Thursday, February 1, 2007

PROBLEMATIKA ZAKAT DAN PAJAK SERTA PENYELESAIANNYA

Pendahuluan
Dalam ajaran Islam, zakat diyakini sebagai bagian yang integral dari pilar utama Islam. Tanpa zakat unsur lainnya tidak akan kokoh. Itulah sebabnya zakat dimasukkan menjadi salah satu rukun Islam. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan zakat. Gambaran itu dapat ditangkap dari beberapa ungkapan al-Qur’an yang menggandengak kata zakat dengan shalat. Ungkapan tersebut dimaksudkan agar umat Islam menyadari sepenuhnuya bahwa shalat tebih berorientasi pada nilai ritual, sedangkan zakat disamping mempunyai nilai ritual, juga mempunyai dimensi sosial.
Ayat al-Qur’an yang secara ekplisit menyebut kata zakat ternyata sudah ada pada periode Makkah. Pada periode ini memang zakat bersifat mutlak, belum ada aturan yang rinci mengatur mekanisme retribusi dan distribusinya. Aturan dimaksud baru terdapat pada ayat-ayat hukum yang diturunkan di Madinah. Penetapan aturan zakat di mulai dari periode Makkah sampai ke periode Madinah, menurut para ahli Ushul Fiqh merupakan bukti bahwa kewajiban zakat termasuk katagori Qath’I dilalah.
Zakat hukumnya wajib berdasarkan perintah al-Qur’an yang bersipat sharih (tegas dan jelas). Kemudian beberapa sunnah Nabi Muhammad memperkuat kewajiban dimaksud. Oleh karena itu ummat Islam tidak dibenarkan mengingkari kewajiban zakat itu. orang Islam yang mengingkari kewajiban zakat dinyatakan berdosa, bahkan dapat dikatakan kafir dalam artitan mengingakri kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya.
Meskipun zakat dikatagorikan sebagai ibadah makhdah, sebagaimana ibadah shalat dan ibadah lainnya, namun hakikatnya, zakat merupakan bagian dari ibadah yang bertatanan ekonomi dan sosial, bahkan politik umat Islam. Tidak heran kalau pembahasan masalah zakat ditemukan dalam literatur khusus membahas politik dan ekonomi umat Islam (siyasah al-syari’iyah wa al-maliyyah) Abu Ubaid, ulama pertama yang menyusun tentang masalah pendapatan negara, membahas masalah ini secara rinci dalam kurang sebih separoh kitabnya yang terkenal yakni “kitab al amwal” Abu Yusuf, ulama dari kalangan Hanafiyah yang menulis kitab “al-Kharaj” menguraikan juga masalah zakat. Begitu pula al-Mawardi penulis buku “al-ahkam al-Sulthaniyyah” mengemukakan zakat dalam bukunya. Sementara Ibnu Taimiyyah secara tegas menyebutkan bab khusus dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syari’iyyah”.
Dalam pandangan para penulis diatas zakat merupakan bagian pendapatan bagi negara sejajar dengan jizyah, ghanimah dan al-Fa’i. Sebagai sumber pendapatan negara, zakat harus diatur dan dikelola oleh pemerintah atau lembaga yang secara khusus menangani masalah restribusi dan distribusinya sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam. Memang harus dipahami bahwa pada dasarnya setiam muslim yang menjadi wajib zakat harus menyerahkan zakatnya dengan sukarela. Akan tetapi perlu juga dilihaat dari karakteristik manusia yang enggan dan segan untuk melaksanakan kewajibannya dengan sukarela. Dalam hal ini peranan lembaga amil zakat sangatlah berarti. Lembaga inilah yang harus mengambil secara “paksa” zakat yang harus dikeluarkan oleh para wajib zakat. Tindakan ini dilakukan dalam rangka mengambil hak fakir, miskin dan mustahik zakat lainnya.
Sejarah telah mencatat, bahwa petugas yang memungut dan menyalurkan zakat sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Pada saat itu dikenal istilah”su’at”, “mushadaq” dan lain-lain. Istilah dimaksud merupakan pelaksanaan dari istilah al-Qur’an “wa al-amiliina alaiha”. Begitu institusi ini terus berkembang dan mengalami penyempurnaan sesuai dengan permkembangan ummat Islam. Di Indonesia sekarang ini sudah banyak lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang berfungsi sebagai pengelola zakat.

Masalah Retribusi dan Distribusi Zakat
Masalah yang senantiasa berkembang di kalangan umat Islam saat ini adalah masalah mekanisme retribusi dan distribusi zakat. Secara normatif baik retribusi maupun distribusi zakat sudah diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini jelas bebeda dengan masalah umat Islam di masa lampau. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap norma yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah.
Dalam masalah retribusi zakat, kita saat ini menemukan ksaus pengabilan zakat dari kegiatan yang ada pada masa lampau tidak begitu lazim dilakukan. Masalah dimaksud adalah mengenai zakat profesi. Karena itu mereka hanya memmppkuskan pembicaraan pada jenis dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya yang berkembang saat itu, misalnya pertanian, pedaganagan peternakan, dan lain-lain. Sedangkan saat ini sudah harus dilihat dari bidang usaha pa yang mempunyai fungsi sama dengan kegiatan yang ada pada jaman Rasulullah SAW. Disini memang akan timbul kembali persoalan klasik, apakah zakat itu termasuk ibadah mahdhah yang ersifat ta’abuddi, ataukah merupakan idabah mahdah yang bersifat ta’aqulli?
Kalau dikatakan bahwa zakat termasuk ibadah mahdah yang bersifat ta’abuddi, maka harus difahami bahwa aturan zakat yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan suatu yang “dogmatis” dan tidak dapat dipertanyakan lagi dan kita terima dengan “bila kaifin”. Dengan kata lain, zakat termasuk kegiatan yang tidak dapat ditelusuri illatnya. Konsekuwensi dari pendapat ini,bahwa jenis benda dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya hanya terpbatas pada apa yang ada dalam keuda sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan masalah yang baru tidak dapat dikembangkan lagi. Lain halnya dengan pendapat yang menyatakan bahwa zakat termasuk ibadah yang bersifat ta’aqulli. Bagi penganut pendapat ini, zakat merupakan ibadah yang ”reasonable” karena itu harus diketahui illat atau sebab ditetapkannya aturan zakat dimaksud. Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah bahwa jenis benda dan kegiatan yang wajib dikeluarkan zakatnya akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sebenarnya masalah zakat profesi dan masalah benda lain yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat dikembalikan kepada keumuman ayat al-Qur’an : “wa anfiqu min thayibaati maa kasabtum” Dan nafkahkanlah yang baik-baik dari hartamu yang engkau dapati (Surat al-Baqarah : 276). Berdasarkan ayat ini dapat difahami bahwa segala garis besar benda dan kegiatan yang wajib dizakati adalah “hasil usaha” dan “hasil bumi”. Kemudian Nabi memberikan penjelasan sesuai dengan apa yang ada dan yang menjadi kebiasaan masyarakat pada waktu itu. itulah sebabnya beliau menyebut kegiatan perdangangan yang hasilnya harus dizakati, begitu pula dengan jenis komoditas pertanian apa yang saat itu ada. Dengan demikian, segala jenis usaha yang dapat menghasilkan”uang” dapat dianggap sebagai kegiatan atau benda yang wajib dizakati.
Kemudian mengenai masalah distribusi zakat akan sangat ditentukan oleh visi kita sebagai umat Islam yang hidup pada saat ini. apakah kita tetap berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah madah yang ta’abuddi dataukah ta’aqulli? Sebagaimana diketahui bahwa landasan hukum ditribusi zakat adalah surat at-Taubah : 60

إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat ini disebutkan dua kelompok besar pihak yang dapat menerima zakat, pertama pihak orang-orang tertentu yang dapat menerima zakat secara individual dan dapat memilikinya secara langsung. Kelompok ini adalah : fakir, miskin, mu’alaf, dan amil berdasarkan kepentingan tertentu. dalam hal ini kelompok kedua tidak secara langsung memiliki harta zakat itu. termasuk kolompok ini adalah : memerdekakan hamba, yang punya utang, sabilillah dan ibn sabil. Pemahaman ini didasarkan pada makna literal yang terdapat pada ayat ini. kelompok pertanda diungkapkan dengan huruf “lam” (lil fuqara..) yang berarti memiliki, sedangkan yang kedua diungkapkan dengan huruf “fi” (wa fi al- riqab …) yang berarti dalam atau mengenai.

Problematika Pengelolaan Zakat
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa zakat merupakan kewajiban yang bersifat pasti. Dikeluarkan oleh orang yang mengharapkan ridah Allah dan mengharap balasan dari kehidupan yang baik di akhirat nanti, tidak dilakukan oleh orang yang lemah keyakinannya terhadap hari kiamat, dan orang yang sedikit rasa takutnya kepada Allah, orang yang mencintai harta, sehingga kecintaannya itu mengalahkan kecintaan kepada Allah (Yusuf Qardhawi : 1991).
Yang jadi persoalan adalah, apakah pendistribusian zakat itu di bebankan kepada para muzakki, anrtinya para muzakkilah yang membagikan zakatnya kepada para mustahiq zakat. Kalau ini persoalannya, dimungkinkan adanya overlapping (ketumpang-tindihan) dalam pendistribusian zakat. Pembagian yang diserahkan kepada para muzakki akan menyebabkan ketidakmerataan dalam pembagian, hal ini akan membuat ketidak-adilan dan kesenjangan baru.
Atau perlukan pemerintah membuat sebuah lembaga pengumpul zakat, atau pihak swasta dalam pengawasan negara. Kalau demikian, diperlukan peraturan perundangan yang melegitimasi eksistensinya. Karena lembaga, apapun lembaga itu, tanpa adanya aturan yang mengikat kurang legitimed, atau permasalahan lain adalah sangat susah bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga tersebut.
Untunglah kini kita telah memiliki Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yakni UU No, 38 tahun 1999. Namun sayang mekanisme perundangannya yakni Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran operasional Undang-undang itu belum ada, yang ada hanyalah Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyebabkan daya paksa dan wibawa undang-undang ini kurang diperhatikan oleh publik.
Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelaksanaan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peran pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kedilan sosial serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infak, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perseorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha.
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari ulama, kaum cendikia, masyarakat, dan pemerintah serta adana sanksi hukum terhadap pengelola.
Dengan dibentuknya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk dapat menunaikan kewajiban zakat dalam rangka mensucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya kepforfesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT (Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999)

Mencari Solusi Pembayaran Fiskal Ganda
Tanggal 25-26 Maret 1997, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan seminar Nasional bertemakan “Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat”. Salah satu agenda pokok dalam seminar ini adalah mencari solusi atas sebuah problem yang dihadapi umat Islam dalam kehidupan negara bangsa, yaitu kewajiban membayar fiskal ganda : zakat dan pajak.
Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan topik tersebut adalah : haruskah pembayaran zakat disatukan dengan pajak ; sehingga dapat mengurangi beban kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam dalam negara bangsa? Ada dua pendapat yang saling bertolak belakang meresponi masalah ini. Pendapat pertama adalah pendapat yang tetap mempertahankan disparitas antara zakat dan pajak pada satu pihak, dan pendapat kedua, adalah mencoba mengitegrasikan zakat dengan pajak pada pihak yang lain.

Pro dan Kontra Seputar Penyatuan Zakat dan Pajak
Pendapat pertama dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Seminar Nasional yang pernah di selenggarakan pada tahun 1990. Adapun pendapat kedua adalah disuarakan oleh Masdar F. Mas’udi (1991) salah seorang tokoh muda Nahdhatul Ulama dan ketua P2M yang idenya tertuang dalam buku yang berjudul : Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta
Pendapat MUI yang tetap mempertahankan disparitas zakat dan pajak mengandaikan umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar nash al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan oleh ajaran Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan kewajiban agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama, sementara pajak wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warganegara kepada negara bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran zakat maupun pembayaran pajak adalah dua hal yang berbeda, tapi sama-sama bersifat impertif, dan karenanya wajib diamalkan oleh umat Islam kedua-duanya secara terpisah.
Memang, jika pendapat ini diamalkan akan menghasilkan input dana yang maksimal. Hanya saja misalnya, bagi sebagian besar umat Islam, adanya dua kewajiban itu sungguh merupakan beban yang sangat memberatkan. Terlebih pada dasarnya setiap manusaia mempunyai sifat mencintai harta benda, dan karenanya kerapkali enggan mendermakan sebagian hartanya, alias bakhil dan tamak. Hal ini tercantum dalam firman Allah :

إن الإنسان خلق هلوعا * إذا مسه الشر جزوعا * وإذامسه الخير منوعا

Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (Q.S. 70 : 19-21)

وإنه لحب الخير لشديد
Artinya : dan sesungguhnya dia amat bakhil karena cintanya kepada harta (Q.S: 100 : 8)

Para ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini adalah : manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta sehingga ia menjadi bakhil (Al-Qur’an dan terjemahnya)

وتحبون المال حبا جما
Artinya : dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Q.S : 89 : 20)

Akibatnya, berhubung zakat ditunaikan berdasarkan iman atau kesukarelaan, dan tidak ada kontrol dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya, yang diserahkan sepenuhnya kepada rasa ketaqwaan seseorang, maka pembayarannnya pun tidak jarang terabaikan. Dalam hal ini, zakat kalah pengaruh oleh pajak. Hal inilah yang seringkali menjadi kendala utama dalam meningkatkan jumlah penerimaan zakat pada lembaga-lembaga pengumpul zakat. Kenyataan itu berbeda sekali dengan pajak, yang karena didorong secara imperatif oleh negara, pembayarannya selalu dilunasi setiap jatuh tempo. Bagi yang terlambat, ditegur, bagi yang membayar tepat pada waktunya, diberikan diskon khusus atau diberi pengghargaan. Di negara barat, bagi orang yang tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat dihukum pidana dengan hukuman yang cukup berat.
Adapun pendapat Masdar Farid Mas’udi diatas mengasumsikan bahwa umat Islam yang telah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu karena pajak yang dibayarkan itu telah diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar, secara batin zakat adalah komitmen spiritual manusaia kepada Tuhannya, sedangkan secara lahir, zakat itu merupakan pajak yang merupakan komitmen sosial sesama manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian adalah hal yang identik; ibarat zakat adalah ruh, dan pajak sebagai raga yang bersama-sama embodied. Jadi, jika bagi Muslim, pajak berfungsi sebagai zakat, bagi non-Muslim pajak itu adalah pajak. (Masdar : 1993)
Karena pembayaran pajak telah diniatkan sebagai zakat, jumlah pajak yang diperbolehkan adalah juga merupakan jumlah zakat yang diterima. Dengan cara ini, pembayar pajak (zakat) dapat meminta kontraprestasi dari apa yang telah dibayarkan. Ini berarti, sega negara sebagai subjek wajib pajak, sekaligus sebagai muzakki, memiliki hak kontrol terhadap pengelolaan dana negara yang diperoleh dari sektor penerimaan pajak (zakat).
Memang, berhubung umat Islam tidak lagi merasa terbebani kewajiban fiskal ganda, jumlah angga penerimaan pajak (zakat) boleh jadi akan meningkat, tapi alokasi dan distribusi pemanvaatan dana pajak (zakat) itu sudah pasti akan menimbulkan persoalan baru.
Hal itu karena alikasi dan target distribusai pajak dan zakat, masing-masing saling berbeda. Bagaimanapun, reinterpretasi terhadap teks keagamaan (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang mengatur soal alokasi dan target distribusi zakat, khususnya tentang kebolehan zakat (pajak) diperuntukkkan kepada umat non-Muslim (bedakan dengan mu’allaf) masih merupakan hal yang teramat pelik. Pada titik inilah kontroversi dan keberatan dri kalangan umat Islam mungkin saja muncul.
Begitu pula, pemanfaatan dana pajak (zakat) untk sektor kepentingan ekslusif umat Islam tertentu saja akan menimbulkan keberatan dari wajib pajak yang beragama non-Muslim . sebab, para wajib pajak dari kalangan non-Muslim – meskipun mereka dari segi populasi merupakan minoritasssss, tetapi mengusai hampir 80% kekayaan di Republik ini—merupakan pembayar pajak yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang yang dibayarkan oleh wajib pajak (muzakki) dari kalangan Muslim sendiri. Walhasil, sungguhpun dari seg populasi umat Islam merupakan mayoritas, alokasi dan pemanfaatan dana pajak (zakat) utuk kepentingan eklusif umat Islam tidak dengan sendirinya akan besar jumlahnya, justru boleh jadi akan sangat terbatas.
Adapun jika pendapat Masdar F. Mas’udi ini dapat diterima, maka implikasi khrusial yang mungkin muncul adalah bahwa perorangan, yayasan, atau lembaga pengumpul dan penyalur ZIS yang telah eksis selama ni akan bergeser statusnya dan digantikan fungsinya oleh kantor-kantor pelayanan pajak. Lagi-lagi, kenyataan ini sulit diterima, karena mampunyai kecendrungan diskonstinuitas dan revolusioner.

Reduksi Pajak Bagi Pembayar Zakat
Menyadari kelemahan masing-masing dua pendapat diatas, kiranya sudah saatnya kita mempertimbangkan pendapat yang menghendaki bahwa bagi umat Islam yang telah membayar zakat kiranya dapat memperoleh reduksi (pengurangan) pembayran pajak, paling tidak sebesar dua setengah persen (2 ½ %)
Pendapat ini sesungguhnya merupakan sintesa dari pendapat MUI dan pendapat Masdar di atas. Sebab, dalam pola ini, zakat dan pajak tetap diangap sebagai hal yang terpisah. Namun begitu, dalam pola ini pun zakat dan pajak terlihat sebagai sebuah entitas yang kurang lebihnya hampir identik. Sebab, setiap zakat pastilah merupakan pajak. Demikian pula sebaliknya, setiap pajak adalah zakat juga.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat pasal 14 ayat (3) dikatakan :
Zakat yang terlah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang persangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal ini di uraikan :pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda. Yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Hal inipun berlaku di beberapa mancanegara, umpamanya Amerika Serikat. Di negara maju tersegut, indibidu atau perusahaan yang memberi sumbangan terhadap yayasan-yayasan spesial (LSM) yang terdaftar, mendapatkan reduksi pajak. Demikian pula di negeri jiran, Malaysia, bagi wajib pajak yang telah membayarkan pajaknya di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan kwitansi pembayaran pajak, ketika menyetorkan pajak akan mendapatkan reduksi dari kewajiban pajaknya.
Di Indonesia, pola semacam ini pernah diutarakan antara lain oleh Dawam Rahardjo (1992) dan juga didukung oleh sejumlah pengelola BAZIS Propinsi, seperti DKI Jakarta dan Kalteng.
Bagi Direktorat Jenderal Pajak sendiri, pola seperti di atas bukanlah hal yang baru. Sebag, melalui surat edaran Dirjen Pajak no SE-33/Pj.421/1996 tertanggal 2 September 1996, telah diberlakukan ketentuan-ketentuan bahwa setiap dana yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk di sumbangkan pada beasiswa dan disalurkan melalui Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dapat dibebankan sebagai biaya yang adapat dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak.
Jika memberikan sumbangan untuk GN-OTA bisa memperoleh keringanan pajak, mengapa tidak bila hal yang sama juga diwujudkan bagi umat Islam yang telah mengeluarkan zakat? Bukankah dana zakat dapat mengcover sekaligus memback-up target-target alokasi dan disribusi dana pajak seperti penanggulangan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, pemerataan pendapatan, dan bahkan juga pendidikan? Seperti firman Allah :
كى لا يكون دواة بين الأغنياء منكم
Artinya : Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu (Q.S. 59 : 7)

Dengan demikian, dana dan sektor penerimaan zakat sebenarnya bisa ikut meringankan beban anggaran belanja negara. Alhasil, institusi zakat seharusnya dapat dipetimbangkan sebagai instrumen alternatif dalam penyediaan dana pembangunan nasional.
Jika kebijaksanaan fiskal seperti diatas dapat terwujud, yang sunguhpun tampak seperti iming-iming “diskon”, ini bukan saja akan mendorong tanggung jawab sosial dan tanggung jawab sosial individu/perusahaan, tetapi juga akan menimbulkan terjadinya “revolusi” peningkatan jumlah pembayaran dan penerimaan baik bagi amil zakat maupun Kantor Pelayanan Pajak. Oleh karena itu, tidak perlu dikhawatirkan kebijaksanaan di atas akan mengurangi pendapatan dari sektor pajak.
Dengan demikian, hemat penulis, pola pembayaran di atas, merupakan solusi yang paling memungkinkan terhadap masalah kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam di dalam negara bangsa. Betapapun demikian, harus tetap diakui, masih ada ganjalan yang menghadang pola sintesis itu, seperti mengenai bentuk-bentuk pajak dan zakat yang beraneka ragam. Pertanyaan seperti itu :
n zakat macam apa (harta atau fitrah) yang jika sudah dibayar, akan memperoleh reduksi pajak?
n Apakah seluruh bentuk pajak akan menyediakan reduksi, atau hanya salah satu saja dari sekian bentuk pajak?
Hal ini merupakan sekedar contoh dari sekian agenda persoalan yang penting yang harus segera dibicarakan. Wallahu ‘a’lam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kedutaan Besar Saudi Arabia
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tentang Pengelolaan Zakat, BAZIS DKI Jakarta
Djamil, Fathurrahman Kedudukan dan Peran Zakat dalam Fiqh Islam, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997
Fadlullah, Cholid, Mengenal Hukum ZIS (zakat Infak Sedekah) dan Pengamalannya di DKI Jakarta, Jakarta BAZIS DKI 1993
Mas’udi. Masdar, F. Agama Keadilan, risalah zakat (pajak) dalam Islam, Jakarta Pustaka Firdaus. 1993
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Saudi Arabia Dar al Farh lia’lam al-arabi 1993
Salim, M. Arsal, Mencari Solusi Pembayarana Fiskal Ganda, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997
Syahhatih, Syauqi Ismail, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, alih bahasa Ansori Umar Sitanggal, Jakarta Pustaka Dian 1987
Qardhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, terjemahan Salman Harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin, (Bogor Lintera Antar Nusa) 1991
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Baerut Darul Fikr, 1991

No comments: