Thursday, February 1, 2007

KEADILAN SUAMI DALAM POLIGAMI

Latar Belakang Masalah
“Tidak ada manusia yang sanggup hidup sendiri di dunia ini” demikian ucapan para pujangga. Manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk saling membantu saling mengerti saling menghargai. Kebutuhan manusia terhadap manusia lain dalam berbentuk biologis seperti isteri, orang tua dan anak, dan dalam bentuk sosiologis seperti, tetangga dan orang lain untuk interaksi sosial. Oleh karena itu sosiolog menamakan manusia dengan homo sapien.
Manusia dan binatang diciptakan Allah naluri (gharizah) yakni keinginan untuk makan, minum, dan kenikmatan seksual. Bagi manusia, Penunaian kebutuhan seksual ini tidak dilakukan dengan sembarangan, Untuk menyalurkan nafsu seksual ini Allah menurunkan syari’at yang disebut nikah. Dalam syari’at ini ditentukan mana yang boleh dinikahi mana yang tidak, apa hak dan kewajiban bagi tiap pasangan.Inilah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan merupakan aturan yang paling penting dalam kehidupan masyarakat serta paling mendatangkan resiko bagi perseorangan karena dalam perkawinan ada hak dan kewajiban, ada pertanggung jawaban suami isteri. Jika seseorang mujur dalam perkawinannya, maka ia akan hidup bahagia dan mantap, tetapi apabila ia gagal dalam perkawinannya, maka hidupnya sering dirundung sengsara. Oleh karena itu kelestarian kehidupan dan kebahagiaan manusia tidak lepas dari terwujudnya perkawinan/keluarga yang bahagia. Jadi tepatlah apa yang menjadi tujuan dari perkawinan yang termaktub dalam Undang Undang No. 1 tahun 1974 tengang Perkawinan pasal 1 yakni …. ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Melalui perkawinan, Allah telah menjadikan jalan untuk mendapatkan keturunan secara benar dan halal. Dengan perkawinan terciptalah sebuah keluarga yang merupakan partikel terkecil dari sebuah bangsa. Rukun, sehat, dan bahagia sebuah bangsa merupakan cerminan langsung dari keadaan keluarga-keluarga yang yang ada di negeri itu. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir-batin dan tanggung jawab yang berlanjut, bukan hanya sekedar hubungan kepertadaan antar sesama manusia sewaktu hidup di dunia tetapi akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.[1]
Untuk dapat mempertanggung jawabkan perkawinan di hadapan Allah, maka perkawinan itu harus berdasar dan dilakukan hukum Allah. Demikian pula pembinaan keluarga dan keturunan harus berdasarkan ketentuan-ketentuan agama. Masing-masing keluarga wajib menegakkan hukum agama.
Allah telah mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan agar terciptanya hubungan yang harmonis antara pria dan wanita serta anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dibawah naungan syari’at Islam. Perkawinan memiliki tujuan yang lebih mulia, dimana didalamnya terdapat hubungan cinta, kasih sayang, dan kesenangan.
Ketika perkawinan terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, maka akad harus selama-lamanya tidak boleh ditentukan batas waktunya. Ikatan perkawinan harus merupakan ikatan yang kekal (ميثاقا غايظا ) . Karena itu, Islam menutup pintu perceraian, meskipun tidak mengharamkannya. Di dalam hadis dikatakan bahwa : sesuatu yang halal tetapi dimurkai Allah adalah thalaq.[2] Perceraian merupakan jalan keluar dan pengecualian kalau keadaan terpaksa. Suami isteri diikat dengan ketentuan-ketentuan agama dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai suami isteri, sebagai orang tua dan sebagai subjek hukum dalam kaitannya dengan orang lain dan masyarakat.
Dalam kehidupan keluarga itu desebutkan oleh Allah bahwa suami sebagai pihak yang mempunyai kelebihan derajat atas wanita yang menjadi isterinya.[3] Kelebihan derajat sebagai pemimpin membawa konsekuensi yang lebih berat. Tumpuan tanggung jawab pembinaan keluarga, nafkah dan sebagainya ada ditangan suami. Isteri mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, seperti mengurusi urusan rumah tangga, menjaga harta suami ketika suami tidak ada dirumah, mengasuh dan mendidik anak dan lain-lain.

Azas Perkawinan
Sejak 15 abad yang lalu, Islam telah meletakkan asas dalam perkawinan yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia.[4] Azas perkawinan yang dianut oleh Islam adalah monogami yakni laki-laki hanya menikahi satu isteri demikian pula isteri hanya menikahi seorang pria. Demikian yang ditentukan oleh Allah dalam surat Annisa : 3
فان خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ماكت أيمانكم, ذالك أدنى ألا تعواوا

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (pada isteri-isteri kamu) maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa perkawinan menurut Islam harus didasarkan kepada dan untuk menegakkan hukum Allah. Salah satu kewajiban yang harus ditegakkan ialah berlaku adil. Jika sebelum kawin dengan isteri kedua sudah khawatir atau takut untuk tidak berlaku adil, maka hendaklah berketetapan hati untuk tetap menjaga ikatan perkawinan dengan seorang wanita saja, karena memang pada dasarnya suruhan untuk mengikat tali perkawinan itu hanya kepada seorang wanita. Kebolehan kawin dengan lebih dari seorang wanita, yang lebih dikenal dengan istilah poligami[5] dibebani syarat yang sangat berat yaitu berbuat adil. Jadi asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan sebagai suatu pengecualian bagi yang sanggup berlaku adil. Namun harus difahami pula, bahwa poligami menurut Islam, baik secara teori maupun secara praktek, bukanlah peraturan yang harus dijalankan melainkan suatu solusi. Ia hanya sebagai obat bagi keburukan-keburukan peradaban modern serta perbaikan terhadap situasi keburukan moral pada masa lampau.[6]

Makna Poligami
Kita mengenal tiga bentuk perkawinan yakni :
1. Perkawinan monogami yakni seorang pria hanya beristeri satu orang
2. Perkawinan Poliandri yakni seorang wanita menikah dengan dua orang atau lebih pria
3. Perkawinan poligami yakni seorang pria menikahi dua atau lebih wanita.[7]
Dari ketiga macam perkawinan tersebut, hanya dua macam perkawinan yang diperbolehkan yakni perkawinan monogami dan perkawinan poligami.
Poligami dalam prakteknya sudah di kenal sebelum Islam ada, bahkan para nabi sebelum Muhammad pun melakukan poligami ini. Ambil contohnya, Nabi Ibrahim AS yang mempunyai isteri dua yakni Siti Sarah dan Siti Hajar. Bahkan praktek poligami inipun dilakukan tidak hanya oleh masyarakat yang berkebudayaan tinggi, masyarakat yang berkebudayaan rendahpun (terbelakang) poligami banyak dilakukan. Bangsa-bangsa yang mempraktekkan poligami sejak dahulu adalah bangsa Cina, India, Arab, Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia,Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, dan lain-lain.[8]
Jadi tidak benar tuduhan orientalis bahwa Islam merupakan pembawa sistem poligami. Sampai ini bangsa-bangsa yang tidak menganut Islam seperti bangsa Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang masih memberlakukan Poligami ini.
Bangsa Arab dan Yahudi pada jaman dahulu melaksanakan poligami dalam ruang lingkup yang sangat luas sehingga tidak membatasi jumlahnya. Poligami pada jaman Jahiliyah tidak memandang hak-hak kewanitaan, mereka mengawini tanpa batas. Akan tetapi setelah Islam datang, kaum muslimin dibatasi maksimal memiliki 4 orang saja. Diceritakan pada jaman Nabi Muhammad ada seorang sahabat yang bernama Ghailan mempunyai isteri 10 orang, kemudian Nabi menyuruh Ghailan untuk memilih 4 orang mana yang akan dipegang tetap menjadi isterinya dan menceraikan 6 orang sisanya.[9]
Para ahli antropologi dan sejarah kebubayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan dibanyak negara yang penduduknya dianggap sebagai tradisi, adalah merupakan sisa-sisa perbudakan kaum wanita, dimana orang-orang yang berkuasa dan para memilik harta memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas hawa nafsu dan penggabdi dirinya. Hal ini sering dilakukan oleh para raja, pangeran, kepala suku, dan para pemilik harta, juga terjadi pada negeri yang panas sehingga penduduknya memiliki nafsu seksual yang tinggi serta merkea melakukan perjalanan dan bertemu dengan wanita-wanita cantik dan melakukan poligami tanpa batas.[10] Umat manusia berrbeda dalam membatasi jumlah isteri, di Cina seorang lelaki boleh menikahi isteri sebang\yak 130 orang, sedangkan di Khazar laki-laki diperbolehkan beristri 25 orang.[11]
Dari Uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam tidak membawa ajaran baru dalam poligami, tetapi memperbaiki apa yang telah dirusak oleh agama-agama sebelumnya dimana mereka melakukan poligami tanpa kendali.

Dalil Kebolehan Poligami
Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah paling mengetahui kemaslahatan hambanya. Allah telah menyari’atkan poligami tetapi tidak diperintahkan sebagai sesuatu yang wajib.
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثللاث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعولوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-ha) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian tiu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam hadis ini para laki-laki muslim yang mampu berbuat adil diperbolehkan untuk beristeri lebih dari satu. Dalam tarikh diceritakan bahwa Rasulullah SAW mempunyai isteri sebanyak 9 orang. Hal ini merupakan takhsish bagi Nabi. Motifasi Nabi menikahi isteri-isterinya yang 9 orang itu bukan didasari nafsu birahi, tetapi bermotifkan sosial dan dakwah. Kebanyakan isteri-isteri Nabi itu telah berusia lanjut dan mereka itu adalah janda-janda para syuhada yang suaminya mati syahid membela Islam. Untuk menghargai perjuangan mantan suami mereka dan menjamin janda dan anak para suhada itu, Nabi menikahi mereka. Dalam beberapa literatur dikatakan banyak diantara isteri-isteri Nabi yang sudah tua itu sudah tidak lagi membutuhkan kebutuhan biologis dari Nabi, mereka menghibahkan “jatah”nya kepada Aisyah yang masih muda dan cantik itu.
Kembali ke dasar hukum, dalam hadis diceriterakan bahwa orang-orang yang masuk Islam di jaman Rasulullah dan mempunyai isteri lebih dari empat orang, Rasulullah menyuruhnya untuk memilih 4 orang saja dan menceraikan sisanya seperti dalam hadis :
عن قيس بن الحارث قال : اسلمت وعندى ثمان نسوة فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : اختر منهن اربعا (رواه : ابو داود وابن ماجة)

Dari Qais bin al-harits berkata : saya masuk Islam dan saya pada waktu itu memiliki delapan orang isteri, kemudian hal itu saya ceriterakan kepada Nabi SAW maka beliau bersabda : Pilihlah empat orang diantara mereka.
Dari hadis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami diperbolehkan oleh syara’. Bahkan Nabi sendiri melakukan poligami walaupun jumlahnya lebih dari 4 orang isteri tapi 9 orang karena ini merupakan pengecualian untuk Nabi.

Poligami dan Realitas Kehidupan Masyarakat
Setiap manusia diciptakan Allah tidak sama, baik rupa, keinginan, kecenderungan, kepintaran, rupa, kekayaan, kekuatan fisik, kekuatan seksual, dan lain-lain. Hal ini juga berlaku bagi setiap laki-laki. Ada laki-laki yang hanya menikahi seorang wanita dengan alasan yang berlainan pula, misalnya. Menikah dengan wanita lain berarti mengkhianati cintanya pada istrinya, ada juga yang beralasan baginya satu wanita sudah cukup karena menikah dengan banyak wanita memerlukan biaya yang banyak, waktu yang banyak untuk memperhatikan keluarga, atau dari satu isteri saja sudah menghasilkan sekian banyak anak apalagi kalau dari beberapa isteri, bagai mana anak-anak bisa diberi nafkah, di didik bukankah anak itu fitnah yang harus dipertanggung jawabkan? Ada juga yang berpendapat, nafsu seks saya biasa-biasa saja, dan saya sudah merasa cukup dengan pelayanan dari satu isteri.
Akan tetapi ada juga orang yang melakukan poligami yakni beristeri dua orang, tiga orang atau empat orang dengan alasan. Isteri pertama tidak bisa menghasilkan anak sedangkan anak merupakan penerus estafet kehidupannya. Ada yang berpendapat bahwa nafsu seksualnya luar biasa sehingga satu isteri tidaklah cukup. Seorang pengusaha dan budayawan Setiawan Djodi ketika diwawancarai RCTI dalam acara Cek & Ricek beberapa bulan yang lalu mengungkapkan sebab dia menjadikan Sandra Harun - seorang pragawati dan fotomodel kenamaan- sebagai isteri kedua Djodi memberikan alasan mengapa ia melakukan poligami, bahwa isterinya secara seksual sudah tidak mempunyai daya tarik sementara daya seksualnya masih normal dan hal ini juga diakui oleh isteri pertamanya, Kedua, anak-anak dari isteri pertama sudah besar-besar dan ia masih merindukan keturunan, Harta yang ia punyai lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan dua keluarga.
Jika ada lelaki yang mempunyai nafsu seks yang luar biasa, tetapi isterinya hanya dingin saja (frigid) atau sakit sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya, atau masa haid dan nifasnya lama dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih lama daripada perempuan. Apakah dalam situasi seperti ini si laki-laki tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat pencari kawan tidur?
Atau orang kaya raya yang hartanya melimpah ruah dan kebetulan nafsu seksnya juga “kaya” (tinggi) dan dia bisa berlaku adil kepada para isterinya, maka merupakan hal yang logis kalau ia mempunyai banyak isteri dan banyak anak. karena dia bisa menanggung biaya hidup isteri-isteri dan anak-anaknya.
Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki (seperti di Indonesia, perbandingan antara pria dan wanita = 45 : 55), lebih-lebih karena akibat dari peperangan[12] yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka disini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang ditak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketentraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.[13]
Ada satu hadis yang sangat menarik yang diriwayatkan oleh Bukhari. Nabi mengatakan bahwa seseorang yang bekerja keras untuk menafkahi para janda adalah seperti orang yang membiayai perang di jalan Allah atau orang yang terus menerus shalat (beribadah) di waktu malam atau orang yang berpuasa pada siang harinya. Jika hadis ini dilihat dari sinaran al-Qur’an yang mengizinkan poligami, penekanan para mengawini para janda dan gadis-gadis yatim menjadi semakin jelas. Dengan demikian hadis ini menjelaskan bahwa mengawini lebih dari satu isteri adalah untuk menolong janda dan anak yatim dan bukan demi kepuasan hawa nafsu. Maksud keseluruhannya adalah menegakkan keadilan sosial.[14]
Apabila kita kembali kepada azas perkawinan yang menyatakan bahwa poligami merupakan pengecualian (rukhsah) asal tidak merusak tujuan perkawinan yakni terciptanya keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dengan adanya Poligami, ternyata menjadikan keributan dan “peperangan” antar isterinya sehingga keharomonisan dan kebahagiaan rumah tangga terganggu atau hilang sama sekali maka poligami semacam itu telah lepas dari tujuan perkawinan semula.
Jika poligami itu dilarang sedangkan kebutuhan sebagian laki-laki yang berkehendak untuk melakukan poligami itu tersalurkan, maka bukan tidak mungkin para laki-laki itu akan melakukan perzinaan. Maka, poligami merupakan pilihan yang terbaik daripada membiarkan para lelaki itu melakukan perzinaan.
Dalam menerangkan sebab-sebab yang menimbulkan poligami, para peneliti telah mengemukakan pendapatnya. Sebagian berpendapat bahwa poligami merupakan gejala pementingan diri, yang lazim dimiliki kaum laki-laki, sehingga sikap ini mendorong mereka untuk menguasai kaum perempuan. Tetapi jika gejala ini benar-benar ada, kenyataannya poligami justru bertujuan untuk memperkenankan dosongan alamiah dengan kata lain poligami merupakan gejala dari faktof gender alamiah laki-laki dan perempuan. Faktor ini menghendaki kelangsungan kekuatan yang aktif dan perluasan waktu, dan pada saat yang sama, faktor ini juga menghendaki adanya mas dimana tidak terdapat kesediaan untukmenerima pada kaum wanita.[15]
Sebagian peneliti juga berpendapt bahwa poligami merupakan gejala hukum alam yang telah menetapkan wanita lebih banyak jumlahnya daripada kaum laki-laki. Hukum ini juga menetapkan adanya kekerasan alam terhadap kaum laki-laki yang menyebabkan jumlah kematian diantara mereka lebih banyak dibanding kematian yang terjadi di kalangan kaum perempuan.[16]

Makna Keadilan dalam Poligami
Salah satu persyaratan diperbolehkannya melakukan poligami adalah dapat berlaku adil terhadap para isteri. Secara etimologis adil berarti : tidak berat sebelah, tidak memihak,[17] atau menyamakan antara satu dengan yang lainnya (al-Musawah).[18] Istilah lain yang muradhif dengan kata adil adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal).
Secara terminologis adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil berarti berpihak atau berpegang pada kebenaran.[19]
Dalam Lisanul Arab, Ibn Manzur mengatakan bahwa adil adalah lawan kata dari aniaya, seperti perkataan عدل الحكم فى الحكم (seorang hakim tidak boleh berlaku aniaya dalam hukum), adil juga dikatakan “hukum sebenarnya” seperti dalam perkataan هو يقضى بالحق ويعدل ( dia memutuskan dengan hak dan hukum yang sebenarnya). Sedangkan dalam sifat Allah, adil berarti Dia tidak condong pada keinginan untuk berlaku aniaya dalam hukum.[20]

Bentuk Keadilan
Keadilan dalam berpoligami merupakan syarat sebagaimana yang di jelaskan dalam surat al-Nisa : 3
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعولوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-ha) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian tiu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat tersebut merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan di antara isteri-isteri dalam urusan sandang, pangan, dan papan, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mempu diwujudkan dan disamakan seperti kecenderungan hati dan cinta, maka suami tidak dituntut untuk mewujudkannya.
Keadilan kepada masing masing perempuan itu susah untuk diwujudkan sehingga al-Qur’an memberikan isyarat :
لن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم

Kalian tidak akan pernah bisa adil terhadap para wanita itu walaupun kalian menjaganya. (An-Nisa : 129)
Kaum pria disuruh untuk memelihara isteri-isterinya dengan cara adil. Implikasinya jelas langsung dan benar. Bila seorang pria yang memiliki isteri lebih dari seorang, mencurahkan cintanya lebih berat kepada salah seorang dari isteri-isterinya maka perbuatan tersebut merupakan sebuah dosa seperti yang diterangkan dalam hadis:

من كان له امرأتان يميل لاحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجر احد شقيه ساقطا اومائلا
“barang siapa yang mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satunya, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring” (HR. Ibnu Hibban)[21]
Kemudian dalam surat an_Nisa : 19 diterangkan
ولا تعضلوهن لتذهبوهببعض ما اتيتموهن
Janganlah kamu tinggalkan dia (isterimu) sama sekali dan kamu biarkan terombang ambing tidak menentu….
Rasulullah SAW sendiri sebagai orang yang paling mengetahui tentang agama dan paling berhasyar melaksanakan keadilan diantara isteri-isterinya perna berdo’a :
اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تؤاخذنى فيما تملك ولا املك
Ya, Allah ini adalah bagian yang aku miliki dan Janganlah Engkau menyalahkan aku dalam hal yang tidak dapat aku miliki”[22]

Hadis ini berkenaan dengan perasaan beliau yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri yang lain. Islam sangat menekankan akan keadilan dalam berpoligami, karena bila hal tersebut diabaikan akan menimbulkan masalah baik isteri sendiri maupun masyarakat umum. Tujuan disyari’atkannya poligami bukanlah untuk kesenangan semata, tetapi sebagai hal yang bersifat darurat dan mendesak, bila tujuannya untuk kesenangan semata maka haramlah hukumnya melakukan poligami.[23]

Etika Berpoligami
Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan oleh suami/ laki-laki jika akan melaksanakan poligami yakni etika bergaul dengan para isteri yakni :
1. Persamaan sikap dalam pergaulan sehari-hari, yaitu antara lain mengeluarkan perkataan yang baik, bermuka ceria, memandang baik apa yang dikerjakan oleh isteri, dan pengarahan yang baik bagi yang berbuat salah.
2. Tidak membeberkan apa yang terjadi antara dia dengan salah seorang isteri di hadapan isteri yang lain, temasuk hubungan intim suami isteri.
3. Jangan menyebut kekurangan atau memuji (yang berlebihan) isteri-isterinya yang lain. Menyebutkan kekurangan akan menyebbkan dia dihina dan memuji-muji akan menyebabkan yang lain benci kepadanya.
4. Seorang suami harus memelihara hubungan antar isteri sehingga tidak terjadi saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain.
5. Seorang suami hendaklah mengantisipasi dengan baik ungkapan isteri yang keliru dan didorong oleh perasaan ce,biri. baoldoarajlam kepada dirina maupun kepada isteri yang lain.[24]
Untuk itu sangat ditekankan kematangan berfikir dan kepekaan suami dalam mengatur isteri-isterinya agar keadilan tersebut bisa diwujudkan.
Adil dalam Memberi Nafkah bukan Kecenderungan Hati dan Rasa Cinta
Yang diharuskan kepada suami untuk berlaku adil pada isteri-isterinya adalah dalam hal material seperti nafkah, hari gilir, dan sikap lahiriyah lainnya. Keadilan dalam memberi nafkah diantaranya adalah :
1. Memberi nafkah disesuaikan dengan kondisi ekonomi suami, dan suami wajib untuk memberi nafkah yang sama diantara isteri-isterinya. Nafkah yang dimaksud adalah dalam hal makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.
2. Nafkah itu harus diperhitungkan dengan kondisi suami isteri secara bersamaan, maka ukuran nafkah itu sesuai dengan kemampuan suami, kemudian suami waji memenuhi hak-hak mereka sesuai dengan kebutuhan mereka. Maka si suami harus memberikan nafkah kepada isterinya yang miskin lebih sedikir dari istrinya yantg kaya, dalam hal seperti ini, maka tidak dituntut untuk berlaku sama namun bila mereka rela untuk disamakan dalam hal tersebut maka itulah yang terbaik.[25]
Adil, yang dimaksud dalam surat an-Nisa : 3 adalah adil dalam masalah-masalah lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Sebab masalah ini ada di luar kemampuan seseorang. Berlaku adil yang ditiadakan oleh ayat diatas adalah adil dalam cinta dan hubungan intim. Mengutip perkataan Abu Bakar Ibn Arabi, seperti yang dikutip dalam Fiqh Sunnah
“Memang benar bahwa adil dalam cinta di luar kesanggupan seseorang. Sebab hanya ada dalam genggaman Tuhan yang membolak-balikkannya (hati) menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan hubungan intim, terkadang seorang suami begitu bergairah dengan seorang isterinya, tetapi tidak begitu bergairah dengan isteri lainnya. Asalkan saja perbuatan itu bukan disengaja, maka ia pun tidak berdosa, karena hal itu diluar kemampuannya”.[26]

Undang-undang Perkawinan dan Perlindungan terhadap Wanita
Dalam prakteknya, sering kali poligami yakni untuk sarana mengumbar hawa nafsu yang pada akhirnya bukan lagi mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal (sakinah), tetapi menjadi penyebab terjadinya prahara rumah tangga. Tak jarang dari peristiwa ini membuat keluarga jadi berantakan, anak-anak jadi broken home, dan sebih tragis lagi diakhiri dengan perceraian.
Ajaran agama tentang kebolehan poligami dijadikan alat untuk melegitimasi perbuatan laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Dan perempuan yang dijadikan isteri muda hanya dijadikan tempat berlabuh untuk dicicipi kehanyatan tubuhnya. Masalah keadilan yang menjadi syarat pokok dalam perpoligami diabaikan.
Diperburuk dengan adanya pernikahan (poligami) liar, yakni yang dilaksanakan dibawah tangan tanpa mengikuti prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang berlaku menyebabkan kedudukan wanita dalam posisi yang sangat lemah dan memprihatinkan.
Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang mendasari lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah masalah perlidungan terhadap nasib kaum hawa ini.[27]
Prinsip-Prinsip Poligami dalam UU Perkawinan
Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami diatur sedemikian rupa agar tidak lepas dari tujuan semula yakni sebuah perkawinan/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagaimana akan tertipta sebuah keluarga yang bahagia dan kekal apabila tidak tercipta suatu ketentraman karena muncul konflik keluarga akibat dari poligami yang tidak teratur seperti suami tidak berlaku adil terhadap isteri-isterinya, suami berlaku sewenang-wenang, atau bahkan - dan ini sering terjadi- suami menikah lagi dengan isteri lain tanpa sepengetahuan dan (apalagi) izin isteri pertama. Pada akhirnya terjadilah perselisihan, pertengkaran antara isteri-isteri, dan selanjutnya dapat memperkeruh dan mengancam keharmonisan keluarga. Hubungan antara suami, isteri pertama dan isteri muda menjadi renggang, sementara hubugan antara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan dan persaingan tak sehat, apalagi kalau si suami meninggal, tak mustahil akan terjadi persengketaan harta waris diantara mereka, Maka jadilah keluarga menjadi prorak - poranda pada akhirnya tujuan perkawinan yang mulia diatas tidak tercapai.
Untuk itu perlu keterlibatan negara, dalam hal ini pengadilan, untuk menertibkan pelaksanaan poligami diatas. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara tegas bahwa :
(1) Dalam hal seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
(One) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
(Two) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
(Three) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Izin tersebut akan diberikan kepada suami yang mengajukan permohonan izin ke pengadilan apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 5 undang-undang Perkakinan yakni :
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(One) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
(Two) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(Three) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila si isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat mejadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim pengadilan.
Perkawinan Poligami, meskipun hal itu dikehendaki oeh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.[28] Apabila syaratnya telah tercukupi dan mendapatkan keputusan dari pengadilan, barulah suami bisa melakukan perkawinan kedua/poligami. Tak mungkin pengadilan akan memberikan keputusan apabila tidak/belum tercukupinya persyaratan-persyaratan dimaksud. Namun apabila syarat-syarat diatas tidak tercukupi dan tidak juga mempunyai keputusan pengadilan kemudian laki-laki itu melakukan poligami, maka ia telah melanggar Undang-undang. Dan perkawinannya harus dianggap batal demi hukum, sedangkan pelakunya termasuk pegawai pencatat nikahnya- harus diberikan sanksi hukum sesuai dengan pasal 44 dan 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai penjelasan dari Undang-undang perkawinan. yakni didenda setinggi-tingginya Rp. 7.500 dan dihukum selama-lamanya 3 (tiga) bulan [29]
Adanya keharusan untuk mendapatkan izin dari isteri pertama untuk melaksanakan poligami serta adanya ketetapan peradilan merupakan jaminan adanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam perkawinan poligami ini, sehingga terhidar dari pertikaian dan ketegangan keluarga, terutama dari para isteri. Dengan diberikannya izin oleh isteri pertama, tentu saja isteri kedua telah “direstui” kehadirannya oleh isteri pertama. Adanya restu inipun tidak menjadikan indikasi bahwa isteri pertama lebih unggul dan terhormat atau lebih berkuasa daripada isteri kedua.
Menurut penulis, peraturan diatas merupakan refleksi dari keharusan kita untuk melindungi dan memperlakukan kaum wanita seperti yang di titahkan Allah dalam surat al-Nisa : 19 :
وعاشروهن بمعروف فانةكرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كشيرا
Dan pergaulilah mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya pahala yang banyak.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa :
1. Yang dimaksud dengan adil dalam perpoligami adalah adil dalam bentuk material seperti sandang pangan papan gilir,dan perhatian. Sedangkan yang berbentuk rasa seperti cinta dan kecenderungan hati tidak di tuntut karena sangat sulit.
2. Di Indonesia telah ditetapkan Undang-undang perkawinan yang didalamnya diatur masalah tatacara poligami. Aturan ini mengikat bagi setiap warga negara dan wajib untuk mematuhinya. Dimana dijelaskan bahwa laki-laki yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari isteri pertama serta persyaratan lain yakni isteri mandul, sakit yang terus menerus. Izin ini harus diajukan ke pengadilan, dan pengadilanlah yang memberikan dispensasi poligami ini.
3. Hakim di pengadilanlah yang akan menguji apakah seorang suami layak berpoligami atau tidak dengan memperhatikan keadilan dan kemempuannya dalam membiayai lebih dari satu keluarga.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala madzahib al-arba’ah, Daerut : Darul Fikr, 1990; jilid IV
Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1987.
Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1991 cet I jilid IX
Asghar Ali Engieer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta : LSSPA, 1994, cet I,
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid I
Al-Amr ala al-Diin Ali bin Balbaan al-Farisy, al-Ihsan bitartibi shahih ibn Hibban, Baerut Darul Kutub al-Ilmiyah : 1987 Juz VI
Amak FZ, Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung, Al-ma’arif, 1976.
Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981
al-Hakim al-Naisaburi al-Mustadrak ala shahihaini, , Baerut, Dar al-Kutub al-Arabi, t.t, juz II
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Sadr, t,t. Jilid II
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, sebuah Studi atas Pemikiran Abduh, Jakarta Pustaka Pelajar 1996
Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Baerut Dar al-Fikr, 1986
Mahmud Syaltut, Islam aqidah dan Syari’ah, terj. Bustami A. Ghani Jakarta, Pustaka Amani, 1987 cet I
Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : CV. Masagung, 1993
Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Jakarta : Pustaka, 1986
Musfir al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Jakarta : Gema Insani Press, 1996
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1983 cet IV Jilid II
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 , Jakarta ; Pradnya Paramita, 1991
Yayan Sopyan, Kesatuan Hukum Negara-Hukum Agama : Studi tentang Hubungan integratif Undang-undan Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam, tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidi, Surabaya : Bina Ilmu, 1980.
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul fikr, 1991, Jilid IV
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka1976,
[1] Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981 hal 7
[2] Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1991 cet I jilid IX hal 261
[3] Surat al-Nisa 34
[4] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : CV. Masagung, 1993, Hal 11
[5] Poligami berasal dari dua kata (latin) “poli” yang berarti banyak dan “gami” berarti pasangan, sinonim dari poligami adalah bigami “bi” berarti dua “gami” berarti pasangan. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV halaman 1185
[6] Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1987. Hal 73.
[7]Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Jilid IV hal 1186 dikatakan : Yang dimaksud dengan poligami adalah Ikatan perkawinan di masa salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan . Sementara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawinai beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1988)
[8] Musfir al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal 34
[9] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Ibnu Majah dan Tirmidzi.
[10] Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Jakarta : Pustaka, 1986 hal. 51
[11] Musfir al-Jahrani, Op. cit, hal 37
[12] Faktor penting yang melatar belakangi turunnya surat An-Nisa ayat 3 adalah ayat ini turun segera setelah Perang Uhud dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada orang muslim setelah peristiwa yang membawa perubahan besar itu. Dalam perang ini 70 dari 700 orang laki-laki terbunuh dan kejadian ini jelas sangat mengurangi jumlah laki-laki muslim. Banyak perempuan muslim yang menjadi jand dan anak-anak perempuan menjadi yatim. Mereka harus dipelihara dan dalam konteks sosial yang berlaku pada waktu itu, jalan terbaik adalah dengan memperbolehkan laki-laki muslim mengawini para janda dan anak-anak yatim sampai empat dengan syarat mereka melakukan keadilan terhadap semuanya dan jika mereka tidak mampu berbuat demikian, mereka tidak boleh mengawini lebih dari seorang perempuan atau mengawini hamba sahaya saja. Lihat Asghar Ali Engieer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta : LSSPA, 1994, cet I, hal 143
[13] Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidi, Surabaya : Bina Ilmu, 1980. hal 263.
[14] Asghar Ali Engieer, op.cit, hal 146
[15] Mahmud Syaltut, Islam aqidah dan Syari’ah, terj. Bustami A. Ghani Jakarta, Pustaka Amani, 1987 cet I hal 264
[16] ibid, hal 265
[17] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka1976, hal 16.
[18] Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Baerut Dar al-Fikr, 1986 hal 491
[19] Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996) Jilid I hal 25.
[20] Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Sadr, t,t. Jilid II hal. 430
[21] Al-Amr ala al-Diin Ali bin Balbaan al-Farisy, al-Ihsan bitartibi shahih ibn Hibban, Baerut Darul Kutub al-Ilmiyah : 1987 Juz VI hal 204. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Huarirah. Hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda diriwayatkan oleh Hakim melalui jalur Abu Huarah yang berbunyi : اذا كان عند الرجل امرأتان فلم يعدل بينهما جاء يوم القيامة وشقه ساقط Menurut al-Hakim hadis ini adalah hadis shahih karena telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, akan tetapi mereka tidak mengeluarkannya. Lihat al-Mustadrak ala shahihaini, oleh al-Hakim al-Naisaburi, Baerut, Dar al-Kutub al-arabi, t.t, juz II hal 186.
[22] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul fikr, 1991, Jilid IV hal 235
[23] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, sebuah Studi atas Pemikiran Abduh, Jakarta Pustaka Pelajar 1996 hal 103.
[24] Musfir al-jahrani op.cit, hal 65
[25] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala madzahib al-arba’ah, Daerut : Darul Fikr, 1990; jilid IV hal 237
[26] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1983 cet IV Jilid II, hal 99
[27] Informasi lebih lanjut tentang hal ini dapat di lihat dalam Amak FZ, Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung, Al-ma’arif, 1976.
[28] Penjelasan AtasUndang-undang Nomor 1 tahun 1974 poin C.
[29] Yayan Sopyan, Kesatuan Hukum Negara-Hukum Agama : Studi tentang Hubungan integratif Undang-undan Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam, tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. hal 176

No comments: