Thursday, February 1, 2007

BIAS JENDER DALAM LEMBAGA PERCERAIAN (Studi Perbandingan antara talak dan khulu’)

BIAS JENDER DALAM LEMBAGA PERCERAIAN (Studi Perbandingan antara talak dan khulu’)
Oleh : Yayan Sopyan, M.Ag


A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan syari’at Islam yang tujuannya bukan saja untuk menyalurkan instink seksual manusia dan meletakkannya pada jalan yang benar, tetapi berfungsu juga sebagai sarana reproruksi manusia untuk mengagungkan asma Allah sesuai dengan tugas manusia :
wamaa khalaktul jinna wal ins illa liya’budun
Nabi mengajurkan umatnya untuk menikah : annikahu sunnati waman raghiba an sunnatii falaisa minni (nikah adalah ajaranku, barangsiapa yang tidak mengikuti ajaranku maka ia bukan umatku). Dari hadis lain diriwayatkan bahwa nikah disamping untuk menyalurkan keinginan biologis manusia, juga untuk memperbanyak umat. Demikian juga dengan hadis Nabi dari Amru bin Ash : dunia itu adalah harta benda, dan sebaik-baiknya harta benda dunia adalah perempuan yang saleh. (HR Muslim)
Dalam menjalankan perkawinan suatu keluarga harus dijalani dengan konsep mawaddah wa rahmah, saling cinta mencintai, saling mengasihi, saling memberi dan menerima, saling terbuka. Sehingga diqiyaskan dalam al-Qur’an bahwa tali perkawinan sebagai mitsaqan galidha (ikatan yang kuat)[1]
Terkadang, dalam menjalankan bahtera rumahtangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalah fahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya. Terkadang, percekcokan itu perlu ada ditengah dinamika keluarga sebagai bumbu penyedap keharmonisan dan variasi, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.
Namun, ada juga keluarga ada yang tidak dapat mengatasi problematika ini. Percikan api yang di munculkan oleh salah satu pasangan, oleh pasangan lain disiramnya dengan minyak sehingga terjadilah kebakaran hebat. Yang menyebabkan mahligai rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila dipertahankan keutuhan rumah tangga, baik suami maupun isteri akan mengalami penderitaan. Dimana masing-masing pasangan merasa teraniaya oleh yang lainnya. Kalau dibiarkan akan menimbulkan permusuhan, dan menanamkan bibit kebencian antara kedua orang tersebut, bahkan bisa merembet ke permusuhan antara kedua keluarga besar masing-masing.
Dalam kondisi seperti ini, Islam memberikan jalan keluar yang baik yakni adanya lembaga perceraian guna mencegah kerusakan lebih parah dari kedua pasangan tersebut. Supaya aniaya pendhaliman terhadap pasangan tidak terjadi, jadi untuk menghindarkan kerugian yang lebih besar. Sehingga prinsip perceraian adalah : abghadul halal indallahi aththalaq…..[2] mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak. Dalam sejarah, Rasulullah pernah menceraikan Hafsah, namun ditegur Allah, kemudian dirujuk kembali.[3]
Talak merupakan persoalan yang sangat serius, untuk itu perlu keseriusan dalam memutuskannya. Banyak hadis yang meriwayatkan kutukan bagi orang yang menghasut supaya hubungan perkawinan orang lain putus,[4] laki-laki yang mempermainkan talak[5], atau perempuan yang meminta talak dari suaminya dengan alasan yang tidak tepat[6].

B. Perceraian Sebelum Islam.
Dalam agama Yahudi, seorang suami boleh mentalak isterinya dengan sewenang-wenang tanpa alasan yang jelas, misalnya menginginkan kawin lagi dengan wanita yang lebih cantik dari isterinya. Namun, alasan seperti ini dipandang tidak baik. Dalam agama Yahudi, alasan yang tepat untuk menceraikan adalah :
1. isteri mempunyai cacat badan seperti : rabun,, Juling, bau nafasnya, bungkuk, pincang, mandul dan semua yang termasuk dalam cacat fisik.
2. Cacat ahlak seperti : tidak mempunyai rasa malu, banyak bicara, jorok, pemboros, serakah, rakus, suka ngomel. Sedangkan zina merupakan alasan yang paling kuat untuk bercerai.[7]
Dalam agama Kristen perceraian terdiri dari dua hukum :
1. Katolik : Mengharamkan perceraian secara mutlak. Alasannya adalah Injil Markus Pasal 10 ayat 5 dan 6 : …sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikanlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”.
2. Aliran Ortodok dan Protestan membolehkan perceraian secara terbatas. Asal alasan utamanya adalah perzina. Namun setelah terjadi perceraian, baik suami maupun isteri tidak boleh lagi menikah dengan orang lain. Alasannya adalah Injil Matius Pasal 5 ayat 22-23 : barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zina, berarti membuat ia zina. Dalam Injil Markus Pasal 10-11 :
barang siapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, berarti ia berzina dengan perempuan itu. Dan perempuan yang cerai dari suaminya, lalu kawin dengan laki-laki lain, berarti zina dengan laki-laki itu.

Dalam masyarakat Jahiliyyah, seorang suami besikap seenaknya terhadap isterinya. Ia bebas menceraikan isterinya, kapan saja dan dimana saja dan bebas pula untuk merujuk kembali isterinya kapan saja, dimana saja tanpa ada batasan. Bahkan prilaku seperti ini masih ada ketika Muhammad sudah diutus menjadi Rasulullah. Ada sebuah peristiwa yang menjadi latar belakang sejarah (asbab an-Nuzul) turunnya surat Al-Baqarah ayat 229 diriwayatkan oleh Aisyah :
…. laki-laki dengan sesuka hati dapat menceraikan isterinya. Perempuan yang diceraikan itu masih tetap menjadi isterinya kalau dirujuk di waktu iddahnya, sekalipun sudah disecraikan seratus kali atau lebih. Sehingga seorang lelaki ada yang berkata kepada isterinya,”demi Allah! Aku tidak akan menceraikan kamu dengan arti betul-betul engkau lepas dariku dan akupun tidak akan tidur bersamamu selama-lamanya”. Lalu ia bertanya, Bagaimana bisa begitu? Jawabnya, “aku ceraikan kamu. Kalau iddahmu hampir habis, aku rujuk kembali. Dan begitu seterusnya…. Kemudian perempuan itu datang ke rumah Aisyah dan menceritakan kepada Rasulullah, tapi Rasulullah diam saja hingga turunlah ayat : atholaqu marrotaani…[8]

Hukum Perceraian
Cerai secara bahasa adalah :cerai bahasa Arabnya talak berarti melepaskan ikatan. Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan. Hukum asal perceraian adalah makruh berdasrkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar: sesuatu halal tetapi dibenci Allah ialah talak (Ibn Majah)[9]
Perceraian, dilihat dari kemaslahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi empat macam :
wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri, sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai.
Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.[10]
Haram, (bid’ah) dalam dua keadaan, pertama menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.[11]
Talak bisa dilakukan dengan empat cara, yaitu dengan lisan[12], dengan tulisan[13] dengan isyarat[14] dan dengan mengirim utusan.[15]

Macam dan Bentuk Perceraian
Secara umum perceraian dalam fiqh Islam terbagi dua yaitu Talak dan Fasakh. Setiap perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami disebut talak, sedangkan yang timbul dari pihak isteri disebut fasakh. Abdurrahman Taj, dalam bukunya ahkamu al-ahwal al-syaksiyyah al-Islamiyah[16] mengklasifikasikan perceraian atas :
1. Thalak yang terjadi karena keputusan hakim, yang masuk dalam katagori ini adalah :
li’an
perceraian dengan sebab aib suami, seperti suami mengalami impotensi.
Perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam
2. Talak yang terjadi tanpa putusan hakim, yang termasuk dalam katagori ini adalah :
talak biasa, yaitu talak yang diucapkan suami baik dengan lafadz sharih maupun kinayah
ila’[17]
Dhihar
perceraian karena murtadnya suami
3. Fasakh yang terjadi karena putusan hakim, yang termasuk dalam katagori ini adalah :
fasakh dengan sebab perkawinan anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur oleh wali yang bukan bapak atau kakeknya. (ghairu bulugh)
Fasakh dengan sebab perkawinannya dalam keadaan gila, yang walinya bukan bapak atau kakeknya (ghairu ifaqah)
Fasakh dengan sebab tidak sekufu (ghairu kafa’ah)
Fasakh dengan sebab kurangnya maskawin dari mahar mitsil
Fasakh dengan sebab menolaknya isteri masuk Islam
Fasakh dengan sebab menolaknya suami masuk Islam
4. Faksakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim
fasakh dengan sebab merdekanya isteri (jika isteri budak)
fasakh dengan sebab salah satu pihak dari suami isteri menjadi milik orang lain (jika salah satu atau keduanya budak)
fasakh dengan sebab ada hubungan mushaharah (semenda) antara suami-isteri
fasakh dengan sebab nikahnya fasid sejak semula, seperti tidak disaksikan oleh dua orang saksi
fasakh dengan sebab riddahnya suami.

Kalau dikaitkan dengan Undang-undang Perkawinan, maka putusnya perkawinan itu ada tiga sebab yaitu : Kematian, Perceraian[18], dan keputusan pengadilan[19].
Mengingat terbatasnya masalah yang akan dibahas maka dalam makalah ini hanya akan dibahas dan dibandingkan dua jenis perceraian yakni cerai talak yang berasal dari suami dan khulu’ yang datang dari isteri dikaitkan dengan hak dan akibat hukum dari kedua bentuk perceraian, dan guna melihat keadilan gender dalam lembaga perceraian.

Talak
Talak menurut bahasa berasal dari kata itlaq, artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam Istilah fiqh adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.[20] sehingga talak berarti suami memutuskan ikatan perceraian dengan isterinya dengan kalimat tertentu yang dimaksudkan untuk melepaskan ikatan perkawinan. Kata itu bisa memakai kalimat yang sharih (dengan perkataan yang jelas) seperti memakai kata : “saya cerai engkau” atau “saya jatuhkan talak untukmu”. Bisa juga memakai kalimat majazi misalnya “aku pulangkan engakau”.
Dalam doktrin fiqh, tidak dijelaskan secara rinci apa saja yang dapat dijadikan alasan talak. Namun suatu alasan yang mungkin dikemukakan suami untuk menjatuhkan talak kepada isterinya bahwa ia merasa tidak senang lagi kepada isterinya. Tentu saja alasan tidak senang itu bisa objektif, bisa juga subjektif. Artinya, tidak ada alasan yang diwajibkan kepada suami dalam menjatuhkan talak kepada isterinya, maka seorang suami bisa saja menceraikan isterinya tanpa disertai alasan.[21]

Macam Talak
A. Secara garis besar, dilihat dari boleh/tidaknya dirujuk talak terbagi dua:
1. Raj’I yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak, suami tidak memerlukan persetujuan isteri.
2. Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian
Ba’in sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’I sehingga menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikahi dengan mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri melalui prosedur khulu’ . dalam talak ini si suami tidak boleh kembali dengan isterinya, kecuali dengan akad baru.
Ba’in kubro, talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini terjadi karena, misalnya li’an.
A. Dari segi keadaan suami, terbagi menjadi talak mati, dan talak hidup
B. Dari segi proses/prosedur terjadinya terbagi tiga
talak yang dilakukan langsung oleh suami
talak tidak langsung, yang memutuskan adalah hakim
talak tidak langsung, yang memutuskan adalah hakamain
C. Dari segi baik/tidaknya ada
a. talak sunni, jika suami menjatuhkan talak ketika si isteri dalam keadaan suci dan belum digauli.
b. talak bid’I, jika suami menjatuhkan talak ketika si isteri dalam keadaan haid/nifas, atau dalam keadaan suci tetapi sudah digauli.

Akibat Hukum Talak
Akibat jatuhnya talak terhadap isteri, maka akan muncul peristiwa hukum seperti dibawah ini :
1. Haramnya hubungan badan. Hubungan badan yang tadinya halal menjadi haram, jika dilakukan ketika isteri habis masa iddahnya dan tidak dinikah lagi dengan akad baru. Namun jika dilakukan sebelum iddah habis maka boleh, hal ini merupakan tindakan rujuk dengan perbuatan.
2. Adanya masa iddah bagi isteri. Selama iddah si suami mempunyai hak prerogatif untuk merlakukan rujuk pada isterinya, suka atau tidak suka, dengan persetujuan isteri ataupun tidak. Dengan perkataan, maupun dengan perbuatan (melakukan hubungan seks) di massa iddah.[22] Tanpa perlu izin wali atau menghadirkan saksi.[23] Illat adanya masa iddah adalah untuk mengetahui apakah dalam rahim si isteri terdapat jabang bayi dari hasil hubungannya sebelum perceraian terjadi (li baro’ah al-rahm)
3. Sebagai konpensasi dari talak, si isteri mendapatkan biaya hidup selama jangka waktu iddah raj’I, yakni berhak untuk mendapatkan termpat tinggal (di rumah suaminya), makanan, pakaian (baju) menurut yang ma’ruf.[24]
4. Isteri mendapatkan mut’ah dari suaminya. Mut’ah adalah pemberian dari suami berupa sesuatu untuk menggembirakan isterinya sebagai konpensasi dari perceraian. Hal dijelaskan dalam surat al-Baqarah 241.
5. Apabila si suami meninggal dalam jangka waktu iddah isteri, maka isteri masih mendapat warisan dari bekas suaminya, asalkan talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i.

Khulu’
Pada prinsipnya, talak itu adalah milik mutlak suami. Artinya hanya suamilah yang berhak menceraikan. Andai isteri mau cerai dengan suaminya maka ia harus meminta persetujuan (membujuk) suaminya,[25] biasanya permintaan itu diikuti dengan konpensasi agar supaya suami mau melepas haknya. Perceraian seperti ini disebut khulu’.[26] Perceraian ini terjadi berdasarkan persetujuan kedua belah pihak dari suami isteri sebagai usaha penyembuhan kehidupan perkawinan yang menderita gangguan, baik disebabkan oleh salah satu pihak maupun kedua-duanya.[27] Sedangkan konpensasi yang diberikan oleh isteri kepada suaminya bisa berbentuk maskawin yang dulu ketika nikah diberikan, atau dengan benda lain yang harganya lebih mahal atau lebih murah dari maskawin. Konpensasi itu dalam terminologi fiqh disebut iwadh sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 229.[28]

Akibat Hukum Khulu’
Adapupn akibat hukum dari adanya khulu’ adalah :
1. adanya tebusan yang harus dikeluarkan oleh isterinya berupa benda, bisa maskawin, bisa benda yang lebih murah dari maskawin, atau yang lebih mahal tergantung pada kesepakatan suami.
2. Talak tebus ini boleh dilakukan baik dalam keadaan suci amaupun dalam keadaan haid, karena biasanya talak tebus itu terjadi dari kehendak dan kemauan isteri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa ia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang. Apalagi biasanya talak tebus itu tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahanannya lagi.
3. Perceraian yang dilakukan dengan talak tebus ini berakibat jatuhnya talak bain sugro yakni bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah talak sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru.
4. Talak tebus tidak boleh lahir karena kehendak suami atau tekanan suami. Karena hal ini berarti paksaan kepada isteri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan suami dan kalau suami yang ingin bercerai atau suami benci kepada isterinya, ia dapat bertindak dengan cerai talak, sebab talak itu ada dalam kekuasaannya.[29] sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa : 20[30]

Perceraian di Pengadilan Agama : Studi Komparatif antara Cerai Talak dan Cerai Gugat
Prinsip yang dipakai di pengadilan adalah mempersulit terjadinya perceraian dan untuk memungkinkan terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan persidangan. Karena perundang-undangan hanya mengakui bahwa perceraian itu hanya ada, sah dan mempunyai kekuatan hukum kalau terjadi di pengadilan.[31]
Dilihat dari orang yang mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat.

Cerai Talak
Cerai talak adalah talak yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak suami. Sehingga, cerai talak dimasukkan dalam katagori perkara permohonan bersifat voluntair,[32] artinya perkara yang tidak mempunyai lawan (hanya satu pihak) sementara isteri dianggap bukan pihak lawan karena tidak mempunyai hak.[33]
Pada masa awal UU Pekawinan di sahkan, seperti yang tersurat dalam PP 9/75 sangat jelas dan kental sekali doktrin fiqhnya : Apabila suami mau menceraikan isterinya, ia cukup memohon/mengajukan surat kepada Pengadilan ditempat tingalnya, yang berisi permberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (pasal 14 PP. 9/1975) kemudian, Pengadilan hanya mengundang suami dan isteri dalam persidangan dan hakim hanya hadir untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14…….. (pasal 16). Dalam perkara cerai talak ini, Pengadilan tidak membuat keputusan, hanya menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. (pasal 70 ayat (3) kemudian pengadilan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak di depan sidang[34]. Dan suami dapat mengikrarkan talak baik isteri/wakil isterinya hadir atau tidak hadir (pasal 70 (5). Kemudian setelah sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut untuk keperluan pencatatan perceraian (pasal 17 PP 9/75), atas penetapan ini tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi[35]
Kemudian, prosedur seperti yang di jelaskan dalam PP 9/75 ini dihapus oleh SEMA bahwa dalam perkara cerai talak dan izin poligami, isteri –walaupun bukan pihak dalam suatu sengketa – tetapi harus dianggap pihak. Disini terjadi penyimpangan prosedur yakni :
1. Seharusnya dalam perkara permohonan tidak mempunyai pihak, tetapi dalam kasus cerai talak dan izin poligami, isteri harus dianggap menjadi pihak lawan.[36]
2. hasil akhirnya adalah penetapan biasanya berbentuk penetapan. Namun dalam dua kasus itu, walaupun bentuk awalnya adalah permohonan tetapi hasil akhirnya adalah putusan..[37]
3. kalau permohonan hasil akhirnya adalah penetepan, maka penetepan itu tidak bisa melakukan upaya hukum banding atau kasasi. Sedangkan dalam dua perkara ini karena hasil akhirnya adalah putusan, maka isteri bisa melakukan upaya banding/kasasi atas putusan pengadilan.[38]
Sedangkan bentuk talak yang biasanya di jatuhkan adalah talak raj’I (talak yang dapat dirujuk), kecuali kalau terjadi akumulasi penjatuhan talak sampai tiga kali, maka akan menjadi talak ba’in.[39]

Cerai Gugat
Di pengadilan agama permintaan cerai yang datang dari isteri disebut dengan cerai gugat. Namun, -tidak seperti dalam doktrin fiqh- setiap permohonan cerai yang diajukan oleh isteri itu tidak harus selalu berbentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran iwadh. tetapi dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan yakni Pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9/1975 pasal 116 dan 51 KHI, yaitu :
1. suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Suami meninggalkan isteri selama 2 tahun tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Suami mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak isteri
5. Suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami.
6. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar taklik talak dan atau perjanjian perkawinan
Dalam prosedur pengajuan perkara dikatagorikan sebagai perkara gugatan yang sifatnya kotentiosa, dan hasil akhirnya adalah sebuah putusan hakim. Terhadap putusan ini masing-masing pihak dapat mengajukan upaya hukum banding/kasasi.
Dalam gugatan perceraian apabila ternyata penyebab perceraian itu timbul dari suami atau tidak dapat diketahui dengan pasti maka perkawinan itu diputuskan dengan talak bain. Jika penyebab itu timbul dari isteri maka perkawinan itu diputuskan dengan khulu’, sehingga isteri wajib membayar iwadh yang besarnya ditentukan oleh hakim secara adil dan bijaksana. Sedangkan talak yang dijatuhkan berbentuk talak bain. Selanjutnya Pengadilan memberikan putusan.Terhadap putusan ini, suami berhak untuk mengajukan banding/kasasi selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai tu memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, diberitahu kepada pihak yang berperkara (suami-isteri) dan diberikan akta cerai paling lambat 7 hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bias Jender
Dalam doktrin fiqh, bahwa laki-lakilah yang mempunyai hak mutlak dalam perceraian itu. Ia berhak menceraikan isterinya dengan atau tanpa alasan[40]. Dan si isteri tidak mempunyai hak pembelaan terhadap dirinya seperti menolak kehendak suaminya atau hak lain, ia harus menerima apa yang dikehendaki suaminya, suka atau tidak suka. Alasannya adalah karena suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah isteri, anak-anak dan kewajiban lainnya.[41] Alasan yang lain adalah karena suami mempunyai sikap rasional sedangkan isteri bersifat emosional.[42] Benarkah demikian?
Sebetulnya, doktrin talak itu milik suami merupakan doktrin yang tidak jelas landasan hukumnya. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga adalah sama dan sejajar.[43] Doktrin ini muncul karena pada waktu Islam diturunkan, budaya Bangsa Arab pada saat itu sangat kental sekali dengan budaya patriarkhi.
Walaupun dalam masa Iddah isteri mendapat hak-hak tertentu seperti mut’ah, dan nafkah berupa makanan, tempat tinggal, dan pakaian[44], tetapi hal itu merupakan “imbalan” dan kembali untuk kebutuhan suami yakni :
1. Suami mempunyai hak prerogatif untuk melakukan rujuk kembali kepada isterinya selama masa iddah, dengan atau tanpa persetujuan isteri.
2. Masa iddah adalah masa penantian dan kepastian apakah rahim si isteri itu bersih dari sperma suami dari persetubuhan yang halal? (li baroatir Rahmi). Kalau ada dan tumbuh janin, maka janin itu adalah milik suaminya.
Refleksi dari doktrin “cerai adalah milik mutlak suami” di Indonesia dapat terlihat dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya : UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama khususnya pasal 65 – 72 yang membedakan cerai berdasarkan orang yang mengajukannya yakni cerai talak yang berasal dari suami dan cerai gugat yang berasal dari isteri[45].
Dari aspek tempat talak itu dijatuhkan, para jumhur ulama sepakat bahwa talak bisa diucapkan dimana saja, kapan saja, dalam keadaan serius atau bercanda, ada saksi atau tidak ada saksi[46]. Tentu saja dari pemikiran seperti ini akan banyak merugikan perempuan dan anak-anak yaitu sangat terbuka sekali akan terjadinya talak liar (cerai dibawah tangan). Sementara pendapat ulama Syi’ah, perceraian tidak sah bila tidak diucapkan didepan persidangan di Pengadilan. Demi kemaslahatan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak, kiranya ulama Indonesia yang merumuskan UU Perkawinan dan KHI melakukan talfiq. Namun sangat disayangkan, sebagian besar ulama – khususnya di daerah – tidak bisa menerima pendapat ini. Bagi mereka talak yang dijatuhkan disembarang tempat dan sembarang keadaan itu adalah sah berdasarkan sebuah hadis :
Tsalatsun jiddu hunna jiddun wa hazluhunna jiddun : Athalaqu, wannikahu warruju’
Timbul pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama, kalaulah talak itu bisa jatuh disembarang tempat dan sembarang keadaan : masa suatu perkawinan yang awalnya (akad nikah) dilaksanakan secara serius, khidmat, sakral mempersyaratkan ada wali, ada dua orang saksi yang adil, bahkan tidak jarang dihadiri oleh sanak saudara dan handai taulan, masa ketika berakhir (cerai) bisa dengan begitu saja bahkan dalam keadaan bercanda pun sah, tanpa adanya saksi atau wali?
Terkadang para ulama fiqh suka bersikap tidak konsisten, misalnya saja dalam permasalahan umum, ulama memandang bahwa perempuan itu mahluk yang lemah, setengah laki-laki, emosional, mendahulukan hawa nafsu ketimbang akal fikiran yang sehat.[47] Tetapi ketika dalam merumuskan akibat perceraian, apabila dari laki-laki yang menjatuhkan talak maka jatuh lalak raj’i dimana dengan talak itu ia diberikan hak untuk rujuk sebagai wahana ralat, koreksi atau instrospeksi sebanyak dua kali, tetapi apabila perceraian itu datangnya dari pihak isteri, maka akibatnya adalah jatuh talak ba’in dimana dengan talak itu tidak diperbolehkan ralat, atau koreksi dan tidak bisa melakukan rujuk kepada bekas suaminya. Ia bisa kembali dengan bekas suaminya itu hanya dengan melakukan perkawinan dengan akad baru, bukan memakai lembaga rujuk seperti suami. Kalaulah para ulama fiqh itu konsisten, maka seharusnya talak yang dari isteri itulah yang talak raj’i karena keputusannya berdasarkan keputusan yang emosional, buru-buru dan kurang pertimbangan sesuai dengan karakteristik perempuan yang digambarkan mereka.
Hak rujuk. Selama masa iddah, perkawinan yang sudah diputus itu boleh ralat, institusi ralat itu disebut dengan rujuk. Rujuk adalah kembalinya mantan suami kepada mantan isterinya yang sudah diceraikan dalam kurun waktu iddah. rujuk, menurut jumhur ulama harus dilakukan dengan perkataan dan perbuatan. Perkataan, yakni dengan mengungkapkan kehendaknya suami untuk kembali kepada mantan isterinya, baik isteri itu setuju maupun tidak terdap rujuk itu. Perbuatan dengan melakukan wathi. Bahkan ulama Hanafi, dan Maliki berpandangan bahwa rujuk dapat dilakukan dengan pekerjaan tanpa adanya perkataaan, artinya suami dapat melakukan wathi terhadap isterinya tanpa harus mengatakan rujuk (apalagi meminta izin)[48]. Adapun alasan yang dibangun oleh para ulama adalah : rujuk adalah hak mutlak suami, isteri tidak bisa mempunyai hak inisiatif rujuk. Oleh karena rujuk itu sendiri ada ketika perceraian ada, maka kalau perceraian adalah hak mutlak suami, maka demikian pula dengan rujuk.
Lagi-lagi persoalan ini sangat bias jender, seharusnya isteri juga punya hak untuk menentukan apakah ia mau untuk kembali lagi (dirujuk) oleh mantan suaminya atau tidak? Hal ini perlu diberikan karena ia sendiri yang tahu karakteristik suaminya, dan ia sendiri yang telah mengalami suka dan duka, serta pahit getirnya perjalanan rumah tangga terdahulu dengan (bekas) suaminya itu.
Solusi
Gambaran al-Qur’an tentang kedudukan perempuan dan laki-laki, antara suami dan isteri adalah sama dan sejajar sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah 228 : dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya (terhadap suami) menurut cara yang ma’ruf…[49]
Dari ayat itu mengisyaratkan pada kita bahwa Allah mendudukkan laki-laki dengan perempuan itu dalam derajat yang sejajar dan setara. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal salah satu obsesi al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan didalam masyarakat, dan masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan maupun yang berdasarkan jenis kelamin.[50]
Suami mempunyai hak mutlak dalam perceraian merupakan budaya patriarkhi yang harus dengan sesegera mungkin ditinggalkan. Untuk menyelesaikan ketidakadilan dalam perceraian diperlukan solusi dan terobosan hukum, diantaranya ;
1. Perceraian hanya terjadi, dan sah jika diucapkan dimuka pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan (Agama) setelah Pengadilan (Agama) tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Karena dengan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan perceraian di luar pengadilan(perceraian liar) jelas-jelas tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk perempuan.
2. Perceraian bukan lagi milik suami atau milik isteri. Pengadilan sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan pemerintah bisa mengambil hak cerai dari suami. Sehingga bila suami atau isteri yang menginginkan perceraian, harus mengajukan ke Pengadilan. Biarlah pengadilan yang memutuskan dan menimbang dengan cermat apakah perceraian itu perlu dikabulkan atau tidak, tanpa melihat siapa yang mengajukan perceraian suamikah atau isteri. seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI : pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding atau kasasi. Namun perlu dicatat disini bahwa untuk menjamin keadilan dan kewibawaan hukum, Pengadilan Agama memerlukan hakim-hakim yang berwawasan (khususnya wawasan Gender), cakap, jujur, dan bijaksana.
3. Menghapuskan istilah cerai talak dan cerai gugat, yang ada hanya cerai saja. Sebetulnya apa yang berlaku di pengadilan sudah menedekati sempurna, namun kiranya Pengadilan Agama terjebak dalam dua kubu yang bertentangan yakni disatu pihak ingin mengangkat harkat derajat perempuan hingga setara dengan laki-laki, tapi dipihak lain ada ketakutan apabila menghlangkan doktrin fiqh. Maka lahirlah dua istilah, cerai talak untuk suami dan cerai gugat untuk isteri, walaupun prosedur pemeriksaan dan putusan akhirnya sama.
4. Hakim di Pengadilan Agama diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan/memutuskan bentuk cerai apakah yang paling cocok dalam perkara yang sedang dihadapinya apakah putusan cerai, raj’i atau bain, berdasarkan kemaslahatan kedua belah pihak. Seperti kalau si suami jelas-jelas berperangai buruk dan membahayakan isteri, dengan telah melakukan penganiayaan berat misalnya, maka hakim harus menjatuhkan talak bain.
5. Perlu sosialisasi hukum perkawinan, khususnya untuk perempuan. Dilihat dari realitas dilapangan bahwa di perkotaan seperti di Jakarta kesadaran Isteri terhadap hak talak sudah tinggi (65-70% cerai gugat, 35-30% cerai talak) dibanding dengan tingkat perceraian di Kabupaten Indramayu atau Majalengka yang terbalik (80% cerai talak, 20%cerai gugat).[51]


Referensi :
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Baerut : Darul Kutub al-Ilmiyah,, t.t.
Anderson, JND, Islamic Law in the modern World, Westport : CT. Greenwood Press Inc. 1975
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1993
Bukhari, Muhammad Ismail, Shahih Bukhari, Baerut : Darul Fikr, tt
Coulson, A. History of Islamic Law, Edinburgh, Edinburgh at the University Press, 1964
CD ROM, maktabah al-kutub as-sittah.
Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laporan Studi Kebijakan dalam Rangka Penyajian dan Perbaikan Undang-undang Perkawinan, 2000
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontermporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta : INIS, 2001
Muslim, Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo : Al-Halabi wa Auladuh, t.t
Nazaruddin Umar, Perpektif Jender dalam al-Qur’an, Disertasi Doktor, 1999
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, jilid, II.
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr : 1990 juz II
Al-Syairazi Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al Fairubady, Muhadzab Mesir : Matha'ah Isa alBab al-Halby wa-Ayarakah,tt Juz II

[1] An-Nisa : 21
[2] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Hakim.
[3] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i
[4] Laitsa minna man khabbaba imroatan ala zaujiha, bukan dari golongan kami, seorang yang merusak hubungan perempuan dengan suaminya (HR. Abu Dawud dan Nasa’I). Dalam hadis lain diriwayatkan janganlah seorang perempuan minta agar saudaranya diceraikan, karena ingin untuk mencari kesempatan supaya dia dikawini. Sesungguhnya hanyalah ia akan mendapatkan apa yang menjadi takdirnya saja.
[5]Bunyi hadisnya sebagai berikut : Tsalathun jidduhunna jiddun wa hajluhunna jiddun, an-nikaahu, wath-thalaqu, war-ruju’ (HR. Bukhari-Muslim) artinya : Ada tiga persoalan yang seriusnya merupakan hal serius, dan bercandanya juga merupakan hal yang serius yakni : nikah, talak, dan rujuk.
[6] Perempuan yang manapun yang minta cerai dari suaminya tanpa alasan yang tepat, maka haram baginya bau surga. (HR. Ashabu as-Sunan, dan disahkan oleh Turmudzi)
[7] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, jilid, II. Hal 13.
[8] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr : 1990 juz II, hal 331-332.
[9] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis No. 2008 lihat juga Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis No. 1863
[10] Pernyataan ini berdasarkan sebuah hadis yang menceritakan bahwa ada seorang suami mengadu kepada Rasulullah bahwa isterinya tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya. Maka Jawab Rasulullah : Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu. Lihat Muhazzab Juz II hal 78
[11] hal ini berdasarkan sebuah hadis : suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepata isterinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian ia haid kembali, kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, boleh ia teruskan pernikahan sebagaimana yang lalu, atau jika menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu (riwayat : Mutafaq alaih)
[12] yakni dengan memakai lafadz yang sharih (jelas) yaitu memakai kata-kata yang jelas seperti kata cerai atau talak. Dan memakai lafadz kinayah (majaz) yakni memakai kata sindiran, seperti pulanglah engkau…
[13] talak dengan tulisan adalah talak yang dilakukan seoran suami kepada isterinya dengan media tulis.bisa dilakukan baik si suami tidak bisa bicara maupun bisa. Jauh dari isterinya maupun dekat dengan syarat tulisan itu berbekas (dapat dibaca), dan jelas tujuannya yaitu ditujukan kepada isterinya.
[14] Talak dengan isyarat hanya sah apabila dilakukan oleh orang yang bisu, karena tidak ada cara lain, kecuali dengan isyarat. Para ulama menyaratkan bahwa orang bisu bisa melakukan talak dengan isyarat apabila ia tidak bisa tulis baca. (lebih lanjut baca Fiqh sunnah juz VII hal 44)
[15] talak dengan utusan yaitu suami mengirim seorang utusan kepada isterinya yang jauh bahwa ia telah menjatuhkan talaknya. Si utusan berlaku dan bertindak atas nama suaminya. Lebih lanjut baca Sayyid Sabiq, Fiqh sunnah, juz vii hal 36
[16] terbitan Darul Kutuub Mesir, 1955 hal. 186
[17] ila’ adalah salah satu talak warisan Jahiliyah yaitu dengan tindakan suami yang bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya. Dengan sumpah itu berarti seorang isteri telah ditalak suaminya. Ketika Islam masuk, hukum Ila’ diperbaharuhi, Islam ingin meletakkan perempuan dalam posisi yang terhormat, sehingga tidak terjadi perceraian yang semena-mena. Ila yang tadinya tidak terbatas, menjadi dibatasi selama 4 bulan saja. Setelah 4 bulan suami harus memilih antara kembali kepada isterinya (dengan menyetubuhinya lagi) setelah sebelumnya membayar kafarat sumpah atau mentalak isterinya. Dasarnya adalah Firman Allah surat al-Baqarah 226 : ….kepada orang-orang yang mengila’ isterina diberi tangguh emapat bulan lamanya, kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang”. Kafarat yang harus dibayarkan adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakian, memerdekakan seorang budak, atau puasa selama tiga bulan berturut-turut.
[18] Terdiri dari tiga bentuk, yang berasal dari suami, yang berasal dari isteri dan yang berasal dari kedua belah pihak. Cerai talak berasal dari suami. Selain cerai talak ada perceraian yang datangnya dari suami yakni ila’ dan dzihar. Sedangkan cerai gugat datangnya dari isteri. Selain cerai gugat, cerai yang datangnnya dari isteri adalah tafwidh. Ada juga perceraian berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yaitu khulu’ dan mubara’ah.
[19] Perceraian yang berdasarkan putusan pengadilan agama adalah karena perlanggaran ta’lik talak, syiqaq, fasakh, riddah dan li’an.
[20] Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, jilid 2 hal 9
[21] Djamil Latif, op.cit, hal 43. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa kalau isteri meminta cerai kepada suaminya dengan tanpa dilandasi alasan yang kuat, maka diharamkan baginya wangi surga. Apakah suami yang menceraikan isterinya tanpa dilandasi alasan yang kuat juga Allah haramkan baginya wangi surga????
[22] Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan suami boleh merujuk isterinya dengan melakukan wathi, dan perbuatan mewathi ini sudah dianggap sah sebagai bentuk rujuk walaupun si suami tidak mempunyai niat untuk merujuk. Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu : Bairut : Darul Fikr, 1999 juz VII hal 465. Lihat juga Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Baerut : Darul Fikr, J1994 ilid XIII hal 193
[23] hukum menghadirkan saksi dalam rujuk hanyalah sunnah, karena dikhawatirkan apabila si isteri kelak akan menyangkal rujuknya suami (Slamet Abidin, hal 68). Padahal dalam surat At-Talak ayat 2 dijelaskan : ….apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu…..
[24] namun dalam kenyataannya, isteri jarang sekali mendapatkan hak-hak tersebut termasuk hak mut’ah seperti yang ditetapkan al-Qur’an. Walaupun pengadilan telah memberikan menetapkan hak-hak perempuan itu dalam putusan sidangnya.
[25] Sebetulnya banyak hadis yang mengungkapkan kejelekkan perempuan yang meminta cerai kepada suaminya diantaranya : Ayyumam roatin ikhtala’at min zaujiha min nusyuzin fa’alaiha la’natullh lihat Syamsuddin Syarakhsi, al-Mabsut, Baerut : Darul Ma’rufah,1989 juz VI hal 2 Ayyumam roatin sa’alat zaujaha thaqaha min ghairi ma ma’sin faharrama ‘alaiha raaihatal nannah. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis No. 1899
[26] khulu’ sering juga disebut dengan talak tebus karena ada proses penebusan diri isteri itu dari suaminya. Alat penebusan itu disebut iwadh, bisa dengan mengembalikan maskawin atau benda lain yang lebih mahal atau lebih murah dari maskawin.
[27] Djamil Latif, op.cit hal 57
[28] tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Alllah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya……
demikian juga dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas bahwa sanya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah kemudian ia berkata : Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak saya cela baik dalam akhlak maupun dalam beragamanya, tetapi aku tidak senang lagi kepadanya dan aku takut kufur setelah Islam. Maka Rasulullah berkata : apakah engkau mau mengembalikan kebun padanya? Jawab isteri Tsabit bin Qais : Ya, saya mau. Kemudian Rasulullah berkata kepada Tsabit bin Qais, Terimalah kebun itu kembali dan thalaqlah dia satu thalaq.
[29] Sulaiman Rasyid, op.cit, hal 410
[30] Dan jika kamu ingin menganti isterimu dengan isteri lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu akan menggambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat….
[31] pasal 39 UU Perkawinan
[32] sering juga dikatakan sebagai jurisdictio voluntaria atau peradilan yang tidak sesungguhnya. Dikatakan peradilan yang tidak sesungguhnya karena Pengadilan tidak menjalankan fusngsinya sebagai judicative power. Oleh karena itu maka produk pengadilan adalah penetapan yang berguna untuk menerangkan saja (beschikking : Belanda/Itsbat : Arab).
[33] istri hanya perlu dihadirkan di depan sidang untuk didengarkan keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohon. Akibatnya, sekalipun termohon (isteri) tidak hadir di persidangan, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti), maka permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti akan ditolak. Lebih lanjut baca Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama : Jakarta : Rajawali Press 1996, cet V, hal 59.
[34] Dalam fase ini, istreri apabila tidak setuju dengan keputusan hakim, dapat melakukan upaya hukum banding atau kasasi sebelum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Karena, setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tidak dibolehkan upaya hukum. Dan hakim akan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak.
[35] Ada sedikit kemajuan yang ditemukan dalam pasal 70 (6) UU No. 7/89 yaitu izin ikrar talak itu dibatasi hanya 6 bulan. Jika suami yang sudah diberi izin, tetapi tidak kunjung mengikrarkan talaknya, dan tidak pula mengirimkan wakilnya, maka gugurlah penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
[36] Tujuan dari adanya eksepsi (pengecualian) ini untuk melindungi hak-hak perempuan. Penulis melihat adanya sikap yang ambigue dari pembuat undang-undang. Disatu pihak harus mempertahankan doktrin bahwa cerai itu adalah hak prerogatif suami yang menjadi pengangan ulama Indonesia, tapi di pihak lain tuntutan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam perceraian juga harus ada, sehingga lahirlah kebijakan seperti ini.
[37] Dalam pasal 71 ayat 2 PP No. 9/75 dinyatakan bahwa penetapan cerai talak tidak dapat melakukan upaya hukum banding atau kasasi. Artinya si Isteri tidak berhak untuk melakukan upaya hukum dan harus menerima apa adanya. Kemudian pasal 71 ayat 2 itu diperbaharuhi oleh surat edaran Mahkamah Agung bahwa walaupun cerai talak itu permohonan, tetapi ia harus dianggap mempunyai/mengandung sengketa. Sehingga ia bisa melakukan upaya hukum seperti banding dan kasasi. Sehingga hasil akhir persidangan berbentuknya adalah putusan dengan amar berjudul Menetapkan, Maksudnya untuk melindungi hak-hak isteri dalam mencari upaya hukum. Lebih lanjut baca Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Hal 203
[38] khusus dalam kasus dispensasi poligami, isteri bisa melakukan permohonan pembatalan nikah bagi suaminya dalam perkawinan poligami apabila ia telah mengetahui bahwa suaminya telah melakukan poligami liar dengan perempuan lain dalam jangka waktu 6 bulan setelah ia mengetahui peristiwa itu.
[39] Talak bain, adalah talak tiga karena terjadi akumulasi talak raj’I dua kali. Si suami tidak boleh kembali (rujuk) kepada isterinya baik dalam masa iddah maupun setelah iddah habis, kecuali jika si isteri telah dinikah oleh laki-laki lain, kemudian oleh laki-laki itu diceraikan, baru si suami pertama boleh menikahinya lagi.
[40] Yang selalu menjadi dasar legitimasi dari doktrin ini adalah sebuah hadis :
عن عبدالله قال الطلاق للرجال والعدة بالنساء رواه الطبراني ورجال أحد الاسنادين رجال الصحيح.
مجمع الزوائد ج: 4 ص: 337
Artinya : talak adalah hak laki-laki, iddah merupakan hak perempuan. (HR. Thabari dalam kitab Majmu az-Zawaaid Juz 4 hal 337)
[41] Djamil Latif, Aneka Perceraian di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985 cetakan II, hal. 40 yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya adalah kewajiban suami kepada isterinya ketika terjadi perceraian dengan isterinya itu, yaitu suami harus mengeluarkan biaya untuk : nafkah iddah (biaya hidup isteri selama jangka waktu iddah raj’I) , mut’ah (pemberian suami kepada mantan isterinya, biasanya sesuatu yang dapat memberikan rasa bahagia sebagai konpensasi atas perceraian) kiswah (baju atau pakaian) dan makan (tempat berteduh, rumah)
[42] Slamet Abidin, Op. Cit, hal 16.
[43] Q.S. Al-Hujurat, 13, al-Mu’min : 40, al-Baqarah : 228
[44] Dalam banyak kasus di Pengadilan bahwa hak-hak isteri seperti hak mut’ah, dan nafakah seperti ; makanan, tempat tinggal, dan pakaian jarang dinikmati oleh isteri. Karena suami tidak menunaikan kewajibannya. Demikian hasil wawancara dengan Ketua-ketua Pengadilan Agama di Jakarta, Bantern, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dilakukan penulis untuk keperluan disertasi.
[45] dalam pasal 66 UU No. 7/89 ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan utuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
[46] Pernah ada kasus di Pengadilan Agama Rangkas Bitung, seorang isteri meminta akta talak karena ia mengaku telah diceraikan suaminya. Bukti yang disodorkan kepada pengadilan adalah selembar kertas pembungkus rokok gudang garam yang terdapat tulisan suaminya : saya yang bernama ….. telah menjatuhkan talak kepada isteri saya yang bernama ……. Dengan talak tiga. (hasil wawancara dengan Drs. Abu Bakar, SH Ketua PA Rangkas Bitung, tanggal 24 Februari 2003)
[47] hal tersebut didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad : diriwayatkan dari Abdullah bin Umar katanya : Rasulullah telah bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah dan mohon ampunlah banyak-banyak. Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar diantara mereka bertanya : Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum permepuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah bersabda : Kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekuarangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih dari golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi : Wahai Rasulullah! Apa maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah bersabda : Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekuarangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan shalat pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbukan pada bulan Ramadhan karena mereka haid. Maka inilah yang sebut dengan kekurangan agama. Lebih lanjut baca Nazaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Jakarta, hal 242.
[48] Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Baerut Darul Fikr, Juz VII hal. 465
[49] dan masih banyak ayat yang menunjukkan persamaan antara laki-laki dengan permpuan, baik dalam kedudukan, hak dan kewajiban diantaranya surat al-Zariyat : 56, al-A’raf 165, al-Baqarah : 30, al-A’raf 172, al-Isra’ : 70, al-Ma’idah : 89, Al-Mumtahanah : 12, al-Baqarah : 35, al-Baqarah : 187, Ali Imran “ 195, An-Nisa 124, An-Nahl : 97, Gafir : 40
[50] Nazaruddin Umar, hal 253
[51] Angka perceaian dengan cerai talak sangat tinggi angkanya di Pengadilan Agama Indramayu (80%), menurut penuturan Drs. H. Yahya Khaeruddin, SH Ketua Pengadilan Agama Idramayu (wawancara tahun 1999) hal ini disebabkan karena persepsi keliru masyarakat Indramayu tentang perceraian. Masyarakat menilai bahwa hak cerai merupakan hak mutlak suami, sehingga walaupun isteri dirugikan maka si suamilah yang harus menjatuhkan talak. Sering terjadi kasus seorang suami meninggalkan/menterlantarkan isteri dan anaknya dalam waktu yang lama tanpa tanggung jawab. Ketika si isteri atau keluarganya berkehendak untuk bercerai, bukannya datang ke Pengadilan Agama, melainkan ia mencari dulu suami, membujuk suami untuk menceraikan isterinya, tidak jarang mengerahkan pamong desa untuk mencari dan membujuk sang suami, bahkan tidak jarang memakai jasa Polisi atau Tentara dalam upaya itu.
Berlainan dengan masyarakat Jakarta, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan misalnya, kenyataan diatas menjadi terbalik 70% lebih inisiatif talak datangnya dari Isteri, artinya prosentase perceraian lebih banyak berbentuk cerai gugat. Menurut Drs. Zainuddin Fajari, SH, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat Jakarta sudah lebih baik.

3 comments: