Thursday, February 1, 2007

SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN HAM DI PERGURUAN TINGGI ISLAM

Pendahuluan
Kalau ditanya darimana istilah HAM itu berasal? Maka harus jujur kita katakana bahwa istilah itu berasal dari barat. Ingeris, Amerika dan Prancislah sebagai Negara peletak dasar HAM yakni mulai dari raja John Lackland (1199-1218) dimana kesewenang-wenangan raja Inggeris mendapat protes dari kalangan bangsawan. Protes itu melahirkan Magna Chatra (1215). Dalam piagam itu berisi agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Pada masa pemerintahan raja Edward I (1272-1307) lahir The Great Charter of Leberties yang isinya merupakan perluasan dari Magna Charta yaitu kebebasan bertindak bagi kota-kota, kebebasan perdagangan.. pada pemerintahan Edward II (1327-1377) lahir House of Lord (perwakilan kaum bangsawan) dan House of Commons (perwakilan Rakyat) dan ketika Willem III (1689-1702) lahir Bill of Rights (Bor) tepatnya tanggal 16 Desember 1689. rentetan peristiwa tadi merupakan peralihan kekuasaan dari tangan raja ke tangan parlemen. hal ini merupakan perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan demokrasi di Ingris dan sejak itu sistem pemerintahan parlementer mulai dilaksanakan.
Pertumubuhan HAM yang disebutkan diatas tadi sangat dipengaruhi oleh pandangan beberapa pakar yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ Rousseau. Setelah Ingris sukses menerapkan HAM, kemudian hal itu diikuti oleh Amerika. Yang pada tanggal 4 Juli 1776 mendeklarasikan Declaration of Independence of the USA disusul Perancis menceklarasikan Declaration des droits de'l Homme te du citoyen (pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara). Presiden Fanklin D Roosevelt menyatakan Four Freedom (empat kebebasan) :Freedom of speech and expression(kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat), Freedom of workship (kebebasan beragama) Freedom from fear (kebebasan dari rasa takut) dan Freedom from want (kebebasan untuk berkehendak). Kemudian PBB pata tanggal 10 Desember 1948 mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights.
Sedangkan di Indonesia, HAM sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, setidaknya dalam pemikiran Boedi Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu baik langsung maupun melalui pers, yakni Goeroe Desa. Demikian juga dalam Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Hatta, Sarekat Islam yang dipimpin oleh H. Agus Salim. Ketika merumuskan BPUPKI, masalah HAM juga sempat mewacana. Dan akhirnya sangat tergambar dalam primbun pembukaan UUD 45 yaitu pada kalimat : bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa…….
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan HAM mengalami dinamika. Diperiode awal kemerdekaan, HAM sangat mendapt tempat di kalangan para pemimpin bangsa, khususnya ditekankan pada hak untuk merdeka (self determination). Hal ini memberikan peluang kepada rakyat untuk mengekspresikan kebebasan berserikatnya melalui organisasi politik, sehingga pada masa itu begitu banyak partai politik yang muncul. Pada tahun 1950-an dimana Indonesia menjalankan demokrasi parlementer. Suasana demokrasi partementer memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri dibidang politik sangat bebas. Namun suasana bebas ini redup ketika Soekarno di tahun 59 menolak system demokrasi parlementer dan menggantikannya menjadi demokrasi terpimpin dimana kekuasaan terpusat dan berada dibawah gengamannya. Setelah kekuasaan Soekarno beralih ke Soeharto pada fase awal, ada semangat untuk menegakkan HAM. Namun pada fase tahun 1970-80 kenyataan berbalik arah dan mengalami kemunduran. HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Para elit penguasa beranggapan bahwa HAM merupakan produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pada fase ini banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat yang mengatasnamakan ketertiban dan kestabilan nasional. Tahun 1990-an arus berbalik lagi. Pemerintah yang tadinya represif dan depensif beralih ke akomodatif terhadap tuntutan penegakkan HAM. Tahun 1993 keluarlah KEPRES No 50/1993 tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah tentang pelaksanaan HAM. Ketika tumbangnya rezim Suharto tahun 1998 memberikan kesempatan kepada pemajuan dan perlindungan HAM. Indonesia melakukan ratipikasi terhadap instrument HAM Internasional dan akhirnya membuat UU HAM. Diantaranya :
1. UU No. 5/1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat,
2. UU No. 8/1999 tentang perlindungan Konsumen
3. UU No. 9/1998 tentang kebebasan Menyatakan Pendapat
4. UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen UU No. 25/1997 tentang Hukum Perburuhan
5. UU No. 19 / 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja.
6. UU No. 21/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan
7. UU No 29/1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan dalam sebala bentuk diskriminasi
8. UU No 39/1999 tentang HAM
9. UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers
10. UU No 26 tentang Pengadilan HAM
11. Kepres No 181/1998 tentang pendirian Komisi Nasional penghapusan Kekerasan terhadap Wanita
12. Kepres No 129/98 tentang Rencana Aksi Nasional HAM tahun 1998 – 2003
13. Kepres No 5/2001 tentang Pembenukan Pengadilan HAM Ad Hoc pda Pengadilan negeri jakrta Pusat
Disamping hal yang menggembirakan diatas, ternyata ada hal yang masih memprihatinakan kita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI ada sekitar 32 Undang-undang yang masih bias HAM. Oleh karena itu masih banyak hal yang harus dipelajari dalam HAM ini dan sangat signifikan HAM menjadi matakuliah di Perguruan Tinggi.

Kekhawatiran mempelajari HAM
Ada pertanyaan yang perlu kita renungkan dan mencari jawabannya dan terkadang membuat kita ragu-ragu untuk melangkah : Betulkah HAM itu produk barat, mengajarkan individualistik, dan bertentangan dengan karakteristik bangsa Indonesia? Memang, banyak sekali tokoh nasional kita yang masih berfikiran seperti itu, salah satunya adalah (alm) Hartono Mardjono yang menyatakan bahwa HAM semata-mata lahir dari pemikiran atau penggangan-anganan manusia, dengan sama sekali mengabaikan sifat fitrah yang senantiasa ada dan melekat pada diri dan jiwa setiap individu, yakni keimanan kepada adanya Allah dan hukum-hukum-Nya.[1] Lebih lanjut Hartono menyatakan bahwa HAM berpangkal pada paham bahwa tiap diri manusia menjadi pusat segala-galanya, artinya manusialah yang menentukan segalanya. Satu-satunya hal yang dapat membatasinya hanyalah kepentingan manusia itu sendiri secara keseluruhan (masyarakat atau orang lain). Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi nilainya dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi yang paling dihormati. Bagi Hartono, prinsip inilah yang kemudian melahirkan individualistik yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi telah melahirkan paham liberalisme dan kapitalisme. Setiap anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan yang sebebas-bebasnya (free fight competition).. dalam posisi ini tugas Negara hanya sebagai polisi lalulintas yang mengatur agar lancar dan tidak saling bertabrakan antara hak satu manusia dengan manusia lainnya. Dalam prakteknya, ternyata implementasi paham tersebut menimbulkan berbagai masalah diantaranya adalah tumbuhnya kesenjangan bahkan tidak jarang terjadi benturan antara yang lemah dengan yang kuat baik antar individu maupun antar kelompok.
Sebetulnya pemahaman seperti diatas ada benarnya jika yang menjadi "kacamata baca-nya" adalah teori radikal universal yang berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat unversal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah. Teori ini berpendangan bahwa hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tembat dan disembarang waktu dan dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Namun bagi penulis tidak demikian, kita bisa pisahkan mana nilai-nilai HAM yang harus bersifat universal dan mana nilai-nilai HAM yang bersifat partikular.
Disamping itu, kalau kita tarik lagi ke belakang, sebetulnya Islam sudah lebih dahulu memproklamasikan HAM dibandingkan dengan Ingeris, misalnya. Kita ketahui bahwa dalam Piagam Madinah telah tercantum beberapa prinsip-prinsip HAM diantaranya :
1. semua pemeluk Islam, walaupun berasal dari banyak suku, baik pendatang maupun penduduk asli Madinah merupakan suatu komunitas
2. hubungan antara sesame anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan komunitas lain, didasarkanatas :
a. bertetangga baik
b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. membela mereka yang teraniaya
d. saling menasehati dan konsultasi
e. menghormati kebebasan agama.[2]

Pentingnya Mempelajari HAM di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Ada beberapa masalah yang sangat urgent untuk diangkat dan dijadikan alasan mengapa pendidikan HAM perlu diberikan di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, diantaranya :
HAM merupakan bagian yang paling pokok dalam agama kita. seperti yang dituturkan oleh Tarmidzi Taher[3] bahwa pelaksanaan HAM dibidang agama pada intinya adalah bagaimana mewujudkan suatu kerukunan umat beragama, sehingga dapat tercipta suasana saling menghormati, menghargai, mempercayai serta saling kerjasama antara umat beragama yang berbeda. Tentu saja secara nasional, mempelajari HAM dapat menjauhkan dari disintegrasi bangsa.
HAM merupakan wacana global. Apabila kita tidak mengikutinya maka niscaya kita akan termarjinalkan dalam percaturan global. Contoh konkrit adalah ketika HAM menjadi senjata untuk melakukan bargain position ketika Negara-negara donor yang terhimpun dalam CGI, G-7 atau IMF dalam mengucurkan dana pinjaman ke Indonesia.
dalam penelitian-penelitian lembaga Internasional, acapkali nama Indonesia muncul sebagai Negara yang masuk dalam rekor paling tinggi melakukan pelanggaran HAM. Tentu saja pencitraan buruk terhadap Indonesia yang dianggap sebagai sebuah bangsa yang barbaris, biadab, tidak ramah dan tidak toleran. Akibatnya tentu saja akan sangat mengganggu sekali terhadap langkah dan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia
banyak persoalan yang masih memerlukan pengkajian khususnya masalah HAM dikaitkan dengan isu-isu keagamaan. Seperti masalah hukum hudud, atau hak-hak perempuan dalam Islam.
Perguruan tinggi merupakan wahana diseminasi yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang luhur diantaranya nilai-nilai HAM karena kampur merupakan tempat persemaian agent of change yang akan mentransformasikan perubahan-perubahan dan pencerahan di masa yang akan dengan cara yang pelan tapi pasti dan meyakinkan.
Banyak masalah atau muatan materi yang dikandung dalam HAM dan dimungkinkan dijadikan salah satu mata kuliah
Masalah HAM akan banyak membantu mahasiswa untuk memahami dan mempersiapkan diri untuk menjadi good citizenship dan dapat mewujudkan cita-cita terwujudnya masyarakat madani..

Cara melakukan Pendidikan HAM di Perguruan Tinggi
Menjadikan pendidikan HAM salah satu mata kuliah yang ditawarkan, syukur-syukur menjadi mata kuliah wajib (MKDU). Atau menjadi mata kuliah wajib pada fakultas atau jurusan tertentu seperti politik Islam di Syari'ah atau Ushuluddin. Perlu diketahui bahwa
menjadi salah satu sub-bagian dari mata kuliah tertentu seperti yang telah dilakukan oleh ICCE UIN Jakarta dalam Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
"disisipkan" dalam setiap mata kuliah sebagai bahan komparasi dari materi yang ada. Seperti dalam materi fiqh jinayah tentang hukuman mati, hadd zina, had pencurian, khadaf, hukuman bagi pelaku riddah. Dalam politik hukum Islam tentang Darul Islam, Darul Harbi, Kafir Harbi, Kafir Dzimmi, atau hak-hak perempuan dalam Islam yang berserakan dalam hamper setiap mata kuliah. Penulis telah melakukannya dalam mata kuliah Tarikh Tasyri, Praktek Hukum Islam di Indonesia, dan Hukum Perkawinan di Indonesia.
Adapun metodologi pengajaran yang paling tepat digunakan adalah dengan active learning. Diantara keuntungan mengajar memakai strategi ini adalah :
yang diajarkan adalah orang dewasa,
dalam proses mengajar, dihindarkan istilah menggurui tetapi hubungan dosen-mahasiswa sebagai mitra. Karena kata "menggurui" itu bermakna dosen sebagai orang yang paling tahu, paling bisa dan paling mengerti sedangkan posisi menerima, orang yang tidak tahu dan tidak mengerti.
yang menjadi target dari pendidikan HAM di Perguruan Tinggi bukan saja berada di ranah kognisi sebagai ilmu pengetahuan (memahami pengertian HAM, menganalisa sejarah perkembangan HAM, menjelaskan bentuk-bentuk HAM), atau ranah afeksi yang dapat menyadarkan mahasiswa tentang pentingnya HAM (menganalisa nilai-nilai HAM, memahami konsep HAM dalam perpektif agama-agama, menganalisa perundang-undangan yang tidak sensitif HAM), tetapi lebih masuk ke ranah konasi sehingga mahasiswa bukan hanya tahu dan sadar saja tetapi dapat melaksanakan HAM untuk dirinya dan orang lain, menjadi pelopor, penggerak dan berpartisipasi dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Demikianlah makalah ini sebagai sebuah pengantar untuk diskusi. Tentusaja konstribusi para peserta untuk mengoreksi, menyanggah dan memberikan ulasan, masukkan dan penjelasan lebih mendalam sangat diharapkan untuk lebih berbobotnya diskusi ini.
[1] Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1997. hal 37.

[2] Munawwir Sadjali, Penegakkan HAM dalam Pluralisme Agama : Tinjauan Konseptual, dalam HAM dan Pluralisme Agama. (Anshari Thayib : Ed) Jakarta : Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 49-50.

[3] Tarmidzi Taher , Prolog : HAM dan Pluralisme Agama, Jakarta : (Anshari Thayib : Ed) Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 3.

No comments: