Thursday, February 1, 2007

PENERIMAAN ULAMA TERHADAP HADIS AHAD

PENDAHULUAN
Para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan khabar ahad dalam sebuah perkara dimana hadis itu mengandung cacat tetapi hadis tersebut sudah masyhur dikalangan ulama, apakah sah mengambil hadis tersebut sebagai hujjah atau tidak?
Jumhur ulama ushul diantaranya golongan Syafi’I, ashab Malik dan Hambali., menerima hadis tersebut untuk dijadikan hujjah jika sanadnya sahih.
Abu Hasan al Karakhi dari ulama mutaqadimin dari mazhab Hanafi, dan seluruh ulama mutaakhir Hanafiyah menolak penggunaan hadis ahad tersebut dan tidak mengamalkan isinya.[1]
Adapun alasan kelompok yang mempergunakannya adalah :
1. Nash dari khabar ahad merupakan hal yang mutlak untuk diterima tanpa harus membedakan apakah didalamnya antara yang mengandung cela (umumul balwa) atau tidak.
2. Ijma sahabat yang memakai hadis ahad dalam hal “umumul balwa” diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwasanya ia berkata : kami melakukan “mukhabarah” selama 40 tahun dan selama itu tidak ada masalah sehingga datanglah riwayat Rafi bin Khadij bahwa Nabi SAW melarang hal tersebut dan kami menghentikannya.[2]
Dalam hal ini pula, para sahabat kembali bersepakat setelah berbeda pendapat dalam hal wajibnya mandi karena bertemunya dua alat kelamin (bersetubuh) tanpa mengeluarkan mani. Mereka kembali kepada riwayat Aisyah yang berbunyi Jika dua khitan bertemu maka wajib mandi baik itu mengeluarkan mani atau tidak, aku dan Rasullullah berbuat demikian dan setelah itu kami mandi.[3]
3. Berdasarkan logika : yakni perawi hadis tersebut adalah masuk dalam katagori adil dan tsiqah, rawi mantap hati dalam meriwayatkan hadis yang benar adanya, oleh karena itu kita harus membenarkannya juga seperti hadis-hadis yang tidak berhubungan dengan masalah “umumul balwa”. Ini merupakan qiyas yang dapat diterima walaupun keberadaan hadis yang seperti itu lebih lemah dibandingkan dengan hadis ahad. Dan oleh karena itu hadis tentang hal ini lebih utama untuk diterima.

Adapun alasan bagi orang yang tidak menerima hadis ahad - yakni ulama Hanafiyah - adalah bahwa secara adat-istiadat (kebiasaan) masyarakat luas menuntut banyaknya hadis yang berisi “Umumul balwa” seperti hadis yang menerangkan tentang ”memegang kemaluan”. Kalau memang bahwa memegang kemaluan itu dapat membatalkan wudhu, mengapa Nabi SAW hanya mengabarkan hadis tersebut kepada seorang saja bukannya kepada banyak orang yang dapat mencapai derajat mutawattir atau masyhur Dimana orang-orang tersebut akan berusaha keras menyebarkan hadis tersebut karena pentingnya permasalahan itu?
Ketika hadis tersebut tidak diberitakan kecuali oleh satu orang pada faktor-faktor pendorong untuk itu (dikhabarkan oleh orang banyak) terpenuhi, ini menunjukkan atas kebohongan atau lupa atau dihapusnya apa yang diriwayatkannya, seperti berita tentang terbunuhnya seorang walikota ditengah-tengah pasar di siang hari bolong dan disaksikan orang banyak, akan tetapi yang mengabarkan berita itu hanya seorang saja, atau seperti adanya suatu peristiwa yang menyebabkan orang-orang tidak dapat melaksanakan sembahyang Jum’at dan hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Sekali lagi hal seperti itu merupakan hal yang mustahil, dan tidak rasional.

DAMPAK DARI PERBEDAAN KAIDAH INI
Dari permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa permasalahan, diantaranya adalah :

1. BATALNYA WUDHU KARENA MENYENTUH KEMALUAN
Jumhur ulama diantaranya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal dalam dua riwayatnya dan Imam Malik dalam qaul masyhurnya, berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dengan tangan dapat membatalkan wudhu. Namun Imam Syafi’I memberikan pengecualian jika menyentuh kemaluan itu dengan telapak tangan bagian dalamnya. Sedangkan Imam Malik mengecualikannya jika dengan sentuhan yang memberikan kenikmatan atau sengaja disentuhkan. Adapun argumentasi mereka adalah hadis Basrah binti Sufyan bahwa Nabi bersabda :
Barang siapa yang memegang kemaluannya maka janganlah shalat sehingga dia berwudhu
Dalam riwayat lain dari Basrah bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :
dan wudhu sebab memegang kemaluan.
Hanafiyah berpendapat bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu, mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Qais bin Talk dari ayahnya Talk bin Ali yaitu bahwa dia bertanya kepada Nabi SAW tentang seseorang yang memegang kemaluannya, apakah dia wajib wudhu, Nabi menjawab :
Tidak, itu hanyalah daging lebihan dari badanmu.[4]
Mereka menolak hadis yang diriwayatkan basah binti Sufwan dengan berpendapat bahwa hadis tersebut merupakan hadis ahad dengan masalah umum al-Balwa. Imam al-Syarakhsi dalam kitabnya al-Mabsuth berkata : Hadis yang diriwayatkan oleh Basrah bin Sufyan jauh dari kesahihan. Yahya bin Muin, berkata : ada tiga hal yang tidak sah darinya hadis dari Rasulullah SAW diantaranya adalah hadis ini, bagaimana Rasulullah SAW tidak mengatakan hadis ini di hadapan para sahabat-sahabat besar sehingga tidak seorangpun meriwayatkan hadis ini, tetapi Nabi mengatakannya di hadapan Basrah, Rasulullah SAW orang yang sangat pemalu terhadap perempuan yang ada di rumahnya.[5]

MEMBACA BASMALAH SECARAZAHR DALAM FATIHAH
Imam Syafi’I berpendapat bahwa orang yang shalat dimana shalat itu merupakan shalat yang bacaannya didhahirkan wajib membaca basmalah dengan didhahirkan pula sebagaimana membaca surat al-Fatihah dan surat yang lainnya. Syafi’I mendasarkan pendapatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, dia berkata :

Muawiyyah shalat di Madinah lalu ia mendhahirkan bacaannya dan membaca basmalah dalam bacaan fatihah, dan tidak membaca basmalah dalam membaca surat setelah fatihah, sehingga bacaannya selesai, dia tidak bertakbir ketika turun sehingga dia menyelesaikan salatnya, ketika Muawiyyah selesai salat, sekelompok orang dari Muawiyyah memanggilnya dan berkata : wahai Muawiyyah, apakah kamu mengurangi salat kamu atau kamu lupa? Setelah hal tersebut, Muawiyyah ketika shalat membaca basmalah ketika membaca surat yang setelah fatihah, takbir ketika turun.
Permulaan hadis yang diriwayatkan Qatadah dari Anas, dia berkata :

Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar mereka mengawali bacaan dengan “al hamdulillahi rabbil Alamin”
Yang dimaksud adalah memulai bacaan dengan membaca fatihah sebelum membaca yang sesudahnya, bukan berarti mereka meninggalkan membaca basmalah.
Hanafiyyah dan Ahmad berpendapat bahwa bacaan basmalah itu dibaca secara pelan (sirri), mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadis diantaranya hadis yang diriwayatkan dari Annas dia berkata :

Saya shalat bersama Nabi SAW, Abu Bakar Umar dan Utsman dan saya tidak mendengarkan salah seorang dari mereka mebaca basmalah.
Dalam riwayat lain diakatakan :

Saya shalat dibelakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman maka mereka tidak mengeraskan membaca Basmalah.
Mereka menolak hadis yang dijadikan hujjah oleh Syafi’I dengan mengatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis ahad yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi banyak orang, oleh karena itu tidak bisa diterima.

MENGANKAT KEDUA BELAH TANGAN KETIKA BANGKIT DARI RUKU’
Imam Syafi’I, ahmad, Maliki dalam Qaul masyhurnya serta jumhur ulama berkata bahwa orang yang shalat mengangkat kedua tangannya ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku sebagaimana dilakukan ketika takbiratul ikhram. Dasar pendapat mereka adalah hadais Ibn Umar, dia berkata :

Nabi SAW ketika shalat beliau mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahunya kemudian takbir, dan ketika hendak ruku beliau ngangkat kedua tangannya seperti pertama, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku, juga mengangkat keuda tangannya juga sambi berkata “sami’allahu liman hamidah” (hadis riwayat al-Bukhari).
Dalam riwayat Bukhari yang lain dijelaskan bahwa :

Rasulullah tidak melakukan hal tersebut ketika sujud an ketiak bangun dari sujud.
Abu Hanifah serta pengikutnya dan segolongan ulama Kufah berpendapat tidak mengangkat kedua tangan kecuali ketika takbiratul ikharam. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Ibn Mas’ud, dia berkata :

Saya akan shalat untuk kamu sekalian seperti shalatnya Rasulullah SAW lalu dia shalat dan tidak mengangkat keuda tangannya kecuali satu kali.
Dan hadis Ibn Mass’ud yang lain dia berkata :

Saya shalat bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar RA mereka tidak mengangkat kedua tangan mereka kecuali ketika perpulaan shalat saja (Takbiratul Ihram).
Mereka tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar walaupun hadis tersebut ada pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim karena hadis tersebut termasuk hadis yang berhubungan dengan banyak orang seharusnya hadis tersebut mencapai tingkat masyhur akan tetapi pada kenyatannya tidak demikian, masalah ini terus berlanjut dalam pembahasan menolak hadis karena adanya perawi hadis yang tidak mangamalkan hadis tersebut.

TETAPNYA MELIHAT HILAL RAMADHAN
Tetapnya melihat tanggal (hilal) Ramadhan. Diantara yang berhubungan dengan masalah ini adalah penolakan hadis yang berhubungan dengan umumul balwa adalah tetapnya tanggal (hilal) Ramadahan. Imam Syafi’I dan Ahmad menurut qaul masyhurnya berpendapat bahwa tanggal (hilal) dapat ditetapkan dengan adanya seorang yang adil melihatnya, baik itu pada hari terang ataupun pada hari yang mendung.
Imam Syafi’I berkata :

Apabila orang banyak tidak melihat hilal Ramadhan dan seorang yang adil melihatnya, pendapat saya menerimanya adalah karena atsar dan karena hati-hati. Syafi’I berkata Al-Darawardi menceriterakan kepada saya dari Muhammad bin Abdillah bin Amr bin Utsman dari ibunya Fatimah binti al-Husain, bahwa seorang laki-laki dihadapan Ali RA bersaksi melihat hilal Ramadhan maka Ali puasa, saya menduga dia berkata : dan Ali memerintahkan manusia untuk puasa, dan berkata puasa sehari pada bulan Sya’ban sebih sengan bagi saya daripada buka satu hari pada bulan Ramadhan.

Hanafiyah memisahkan antara hari terang dengan hari mendung ketika melihat hilal itu. Mereka menerima persaksian seorang pada hari mendung, dan tidak menerimanya pada hari terang kecuali persaksian orang banyak, berdasarkan prinsip mereka yaitu menolak hadis ahad yang berhubungan dengan banyak orang. Pengarang kitab al-Hidayat berkata :

Apabila di langit ada sesuatu illat maka pemimpin bisa menerima persaksian seorang ang adil dalam melihat hilal baik laki-laki ataupun perempuan, merdeka atau budak karena masalah tersebut merupakan masalah agama maka menyerupai periwayatan khabar-khabar karena itu tidak husus dengan lafadz syahadat dan disyaratkan keadilan karena perkataan orang fasik dalam masalah agama tidak diterima,

kemuadian dia berkata :

Kalau di langit tidak ada illat maka tidak diterima persaksian kecuali dari sekelompok orang, keyakinan dapat terjadi dari kahabar mereka, karena satu orang bersaksi dalam kaeadaan seperti ini dimungkinkan untuk salah, oleh karena itu wajib menunda persaksian seorang sehingga terdapat persaksian sekelompok orang berbeda ketika di langit ada illat, karena mendung itu terkadang bisa menutupi pandangan dari melihat hilal tapi terkadang sebagian hilal itu bisa terlihat.

Adapun ulama Malikiyyah berpendapat bahwa melihat hilal tidak diterima hanya dari satu baik dalam keadaan terang maupun mendung tetapi harus dari dua orang laki-laki yang adil.
Golongan Hanafiyah ada pendapat yang diambil dari hadis ahad mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah orang banyak seperti batalnya wudhu disebabkan karena keluar darah dari hidung (mimisan) keluar darah, mundah dan sendawa yang ada pada hadis yang diriwayatkan Ismail bin Iyas dari Ibnu Juraij dari Abi Mulaikah dari Aisyah RA dia berkata :

Rasulullah SAW bersabda : barangsiapa muntah, keluar darah dari hidung, sendawa atau mazi hendaklah wudhu, kemudian lakukan shalat dalam keadaan tidak boleh bicara”.
Hadis riwayat ibnu Majah dan al-Daruquthni. Dia berkata para huffadz dari kalangan Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ibnu Juraij dari ayahnya dari Nabi SAW secara mursal.
Dan seperti batalnya sudhu disebabkan karena batuk didalam shalat berdasarkan apa yang datang dari Ma’bad al-Khuzai dia berkata :

Ketika kami sedang shalat tiba-tiba datang seorang buta hendak shalat lalu dia masuk dalam perangkap binatang, maka orang-orang tertawa sehingga terbatuk-batuk, ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, ia bersabda : barang siapa yang terbatuk-batuk hendaklah mengulang wudhu dan shalatnya.
Inilah masalah-masalah yang dihadapi banyak orang dan ada dalam hadis ahad, walaupun demkian Hanafiyah memakainya sebagai hujjah.














MENOLAK HADIS KARENA RAWI MENGINGKARI ATAU MENGAMALKAN SESUATU HAL YANG BERTENTANGAN DENGAN HADIS YANG DIRIWAYATKANNYA


INKARNYA RAWI
Apabila shahabat atau selainnya meriwayatkan suatu hadis kemudian rawi lain meriwayatkan hadis tersebut dari rawi tersebut lalu rawi pertama menginkari priwayatan hadis; jika inkarnya rawi pertama terhadap hadis tersebut dengan ingkar jahid, dengan mengatakan kamu berbohong dengan apa yang kamu riwayatkan dari saya, saya tidak meriwayatkan hal ini kepada kamu, atau yang lainnya, ulama sepakat hadis tersebut tidak bisa di amalkan, karena baik rawi pertama ataupun rawi kedua saling membohongi oleh karena itu salah satu dari keduanya pasti ada yang bohong walaupun tidak pasti yang mana, dan hal itu menyebabkan akan kecacatan sebuah hadis walaupun cacat terssebut tidak membuat perawi menjadi tidak adil , karena keyakinan kita pada keadilan dari salah satu dari keduanya serta adanya keraguan atas hilangnya sifat keadilan tersebut sedangkan suatu yang sudah yakin tidak hilang dengan suatu keraguan seperti dua saksi yang keduanya memenuhi syarat akan tetapi bertentangan maka keduanya tidak dapat diterima tetapi tidak menggugurkan sifat adil yang ada pada keduanya, maka dari itu hadis yang diriwayatkan keduanya dapat diterima selain tentang hadis lain. Apabila inkarnya rawi pertama atau inkar mutawakkif dengan mengatakan saya tidak menyebutkan bahwa saya meriwayatkan hadis ini, atau saya tidak tahu dsb.
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat Imam syafii dan malik hal ini tidak membuat hadis itu cacat oleh karena itu dapat diterima hadis dari rawi kedua walaupun rawi pertama mengingkari selama rawi kedua tsiqat. Abu Hasan al-Karakhi dan ulama Hanafiyah dan satu riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa hadis tersebut tidak dapat diamalkan, pendapat inilah yang dipilih oleh al-Qodhi al- Imam , asy-Syaikhoni, dan sebagian ahli kalam.

HUJJAH ULAMA YANG MENGAMALKAN
1. HadisDzil yadain, yaitu Nabi tidak menerima hadisnya ketika dia mengatakan Apakah engkau (Nabi) mengkasyar shalat atau lupa? Nabi berkata : semuanya tidak terjadi kemudian Dzil yadain berkata : sebagian dari itu terjadi, Nabi SAW berkata kepada Abu Bakar dan Umar, apakah benar apa yang dikatakan Dzil Yadain, keduanya menjawab Ya. Maka persaksian keduanya diterima atas apa yang diucapkan dzil yadain.
2. Lupa dari rawi kedua mungkin terjadi, demikian pula dengan rawi pertama, sedangkan keduanya sama-sama adil dan tsiqat. Oleh krena itu keduanya membenarkan apa yang dikatakan oleh dirinya masing-masing. Dan lupanya rowi yang lain tidak membatalkan apa yang dia rajihkan. Sebagaimana tidak batal sebab matinya salah satu rawi atau gilanya salah satu rawi.
3. Apa yang telah menjadi masyrhur di kalangan ahli hadis yaitu menerima hadis semacam itu dan tidak mengingkarinya.

HUJJAH ULAMA YANG TIDAK MEMAKAI
1. Inkarnya Umar terhadap apa yang diriwayatkan oleh Ammar bin Yasir ketika Ammar berkata kepada Umar apakah anda ingat ketika saya dan anda ada dalam peperangan dan kita berjunub dan tidak menemukan air, lalu anda tidak shalat sedangkan saya berguling-guling di debu dan shalat, lalu Nabi SAW berkata cukuplah anda menepuk debu dengan kedua tanganmu kemudian kamu tiup lalu kamu usapkan ke wajah dan kedua telapak tanganmu, Umar berkata : Takutlah kamu kepada Allah ya Ammar, Amar berkata : jika anda menghendaki saya tidak akan menceriterakan hal tersebut, dalam hal ini Umar tidak menerima apa yang diriwayatkan Ammar walaupun Ammar tetap dalam keadaan adil dan berkata : orang yang junub tidak tayammum tetapi menunggu sampai mendapatkan air, sedangkan hukum mengatakan bahwa hadis dari wari kedua tidak diterima dalam keadaan rawi pertama tidak mengingkari.
2. Di Qiyaskan dengan persaksian. Mereka berkata kalau riwayat rawi kedua diterima padahal rawi pertama mengingkari maka hal tersebut bisa terjadi dalam masalah persaksian, sedangkan yang terjadi tidak demikian, lazimnya karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa saksi sekunder (pendukung) tidak diterima kalau saksi primer (utama) lupa. Dalil ini ditolak dengan membedakan antara riwayat dan saksi bahwa masalah persaksian lebih kecil cakupannya daripada masalah riwayat, oleh karena itu dalam persaksian disyaratkan adanya kemerdekaan, laki-laki, dan jumlah, serta tidak bolehnya “katanya” dan tidak bolehnya hijab dan harus memakai lazadz “saya menyaksikan” bukan “saya tahu”.
3. Qiyas terhadap persaksian berdasarkan putusan hakim. Mereka berkata kalau rawi yang kedua diterima padahal rawi yang pertama lupa, maka hakim boleh mengamalkan dengan keyakinan hakim sendiri, apabila dua orang saksi bersaksi dengan hukumnya pada suatu masalah dan dia lupa atas hukum tersebut, sedang pada kenyataannya tidak demikian karena hakim tidak bisa memutuskan dengan persaksian kesaksian mereka. Dalil ini ditolak dengan tidak bolehnya menafikan sesuatu yang lazim, karena wajib bagi hakim untuk memutuskan menurut Malik, Ahmad dan Abu Yusuf. Yang tidak mewajibkan hal tersebut adalah murid-murid Syafi’I sekiranya mereka tidak mewajibkan hakim untuk memutus suatu perkara. Kalangan Syafi’iyyah menjawab hal tersebut dengan mengatakan bahwa kemungkinan lupa dalam masalah periwayatan lebih banyak, sedang dalam masalah qada’ sangat jauh (sedikit kemungkinannya) karena lupanya taraffu dan panjangnya silsilah riwayat dan kembalinya hukum lebih jauh dari lupanya riwayat, oleh karena itu tidak bisa diqiyaskan.

2. RAWI MENGAMALKAN SESUATU YANG BERTENTANGAN DENGAN APA YANG DIRIWAYATKAN
Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah rawi mengamalkan suatu yang bertentangan dengan apa yang diriwayatkan. Letak perbedaan tersebut ketika rawi mengamalkan sesuatu hal yang bertentangan dengan hadis setelah dia meriwayatkan hadis tersebut. Adapun ketika dia mengamalkan sesuatu yang bertentangan sebelum meriwayatkan hadis tersebut, maka tidak ada perbedaan ulama, karena mungkin rawi menarik pekerjaannya setelah dia mengetahui hadis.

HUJJAH ORANG YANG MENGAMALKAN
Menurut Imam Syafi’I : yang dijadikan hujjah apa yang dinukil dari sahabat, bukan apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan. Karena bisa saja perkataan atau perbuatan sahabat itu berdasarkan ijtihad mereka sedangkan kita tidak menetapkan ijtihad mereka. Dalam masalah ini Imam Syafi’I berkata : bagai mana kita bisa meninggalkan hadis sebab perbuatan seseorang yang kalau kita hidup semasanya, maka saya akan mendebatnya.

HUJJAH ORANG YANG TIDAK MENGAMALKANNYA
Orang yang tidak mengamalkan hadis tersebut berpendapat bahwa bila perbedaan itu nyata, bahwa hadis tersebut itu menyalahi pandangan dengan adanya hadis itu mansukh atau tidak ditetapkan - yakni yang jelas dari keadaannya- maka hadis itu tidak bisa dijadikan hujjah karena dinasakh atau dianggap tidak ada.
Apabila perbedaannya itu batal, dengan gambaran hadis itu berbeda karena sedikitnya kepedulian dan meremehkan hadis, atau karena lupa, atau lalai, maka periwayatan hadis tersebut gugur karena jelas hal tersebut tidak adil dan dia dikatagorikan fasiq. Atau jelas orang itu melalaikan hadis, dan keduanya menyebabkan tidak diterimanya periwayatan hadis.

DAMPAK DARI PERBEDAAN INI
MENGANGKAT TANGAN KETIKA BANGKIT DARI RUKU
Jumhur ulama sepakat atas disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, dan lebih dari satu orang yang mengaku bahwa hal itu merupakan ijma. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal, apakah disunnahkan mengangkat kedua tangan atau tidak, diantaranya ketika hendak dan bangun dari ruku’.
Syafi’iyyah, Hanabilan dan salah satu riwayat dari Malik berpendapat dalam dua masalah diatas; disunnahkan mengangkat kedua tangan. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadis Ibn Umar beliau berkata :

Nabi SAW ketika salat mengangkat kedua tangannya sebatas bahu kemudian takbir, demikian pula Nabi SAW mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku. Dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ demikian pula mengangkat kedua tangan dan beliau mengucapkan : sami’allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu…..
Kalangan Hanafiyah berpendapat tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan dalam dua masalah tersebut, mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Ibn Mas’ud, beliau berkata :

Saya akan perlihatkan kepada kalian salatnya Rasulullah SAW lalu dia shalat, dan tidak mengangkat kedua tangannya kecuali sekali.

Mereka mengatakan : Ibn Mas’ud adalah seorang yang sangat alim dan selalu bersama Rasulullah SAW mengetahui keadaan didalam dan diluarnya permasalahan. Oleh karena itu apa yang diriwayatkannya lebih utama daripada riwayat lain yang keadaannya tidak seperti Ibnu Mas’ud. Mereka juga mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadis yang dha’if, dan tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan Ibn Umar. Ibnu Umar mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diriwayatkannya. Mereka berkata : Mujahid berkata : Saya shalat di belakang Ibnu Umar dan dia tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika takbiratul ihram. Oleh karena itu mereka menolak hadis Ibnu Umar.
Ibnu Qudamah membantah dalil golongan Hanafiyah setelah menjelaskan dalil-dalil jumhur dan dia berkata : Apapun kedua hadis mereka itu dhaif, sedang hadis Ibn Mas’ud maka Ibn al-Mubarak berkata : Yazid bin Abi Ziyad menceriterakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila, tidak berkata dan tidak mengulang, dan ketika saya datang ke Kufah saya mendengarnya membicarakannya dan berkata: Dia tidak mengulangi saya menyangka mereka mengajarinya, al-Humaidi dan lainnya berkata : Yazin bin Abi Ziyad itu buruk hafalannya di akhir umurnya dan salah.
Kemudian jika kedua hadis itu sahih, maka tarjih bagi hadis-hadis kami lebih utama karena 5 alasan :
1. Karena hdis-hadis kita rawinya lebih adil, maka lebih mendekati kebenaran.
2. Hadis-hadis tersebut lebih banyak rawinya, maka kemungkinan benarnya lebih kuat dan jauh dari kemungkinan salah.
3. Mereka itu menetapkan, sedang orang yang menetapkan tiu mengabarkan sesuatu yang dilihat dan meriwayatkan oleh karena itu wajib mendahulukan perkataaannya karena dia mengamalkannya, sedangkan orang yang menafikan tidak melihat apa-apa dan karena itu perkataannya tidak diambil (tidak dipakai) dan karena itu pula kami mendahulukan orang yang cacatnya perawi daripada orang yang mengatakan adil.
4. Mereka memisahkan dalam meriwayatkannya
5. Hadis-hadis yang kita pakai senada dengan yang dilakukan oleh para salaf dari golongan shahabat dan tabiin, hal ini menunjukkan atas kuatnya hadis tersebut.
Perkataan mereka (golongan Hanafiyah) tentang ibnu Mas’ud itu pemimpin yang paling alim, kami berkata : kami mengakui atas keutamaannya, tetapi mendahulukannya atas amirul mu’minin (Umar dan Ali) seta yang lainnya tidak mungkin, dia tidak bisa menyamai satu dari mereka, bagaimana mengunggulkannya dari mereka semua? Dan Ibn Mas’ud meninggalkan apa yang dikatakannya dalam salah dalam beberapa hal, diantaranya : sesungguhnya Ibnu Abbas di dalam ruku’ (meletakkan kedua tangannya diantara dua lututnya) dia tidak melakukannya, memakai riwayat orang lain dalam meletakkan kedua tangannya dalam ruku’, meninggalkan bacaannya dan memakai bacaan Zaid binTsabit, dia berpendapat tidak tayamum karena junub, meninggalkan hal tersebut dan memakai riwayat-riwayat orang yang lebih sedikit dari wawi-rawi kami, dan lebih rendah, terlebih dalam masalah ini.
Dan kami mengakhiri ini dalam munaqashah Syafi’I terhadap lawannya dalam masalah ini, karena perbedaan pendapatnya berhubungan dengan dasar dari kaidah ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan. Didalam kitab al-Umm : saya berkata kepada Syafi’I tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat, dia berkata : orang yang shahat mengangkat kedua tangan ketika permulaan shalat sebatas bahu, ketika hendak ruku’ dan ketika bangun dari ruku’, tidak melakukan hal tersebut ketika sujud. Saya berkata kepada Syafi’I : apakah hujjahnya? Beliaw berkata : Ibn Uyyainah mengabarkan kepada kita tentang hal ini dari al-Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi SAW seperti apa yang saya ucapkan : saya berkata : kami berkata : Nabi SAW mengangkat tangan pada permulaan kemudian tidak mengulangi lagi.
Syafi’I berkata : Malik mengabarkan kepada kita dari Nafi bahwa Ibn Umar ketika memulai salat dia mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, demikian pula ketika bangun dari ruku’, dia meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa sesungguhnya Nabi SAW ketika memulai shalat mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, ketika bangun dari ruku’, juga mengangkatnya, kemudian kamu sekalian meninggalkan Rasulullah SAW dan Ibn Umar, lalu mengatakan Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika memulai shalat padahal telah diriwayatkan kepada kamu bahwa Nabi SAW dan Ibn Umar mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan bangun dari ruku’. Syafi’I berkata : apakah boleh bagi orang yang mengetahui (alim) meninggalkan Nabi SAW dan Ibn Umar lalu melakukan menurut pendapatnya, atau meninggalkan Nabi SAW karena memakai pendapat Ibn Umar, kemudian qiyas atas perkataan Ibn Umar lalu mendatangi tempat lain?
NIKAH TANPA WALI

Para ulama berbeda pendapat dalam pernikahan seorang perawan yang sudah baligh dan menikahkan dirinya atau orang lain tanpa wali. Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya wali, diantara hujjah yang dikemukakan adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda:

Perempuan yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, bela mereka telah berhubungan wajib bagi laki-laki membayar mahar, bila wali menolak maka penguasa (hakim) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.
Kebanyakan ulama dari golongan Hanafi mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya wali itu sah. mereka mendasarkan pendapat mereka pada sabda Nabi SAW :
janda lebih berhak atas dirinya dari walinya.
Mereka menolak hadis jumhur dengan mengatakan bahwa rawi hadis tersebut (Aisyah) telah melakukan hal yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkannya. Dia telah menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya (Hafsah binti Abdurrahman) dengan Mundzir bin al-Zubair dengan tanpa izin walinya ketika Abdurrahman tidak ada.
Dalam kitab al-Muwathha’ dari Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa sesungguhnya Aisyah menikahkan Khafsah binti Abdurrahman dengan al-Mundzir bin al-Zubair sedangkan Abdurrahman berada di Syam, dan ketika dia datang, dia berkata : seperti saya berfatwa dalam anak perempuannya, Aisyah berkata kepada al-Mundzir bin al-Zubari, dia berkata : hal itu berada di tangan Abdurrahman, Abdurrahman berkata : saya tidak berkehendak mengembalikan apa yang telah diputuskannya. Maka perkawinan Hafsah tetap berada di tangan Hafsah dan hal itu bukan merupakan talak. Dan hadis tersebut ditolak dari sisi kedua yaitu inkarnya rawi.
Ibnu Juraij berkata : kemudian saya bertemu dengan al-Zuhri. Dan ia adalah seorang perawi dari Aisyah, lalu saya bertanya kepadanya tentang hadis dan dia mengingkarinya.


PUTUSAN DENGAN SATU SAKSI DAN SUMPAH DALAM MASALAH HARTA.
Masalah putusan hakim dengan saksi dan yamin pembahasannya sudah dalam kaidah pembahasan nash dengan khabar ahad. Yang dimaksud dalam masalah ini adalah bahwa Hanafiyah tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan Rabiah bin Abdirrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari ayahnya dari Abi Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi SAW memutuskan dengan satu saksi dan yamin, karena Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi berkata : saya bertemu Suhail, saya menanyakan tentang riwayat Rabiah darinya tentang hadis ini, dia tidak mengetahuinya, dan setelah itu berkata : Rabiah menceritakan pada kami dai saya.
Dalam Muntaqa al-Akhbar : Abu Daud menambahkan, Abdul Aziz al-Darawardi berkata : saya menyebutkan hal tersebut kepada Suhail, dia berkata : Rawibah mengabarkan kepada saya - dia menurutku orang yang Tsiqah - bahwa sesungguhnya saya menceritakan hadis ini kepadanya, saya tidak hafal. Abdul Aziz berkata : dan lupa sebagian hadisnya, dan setelah itu mengabarkannya dari Rabiah dari ayahnya.


MEMBASUH BEJANA DARI JILATAN ANJING.
Apabila anjing menjilat bejana apakah disyarakkan bilangan dalam membasuh sehingga yakin bersih. Jumhur ulama : Malik, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa harus mencucinya tujuh kali, dan Syafi’Iyah juga Hambaliyah mensyaratkan salah satu dari tujuh basuhan itu harus memakai tanah. Argumentasi mereka adalah hadis Abu Hurairah :
Apabila anjing menjilat bejana kalian, maka cucilah tujuh kali.

Hanafiyah mengatakan bahwa mencuci bejana yang dijilat anjing itu cukup tiga kali saja, karena Abu Hurairah sendiri mencucinya hanya tiga kali.



MENYUSUKAN BAYI YANG SUDAH BESAR APAKAH BISA MENJADI MUHRIM?
Yang dimaksud dengan bayi yang sudah besar adalah bayi yang sudah berusia dua tahun atau lebih. Apakah menyusukan bayi yang sudah besar tetap dilarang seperti halnya menyusukan bayi yang masih kecil?
Menurut jumhur ulama menyusukannya tidak menyebabkan muhrim. Pendapat mereka berdasarkan hadis dari Aisyah :

Ketika Nabi SAW masuk kamarnya didapatkannya seorang anak laki-laki, maka berubah merah lah muka Nabi SAW , maka Aisyah berkata Ya Rasulullah SAW sesungguhnya dia adalah saudara sepersusuanku. Nabi SAW menjawab : lihatlah pada saudara-saudaramu, sesungguhnya susuan itu merupakan minuman biasa saja.

Ad-Dzahiriyah berpendapat bahwa susuan itu dapat mengharamkan pernikahan baik diberikan kepada bayi yang masih kecil maupun yang sudah besar. Mereka berhujjah dengan hadis Sahlah binti Suhail dimana ia menyusui Salim Maula Abu Huzaifah dan ia sudah besar, dan pembahasan masalah ini akan diperinci dalam bab al-Tabiqi.
Hanafiyah menolak hadis jika perawi mengamalkan kebalikan dari apa yang diriwayatkannya. Mereka berpendapat atas tetapnya keharaman menyusui pada bayi yang sudah besar berdasarkan hadis diatas. Aisyah mengamalkan berbeda dengan apa yang diriwayatkan dari Zainab binti Ummu Salamah, Ummu salamah berkata kepada Aisyah :

Sesungguhnya masuk kerumahku seorang anak kecil dimana saya tidak suka ia masuk kerumahku. Aisyah berkata. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW adalah tela\dan yang baik, sesungguhnya istri Abi Huzaifah berkata : wahai Rasulullah SAW sesugguhnya Salim masuk ke rumahku padahal dia itu laki-laki dan abi Huzaifah mempunyai perasaan nagatif, Rasulullah SAW berkata: susuilah dia sehingga dia boleh masuk kerumahmu”.

LABANUL FAHL[6]
Jika ada seorang bayi perempuan menyusu kepada seorang ibu apakah keharaman menikah akan berdampak sama pada suami ibu yang menyusui anak perempuan itu, anak dari istri lain dari suami itu, atau keharaman itu hanya pada anak dan kerabat si ibu itu saja?
Jumhur ulama : Hanafiyah, Malikiah Syafi’iyah dan Ibn Hazm berpendapat bahwa labanul Fahl itu diharamkan. Dasarnya dalah hadis yang diriwayatkan Aisyah yaitu :


Bahwa Aflah, saudara Abi al-Qais datang meminta izin (untuk mengawini Aflah) kepada Aisyah. ia itu paman dari susuan Aflah- setelah turun ayat Hijab, Aisyah berkata : saya menolak untuk mengizinkannya, ketka Rasulullah SAW datang saya mengabarkan apa yang saya perbuat, lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengizinkannya.

Dalam riwayat Abi Daud : Aisyah berkata :

Aflah masuk ke rumahku maka saya membuat tutup (penghalang) dia berkata: Aisyah apakah engkau membuat tutup untuk saya, padahal saya ini pamanmu, saya berkata : dari mana (hubungan pamannya)? Ia berkata : saudara perempuanku telah menyusuimu. Aisyah berkata : yang menyusukan saya adalah perempuan bukan laki-laki, lalu Nabi SAW masuk dan saya menceriterakan kepada beliau kemudian beliau berkata : sesungghunya ia adalah pamanmu.
Golongan lain diantaranya Aisyah, Ibn Umar, Ibn Zubair, Rafi bin Khadij berpendapat bahwa keharaman itu tidak sampai kepada labanul fahl. Pendapat ini bersumber dari segolongan tabiin seperti Said bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar dan Atho bin Yasar. Dikatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat jumhur sahabat.

Di riwayatkan dari Zainab binti Abi salamah bahwa Zainab berkata :

Zubair masuk ke rumahku dalam keaaan saya sedang menyisir rambut, saya memandangnnya sebagai anak saya dan anaknya adalah saudaraku, karena istri Zubair (Asma) menyusuiku dan setelah merdeka, Abdullah bin Zubair mengutus orang kepadaku untuk melamar anak perempuanku untuk saudaranya Hamzah bin Zubai yaitu anak dari Kalbiyah, saya berkata : apakah dia (Ummi Kulsum) boleh menikah dengannya? Dia berkata sesungguhnya dia (Hamzah) itu bukan saudaramu, saudaramu adalah anak-anak Asma bukan anak-anak zubair dari orang lain. Zainab berkata : saya mengutus dan bertanya kepada para sahabat dan Ummahatul Mu’minin mereka menjawab : sesungguhnya susuan itu menimbulkan dampak apa-apa dari jalur laki-laki, maka saya menikahkannya dengan Hamzah, dan mereka hidup bersama sampai meninggal.

Yang kami maksudkan dalam hal ini adalah bahwa telah dinukil dari Aisyah RA sebuah hadis yang bertentangan dengan apa yang dilakukan. Diriwayatkan bahwa Aisyah mengizinkan saudara perempuan dan anak perempuan saudara laki-laki yang menusuinya, dan tidak mengizinkan wanita dari saudara perempuan dan anak laki-laki saudara perempauan dari orang yang menyusui. Maka setiap ulama yang berkata menolak hadis apabila rawi melakukan hal yang bertentangan dengan yang diriwayatkan akan berkata tidak ada pengharaman bagi labanul fahl, bagi merke ada beberapa dalil yang lain, maka mereka menghukumi dengan hadis tersebut.
Dalam kitabnya al-Hidayah mengatakan : labanul fahl itu menyebabkan keharaman nikah, yaitu seorang wanita menyusui seorang bayi perempuan maka bayi itu haram bagi suami perempuan yang menyusui, bagi ayah dan anak suami tersebut, dan jadi suami yang menyebabkan keluarnya air susu, merupakan ayah bagi ayak yang disusui. Syafi’I dalam salah satu qaulnya berpendapat bahwa labanul fahl tidak menyebabkan keharaman nikah, karena keharaman itu menyerupai sebagian, sedang susu sebagian dri perempuan bukan sebagian dari laki-laki. Kita mempunyai hadis - haram disebabkan susuan apa yang disebabkan nasab - yakni keharaman nasab itu dari dua arah, maka demikian pula dengan susuan. Nabi SAW berkata kepada Aisyah:
……karena dia dalah paman kamu dari susuan, sebab adanya air susu maka dia ditempatkan pada tempatnya mahram karena hati-hati

[1] Al-Amidi (1/198), al-Kasyaf, al-Bukhari (3/16)
[2] Hadis Rafi dalam melarang “Mukhabarah” dalam “Bukhari” sebelum bab Musawat bab menerangkan sebagian sahabat-sahabat Nabi, sebahagian yang lain dalam pertanian, buah-buahan No (1170) dan muslim dalam bab buyu’ No (1547) ini ulama bernbeda pendapat tentang makna “mukhabarah yang di lanrang, lihat Nailul Author : 5 / 272
[3] Asal hadis Aisyah tentang wajib mandi sebab berhubungan suami istri adalah ada dalam shahih muslim.
[4] Diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ahmad.
[5] Al-Mabsuth (1/66)
[6] Yang dimaksud dengan labanul fahl adalah : suami dari ibu susuan.

No comments: