Thursday, February 1, 2007

HAK-HAK PEREMPUAN : SEJARAH PERKEMBANGAN GENDER

..Seorang laki-laki disebut terhormat,
apabila ia menghormati perempuan.
Jika ia melecehkan perempuan,
Maka tanggallah kehormatannya……..
(Ali bin Abi Thalib)

Pendahuluan
Pada hakikatnya, semua mahluk diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan, tak terkecuali manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan yang merupakan dua jenis kelamin yang berbeda namun satu sama lain saling membutuhkan. Keduanya diciptakan dalam harkat, derajat, dan martabat yang sama meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda gunanya agar bisa saling mengetahui dan melengkapi satu sama lainnya. Demikian yang tersurat dalam kitab suci.(al-Hujurat : 13)
Namun perbedaan laki-laki dan perempuan itu ternyata masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Dua jenis kelamin manusia itu secara biologis dengan mudah dapat dibedan, misalnya laki-laki mempunyai penis, berkumis, mempunyai gondok laki, dan bersuara besar. Sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara yang menonjol besar, mempunyai daur haid, bisa hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Intepretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. (Nazaruddin : 1999)
Dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan manusia banyak mengalami perubahan, peran, dan status dalam masyarakat sejak zaman nomaden dimana manusia menggantungkan hidupnya kepada alam semesta dengan melakukan perburuan, kemudian menetap dengan bercocok tanam dan mengambil ikan di lautan, diteruskan dengan penemuan teknologi industri yang dapat mempermudah kerja manusia. Namun tetap saja sejak zaman primitif hingga zaman modern kedudukan perempuan tetap saja sebagai jenis kelamin dua. Ada persepsi yang mengendap dibawah sadar seseorang jika ia mempunyai atribut biologis seperti laki-laki mempunyai penis atau perempuan mempunyai vagina, maka itu juga menjadi atribut untuk penentuan status sosial dalam masyarakat. Jadi dapat dibedakan antara pemilikan penis atau vagina sebagai peristiwa biologis (physical genetical) dan pemilikan penis atau vaginan sebagai peristiwa sosial-budaya (cultural gentical). Secara biologis, alat kelamin adalah kosntruksi biologis karena bagian tubuh dari seseorang yang tidak ada hubungan langsung dengan keadaan sosial-budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya alat kelamin menjadi faktor penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, maka pada sat itu konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi gender seperti pembagian fungsi, peran dan status dalam masyarakat. Sehingga karena laki-laki mempunyai penis, ia mengambil peran yang dominan dalam fungsi, peran dan status didalam masyarakat, sementara perempuan yang tidak mempunyai penis, ia tersisih dan terhempas dalam fungsi, peran, dan status di dalam masyarakat.
Ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam percaturan sosial inilah yang sangat menggugah rasa keadilan manusia. Dengan landasan sama-sama manusia dan sama-sama mahluk Tuhan, tetapi mengapa ada perbedaan?
Masalah keadilan dan kesetaraan gender merupakan topik yang relatif baru sehingga menimbulkan interpetasi yang berbeda dalam pemahamannya di kalangan pejabat, pakar, dan masyarakat. Karena itu materi kesetaraan gender merupakan bokok bahasan penting dalam rangka memberikan wawasan, persepsi, dan pemahaman yang sama bagi peserta pelatihan dan orientasi untuk menanamkan sikap dan prilaku yang responsif gender.

Makna Gender
Sebelum menerangkan lebih jauh apa dan bagaimana sejarah perjuangan kaum perempuan, ada baiknya kita mengetahui beberapa kata kunci dalam gender itu. Karena ternyata banyak orang yang salah faham tentang gender, orang sering menyamakan gender dengan kesetaraan, persamaan peran, emansipasi, bahkan sampai pada gerakan anti laki-laki.
Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan, misalnya laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempuan mempunyai vagina, payudara dan rahim, karenanya perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui. Seks adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi biologi. Seks lebih berorientasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karekteristik biologis lainnya. Seks adalah juga semua yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara biologis, karenanya tidak dapat dipertukarkan. Seks sering juga disebut kodrat, karenanya sifatnya yang abadi tidak bisa dipertukarkan dan sama disepanjang abad dan tempat.
Gender berasal dari bahasa Ingris yang berarti jenis kelamin, (John M. Echols, 1983) atau perbedaan yang nampak antara laki-laki den perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Webster’s : 1984) dan menurut istilah gender adalah pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibuat atau diciptakan oleh manusia melalui pembagian peran laki-laki dan permpuan. Gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. (Nazaruddin : 1999). Gender adalah suatu sifat dan prilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena bentukan, maka gender tidak berlaku selamanya. Gender bisa tergantuk kepada trend masanya. Misalnya, kalau dulu yang menggunakan anting-anting atau berambut panjang adalah perempuan, trend akhir-akhir ini justru kebalik, justru banyak laki-laki yang beranting dan berambut panjang sedangkan perempuan berambut pendek dan tidak memakai anting-anting. Gender juga sangat tergantung pada tempat atau wilayah, misalnya kalau disebuah desa perempuan memakai celana dianggap tidak pantas, maka ditempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan memakai rok. Karena bentukan, maka gender bisa dipertukarkan. Misalnya, kalau dulu pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan perempuan, bahkan kalau ada laki-laki yang ikut memasak disebut kethuk (banci : bencong : wadam), maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurus dapur atu susah karena harus tergantung kepada perempuan untuk tidak kelaparan.
Pada zaman dahulu orang belum banyak tertarik ntuk membedakan seks dan gender karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap bahwa keduanya adalah sama. Mereka menganggap eperbedaan gender sebagai akibat perbedaan seks. Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar, akan tetapi belakangan ini disadari bahwa tidak meski perbedaan seks menyebabkan ketidak adilan gender (gender inequality).
Dalam masyarakat kita, dikenal perbedaan peran dalam hal pekerjaan misalnya : laki-laki dianggap pekerja produktif sedangkan perempuan pekerja reproduktif. Kerja produktif bisa menghasilkan nilai tukar (dibayar) atau status politik, kerja reproduktif adalah kerja yang bersifat merawat, memelihara, seperti pekerjaan rumah tangga dan melahirkan anak. Biasanya pekerjaan reproduktif tidak mendapatkan imbalan.
Pembedaan kerja dalam produktif dan reproduktif ini juga menimbulkan perbedaan wilayah. Laki-laki berada di wilayah publik dan perempuan berada di wilayah domestik. Wilayah publik adalah di luar rumah tempat dimana kehidupan sosial diatur dan dijalankan, dan domestik adalah di rumah atau sering disebut sebagai ruang pribadi.
Perbedaan status, laki-laki sering digambarkan sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan (kalau bekerja) disebut sebagai pencari nafkah tambahan. Laki-laki pemimpin, perempuan dipimpin. Dalam status ini ada yang berperan sebagai subjek yaitu laki-laki dn yang berperan sebagai objek yaitu perempuan.
Perbedaan sifat, perempuan dilekati dengan sifat dan atribut feminin dan laki-laki dilekati dengan sifat maskulin. Sifat atau atribut feminin misalnya halus, sopan, lembut, kasih sayang, cengeng, penakut, emosional,”cantik”, memakai anting-anting, bersanggul, memakai rok. Sedangkan sifat maskulin misalnya kuat, keras, rasional, kasar, gagah memakai celana, berambut cepak.
Ada beberapa persoalan yang lahir akibat kesalah fahaman tentang gender yang berkembang di masyarakat. Diantaranya adalah :
1. penomorduaan (sub-ordinasi) yaitu sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan dapa posisi yang lebih rendah dari laki-laki.
2. Pemiskinan (marginalisasi) yaitu suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan.
3. Cap atau anggapan negatif (Stereotipe) yaitu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat perempuan selalu pada pihak yang dirugikan.
4. Beban kerja ganda (bouble burden) pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan perempuan. Ada peribahasa yang mengatakan : waktu kerja suami adalah sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari, sedangkan waktu kerja istri sejak terbit mata suami sampai terbenam mata suami.
5. Kekerasan (violence) yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak (bisanya laki-laki) terhadap pihak lain (biasanya perempuan) yang mengakibatkan penderitaan secara langsung dan tidak langsung baik fisik maupun non fisik.
Pembedaan gender terjadi kepada dua jenis kelamin, yaitu kepada laki-laki dan perempuan. Tetapi pembedaan gender yang ditujukan kepada perempuan ternyata mengakibatkan banyak sekali ketidakadilan. Pertama ketidakadilan tersebut disebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia bagi perempuan. Hak-hak dasar yang dimaksudkan adalah hak untuk menentukan diri sendiri secara otonom (madiri). Seluruh peran, status, wilayah dan pensifatan kepada laki-laki dan perempuan menghalangi perempuan untuk secara individu menjadi manusia yang otonom dan menghalangi perempuan sebagai kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan norma bersama.

Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan
Sejarah Kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia terutama setelah berakhirnya perang dingin (cold war) antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered dovelopment) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Suatu kecendrungan yang perlu difahami, dicermati, dan diantisipasi agar tidak mudah terbawa aliran yang tidak sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia atau bertentangan dengan keyakinan manusia dan kodrat manusia. Manusia yang diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain. Keterpaduan antara dua bagian yang tidak sama dengan kemitraan dan keharmonisan adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan perpasangan. Masalah gender pada dasarnya adalah menganut prinsip tersebut, meskipun dalam kenyataannya seing terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak (laki-laki) ke pihak lain (perempuan) baik di dalam maupun diluar kehidupan rumahtangga. Perlakuan yang merupakan hasil akumulasi dan akses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat tanpa ada klarifikasi yang rasional. Akibatnya, seluruh kesalahan yang sering ditimpakan pada kaum laki-laki yang telah mendominasi dan memarjinalkan kaum perempuan tanpa menjelaskan mengapa budaya tersebut terjadi, untuk itu, informasi tentang perjuangan kaum perempuan dalam menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki menjadi cukup relevan untuk dikaji.
Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya di banding dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar keteringgalan tersebut, maka dikembangkanlah konsep emansipasi (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan di tahun 1950 dan 1960-an. Usaha yang lebih memilih pendekatan pertentangan (dikotomis) daripada kerjasama (kompromis). Pada tanggal 12 Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori gerakan kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) No.861F (XXVI), dan diakomodasi pemerintah Indonesia pada tahun 1968. Untuk mewadahi perjuangan tersebut dibentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia dengan SK Menteri Negara Kesra No34/Kpts/Kesra/1968
Pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Women- PBB yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam (a) pendidikan dan pekerjaan, (b) memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan (c) memperluas partisipasi perempuan dalam pembanguan, (d) tersedia data dan informasi partisipasi perempuan, (e) pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin. Untuk itu dikembangkan bergagai program untuk pemberdayaan perempuan (women empowerment programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut, maka diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (Women in Development) yang disingkat WID.
Pada tahun 1980 di Kopenhagen dilakukan World Conference UN Mid Decade of Women. Dalam pertemuan itu disahkan UN Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Againts Women (CEDAW). Ketentuan tersebut kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1984. Tahun 1985 di Nairobi, diadakan World Conference on Result of Ten Years Women Movement, yang menghasilkan Forward Looking Strategis for the Advancement of Women dengan menekankan pada kesetaraan perempuan dalam pembangunan dan perdamaian.pada tahun itu pula PBB membentuk satu badan yang disingkat UNIFEM (the United Nations Fund for Women) untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi, dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara international. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang dilakukan selama 10 tahun lebih (atara tahun 1970-1980-an) tidak banyak menampakkan hasil yang signifikan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai bahkan menimbulkan sikap sinis dari kaum laki-laki (male backlash) terhadap perjuangan perempuan tersebut. Berdasarkan berbagai studi, maka tema WID diubah menjadi pendekatan WAD (Women and Development) perempuan dan pembangunan. Kata dalam diganti dengan kata dan yang memberi makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas. Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan the 34Th commission on the Status of Women dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kaum laki-laki nampaknya juga kurang membawa hasil seperti yang diharapkan.
Dari studi yang dilakukan oleh Anderson (1992) dan Moser (1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan atau sebaliknya. Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Conference on Population dan Development (ICPD) di Cairo, Mesir tahun 1994 dan dalam the 4th World Conference on Women di Beijing, Cina tahun 1995. Dari dua konferensi tersebut disepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap perumusan kebijaksanaan, dan pelaksanaan sampai pada menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang sangat mendasar yaitu dari pembahasan pada masalah fisik biologis (biological sphere) ke masalah sosial budaya (social-culture sphere).
Secara nasional di Indonesia, pergerakan kaum perempuan mulai diilhami oleh perjuangan RA. Kartini yang ingin terbebas dari budaya kraton (Jawa), meskipun secara diam-diam dan tidak terbuka. Gagagsan ini dicerna oleh kaum perempuan yang aktif dalam Gerakan Kebangkitan Nasional tahun 1928, yang ditindak lanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diperingati menjadi Hari Ibu. Dalam perjuangan kemerdekaan, peran perempuan sangat penting baik secara fisik maupun berjuang digaris belakang (penyediaan logistik, perawatan korban, dan penghubung antar para kelompok pejuang). Untuk itu dikenal beberapa nama pejuang perempuan di medan perang seperti Cut Nyak Dien dan Martha Tiahahu, dibidang pendidikan terdapat nama Rasuna Said, Dewi Sartika, dibidang politik terdapat SK Trimurti, Fatmawati, Supeni. Untuk menghimpun potensi perempuan, maka tahun 1950 didirikan organisasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan dilanjutkan dengan pembentukan BKOW (Badan Kontak Organisasi Wanita) bagitu pula dalam organisasi sosial keagamaan seperti Muslimat (NU) Aisyiyah (Muhammadiyyah), Wanita Katolik, Wanita Marhaen, dan sebagainya.
Dengan dibentuknya Komita Wanita Nasional tahun 1967, maka wadah perjuangan kaum perempuan semakin dikonkritkan pada tahun 1975 dalam kabinet pembangunan II dimana dibentuk kementrian yang disebut dengan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dan Menteri Negara Ususan Peranan Wanita. Sejalan dengan itu dibentuk Organisasi Perempuan seperti PKK, Dharma Wanita (istri PNS), Dharma Pertiwi (Isteri TNI) IWAPI (Isteri Pengusaha), dan sebagainya. Kementrian ini telah beberapa kali ganti kabinet dan menteri dari menteri muda ke menteri negara, tetap diperlukan pemerintah dan masyarakat sampai sekarang. Meskipun tema telah berubah, namun nama kementrian yang bertanggung jawab terhadap perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan program kesetaraan dan keadilan gender, nama kementrian masih diberi Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender
Masalah keadilan dan kesetaraan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan Hak Azasi Manusia yaitu Declaration of Human Rights (HAM) PBB pada tahun 1948.
Dalam tahap awal HAM hanya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih pada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai perkembangan zama meliputi hak-hak sosial ekonomi dan budaya seseorang. Pelaksanaan hak-hak azasi itulah ang memberikan aspirasi bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak azasi dan reproduksinya dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu proses aktualisadsi dari kaum perempuan dalam mengatasi kepincangan dan ketidakadilan perlakuan sebagai konstruksi sosial terhadap laki-laki dan permpuan. Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminsai yang menempatkan perempuan dalam stataus dibelakang kaum laki-laki telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memberbaiki status, peranan, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Perjuangan itu semakin dipicu oleh berbagai kasus seperti yang dialami oleh seorang dokter di Ingris yang ditolak oleh rekan-rekannya seprofesi yang berjenis kelamin laki-laki untuk menjalankan praktek bersama maupun dalam kepengurusan organisasi profesi. Penolakan ini bukan didasarkan oleh rendahnyakemampuan yang bersangkutan, tetapi lebih disebabkan karena ia seorang perempuan. Kemudian secara statistik disajikan data ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang profesi dan pekerjaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh citra baku (stereotype) dalam pandangan masyarakat yang menempakan perempuan lebih banyak berperan dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif u ntuk menopang ekonomi kehidupan rumah tangga. Karena peran tersebut, maka laki-laki lebih diutamakan dalam memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan dengan kaum perempuan.
Masalah kesetaraan dan keadilan gender bukan saja menjadi perhatian kaum perempuan, tapi juga telah menarik perhatian para ahli dan politisi. Edward Wilson dari harvard University (1975) membagi perjuangan perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar. Kelompok bertama disebut konsep nurture (konstruksi budaya) dan kelompok kedua disebut konsep nature (alamiah).
1. Aliran Nurture beranggapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan perean dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dalam kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Perjuangan persamaan tersebut dipelopori oleh kaum feminist Indoenasional yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (fifty-fifty). Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas). Apabila hal itu sulit dicapai secara kopromi karena berbagai hambatan baik nilai budaya maupun agama, maka metode perjuangan yang dipakai dengan menggunakan pendekatan sosial konflik. Suatu konsep yang diilhami oleh ajaran karl Marx (1818-1883) dan Machiavvelli (1469-1527), dilanjutkan oleh David Lockwood (1957 dengan tetap menerapkan konsep dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan isteri sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar).bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindasan demi untuk mencapai kebebasan dan perasamaan. Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut oleh masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan persamaan proposional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti keterwakilan perempuan di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan pimpinan partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut disediakan program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut, yang dikenal dengan perilaku male backlash. Keberhasilan sebagian masyarakat barat dalam kesetaraan perempuan telah menimbulkan perubahan sikap dan perilaku perempuan yang bergaya maskulin seperti agresif, egoistis, kasar, dan tidak mau menikah. Bila membangun keluarga tidak mau punya anak, bila punya anak tidak bersedia menyusui dan sebagainya.
2. Aliran Nature yang menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan idikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture diatas lalu beralih ke teori natur. Pendekatan nurture dirasa tidak enciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkanlah konsep pemberdayaan perempuan (women empowerment) suatu program khusus yang dikenal dengan program affirmartif action guna memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan. Perempuan perlu lebih diberdayakan agar bisa menyumbangkan potensi dan kemampuannya dalam pembangunan ke dalam rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara tanpa harus menimbulkan konflik sosial. Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh paa peran yang berisfat naluri (instrinct). Perjuangan kelas ini tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai fungsi, tugas dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Tidak mungkin satu kapal dipimpin oleh oleh dua orang nahkoda. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Plato yang kemudian diperbaharuhi oleh August Comte (1798-1857) Emile Durkheim (1858 – 1917), Herbert Spencer (1820 – 1930) bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab. Talcott Parsons (1902 – 1979) dan Persons & Bales berpendapat bahwa keluarga sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membatu satu sama lainnya. Karena itu peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara laki-laki dan perempuan. Aliran ini melahirkan paham struktur fungsional yang menerima perbedaan peranan asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga atau antara kaum laki-laki perempuan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equibrium) yang menekankan pada konsep keimitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan itu, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran dari laki-laki dan perempuan secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkannya bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etis aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini membedakan sekurang-kurangnya tiga konteks kehidupan seseorang yaitu, keluarga, masyarakat dan agama. Sedang situasional menunjukkan penerapan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sama di semua strata masyarakat. Karena itu Vandana Shiva menyebutkan equality in diversity (persamaan dalam keragaman). Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan yang komplementer yang bisa diwujudkan melalui strategi pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming). Strategi dalam upaya penyeimbangan peranan, kedudukan dan stratus antara laki-laki dan peremuan mulai dari perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan sampai menikmati hasil pembangunan. Pandangan ini diharapkan dapat mempercepat proses menciptakan sesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakt, bangsa dan negara. Hidup harmonis adalah hidup yang seimbang lahir bathin, termpenuhi kebutuhan dasar fisik dengan memadai dan tercapai aktualisasi diri dalam pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian perbedaan bukan alasan untuk menundukkan satu sama lain, tetapi sebaliknya dengan perbedaan maka perlu saling melengkapi dan saling bekerjasama untuk menciptakan sesuatu yang bebih baik dan berguna bagi keluraga, masyarakat, dan bangsa. Aliran keseimbangan sangat mempertimbangkan kondisi dan situasi aktual dari suatu masyarakat agar setiap orang bisa hidup selaras dan serasi dengan kondisi lingkungannya. Tokoh aliran ini antara lain adalah Betty Friedman, Alice Rossi, dan Mery Ann Mason yang menjelaskan bahwa perbedaan peranan dan fungsi biologis memiliki tujuan fundamental dalam menjaga keharmonisan hidup manusia. Mereka secara aktif melancarkan kampanye tentang perlunya kembali pada nilai-nilai luhur pembentukan keluarga (back to the family values) dengan berbagai kegiatan. Negara Asia cenderung memilih pembangunan keluarga harmonis dan sejahtera serta landasan pembangunan masyarakat dan bangsa. Yang penting bahwa dalam keluarga modern diharapkan perempuan memiliki posisi tawar menawar (bergaining posision) yang sama dengan kaum lelaki sehingga setiap keputusan dilakukan dengan musyawarah dan kebersamaan. Oleh karena itu, dalam kebijakan Pengarus Utamaan Gender yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2000) berpijak pada prinsip-prinsip (a) menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralisme) (b) tidak menggunakan pendekatan konflik (dikotomis) (c) diperjuangkan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi, (d) menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan demokrasi.

Masalah yang di Hadapi Perempuan.
Dari hasil konferensi di Beijing 1995 diidentifikasi sejumlah masalah yang banyak dihadapi oleh kaum perempuan di sebagian besar belahan bumi. Kumpulan masalah tersebut disebut dengan keprihatinan Beijing sebagai berikut :
1. masalah perempuan dan kemiskinan terutama karena kemiskinan struktural akibat dari kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku
2. keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar-menawar menuju kesetaraan gender
3. masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai
4. kekerasan fisik terhadap perempuan baik dalam rumah tangga maupun ditempat kerja tanpa mendapatkan perlindungan secara hukum.
5. Perempuan ditengah wilayah konflik militer dan kerusuhan banyak yang menjdi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai meskipun sudah dijamin oleh Konvensi Geneva, 1949
6. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha
7. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan pengambilan keputusan di keluarga masyarakat dan negara masih sangat terbatas.
8. Keterbatasan kelembagaan dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan dalam sektor pemerintahan dan non-pemerintahan (swasta)
9. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah.
10. Keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh perempuan sebagai media promosi dan eksploitasi murahan.
11. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lain.
12. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia dan membutuhkan perhatian bersama adalah :
1. masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.seperti dalam UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Imigrasi, UU Agraria dll.
2. Banyak terjadi tindak kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap kaum perempuan tanpa mendapat perlindungan hukum yang memadai.
3. Eksploitasi tutuh dan tindakan pelecehan seksual (pornografi dan pornoaksi) yang dilakukan dengan alasan seni atau parawisata.
4. Budaya kawin muda di kalangan masyarakat yang diikuti dengan tingginya tingkat perceraian yang dapat merendahkan martabat perempuan.
5. Budaya melamar dengan antaran dan maskawin yang mahal sehingga dapat menimbulkan persepsi seperti jual-beli perempuan.
6. Pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah atau bercampur aduk dengan budaya yang tidak berpihak pada perbaikan status perempuan. Seperti konco wingking : Surga nurut neraka katut
7. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja.
8. Pemaksaan dalam penggunaan kontrasepsi atau kurangnya jaminan bila terjadi komplikasi atau kegagalan yang memadai sehingga banyak merugikan perempuan.
9. Masih banyaknya penjualan perempuan dengan kedok peluang tenaga kerja.
10. Demikian makalah ini semoga bermanfaat. Amin…. Wallahu A’lam

REFERENSI :
Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Gender, Panduan Pelatihan Regional Pengarusutamaan Gender di Bidang keserhatan Reproduksi dan Kependudukan, Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, 2001
Gender dalam Islam, Booklet Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) : Yogyakarta, 2001.
Nazaruddin Umar, Perspektif Gender dalam al-Qur’an, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999
Leila Ahmed, Women dan Gender in Islam, New Haven & London : Yale University Press, 1978
Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, terjemahan Hartian Silawati, Yogyakarta, 1996
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Jakarta Gramedia, cet XII tahun 1983
Webster’s New World Dictionary, New York : Webster’s New World Clevenlan, 1984.

No comments: