Thursday, February 1, 2007

SUMBER HUKUM ISLAM KONTEMPORER DAN METODE PENJELASANNYA

Pendahuluan
Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul di kalangan para sahabat dapat ditanyakan langsung kepada beliau. Biasanya beliau memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menyebut ayat al-Qur’an, atau menunggu jawaban wahyu dari Allah, atau dalam keadaan tertentu ketika tidak ditemukan jawabannya melalui wahyu, beliau memberikan jawaban melalui pendapat beliau pribadi atau hasil musyawarah beliau dengan para sahabat. Pendapat beliau seperti itu belakangan disebut Sunnah.
Setelah Nabi wafat dengan demikian wahyu terputus, artinya tidak ada lagi wahyu atau hadis yang turun. Persoalan hukum tidak berhenti dengan wafatnya Nabi atau telah terputusnya wahyu, malahan makin banyak, pelik, dan kompleks. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi, masyarakat yang ada hanyalah terbatas pada masyarakat Arab yang berada di kota Madinah dan sekitarnya, kehidupan mereka masih sederhana, mereka hanya bedagang, peternak dan sedikit bertani. Sementara pada zaman sesudahnya, Islam telah jauh menembus luar batas jazirah Arab. Orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab, tetapi juga orang Persia, Mesir, Yaman, dll. Tentu saja akulturasipun terjadi, sehingga persoalan kehidupan yang muncul akibat pergesekan budaya secara otomatis pasti lebih banyak dan pariatif.
Pada periode sahabat, persoalan yang timbul dapat segera diatasi dengan baik karena mereka adalah murid-murid terbaik Rasulullah (Khair al-qurun). Mereka sangat memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan seluk beluk keduanya. Mereka mengetahui dengan baik setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidaupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat serta Sunnah memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an, bila tidak menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan pada usaha memelihara kemaslahatan umat.[1]
Persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah timbul pada masa setelah masa sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur’an dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itu disebut ushul fiqh.[2]
Pada zaman keemasan Islam, - pase ini berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayah dan bani Abas - para ulama giat melakukan ijtihad derhadap berbagai persoalan, sehingga sering diantara mereka berijtihad dengan mempergunakan metode sendiri, tidak terikat dengan metode istinbath yang ditemui ulama lain. Mereke inilah yang terkenal dengan imam mujtahid. Mereka giat dalam mengembangkan ilmu, khususnya dibidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Selain mengarang berbagai buku, mereka juga mensyarah, mengomentari, mengkritik, atau meringkas buku-buku yang sudah ada. Mereka bedah segala persoalan yang bersangkutan dengan persoalan hukum. Bukan saja persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi, bahkan mereka merambah ke persoalan yang tidak membumi dan mengandai-andai, yang lebih terkenal dengan istilah fiqh iftiradhi.
Perkembangan pesat ini terjadi antara lain disebabkan oleh besarnya perhatian para khalifah terhadap ilmu, khususnya ilmu fiqh serta adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat. Di masa Abasiyah yang kedua, golongan Amawiyah mendirikan kekhalifahan yang kedua di Andalus, sebagaimana golongan Alawiyah mendirikan Daulah Fatimiyyah di Afrika. Dalam pemerintahan Abasiyah sendiri banyak daerah-daerah yang mendirikan pemerintahan sendiri, sedang pemerintahan Abasiyah pada kenyataannya tidak mempunayi kekuatan secara praktis.[3]
Kehancuran Abasiyah terjadi pada tahun 656 H/1258 M, dengan jatuhnya Bagdad ke kuasaan bahasa Mongol Tartar, yang meluaskan kekuasaannya ke Astanah (1453) ke Syam/Syiria dan Libanon (1516 dan ke Mesir (1517), sedangkan andalus jatuh ketangan kristen pada tahun 1492.
Ilmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit, dan setelah wafatnya imam At-Thabari, mujtahid tidak muncul lagi, bahwa mereka hanya melakukan ijtihad fil madzhab, menguraikan masalah yang telah diijtihadkan oleh imam madzhabnyaa, memberikan legitimasi dan justifikasi hukum-hukum yang telah ada dan mentarjihkan dalil-dalil dari pendapat yang berbeda-beda. Para khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang ada. Turki mendukung madzhab Hanafi, Daulah Ayubiyah mendukung madzhab Syafi’I, Daulah ‎Fatimiyah mendukung madzhab Syi’ah Isma’iliyah. Para hakim hanya menjadi pengikut madzhab yang dianut oleh negara dan tidak berijtihad sendiri.
Pada permulaan abad ke empat hijriyah, para fuqaha Sunni menetapkan pintu ijtihad tertutup, sehingga dengan ditutupnya pintu ijtihad, berkembanglah bid’ah dan khurufat, kejumudan berfikir dan terhentinya penelitian ilmu, yang berkembang hanyalah taqlid saja. Hal ini diperparah dengan ekspansi barat kedunia islam yakni pada abad ke 17, tepatnya tahun 1683 M hingga sebelum Perang Dunia I seluruh dunia Islam telah berada di bawah telapak kaki penjajah. Untuk menjamin kelangsungan penjajahan, kaum kolonialis memaksakan berlakunya hukum sekuler pada semua daerah jajahan sehingga timbullah dualisme ilmu pengetahuan dan hukum di dunia Islam. Adanya pemisahan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, sekolah umum dan sekolah agama, Para pakar hukum mereka yang mengetahui kulit hukum Islam, menyebarkan isyu-isyu yang dapat memberikan gambaran keliru mengenai agama Islam, khususnya ilmu fiqh. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam itu kolot, statis, kejam, adat bangsa Arab, tidak cocok untuk dunia masa kini, karena pintu ijtihad telah ditutup secara ijma’ oleh ulama sejak abad IV H, umat Islam wajib bertaqlid kepada salah satu dari madzhab yang empat, tidak boleh pindah madzhab, dan lain-lain.[4]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah itu, maka pada awal abad ke 13 H, timbullah ide-ide, usaha dan gerakan-gerakan untuk pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajahan dan pengaruh barat dengan mengadakan pembaharuan yang universal dalam bidang pendidikan, sosial, pilitik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam. Gerakan ini menyerukan untuk mengusir penjajah, mengembangkan ilmu Islam, meninggakan taqlid buta dan bid’ah dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-hadis serta mengikuti metode ulama salaf.
Ternyata perjuangan mereka itu telah nyata berhasil dan kini kita telah rasakannya, umat Islam kini sudah tidak dijajah lagi oleh kolonialis. Demikian juga dalam pembaharuan dibidang pendidikan, sosial, politik, dan militer.
Kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam pola fikir dan pola sikap masyarakat dalam menghadapi hidup ini. sikap rasional menjadi ciri utama masyarakat madern, karena itu paktek-praktek ilmu fiqh sebagai hasil pemikiran para fuqaha di masa lalu mulai kurang dapat menjawab berbagai persoalan. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata-mata membolak balik kitab-kitab fiqh yang sudah ada. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa beriktunya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya.
Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kehidupannya diatur oleh hukum Allah, tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini - yang tidak lain merupakan formulasi resmi dari hukum syara- belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitabnya itu. Karena itu diperlukan usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.

Sumber Hukum Islam Kontemporer
Definisi fiqh kontemporer dan cakupannya telah dibicarakan dalam makalah pertama. Yang menjadi tugas pemakalah adalah menguraikan apa yang menjadi sumber hukum Islam kontemporer dan metode penjelasannya.
Yang dimaksud hukum Islam dalam makalah ini adalah fiqh, dan perbedaan sekaligus persamaannya telah dibahas secara panjang lebar oleh beberapa penulis.[5] Seperti kita ketahui bahwa makna fiqh adalah ilmu/pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang difahami dali dalil-dalilnya yang terperinci [6] Sebagai suatu ilmu tentu saja harus bersandar pada sumber yang kuat dan jelas. Sebelum kita membicarakan apa saja yang termasuk sumber Hukum Islam, ada baiknya kita bahas dulu arti dari sumber hukum itu.
Sumber dalam hukum fiqh merupakan terjemahan dari مصدر ج مصادر . Ada juga orang yang menyebutnya dengan dalil (دليل ) karena beranggapan bahwa kedua kata tersebut adalah sinonim. Namun, bila dilihat secara etimologis, keduanya tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan dengan kata “syari’ah”. Kata masdar dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.[7]
Kata “sumber” dalam pengertian ini dapat digunakan untuk al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah tempat ditimbanya hukum syara, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma, qiyas,dan yang lainnya , karena bukan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma, dan qiyas merupakan cara/metode dalam menemukan hukum.
Para ulama mengartikan dalil dengan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada apa yang dikehendaki. [8] Secara istilah dalil - seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab Khalaf - sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qathi’ maupun secara dhanni.[9] Oleh karena itu kata “dalil” dapat digunakan untuk al-Qur’an dan sunnah juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan الأدلة الأحكام المنصوصة sedangkan ijma dan qiyas merupakan الأدلة الأحكام غير المنصوصة . Untuk yang pertama sering para ulama menyebutnya dengan dalil naqli sementara yang kedua disebut dalil aqli. Sealain ijma dan Qiyas yang termasuk dalam katagori ini adalah al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-istishab, al-Urf, syar’u man qablana, qaul shahabi. Namun yang disepakati para ulama hanyalah ijma dan qiyas, artinya semua ulama memakai keduanya sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya para ulama berbeda pendapat ada yang memakai, ada pula yang menolaknya.
Yang termasuk sumber hukum dan dalil hukum Islam adalah :
Al-Qur’an
Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang membacanya merupakan ibadah.
Dari 6 ribuan lebih ayat al-Qur’an, hanya sebagian kecil yang mengandung hukum yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan perbuatan dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya Al-Qur’an merupakan sember utama bagi hukum Islam sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Alqur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Artinya sumber yang lain tidak boleh bertentangan/menyalahi al-Qur’an.

Al-Sunnah
al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. [10] Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah fi’liyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan sekaligus sebagai dalil hukum dalam hukum Islam setelah al-Qur’an.
Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad.[11] Ketiga tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.

Ijma
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis.[12] Para ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma shahabat.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat dibawah dalil nash (al-qur’an dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma’ tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafi’i.[13]

Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illah hukum.[14]
Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada sumbernya yani al-Qur’an dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar yang membentuknya.

Metode Penjelasan dan Pendekatan Hukum Islam Kontemporer
Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri, Syi’ah Imamiyah dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingak dengan hukum positif dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri.
Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah, mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan setiap waktu.
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya.
Agar selalu aktual dan membumi tentu saja aspek sosiologis, antropologis dan kemaslahatan selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hukum kontemporer tersebut. Wallahu A’lam.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Darul Fikr al-Arabi 1958
Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I Jakarta Logos 1997,
Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,
Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj, Yudian W, Asmin, Surabaya : al-Ikhlas 1995
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Baerut, Darul Fikr 1991

[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta Logos 1997, jilid I hal 33
[2] ibid
[3] Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986, hal 9
[4] Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, hal 44
[5] lihat Amir Syarifuddin dalam op.cit, lihat juga Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al-Arabi, 1958 hal 26
[7] Amir Syarifudin, op. Cit hal 43
[8] Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama, hal 41
[9] Abdul Waahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984, hal 20
[10] Ibid, hal 36
[11] walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syari’at dan terakhir perawi hadis ahad tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya, jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)
[12] Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hal 198
[13] Ibid, hal 205
[14] ibid, hal 218

No comments: