Thursday, February 1, 2007

POLITISI BUSUK DAN ETIKA ISLAM

Menarik apa yang disampaikanYunus Yosfiah – mantan jenderal yang kini menjadi politisi di salah satu partai besar Islam—yang menyatakan bahwa mengumumkan politisi busuk bertentangan dengan etika Islam karena menurutnya mengumumkan politisi busuk sama saja dengan membuka aib seseorang, dan membuka aib seorang –apalagi seorang muslim- adalah perbuatan dosa sesuai dengan sebuah hadis : barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutup aibnya diakhirat kelak.
Pernyataan ini menjadi sangat menarik, terlebih ditengah suhu perpolitikan Indonesia yang sedang memanas. Tentu saja pernyataan itu menjadi sangat politis, ketimbang etis. Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada udang dibalik batu dibalik pernyataan itu, yaitu untuk menyelamatkan "muka" beberapa politisi yang memang mempunyai ”cacat akhlak" dan "cacat sosial"? terlebih pernyataan itu diutarakan ditengah gencar-gencarnya beberapa LSM dan tokoh politik untuk mengumumkan politisi busuk yang menjadi Calon Legeslatif.

Islam dan Etika
Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan etika (akhlak) sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis : sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran etika.(HR. Ahmad)
Muhammad adalah orang yang sesempurna-sempurnanya etika, prilaku, tuturkata, sikap, kebijakan, keputusan dan pandangan serta ajarannya adalah mulia. Sehingga setiap orang Islam wajib untuk mengikuti jejak langkahnya untuk dijadikan suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebaliknya, Islam melarang umatnya untuk melakukan perbuatan mungkar yang tidak mempunyai akhlak yang luhur.

Penggunaan Ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi Politik
Harus diwaspadai akan banyak politikus atau partai politik –khususnya Partai Politik berbasis massa Islam -- yang menjadikan ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi politik. Tentu saja dua teks suci ini akan menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan dan menarik simpati hati umat Islam. Tentu saja, --menurut saja—politikus/partai politik seperti ini memakai teori Miccavelli yaitu menghalalkan segala asal tujuan tercapai. Tentu saja menjadikan ayat al-Qur'an atau Hadis dalam kampanye merupakan perbuatan rendah, hina. tercela sebagaimana firman Allah .:……dan janganlah kalian menjaual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah……

Bolehkah membongkar Aib Seseorang?
Pada prinsipnya, memang betul apa yang diungkapkan oleh Yunus Yosfiah bahwa mengumbar dan mengumumkan aib seseorang adalah perbuatan tercela karena membuat orang yang di bongkar aibnya itu tidak suka, tidak enak. Tetapi, jangan titik sampai disitu. Dalam khazanah pengetahuan Islam ada satu disiplin ilmu yang salah satu kajiannya adalah membongkar borok atau aib seseorang yaitu ulumul hadis (ilmu Hadis). Didalam ilmu ini ada satu bidang yang mengkhususkan diri untuk melakukan kritik terhadap perawi (transformer/orang yang meriwayatkan) hadis yang disebut ilmu jarh wa ta'dil. Jarh artinya melukai dan ta'dil adalah membenarkan. Ilmu ini membuka secara blak-blakan kemampuan ilmiah, sikap, prilaku, dan karakter seorang perawi baik sikap yang jeleknya (jarh) seperti pembohong, tidak adil, tidak jujur, suka memalsukan hadis, pelupa, suka menambah dan mengurangi hadis dll. maupun sifat baiknya (ta'dil) seperti : kuat hafalannya, adil, jujur, berakhlak mulia.
Yang menarik adalah ketika seorang perawi dinilai mempunyai kedua sifat yang berbeda – baik dan buruk—mana yang harus dikedepankan dan diutamakan?. Para ulama hadis sepakat untuk mengutamakan jarh daripada Ta'dil, artinya perawi itu dinyatakan busuk (marjuh), tidak berkompeten untuk meriwayatkan hadis. Tentu saja secara otomatis hadis yang diriwayatkannya tidak bisa diterima. Saking pentingnya ilmu itu sehingga Ibn al-Mubarak mengatakan bahwa ilmu ini merupakan bagian dari ajaran Islam (Shahih Muslim)
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Oleh karena itu diperlukan adanya pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadis, demi menjaga orsinilitas hadis, diperlukan suatu perangkat keilmuan yang dapat menditeksi terjadi pemalsuan terhadap hadis. Untuk itu lahirlah Ilmu jarh wa tah'dil merupakan piranti untuk menilai dan mengkritik orang-orang yang meriwayatkan hadis, sehingga dapat diketahui nilai hadis yang diriwayatkan. Dan terhindar dari perawi yang busuk.
Walaupun para perawi sangat maklum tentang adanya warning dari Nabi : jika seseorang berbuat dusta tentang aku dengan sengaja, hendaklah dia yakin dan bersiap-siap untuk ditempatkan didalam neraka. Namun, dalam kenyataannya, banyak juga orang (perawi) yang nekad untuk melakukan kebohongan atas nama Nabi dengan beberapa motivasi dan kepentingan yang berbeda, khususnya masalah politik.

Perlukah menerapkan Jarh wa Ta'dil untuk Caleg.?
Kalau dalam jarh wa ta'dil yang melakukan kritik terhadap para perawi hadis yang tujuannya untuk pemurnian hadis, untuk menghidarkan hadis dari kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, untuk menegakkan ajaran agama Islam. maka, demikian pula sama pentingnya jarh dan ta'dil harus dilakukan terhadap calon legeslatif kita untuk menyeleksi siapa saja calon legeslatif yang kompeten dan mempunyai integritas moral supaya betul-betul bersih, amanah, jujur dan terpercaya dan dapat melaksanakan amanat rakyat. Dengan terpilihnya calon legeslatif yang bersih, amanah, jujur, dan terpercaya dapat terwujud Indonesia Baru, pemerintahan yang legitimed, bersih dari KKN. Yang pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia yang baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur.

Penulis Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Dan wakil Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Azasi Manusia PUSKUM-HAM) UIN Jakarta

No comments: