaan peran dalam hal pekerjaan misalnya : laki-laki dianggap pekerja produktif sedangkan perempuan pekerja reproduktif. Kerja produktif bisa menghasilkan nilai tukar (dibayar) atau status politik, kerja reproduktif adalah kerja yang bersifat merawat, memelihara, seperti pekerjaan rumah tangga dan melahirkan anak. Biasanya pekerjaan reproduktif tidak mendapatkan imbalan.
Pembedaan kerja dalam produktif dan reproduktif ini juga menimbulkan perbedaan wilayah. Laki-laki berada di wilayah publik dan perempuan berada di wilayah domestik. Wilayah publik adalah di luar rumah tempat dimana kehidupan sosial diatur dan dijalankan, dan domestik adalah di rumah atau sering disebut sebagai ruang pribadi.
Perbedaan status, laki-laki sering digambarkan sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan (kalau bekerja) disebut sebagai pencari nafkah tambahan. Laki-laki pemimpin, perempuan dipimpin. Dalam status ini ada yang berperan sebagai subjek yaitu laki-laki dn yang berperan sebagai objek yaitu perempuan.
Perbedaan sifat, perempuan dilekati dengan sifat dan atribut feminin dan laki-laki dilekati dengan sifat maskulin. Sifat atau atribut feminin misalnya halus, sopan, lembut, kasih sayang, cengeng, penakut, emosional,”cantik”, memakai anting-anting, bersanggul, memakai rok. Sedangkan sifat maskulin misalnya kuat, keras, rasional, kasar, gagah memakai celana, berambut cepak.
Ada beberapa persoalan yang lahir akibat kesalah fahaman tentang gender yang berkembang di masyarakat. Diantaranya adalah :
1. penomorduaan (sub-ordinasi) yaitu sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan dapa posisi yang lebih rendah dari laki-laki.
2. Pemiskinan (marginalisasi) yaitu suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan.
3. Cap atau anggapan negatif (Stereotipe) yaitu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat perempuan selalu pada pihak yang dirugikan.
4. Beban kerja ganda (bouble burden) pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan perempuan. Ada peribahasa yang mengatakan : waktu kerja suami adalah sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari, sedangkan waktu kerja istri sejak terbit mata suami sampai terbenam mata suami.
5. Kekerasan (violence) yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak (bisanya laki-laki) terhadap pihak lain (biasanya perempuan) yang mengakibatkan penderitaan secara langsung dan tidak langsung baik fisik maupun non fisik.
Pembedaan gender terjadi kepada dua jenis kelamin, yaitu kepada laki-laki dan perempuan. Tetapi pembedaan gender yang ditujukan kepada perempuan ternyata mengakibatkan banyak sekali ketidakadilan. Pertama ketidakadilan tersebut disebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia bagi perempuan. Hak-hak dasar yang dimaksudkan adalah hak untuk menentukan diri sendiri secara otonom (madiri). Seluruh peran, status, wilayah dan pensifatan kepada laki-laki dan perempuan menghalangi perempuan untuk secara individu menjadi manusia yang otonom dan menghalangi perempuan sebagai kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan norma bersama.

Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan
Sejarah Kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia terutama setelah berakhirnya perang dingin (cold war) antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered dovelopment) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Suatu kecendrungan yang perlu difahami, dicermati, dan diantisipasi agar tidak mudah terbawa aliran yang tidak sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia atau bertentangan dengan keyakinan manusia dan kodrat manusia. Manusia yang diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain. Keterpaduan antara dua bagian yang tidak sama dengan kemitraan dan keharmonisan adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan perpasangan. Masalah gender pada dasarnya adalah menganut prinsip tersebut, meskipun dalam kenyataannya seing terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak (laki-laki) ke pihak lain (perempuan) baik di dalam maupun diluar kehidupan rumahtangga. Perlakuan yang merupakan hasil akumulasi dan akses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat tanpa ada klarifikasi yang rasional. Akibatnya, seluruh kesalahan yang sering ditimpakan pada kaum laki-laki yang telah mendominasi dan memarjinalkan kaum perempuan tanpa menjelaskan mengapa budaya tersebut terjadi, untuk itu, informasi tentang perjuangan kaum perempuan dalam menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki menjadi cukup relevan untuk dikaji.
Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya di banding dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar keteringgalan tersebut, maka dikembangkanlah konsep emansipasi (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan di tahun 1950 dan 1960-an. Usaha yang lebih memilih pendekatan pertentangan (dikotomis) daripada kerjasama (kompromis). Pada tanggal 12 Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori gerakan kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) No.861F (XXVI), dan diakomodasi pemerintah Indonesia pada tahun 1968. Untuk mewadahi perjuangan tersebut dibentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia dengan SK Menteri Negara Kesra No34/Kpts/Kesra/1968
Pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Women- PBB yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam (a) pendidikan dan pekerjaan, (b) memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan (c) memperluas partisipasi perempuan dalam pembanguan, (d) tersedia data dan informasi partisipasi perempuan, (e) pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin. Untuk itu dikembangkan bergagai program untuk pemberdayaan perempuan (women empowerment programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut, maka diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (Women in Development) yang disingkat WID.
Pada tahun 1980 di Kopenhagen dilakukan World Conference UN Mid Decade of Women. Dalam pertemuan itu disahkan UN Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Againts Women (CEDAW). Ketentuan tersebut kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1984. Tahun 1985 di Nairobi, diadakan World Conference on Result of Ten Years Women Movement, yang menghasilkan Forward Looking Strategis for the Advancement of Women dengan menekankan pada kesetaraan perempuan dalam pembangunan dan perdamaian.pada tahun itu pula PBB membentuk satu badan yang disingkat UNIFEM (the United Nations Fund for Women) untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi, dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara international. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang dilakukan selama 10 tahun lebih (atara tahun 1970-1980-an) tidak banyak menampakkan hasil yang signifikan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai bahkan menimbulkan sikap sinis dari kaum laki-laki (male backlash) terhadap perjuangan perempuan tersebut. Berdasarkan berbagai studi, maka tema WID diubah menjadi pendekatan WAD (Women and Development) perempuan dan pembangunan. Kata dalam diganti dengan kata dan yang memberi makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas. Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan the 34Th commission on the Status of Women dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kaum laki-laki nampaknya juga kurang membawa hasil seperti yang diharapkan.
Dari studi yang dilakukan oleh Anderson (1992) dan Moser (1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan atau sebaliknya. Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Conference on Population dan Development (ICPD) di Cairo, Mesir tahun 1994 dan dalam the 4th World Conference on Women di Beijing, Cina tahun 1995. Dari dua konferensi tersebut disepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap perumusan kebijaksanaan, dan pelaksanaan sampai pada menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang sangat mendasar yaitu dari pembahasan pada masalah fisik biologis (biological sphere) ke masalah sosial budaya (social-culture sphere).
Secara nasional di Indonesia, pergerakan kaum perempuan mulai diilhami oleh perjuangan RA. Kartini yang ingin terbebas dari budaya kraton (Jawa), meskipun secara diam-diam dan tidak terbuka. Gagagsan ini dicerna oleh kaum perempuan yang aktif dalam Gerakan Kebangkitan Nasional tahun 1928, yang ditindak lanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diperingati menjadi Hari Ibu. Dalam perjuangan kemerdekaan, peran perempuan sangat penting baik secara fisik maupun berjuang digaris belakang (penyediaan logistik, perawatan korban, dan penghubung antar para kelompok pejuang). Untuk itu dikenal beberapa nama pejuang perempuan di medan perang seperti Cut Nyak Dien dan Martha Tiahahu, dibidang pendidikan terdapat nama Rasuna Said, Dewi Sartika, dibidang politik terdapat SK Trimurti, Fatmawati, Supeni. Untuk menghimpun potensi perempuan, maka tahun 1950 didirikan organisasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan dilanjutkan dengan pembentukan BKOW (Badan Kontak Organisasi Wanita) bagitu pula dalam organisasi sosial keagamaan seperti Muslimat (NU) Aisyiyah (Muhammadiyyah), Wanita Katolik, Wanita Marhaen, dan sebagainya.
Dengan dibentuknya Komita Wanita Nasional tahun 1967, maka wadah perjuangan kaum perempuan semakin dikonkritkan pada tahun 1975 dalam kabinet pembangunan II dimana dibentuk kementrian yang disebut dengan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dan Menteri Negara Ususan Peranan Wanita. Sejalan dengan itu dibentuk Organisasi Perempuan seperti PKK, Dharma Wanita (istri PNS), Dharma Pertiwi (Isteri TNI) IWAPI (Isteri Pengusaha), dan sebagainya. Kementrian ini telah beberapa kali ganti kabinet dan menteri dari menteri muda ke menteri negara, tetap diperlukan pemerintah dan masyarakat sampai sekarang. Meskipun tema telah berubah, namun nama kementrian yang bertanggung jawab terhadap perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan program kesetaraan dan keadilan gender, nama kementrian masih diberi Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender
Masalah keadilan dan kesetaraan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan Hak Azasi Manusia yaitu Declaration of Human Rights (HAM) PBB pada tahun 1948.
Dalam tahap awal HAM hanya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih pada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai perkembangan zama meliputi hak-hak sosial ekonomi dan budaya seseorang. Pelaksanaan hak-hak azasi itulah ang memberikan aspirasi bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak azasi dan reproduksinya dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu proses aktualisadsi dari kaum perempuan dalam mengatasi kepincangan dan ketidakadilan perlakuan sebagai konstruksi sosial terhadap laki-laki dan permpuan. Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminsai yang menempatkan perempuan dalam stataus dibelakang kaum laki-laki telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memberbaiki status, peranan, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Perjuangan itu semakin dipicu oleh berbagai kasus seperti yang dialami oleh seorang dokter di Ingris yang ditolak oleh rekan-rekannya seprofesi yang berjenis kelamin laki-laki untuk menjalankan praktek bersama maupun dalam kepengurusan organisasi profesi. Penolakan ini bukan didasarkan oleh rendahnyakemampuan yang bersangkutan, tetapi lebih disebabkan karena ia seorang perempuan. Kemudian secara statistik disajikan data ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang profesi dan pekerjaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh citra baku (stereotype) dalam pandangan masyarakat yang menempakan perempuan lebih banyak berperan dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif u ntuk menopang ekonomi kehidupan rumah tangga. Karena peran tersebut, maka laki-laki lebih diutamakan dalam memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan dengan kaum perempuan.
Masalah kesetaraan dan keadilan gender bukan saja menjadi perhatian kaum perempuan, tapi juga telah menarik perhatian para ahli dan politisi. Edward Wilson dari harvard University (1975) membagi perjuangan perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar. Kelompok bertama disebut konsep nurture (konstruksi budaya) dan kelompok kedua disebut konsep nature (alamiah).
1. Aliran Nurture beranggapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan perean dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dalam kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Perjuangan persamaan tersebut dipelopori oleh kaum feminist Indoenasional yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (fifty-fifty). Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas). Apabila hal itu sulit dicapai secara kopromi karena berbagai hambatan baik nilai budaya maupun agama, maka metode perjuangan yang dipakai dengan menggunakan pendekatan sosial konflik. Suatu konsep yang diilhami oleh ajaran karl Marx (1818-1883) dan Machiavvelli (1469-1527), dilanjutkan oleh David Lockwood (1957 dengan tetap menerapkan konsep dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan isteri sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar).bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindasan demi untuk mencapai kebebasan dan perasamaan. Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut oleh masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan persamaan proposional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti keterwakilan perempuan di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan pimpinan partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut disediakan program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut, yang dikenal dengan perilaku male backlash. Keberhasilan sebagian masyarakat barat dalam kesetaraan perempuan telah menimbulkan perubahan sikap dan perilaku perempuan yang bergaya maskulin seperti agresif, egoistis, kasar, dan tidak mau menikah. Bila membangun keluarga tidak mau punya anak, bila punya anak tidak bersedia menyusui dan sebagainya.
2. Aliran Nature yang menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan idikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture diatas lalu beralih ke teori natur. Pendekatan nurture dirasa tidak enciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkanlah konsep pemberdayaan perempuan (women empowerment) suatu program khusus yang dikenal dengan program affirmartif action guna memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan. Perempuan perlu lebih diberdayakan agar bisa menyumbangkan potensi dan kemampuannya dalam pembangunan ke dalam rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara tanpa harus menimbulkan konflik sosial. Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh paa peran yang berisfat naluri (instrinct). Perjuangan kelas ini tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai fungsi, tugas dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Tidak mungkin satu kapal dipimpin oleh oleh dua orang nahkoda. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Plato yang kemudian diperbaharuhi oleh August Comte (1798-1857) Emile Durkheim (1858 – 1917), Herbert Spencer (1820 – 1930) bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab. Talcott Parsons (1902 – 1979) dan Persons & Bales berpendapat bahwa keluarga sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membatu satu sama lainnya. Karena itu peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara laki-laki dan perempuan. Aliran ini melahirkan paham struktur fungsional yang menerima perbedaan peranan asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga atau antara kaum laki-laki perempuan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equibrium) yang menekankan pada konsep keimitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan itu, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran dari laki-laki dan perempuan secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkannya bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etis aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini membedakan sekurang-kurangnya tiga konteks kehidupan seseorang yaitu, keluarga, masyarakat dan agama. Sedang situasional menunjukkan penerapan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sama di semua strata masyarakat. Karena itu Vandana Shiva menyebutkan equality in diversity (persamaan dalam keragaman). Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan yang komplementer yang bisa diwujudkan melalui strategi pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming). Strategi dalam upaya penyeimbangan peranan, kedudukan dan stratus antara laki-laki dan peremuan mulai dari perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan sampai menikmati hasil pembangunan. Pandangan ini diharapkan dapat mempercepat proses menciptakan sesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakt, bangsa dan negara. Hidup harmonis adalah hidup yang seimbang lahir bathin, termpenuhi kebutuhan dasar fisik dengan memadai dan tercapai aktualisasi diri dalam pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian perbedaan bukan alasan untuk menundukkan satu sama lain, tetapi sebaliknya dengan perbedaan maka perlu saling melengkapi dan saling bekerjasama untuk menciptakan sesuatu yang bebih baik dan berguna bagi keluraga, masyarakat, dan bangsa. Aliran keseimbangan sangat mempertimbangkan kondisi dan situasi aktual dari suatu masyarakat agar setiap orang bisa hidup selaras dan serasi dengan kondisi lingkungannya. Tokoh aliran ini antara lain adalah Betty Friedman, Alice Rossi, dan Mery Ann Mason yang menjelaskan bahwa perbedaan peranan dan fungsi biologis memiliki tujuan fundamental dalam menjaga keharmonisan hidup manusia. Mereka secara aktif melancarkan kampanye tentang perlunya kembali pada nilai-nilai luhur pembentukan keluarga (back to the family values) dengan berbagai kegiatan. Negara Asia cenderung memilih pembangunan keluarga harmonis dan sejahtera serta landasan pembangunan masyarakat dan bangsa. Yang penting bahwa dalam keluarga modern diharapkan perempuan memiliki posisi tawar menawar (bergaining posision) yang sama dengan kaum lelaki sehingga setiap keputusan dilakukan dengan musyawarah dan kebersamaan. Oleh karena itu, dalam kebijakan Pengarus Utamaan Gender yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2000) berpijak pada prinsip-prinsip (a) menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralisme) (b) tidak menggunakan pendekatan konflik (dikotomis) (c) diperjuangkan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi, (d) menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan demokrasi.

Masalah yang di Hadapi Perempuan.
Dari hasil konferensi di Beijing 1995 diidentifikasi sejumlah masalah yang banyak dihadapi oleh kaum perempuan di sebagian besar belahan bumi. Kumpulan masalah tersebut disebut dengan keprihatinan Beijing sebagai berikut :
1. masalah perempuan dan kemiskinan terutama karena kemiskinan struktural akibat dari kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku
2. keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar-menawar menuju kesetaraan gender
3. masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai
4. kekerasan fisik terhadap perempuan baik dalam rumah tangga maupun ditempat kerja tanpa mendapatkan perlindungan secara hukum.
5. Perempuan ditengah wilayah konflik militer dan kerusuhan banyak yang menjdi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai meskipun sudah dijamin oleh Konvensi Geneva, 1949
6. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha
7. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan pengambilan keputusan di keluarga masyarakat dan negara masih sangat terbatas.
8. Keterbatasan kelembagaan dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan dalam sektor pemerintahan dan non-pemerintahan (swasta)
9. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah.
10. Keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh perempuan sebagai media promosi dan eksploitasi murahan.
11. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lain.
12. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia dan membutuhkan perhatian bersama adalah :
1. masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.seperti dalam UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Imigrasi, UU Agraria dll.
2. Banyak terjadi tindak kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap kaum perempuan tanpa mendapat perlindungan hukum yang memadai.
3. Eksploitasi tutuh dan tindakan pelecehan seksual (pornografi dan pornoaksi) yang dilakukan dengan alasan seni atau parawisata.
4. Budaya kawin muda di kalangan masyarakat yang diikuti dengan tingginya tingkat perceraian yang dapat merendahkan martabat perempuan.
5. Budaya melamar dengan antaran dan maskawin yang mahal sehingga dapat menimbulkan persepsi seperti jual-beli perempuan.
6. Pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah atau bercampur aduk dengan budaya yang tidak berpihak pada perbaikan status perempuan. Seperti konco wingking : Surga nurut neraka katut
7. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja.
8. Pemaksaan dalam penggunaan kontrasepsi atau kurangnya jaminan bila terjadi komplikasi atau kegagalan yang memadai sehingga banyak merugikan perempuan.
9. Masih banyaknya penjualan perempuan dengan kedok peluang tenaga kerja.
10. Demikian makalah ini semoga bermanfaat. Amin…. Wallahu A’lam

REFERENSI :
Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Gender, Panduan Pelatihan Regional Pengarusutamaan Gender di Bidang keserhatan Reproduksi dan Kependudukan, Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, 2001
Gender dalam Islam, Booklet Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) : Yogyakarta, 2001.
Nazaruddin Umar, Perspektif Gender dalam al-Qur’an, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999
Leila Ahmed, Women dan Gender in Islam, New Haven & London : Yale University Press, 1978
Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, terjemahan Hartian Silawati, Yogyakarta, 1996
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Jakarta Gramedia, cet XII tahun 1983
Webster’s New World Dictionary, New York : Webster’s New World Clevenlan, 1984.

POLITISI BUSUK DAN ETIKA ISLAM

Menarik apa yang disampaikanYunus Yosfiah – mantan jenderal yang kini menjadi politisi di salah satu partai besar Islam—yang menyatakan bahwa mengumumkan politisi busuk bertentangan dengan etika Islam karena menurutnya mengumumkan politisi busuk sama saja dengan membuka aib seseorang, dan membuka aib seorang –apalagi seorang muslim- adalah perbuatan dosa sesuai dengan sebuah hadis : barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutup aibnya diakhirat kelak.
Pernyataan ini menjadi sangat menarik, terlebih ditengah suhu perpolitikan Indonesia yang sedang memanas. Tentu saja pernyataan itu menjadi sangat politis, ketimbang etis. Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada udang dibalik batu dibalik pernyataan itu, yaitu untuk menyelamatkan "muka" beberapa politisi yang memang mempunyai ”cacat akhlak" dan "cacat sosial"? terlebih pernyataan itu diutarakan ditengah gencar-gencarnya beberapa LSM dan tokoh politik untuk mengumumkan politisi busuk yang menjadi Calon Legeslatif.

Islam dan Etika
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan etika (akhlak) sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis : sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran etika.(HR. Ahmad)
Muhammad adalah orang yang sesempurna-sempurnanya etika, prilaku, tuturkata, sikap, kebijakan, keputusan dan pandangan serta ajarannya adalah mulia. Sehingga setiap orang Islam wajib untuk mengikuti jejak langkahnya untuk dijadikan suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebaliknya, Islam melarang umatnya untuk melakukan perbuatan mungkar yang tidak mempunyai akhlak yang luhur.

Penggunaan Ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi Politik
Harus diwaspadai akan banyak politikus atau partai politik –khususnya Partai Politik berbasis massa Islam -- yang menjadikan ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi politik. Tentu saja dua teks suci ini akan menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan dan menarik simpati hati umat Islam. Tentu saja, --menurut saja—politikus/partai politik seperti ini memakai teori Miccavelli yaitu menghalalkan segala asal tujuan tercapai. Tentu saja menjadikan ayat al-Qur'an atau Hadis dalam kampanye merupakan perbuatan rendah, hina. tercela sebagaimana firman Allah .:……dan janganlah kalian menjaual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah……

Bolehkah membongkar Aib Seseorang?
Pada prinsipnya, memang betul apa yang diungkapkan oleh Yunus Yosfiah bahwa mengumbar dan mengumumkan aib seseorang adalah perbuatan tercela karena membuat orang yang di bongkar aibnya itu tidak suka, tidak enak. Tetapi, jangan titik sampai disitu. Dalam khazanah pengetahuan Islam ada satu disiplin ilmu yang salah satu kajiannya adalah membongkar borok atau aib seseorang yaitu ulumul hadis (ilmu Hadis). Didalam ilmu ini ada satu bidang yang mengkhususkan diri untuk melakukan kritik terhadap perawi (transformer/orang yang meriwayatkan) hadis yang disebut ilmu jarh wa ta'dil. Jarh artinya melukai dan ta'dil adalah membenarkan. Ilmu ini membuka secara blak-blakan kemampuan ilmiah, sikap, prilaku, dan karakter seorang perawi baik sikap yang jeleknya (jarh) seperti pembohong, tidak adil, tidak jujur, suka memalsukan hadis, pelupa, suka menambah dan mengurangi hadis dll. maupun sifat baiknya (ta'dil) seperti : kuat hafalannya, adil, jujur, berakhlak mulia.
Yang menarik adalah ketika seorang perawi dinilai mempunyai kedua sifat yang berbeda – baik dan buruk—mana yang harus dikedepankan dan diutamakan?. Para ulama hadis sepakat untuk mengutamakan jarh daripada Ta'dil, artinya perawi itu dinyatakan busuk (marjuh), tidak berkompeten untuk meriwayatkan hadis. Tentu saja secara otomatis hadis yang diriwayatkannya tidak bisa diterima. Saking pentingnya ilmu itu sehingga Ibn al-Mubarak mengatakan bahwa ilmu ini merupakan bagian dari ajaran Islam (Shahih Muslim)
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Oleh karena itu diperlukan adanya pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadis, demi menjaga orsinilitas hadis, diperlukan suatu perangkat keilmuan yang dapat menditeksi terjadi pemalsuan terhadap hadis. Untuk itu lahirlah Ilmu jarh wa tah'dil merupakan piranti untuk menilai dan mengkritik orang-orang yang meriwayatkan hadis, sehingga dapat diketahui nilai hadis yang diriwayatkan. Dan terhindar dari perawi yang busuk.
Walaupun para perawi sangat maklum tentang adanya warning dari Nabi : jika seseorang berbuat dusta tentang aku dengan sengaja, hendaklah dia yakin dan bersiap-siap untuk ditempatkan didalam neraka. Namun, dalam kenyataannya, banyak juga orang (perawi) yang nekad untuk melakukan kebohongan atas nama Nabi dengan beberapa motivasi dan kepentingan yang berbeda, khususnya masalah politik.

Perlukah menerapkan Jarh wa Ta'dil untuk Caleg.?
Kalau dalam jarh wa ta'dil yang melakukan kritik terhadap para perawi hadis yang tujuannya untuk pemurnian hadis, untuk menghidarkan hadis dari kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, untuk menegakkan ajaran agama Islam. maka, demikian pula sama pentingnya jarh dan ta'dil harus dilakukan terhadap calon legeslatif kita untuk menyeleksi siapa saja calon legeslatif yang kompeten dan mempunyai integritas moral supaya betul-betul bersih, amanah, jujur dan terpercaya dan dapat melaksanakan amanat rakyat. Dengan terpilihnya calon legeslatif yang bersih, amanah, jujur, dan terpercaya dapat terwujud Indonesia Baru, pemerintahan yang legitimed, bersih dari KKN. Yang pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia yang baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur.

Penulis Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Dan wakil Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Azasi Manusia PUSKUM-HAM) UIN Jakarta

SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN HAM DI PERGURUAN TINGGI ISLAM

Pendahuluan
Kalau ditanya darimana istilah HAM itu berasal? Maka harus jujur kita katakana bahwa istilah itu berasal dari barat. Ingeris, Amerika dan Prancislah sebagai Negara peletak dasar HAM yakni mulai dari raja John Lackland (1199-1218) dimana kesewenang-wenangan raja Inggeris mendapat protes dari kalangan bangsawan. Protes itu melahirkan Magna Chatra (1215). Dalam piagam itu berisi agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Pada masa pemerintahan raja Edward I (1272-1307) lahir The Great Charter of Leberties yang isinya merupakan perluasan dari Magna Charta yaitu kebebasan bertindak bagi kota-kota, kebebasan perdagangan.. pada pemerintahan Edward II (1327-1377) lahir House of Lord (perwakilan kaum bangsawan) dan House of Commons (perwakilan Rakyat) dan ketika Willem III (1689-1702) lahir Bill of Rights (Bor) tepatnya tanggal 16 Desember 1689. rentetan peristiwa tadi merupakan peralihan kekuasaan dari tangan raja ke tangan parlemen. hal ini merupakan perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan demokrasi di Ingris dan sejak itu sistem pemerintahan parlementer mulai dilaksanakan.
Pertumubuhan HAM yang disebutkan diatas tadi sangat dipengaruhi oleh pandangan beberapa pakar yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ Rousseau. Setelah Ingris sukses menerapkan HAM, kemudian hal itu diikuti oleh Amerika. Yang pada tanggal 4 Juli 1776 mendeklarasikan Declaration of Independence of the USA disusul Perancis menceklarasikan Declaration des droits de'l Homme te du citoyen (pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara). Presiden Fanklin D Roosevelt menyatakan Four Freedom (empat kebebasan) :Freedom of speech and expression(kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat), Freedom of workship (kebebasan beragama) Freedom from fear (kebebasan dari rasa takut) dan Freedom from want (kebebasan untuk berkehendak). Kemudian PBB pata tanggal 10 Desember 1948 mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights.
Sedangkan di Indonesia, HAM sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, setidaknya dalam pemikiran Boedi Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu baik langsung maupun melalui pers, yakni Goeroe Desa. Demikian juga dalam Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Hatta, Sarekat Islam yang dipimpin oleh H. Agus Salim. Ketika merumuskan BPUPKI, masalah HAM juga sempat mewacana. Dan akhirnya sangat tergambar dalam primbun pembukaan UUD 45 yaitu pada kalimat : bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa…….
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan HAM mengalami dinamika. Diperiode awal kemerdekaan, HAM sangat mendapt tempat di kalangan para pemimpin bangsa, khususnya ditekankan pada hak untuk merdeka (self determination). Hal ini memberikan peluang kepada rakyat untuk mengekspresikan kebebasan berserikatnya melalui organisasi politik, sehingga pada masa itu begitu banyak partai politik yang muncul. Pada tahun 1950-an dimana Indonesia menjalankan demokrasi parlementer. Suasana demokrasi partementer memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri dibidang politik sangat bebas. Namun suasana bebas ini redup ketika Soekarno di tahun 59 menolak system demokrasi parlementer dan menggantikannya menjadi demokrasi terpimpin dimana kekuasaan terpusat dan berada dibawah gengamannya. Setelah kekuasaan Soekarno beralih ke Soeharto pada fase awal, ada semangat untuk menegakkan HAM. Namun pada fase tahun 1970-80 kenyataan berbalik arah dan mengalami kemunduran. HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Para elit penguasa beranggapan bahwa HAM merupakan produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pada fase ini banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat yang mengatasnamakan ketertiban dan kestabilan nasional. Tahun 1990-an arus berbalik lagi. Pemerintah yang tadinya represif dan depensif beralih ke akomodatif terhadap tuntutan penegakkan HAM. Tahun 1993 keluarlah KEPRES No 50/1993 tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah tentang pelaksanaan HAM. Ketika tumbangnya rezim Suharto tahun 1998 memberikan kesempatan kepada pemajuan dan perlindungan HAM. Indonesia melakukan ratipikasi terhadap instrument HAM Internasional dan akhirnya membuat UU HAM. Diantaranya :
1. UU No. 5/1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat,
2. UU No. 8/1999 tentang perlindungan Konsumen
3. UU No. 9/1998 tentang kebebasan Menyatakan Pendapat
4. UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen UU No. 25/1997 tentang Hukum Perburuhan
5. UU No. 19 / 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja.
6. UU No. 21/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan
7. UU No 29/1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan dalam sebala bentuk diskriminasi
8. UU No 39/1999 tentang HAM
9. UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers
10. UU No 26 tentang Pengadilan HAM
11. Kepres No 181/1998 tentang pendirian Komisi Nasional penghapusan Kekerasan terhadap Wanita
12. Kepres No 129/98 tentang Rencana Aksi Nasional HAM tahun 1998 – 2003
13. Kepres No 5/2001 tentang Pembenukan Pengadilan HAM Ad Hoc pda Pengadilan negeri jakrta Pusat
Disamping hal yang menggembirakan diatas, ternyata ada hal yang masih memprihatinakan kita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI ada sekitar 32 Undang-undang yang masih bias HAM. Oleh karena itu masih banyak hal yang harus dipelajari dalam HAM ini dan sangat signifikan HAM menjadi matakuliah di Perguruan Tinggi.

Kekhawatiran mempelajari HAM
Ada pertanyaan yang perlu kita renungkan dan mencari jawabannya dan terkadang membuat kita ragu-ragu untuk melangkah : Betulkah HAM itu produk barat, mengajarkan individualistik, dan bertentangan dengan karakteristik bangsa Indonesia? Memang, banyak sekali tokoh nasional kita yang masih berfikiran seperti itu, salah satunya adalah (alm) Hartono Mardjono yang menyatakan bahwa HAM semata-mata lahir dari pemikiran atau penggangan-anganan manusia, dengan sama sekali mengabaikan sifat fitrah yang senantiasa ada dan melekat pada diri dan jiwa setiap individu, yakni keimanan kepada adanya Allah dan hukum-hukum-Nya.[1] Lebih lanjut Hartono menyatakan bahwa HAM berpangkal pada paham bahwa tiap diri manusia menjadi pusat segala-galanya, artinya manusialah yang menentukan segalanya. Satu-satunya hal yang dapat membatasinya hanyalah kepentingan manusia itu sendiri secara keseluruhan (masyarakat atau orang lain). Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi nilainya dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi yang paling dihormati. Bagi Hartono, prinsip inilah yang kemudian melahirkan individualistik yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi telah melahirkan paham liberalisme dan kapitalisme. Setiap anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan yang sebebas-bebasnya (free fight competition).. dalam posisi ini tugas Negara hanya sebagai polisi lalulintas yang mengatur agar lancar dan tidak saling bertabrakan antara hak satu manusia dengan manusia lainnya. Dalam prakteknya, ternyata implementasi paham tersebut menimbulkan berbagai masalah diantaranya adalah tumbuhnya kesenjangan bahkan tidak jarang terjadi benturan antara yang lemah dengan yang kuat baik antar individu maupun antar kelompok.
Sebetulnya pemahaman seperti diatas ada benarnya jika yang menjadi "kacamata baca-nya" adalah teori radikal universal yang berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat unversal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah. Teori ini berpendangan bahwa hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tembat dan disembarang waktu dan dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Namun bagi penulis tidak demikian, kita bisa pisahkan mana nilai-nilai HAM yang harus bersifat universal dan mana nilai-nilai HAM yang bersifat partikular.
Disamping itu, kalau kita tarik lagi ke belakang, sebetulnya Islam sudah lebih dahulu memproklamasikan HAM dibandingkan dengan Ingeris, misalnya. Kita ketahui bahwa dalam Piagam Madinah telah tercantum beberapa prinsip-prinsip HAM diantaranya :
1. semua pemeluk Islam, walaupun berasal dari banyak suku, baik pendatang maupun penduduk asli Madinah merupakan suatu komunitas
2. hubungan antara sesame anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan komunitas lain, didasarkanatas :
a. bertetangga baik
b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. membela mereka yang teraniaya
d. saling menasehati dan konsultasi
e. menghormati kebebasan agama.[2]

Pentingnya Mempelajari HAM di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Ada beberapa masalah yang sangat urgent untuk diangkat dan dijadikan alasan mengapa pendidikan HAM perlu diberikan di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, diantaranya :
HAM merupakan bagian yang paling pokok dalam agama kita. seperti yang dituturkan oleh Tarmidzi Taher[3] bahwa pelaksanaan HAM dibidang agama pada intinya adalah bagaimana mewujudkan suatu kerukunan umat beragama, sehingga dapat tercipta suasana saling menghormati, menghargai, mempercayai serta saling kerjasama antara umat beragama yang berbeda. Tentu saja secara nasional, mempelajari HAM dapat menjauhkan dari disintegrasi bangsa.
HAM merupakan wacana global. Apabila kita tidak mengikutinya maka niscaya kita akan termarjinalkan dalam percaturan global. Contoh konkrit adalah ketika HAM menjadi senjata untuk melakukan bargain position ketika Negara-negara donor yang terhimpun dalam CGI, G-7 atau IMF dalam mengucurkan dana pinjaman ke Indonesia.
dalam penelitian-penelitian lembaga Internasional, acapkali nama Indonesia muncul sebagai Negara yang masuk dalam rekor paling tinggi melakukan pelanggaran HAM. Tentu saja pencitraan buruk terhadap Indonesia yang dianggap sebagai sebuah bangsa yang barbaris, biadab, tidak ramah dan tidak toleran. Akibatnya tentu saja akan sangat mengganggu sekali terhadap langkah dan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia
banyak persoalan yang masih memerlukan pengkajian khususnya masalah HAM dikaitkan dengan isu-isu keagamaan. Seperti masalah hukum hudud, atau hak-hak perempuan dalam Islam.
Perguruan tinggi merupakan wahana diseminasi yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang luhur diantaranya nilai-nilai HAM karena kampur merupakan tempat persemaian agent of change yang akan mentransformasikan perubahan-perubahan dan pencerahan di masa yang akan dengan cara yang pelan tapi pasti dan meyakinkan.
Banyak masalah atau muatan materi yang dikandung dalam HAM dan dimungkinkan dijadikan salah satu mata kuliah
Masalah HAM akan banyak membantu mahasiswa untuk memahami dan mempersiapkan diri untuk menjadi good citizenship dan dapat mewujudkan cita-cita terwujudnya masyarakat madani..

Cara melakukan Pendidikan HAM di Perguruan Tinggi
Menjadikan pendidikan HAM salah satu mata kuliah yang ditawarkan, syukur-syukur menjadi mata kuliah wajib (MKDU). Atau menjadi mata kuliah wajib pada fakultas atau jurusan tertentu seperti politik Islam di Syari'ah atau Ushuluddin. Perlu diketahui bahwa
menjadi salah satu sub-bagian dari mata kuliah tertentu seperti yang telah dilakukan oleh ICCE UIN Jakarta dalam Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
"disisipkan" dalam setiap mata kuliah sebagai bahan komparasi dari materi yang ada. Seperti dalam materi fiqh jinayah tentang hukuman mati, hadd zina, had pencurian, khadaf, hukuman bagi pelaku riddah. Dalam politik hukum Islam tentang Darul Islam, Darul Harbi, Kafir Harbi, Kafir Dzimmi, atau hak-hak perempuan dalam Islam yang berserakan dalam hamper setiap mata kuliah. Penulis telah melakukannya dalam mata kuliah Tarikh Tasyri, Praktek Hukum Islam di Indonesia, dan Hukum Perkawinan di Indonesia.
Adapun metodologi pengajaran yang paling tepat digunakan adalah dengan active learning. Diantara keuntungan mengajar memakai strategi ini adalah :
yang diajarkan adalah orang dewasa,
dalam proses mengajar, dihindarkan istilah menggurui tetapi hubungan dosen-mahasiswa sebagai mitra. Karena kata "menggurui" itu bermakna dosen sebagai orang yang paling tahu, paling bisa dan paling mengerti sedangkan posisi menerima, orang yang tidak tahu dan tidak mengerti.
yang menjadi target dari pendidikan HAM di Perguruan Tinggi bukan saja berada di ranah kognisi sebagai ilmu pengetahuan (memahami pengertian HAM, menganalisa sejarah perkembangan HAM, menjelaskan bentuk-bentuk HAM), atau ranah afeksi yang dapat menyadarkan mahasiswa tentang pentingnya HAM (menganalisa nilai-nilai HAM, memahami konsep HAM dalam perpektif agama-agama, menganalisa perundang-undangan yang tidak sensitif HAM), tetapi lebih masuk ke ranah konasi sehingga mahasiswa bukan hanya tahu dan sadar saja tetapi dapat melaksanakan HAM untuk dirinya dan orang lain, menjadi pelopor, penggerak dan berpartisipasi dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Demikianlah makalah ini sebagai sebuah pengantar untuk diskusi. Tentusaja konstribusi para peserta untuk mengoreksi, menyanggah dan memberikan ulasan, masukkan dan penjelasan lebih mendalam sangat diharapkan untuk lebih berbobotnya diskusi ini.
[1] Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1997. hal 37.

[2] Munawwir Sadjali, Penegakkan HAM dalam Pluralisme Agama : Tinjauan Konseptual, dalam HAM dan Pluralisme Agama. (Anshari Thayib : Ed) Jakarta : Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 49-50.

[3] Tarmidzi Taher , Prolog : HAM dan Pluralisme Agama, Jakarta : (Anshari Thayib : Ed) Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 3.