tag:blogger.com,1999:blog-85646963487222819052024-03-08T17:09:10.372-08:00pikiranku, tindakankuyayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-50975935967067881692007-02-01T21:08:00.001-08:002007-02-01T21:08:43.815-08:00PROBLEMATIKA ZAKAT DAN PAJAK SERTA PENYELESAIANNYAPendahuluan<br />Dalam ajaran Islam, zakat diyakini sebagai bagian yang integral dari pilar utama Islam. Tanpa zakat unsur lainnya tidak akan kokoh. Itulah sebabnya zakat dimasukkan menjadi salah satu rukun Islam. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan zakat. Gambaran itu dapat ditangkap dari beberapa ungkapan al-Qur’an yang menggandengak kata zakat dengan shalat. Ungkapan tersebut dimaksudkan agar umat Islam menyadari sepenuhnuya bahwa shalat tebih berorientasi pada nilai ritual, sedangkan zakat disamping mempunyai nilai ritual, juga mempunyai dimensi sosial.<br />Ayat al-Qur’an yang secara ekplisit menyebut kata zakat ternyata sudah ada pada periode Makkah. Pada periode ini memang zakat bersifat mutlak, belum ada aturan yang rinci mengatur mekanisme retribusi dan distribusinya. Aturan dimaksud baru terdapat pada ayat-ayat hukum yang diturunkan di Madinah. Penetapan aturan zakat di mulai dari periode Makkah sampai ke periode Madinah, menurut para ahli Ushul Fiqh merupakan bukti bahwa kewajiban zakat termasuk katagori Qath’I dilalah.<br />Zakat hukumnya wajib berdasarkan perintah al-Qur’an yang bersipat sharih (tegas dan jelas). Kemudian beberapa sunnah Nabi Muhammad memperkuat kewajiban dimaksud. Oleh karena itu ummat Islam tidak dibenarkan mengingkari kewajiban zakat itu. orang Islam yang mengingkari kewajiban zakat dinyatakan berdosa, bahkan dapat dikatakan kafir dalam artitan mengingakri kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya.<br />Meskipun zakat dikatagorikan sebagai ibadah makhdah, sebagaimana ibadah shalat dan ibadah lainnya, namun hakikatnya, zakat merupakan bagian dari ibadah yang bertatanan ekonomi dan sosial, bahkan politik umat Islam. Tidak heran kalau pembahasan masalah zakat ditemukan dalam literatur khusus membahas politik dan ekonomi umat Islam (siyasah al-syari’iyah wa al-maliyyah) Abu Ubaid, ulama pertama yang menyusun tentang masalah pendapatan negara, membahas masalah ini secara rinci dalam kurang sebih separoh kitabnya yang terkenal yakni “kitab al amwal” Abu Yusuf, ulama dari kalangan Hanafiyah yang menulis kitab “al-Kharaj” menguraikan juga masalah zakat. Begitu pula al-Mawardi penulis buku “al-ahkam al-Sulthaniyyah” mengemukakan zakat dalam bukunya. Sementara Ibnu Taimiyyah secara tegas menyebutkan bab khusus dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syari’iyyah”.<br />Dalam pandangan para penulis diatas zakat merupakan bagian pendapatan bagi negara sejajar dengan jizyah, ghanimah dan al-Fa’i. Sebagai sumber pendapatan negara, zakat harus diatur dan dikelola oleh pemerintah atau lembaga yang secara khusus menangani masalah restribusi dan distribusinya sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam. Memang harus dipahami bahwa pada dasarnya setiam muslim yang menjadi wajib zakat harus menyerahkan zakatnya dengan sukarela. Akan tetapi perlu juga dilihaat dari karakteristik manusia yang enggan dan segan untuk melaksanakan kewajibannya dengan sukarela. Dalam hal ini peranan lembaga amil zakat sangatlah berarti. Lembaga inilah yang harus mengambil secara “paksa” zakat yang harus dikeluarkan oleh para wajib zakat. Tindakan ini dilakukan dalam rangka mengambil hak fakir, miskin dan mustahik zakat lainnya.<br />Sejarah telah mencatat, bahwa petugas yang memungut dan menyalurkan zakat sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Pada saat itu dikenal istilah”su’at”, “mushadaq” dan lain-lain. Istilah dimaksud merupakan pelaksanaan dari istilah al-Qur’an “wa al-amiliina alaiha”. Begitu institusi ini terus berkembang dan mengalami penyempurnaan sesuai dengan permkembangan ummat Islam. Di Indonesia sekarang ini sudah banyak lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang berfungsi sebagai pengelola zakat.<br /><br />Masalah Retribusi dan Distribusi Zakat<br />Masalah yang senantiasa berkembang di kalangan umat Islam saat ini adalah masalah mekanisme retribusi dan distribusi zakat. Secara normatif baik retribusi maupun distribusi zakat sudah diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, masalah yang dihadapi umat Islam saat ini jelas bebeda dengan masalah umat Islam di masa lampau. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap norma yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah.<br />Dalam masalah retribusi zakat, kita saat ini menemukan ksaus pengabilan zakat dari kegiatan yang ada pada masa lampau tidak begitu lazim dilakukan. Masalah dimaksud adalah mengenai zakat profesi. Karena itu mereka hanya memmppkuskan pembicaraan pada jenis dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya yang berkembang saat itu, misalnya pertanian, pedaganagan peternakan, dan lain-lain. Sedangkan saat ini sudah harus dilihat dari bidang usaha pa yang mempunyai fungsi sama dengan kegiatan yang ada pada jaman Rasulullah SAW. Disini memang akan timbul kembali persoalan klasik, apakah zakat itu termasuk ibadah mahdhah yang ersifat ta’abuddi, ataukah merupakan idabah mahdah yang bersifat ta’aqulli?<br /> Kalau dikatakan bahwa zakat termasuk ibadah mahdah yang bersifat ta’abuddi, maka harus difahami bahwa aturan zakat yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan suatu yang “dogmatis” dan tidak dapat dipertanyakan lagi dan kita terima dengan “bila kaifin”. Dengan kata lain, zakat termasuk kegiatan yang tidak dapat ditelusuri illatnya. Konsekuwensi dari pendapat ini,bahwa jenis benda dan kegiatan yang harus dikeluarkan zakatnya hanya terpbatas pada apa yang ada dalam keuda sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan masalah yang baru tidak dapat dikembangkan lagi. Lain halnya dengan pendapat yang menyatakan bahwa zakat termasuk ibadah yang bersifat ta’aqulli. Bagi penganut pendapat ini, zakat merupakan ibadah yang ”reasonable” karena itu harus diketahui illat atau sebab ditetapkannya aturan zakat dimaksud. Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah bahwa jenis benda dan kegiatan yang wajib dikeluarkan zakatnya akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.<br />Sebenarnya masalah zakat profesi dan masalah benda lain yang wajib dikeluarkan zakatnya dapat dikembalikan kepada keumuman ayat al-Qur’an : “wa anfiqu min thayibaati maa kasabtum” Dan nafkahkanlah yang baik-baik dari hartamu yang engkau dapati (Surat al-Baqarah : 276). Berdasarkan ayat ini dapat difahami bahwa segala garis besar benda dan kegiatan yang wajib dizakati adalah “hasil usaha” dan “hasil bumi”. Kemudian Nabi memberikan penjelasan sesuai dengan apa yang ada dan yang menjadi kebiasaan masyarakat pada waktu itu. itulah sebabnya beliau menyebut kegiatan perdangangan yang hasilnya harus dizakati, begitu pula dengan jenis komoditas pertanian apa yang saat itu ada. Dengan demikian, segala jenis usaha yang dapat menghasilkan”uang” dapat dianggap sebagai kegiatan atau benda yang wajib dizakati.<br />Kemudian mengenai masalah distribusi zakat akan sangat ditentukan oleh visi kita sebagai umat Islam yang hidup pada saat ini. apakah kita tetap berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah madah yang ta’abuddi dataukah ta’aqulli? Sebagaimana diketahui bahwa landasan hukum ditribusi zakat adalah surat at-Taubah : 60<br /><br />إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليم حكيم<br /><br />Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana<br /><br />Dalam ayat ini disebutkan dua kelompok besar pihak yang dapat menerima zakat, pertama pihak orang-orang tertentu yang dapat menerima zakat secara individual dan dapat memilikinya secara langsung. Kelompok ini adalah : fakir, miskin, mu’alaf, dan amil berdasarkan kepentingan tertentu. dalam hal ini kelompok kedua tidak secara langsung memiliki harta zakat itu. termasuk kolompok ini adalah : memerdekakan hamba, yang punya utang, sabilillah dan ibn sabil. Pemahaman ini didasarkan pada makna literal yang terdapat pada ayat ini. kelompok pertanda diungkapkan dengan huruf “lam” (lil fuqara..) yang berarti memiliki, sedangkan yang kedua diungkapkan dengan huruf “fi” (wa fi al- riqab …) yang berarti dalam atau mengenai.<br /><br />Problematika Pengelolaan Zakat<br />Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa zakat merupakan kewajiban yang bersifat pasti. Dikeluarkan oleh orang yang mengharapkan ridah Allah dan mengharap balasan dari kehidupan yang baik di akhirat nanti, tidak dilakukan oleh orang yang lemah keyakinannya terhadap hari kiamat, dan orang yang sedikit rasa takutnya kepada Allah, orang yang mencintai harta, sehingga kecintaannya itu mengalahkan kecintaan kepada Allah (Yusuf Qardhawi : 1991).<br />Yang jadi persoalan adalah, apakah pendistribusian zakat itu di bebankan kepada para muzakki, anrtinya para muzakkilah yang membagikan zakatnya kepada para mustahiq zakat. Kalau ini persoalannya, dimungkinkan adanya overlapping (ketumpang-tindihan) dalam pendistribusian zakat. Pembagian yang diserahkan kepada para muzakki akan menyebabkan ketidakmerataan dalam pembagian, hal ini akan membuat ketidak-adilan dan kesenjangan baru.<br />Atau perlukan pemerintah membuat sebuah lembaga pengumpul zakat, atau pihak swasta dalam pengawasan negara. Kalau demikian, diperlukan peraturan perundangan yang melegitimasi eksistensinya. Karena lembaga, apapun lembaga itu, tanpa adanya aturan yang mengikat kurang legitimed, atau permasalahan lain adalah sangat susah bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap lembaga tersebut.<br />Untunglah kini kita telah memiliki Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yakni UU No, 38 tahun 1999. Namun sayang mekanisme perundangannya yakni Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran operasional Undang-undang itu belum ada, yang ada hanyalah Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyebabkan daya paksa dan wibawa undang-undang ini kurang diperhatikan oleh publik.<br />Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelaksanaan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peran pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kedilan sosial serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infak, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perseorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha.<br />Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari ulama, kaum cendikia, masyarakat, dan pemerintah serta adana sanksi hukum terhadap pengelola.<br />Dengan dibentuknya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk dapat menunaikan kewajiban zakat dalam rangka mensucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya kepforfesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT (Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999)<br /><br />Mencari Solusi Pembayaran Fiskal Ganda<br />Tanggal 25-26 Maret 1997, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan seminar Nasional bertemakan “Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat”. Salah satu agenda pokok dalam seminar ini adalah mencari solusi atas sebuah problem yang dihadapi umat Islam dalam kehidupan negara bangsa, yaitu kewajiban membayar fiskal ganda : zakat dan pajak.<br />Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan topik tersebut adalah : haruskah pembayaran zakat disatukan dengan pajak ; sehingga dapat mengurangi beban kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam dalam negara bangsa? Ada dua pendapat yang saling bertolak belakang meresponi masalah ini. Pendapat pertama adalah pendapat yang tetap mempertahankan disparitas antara zakat dan pajak pada satu pihak, dan pendapat kedua, adalah mencoba mengitegrasikan zakat dengan pajak pada pihak yang lain.<br /><br />Pro dan Kontra Seputar Penyatuan Zakat dan Pajak<br />Pendapat pertama dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Seminar Nasional yang pernah di selenggarakan pada tahun 1990. Adapun pendapat kedua adalah disuarakan oleh Masdar F. Mas’udi (1991) salah seorang tokoh muda Nahdhatul Ulama dan ketua P2M yang idenya tertuang dalam buku yang berjudul : Agama Keadilan : Risalah Zakat (Pajak) diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta <br />Pendapat MUI yang tetap mempertahankan disparitas zakat dan pajak mengandaikan umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar nash al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan oleh ajaran Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan kewajiban agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama, sementara pajak wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warganegara kepada negara bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran zakat maupun pembayaran pajak adalah dua hal yang berbeda, tapi sama-sama bersifat impertif, dan karenanya wajib diamalkan oleh umat Islam kedua-duanya secara terpisah.<br />Memang, jika pendapat ini diamalkan akan menghasilkan input dana yang maksimal. Hanya saja misalnya, bagi sebagian besar umat Islam, adanya dua kewajiban itu sungguh merupakan beban yang sangat memberatkan. Terlebih pada dasarnya setiap manusaia mempunyai sifat mencintai harta benda, dan karenanya kerapkali enggan mendermakan sebagian hartanya, alias bakhil dan tamak. Hal ini tercantum dalam firman Allah :<br /><br />إن الإنسان خلق هلوعا * إذا مسه الشر جزوعا * وإذامسه الخير منوعا<br /><br />Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (Q.S. 70 : 19-21)<br /><br />وإنه لحب الخير لشديد<br />Artinya : dan sesungguhnya dia amat bakhil karena cintanya kepada harta (Q.S: 100 : 8)<br /><br />Para ahli tafsir menerangkan bahwa maksud ayat ini adalah : manusia itu sangat kuat cintanya kepada harta sehingga ia menjadi bakhil (Al-Qur’an dan terjemahnya)<br /><br />وتحبون المال حبا جما<br />Artinya : dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Q.S : 89 : 20)<br /><br />Akibatnya, berhubung zakat ditunaikan berdasarkan iman atau kesukarelaan, dan tidak ada kontrol dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya, yang diserahkan sepenuhnya kepada rasa ketaqwaan seseorang, maka pembayarannnya pun tidak jarang terabaikan. Dalam hal ini, zakat kalah pengaruh oleh pajak. Hal inilah yang seringkali menjadi kendala utama dalam meningkatkan jumlah penerimaan zakat pada lembaga-lembaga pengumpul zakat. Kenyataan itu berbeda sekali dengan pajak, yang karena didorong secara imperatif oleh negara, pembayarannya selalu dilunasi setiap jatuh tempo. Bagi yang terlambat, ditegur, bagi yang membayar tepat pada waktunya, diberikan diskon khusus atau diberi pengghargaan. Di negara barat, bagi orang yang tidak membayar pajak atau menggelapkan pajak, dapat dihukum pidana dengan hukuman yang cukup berat.<br />Adapun pendapat Masdar Farid Mas’udi diatas mengasumsikan bahwa umat Islam yang telah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu karena pajak yang dibayarkan itu telah diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar, secara batin zakat adalah komitmen spiritual manusaia kepada Tuhannya, sedangkan secara lahir, zakat itu merupakan pajak yang merupakan komitmen sosial sesama manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian adalah hal yang identik; ibarat zakat adalah ruh, dan pajak sebagai raga yang bersama-sama embodied. Jadi, jika bagi Muslim, pajak berfungsi sebagai zakat, bagi non-Muslim pajak itu adalah pajak. (Masdar : 1993)<br />Karena pembayaran pajak telah diniatkan sebagai zakat, jumlah pajak yang diperbolehkan adalah juga merupakan jumlah zakat yang diterima. Dengan cara ini, pembayar pajak (zakat) dapat meminta kontraprestasi dari apa yang telah dibayarkan. Ini berarti, sega negara sebagai subjek wajib pajak, sekaligus sebagai muzakki, memiliki hak kontrol terhadap pengelolaan dana negara yang diperoleh dari sektor penerimaan pajak (zakat).<br />Memang, berhubung umat Islam tidak lagi merasa terbebani kewajiban fiskal ganda, jumlah angga penerimaan pajak (zakat) boleh jadi akan meningkat, tapi alokasi dan distribusi pemanvaatan dana pajak (zakat) itu sudah pasti akan menimbulkan persoalan baru.<br />Hal itu karena alikasi dan target distribusai pajak dan zakat, masing-masing saling berbeda. Bagaimanapun, reinterpretasi terhadap teks keagamaan (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang mengatur soal alokasi dan target distribusi zakat, khususnya tentang kebolehan zakat (pajak) diperuntukkkan kepada umat non-Muslim (bedakan dengan mu’allaf) masih merupakan hal yang teramat pelik. Pada titik inilah kontroversi dan keberatan dri kalangan umat Islam mungkin saja muncul.<br />Begitu pula, pemanfaatan dana pajak (zakat) untk sektor kepentingan ekslusif umat Islam tertentu saja akan menimbulkan keberatan dari wajib pajak yang beragama non-Muslim . sebab, para wajib pajak dari kalangan non-Muslim – meskipun mereka dari segi populasi merupakan minoritasssss, tetapi mengusai hampir 80% kekayaan di Republik ini—merupakan pembayar pajak yang jauh lebih besar jumlahnya ketimbang yang dibayarkan oleh wajib pajak (muzakki) dari kalangan Muslim sendiri. Walhasil, sungguhpun dari seg populasi umat Islam merupakan mayoritas, alokasi dan pemanfaatan dana pajak (zakat) utuk kepentingan eklusif umat Islam tidak dengan sendirinya akan besar jumlahnya, justru boleh jadi akan sangat terbatas.<br />Adapun jika pendapat Masdar F. Mas’udi ini dapat diterima, maka implikasi khrusial yang mungkin muncul adalah bahwa perorangan, yayasan, atau lembaga pengumpul dan penyalur ZIS yang telah eksis selama ni akan bergeser statusnya dan digantikan fungsinya oleh kantor-kantor pelayanan pajak. Lagi-lagi, kenyataan ini sulit diterima, karena mampunyai kecendrungan diskonstinuitas dan revolusioner.<br /><br />Reduksi Pajak Bagi Pembayar Zakat<br />Menyadari kelemahan masing-masing dua pendapat diatas, kiranya sudah saatnya kita mempertimbangkan pendapat yang menghendaki bahwa bagi umat Islam yang telah membayar zakat kiranya dapat memperoleh reduksi (pengurangan) pembayran pajak, paling tidak sebesar dua setengah persen (2 ½ %)<br />Pendapat ini sesungguhnya merupakan sintesa dari pendapat MUI dan pendapat Masdar di atas. Sebab, dalam pola ini, zakat dan pajak tetap diangap sebagai hal yang terpisah. Namun begitu, dalam pola ini pun zakat dan pajak terlihat sebagai sebuah entitas yang kurang lebihnya hampir identik. Sebab, setiap zakat pastilah merupakan pajak. Demikian pula sebaliknya, setiap pajak adalah zakat juga.<br />Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat pasal 14 ayat (3) dikatakan :<br />Zakat yang terlah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang persangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />Dalam penjelasan pasal ini di uraikan :pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda. Yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.<br />Hal inipun berlaku di beberapa mancanegara, umpamanya Amerika Serikat. Di negara maju tersegut, indibidu atau perusahaan yang memberi sumbangan terhadap yayasan-yayasan spesial (LSM) yang terdaftar, mendapatkan reduksi pajak. Demikian pula di negeri jiran, Malaysia, bagi wajib pajak yang telah membayarkan pajaknya di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan kwitansi pembayaran pajak, ketika menyetorkan pajak akan mendapatkan reduksi dari kewajiban pajaknya.<br />Di Indonesia, pola semacam ini pernah diutarakan antara lain oleh Dawam Rahardjo (1992) dan juga didukung oleh sejumlah pengelola BAZIS Propinsi, seperti DKI Jakarta dan Kalteng.<br />Bagi Direktorat Jenderal Pajak sendiri, pola seperti di atas bukanlah hal yang baru. Sebag, melalui surat edaran Dirjen Pajak no SE-33/Pj.421/1996 tertanggal 2 September 1996, telah diberlakukan ketentuan-ketentuan bahwa setiap dana yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk di sumbangkan pada beasiswa dan disalurkan melalui Lembaga Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dapat dibebankan sebagai biaya yang adapat dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak.<br />Jika memberikan sumbangan untuk GN-OTA bisa memperoleh keringanan pajak, mengapa tidak bila hal yang sama juga diwujudkan bagi umat Islam yang telah mengeluarkan zakat? Bukankah dana zakat dapat mengcover sekaligus memback-up target-target alokasi dan disribusi dana pajak seperti penanggulangan masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, pemerataan pendapatan, dan bahkan juga pendidikan? Seperti firman Allah :<br />كى لا يكون دواة بين الأغنياء منكم<br />Artinya : Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja diantara kamu (Q.S. 59 : 7)<br /><br />Dengan demikian, dana dan sektor penerimaan zakat sebenarnya bisa ikut meringankan beban anggaran belanja negara. Alhasil, institusi zakat seharusnya dapat dipetimbangkan sebagai instrumen alternatif dalam penyediaan dana pembangunan nasional.<br />Jika kebijaksanaan fiskal seperti diatas dapat terwujud, yang sunguhpun tampak seperti iming-iming “diskon”, ini bukan saja akan mendorong tanggung jawab sosial dan tanggung jawab sosial individu/perusahaan, tetapi juga akan menimbulkan terjadinya “revolusi” peningkatan jumlah pembayaran dan penerimaan baik bagi amil zakat maupun Kantor Pelayanan Pajak. Oleh karena itu, tidak perlu dikhawatirkan kebijaksanaan di atas akan mengurangi pendapatan dari sektor pajak.<br />Dengan demikian, hemat penulis, pola pembayaran di atas, merupakan solusi yang paling memungkinkan terhadap masalah kewajiban pembayaran fiskal ganda umat Islam di dalam negara bangsa. Betapapun demikian, harus tetap diakui, masih ada ganjalan yang menghadang pola sintesis itu, seperti mengenai bentuk-bentuk pajak dan zakat yang beraneka ragam. Pertanyaan seperti itu :<br /> n zakat macam apa (harta atau fitrah) yang jika sudah dibayar, akan memperoleh reduksi pajak?<br /> n Apakah seluruh bentuk pajak akan menyediakan reduksi, atau hanya salah satu saja dari sekian bentuk pajak?<br />Hal ini merupakan sekedar contoh dari sekian agenda persoalan yang penting yang harus segera dibicarakan. Wallahu ‘a’lam<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kedutaan Besar Saudi Arabia<br />Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tentang Pengelolaan Zakat, BAZIS DKI Jakarta<br />Djamil, Fathurrahman Kedudukan dan Peran Zakat dalam Fiqh Islam, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997<br />Fadlullah, Cholid, Mengenal Hukum ZIS (zakat Infak Sedekah) dan Pengamalannya di DKI Jakarta, Jakarta BAZIS DKI 1993<br />Mas’udi. Masdar, F. Agama Keadilan, risalah zakat (pajak) dalam Islam, Jakarta Pustaka Firdaus. 1993<br />Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Saudi Arabia Dar al Farh lia’lam al-arabi 1993<br />Salim, M. Arsal, Mencari Solusi Pembayarana Fiskal Ganda, Makalah seminar Rekonseptualisasi Strategi Pendayagunaan Zakat untuk Pembangunan ekonomi Berkeadilan dan Berkerakyatan menyongsong abad 21. Seminar Nasional di Ffakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997<br />Syahhatih, Syauqi Ismail, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, alih bahasa Ansori Umar Sitanggal, Jakarta Pustaka Dian 1987<br />Qardhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, terjemahan Salman Harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin, (Bogor Lintera Antar Nusa) 1991<br />Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Baerut Darul Fikr, 1991yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-24527772553678656102007-02-01T21:05:00.000-08:002007-02-01T21:07:21.401-08:00SUMBER HUKUM ISLAM KONTEMPORER DAN METODE PENJELASANNYAPendahuluan <br />Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul di kalangan para sahabat dapat ditanyakan langsung kepada beliau. Biasanya beliau memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menyebut ayat al-Qur’an, atau menunggu jawaban wahyu dari Allah, atau dalam keadaan tertentu ketika tidak ditemukan jawabannya melalui wahyu, beliau memberikan jawaban melalui pendapat beliau pribadi atau hasil musyawarah beliau dengan para sahabat. Pendapat beliau seperti itu belakangan disebut Sunnah.<br />Setelah Nabi wafat dengan demikian wahyu terputus, artinya tidak ada lagi wahyu atau hadis yang turun. Persoalan hukum tidak berhenti dengan wafatnya Nabi atau telah terputusnya wahyu, malahan makin banyak, pelik, dan kompleks. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi, masyarakat yang ada hanyalah terbatas pada masyarakat Arab yang berada di kota Madinah dan sekitarnya, kehidupan mereka masih sederhana, mereka hanya bedagang, peternak dan sedikit bertani. Sementara pada zaman sesudahnya, Islam telah jauh menembus luar batas jazirah Arab. Orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab, tetapi juga orang Persia, Mesir, Yaman, dll. Tentu saja akulturasipun terjadi, sehingga persoalan kehidupan yang muncul akibat pergesekan budaya secara otomatis pasti lebih banyak dan pariatif. <br />Pada periode sahabat, persoalan yang timbul dapat segera diatasi dengan baik karena mereka adalah murid-murid terbaik Rasulullah (Khair al-qurun). Mereka sangat memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan seluk beluk keduanya. Mereka mengetahui dengan baik setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidaupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat serta Sunnah memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Bila mereka menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya mereka mencari jawabannya dalam al-Qur’an, bila tidak menemukan jawabanya secara harfiah dalam al-Qur’an, mereka mencoba mencarinya dalam Sunnah, bila dalam Sunnah juga tidak ditemukan mereka melakukan ijtihad dengan mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan selalu mempertimbangkan pada usaha memelihara kemaslahatan umat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Persoalan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah timbul pada masa setelah masa sahabat, dimana orang yang memeluk agama Islam bukan hanya orang Arab, tetapi juga orang luar arab (ajam) dimana mereka tidak mengerti dan memahami bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur’an dan Sunnah tertulis dalam bahasa yang sangat tinggi nilai sastranya. Dalam posisi seperti ini, bahasa Arab merupakan suatu bidang studi yang niscaya harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenannya, para ulama berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami al-Qur-an dan Sunnah yang keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam.<br />Selain kaidah bahasa Arab, para ulama menetapkan dan menyusun kaidah-kaidah dalam perumussan hukum dari sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, juga memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itu disebut ushul fiqh.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Pada zaman keemasan Islam, - pase ini berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayah dan bani Abas - para ulama giat melakukan ijtihad derhadap berbagai persoalan, sehingga sering diantara mereka berijtihad dengan mempergunakan metode sendiri, tidak terikat dengan metode istinbath yang ditemui ulama lain. Mereke inilah yang terkenal dengan imam mujtahid. Mereka giat dalam mengembangkan ilmu, khususnya dibidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Selain mengarang berbagai buku, mereka juga mensyarah, mengomentari, mengkritik, atau meringkas buku-buku yang sudah ada. Mereka bedah segala persoalan yang bersangkutan dengan persoalan hukum. Bukan saja persoalan-persoalan yang telah dan sedang terjadi, bahkan mereka merambah ke persoalan yang tidak membumi dan mengandai-andai, yang lebih terkenal dengan istilah fiqh iftiradhi.<br />Perkembangan pesat ini terjadi antara lain disebabkan oleh besarnya perhatian para khalifah terhadap ilmu, khususnya ilmu fiqh serta adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat. Di masa Abasiyah yang kedua, golongan Amawiyah mendirikan kekhalifahan yang kedua di Andalus, sebagaimana golongan Alawiyah mendirikan Daulah Fatimiyyah di Afrika. Dalam pemerintahan Abasiyah sendiri banyak daerah-daerah yang mendirikan pemerintahan sendiri, sedang pemerintahan Abasiyah pada kenyataannya tidak mempunayi kekuatan secara praktis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Kehancuran Abasiyah terjadi pada tahun 656 H/1258 M, dengan jatuhnya Bagdad ke kuasaan bahasa Mongol Tartar, yang meluaskan kekuasaannya ke Astanah (1453) ke Syam/Syiria dan Libanon (1516 dan ke Mesir (1517), sedangkan andalus jatuh ketangan kristen pada tahun 1492.<br />Ilmu fiqh berhenti sedikit demi sedikit, dan setelah wafatnya imam At-Thabari, mujtahid tidak muncul lagi, bahwa mereka hanya melakukan ijtihad fil madzhab, menguraikan masalah yang telah diijtihadkan oleh imam madzhabnyaa, memberikan legitimasi dan justifikasi hukum-hukum yang telah ada dan mentarjihkan dalil-dalil dari pendapat yang berbeda-beda. Para khalifah hanya menjadi pendukung madzhab yang ada. Turki mendukung madzhab Hanafi, Daulah Ayubiyah mendukung madzhab Syafi’I, Daulah Fatimiyah mendukung madzhab Syi’ah Isma’iliyah. Para hakim hanya menjadi pengikut madzhab yang dianut oleh negara dan tidak berijtihad sendiri.<br />Pada permulaan abad ke empat hijriyah, para fuqaha Sunni menetapkan pintu ijtihad tertutup, sehingga dengan ditutupnya pintu ijtihad, berkembanglah bid’ah dan khurufat, kejumudan berfikir dan terhentinya penelitian ilmu, yang berkembang hanyalah taqlid saja. Hal ini diperparah dengan ekspansi barat kedunia islam yakni pada abad ke 17, tepatnya tahun 1683 M hingga sebelum Perang Dunia I seluruh dunia Islam telah berada di bawah telapak kaki penjajah. Untuk menjamin kelangsungan penjajahan, kaum kolonialis memaksakan berlakunya hukum sekuler pada semua daerah jajahan sehingga timbullah dualisme ilmu pengetahuan dan hukum di dunia Islam. Adanya pemisahan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, sekolah umum dan sekolah agama, Para pakar hukum mereka yang mengetahui kulit hukum Islam, menyebarkan isyu-isyu yang dapat memberikan gambaran keliru mengenai agama Islam, khususnya ilmu fiqh. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam itu kolot, statis, kejam, adat bangsa Arab, tidak cocok untuk dunia masa kini, karena pintu ijtihad telah ditutup secara ijma’ oleh ulama sejak abad IV H, umat Islam wajib bertaqlid kepada salah satu dari madzhab yang empat, tidak boleh pindah madzhab, dan lain-lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah itu, maka pada awal abad ke 13 H, timbullah ide-ide, usaha dan gerakan-gerakan untuk pembebasan diri dan ilmu pengetahuan Islam dari penjajahan dan pengaruh barat dengan mengadakan pembaharuan yang universal dalam bidang pendidikan, sosial, pilitik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia Islam. Gerakan ini menyerukan untuk mengusir penjajah, mengembangkan ilmu Islam, meninggakan taqlid buta dan bid’ah dengan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-hadis serta mengikuti metode ulama salaf. <br />Ternyata perjuangan mereka itu telah nyata berhasil dan kini kita telah rasakannya, umat Islam kini sudah tidak dijajah lagi oleh kolonialis. Demikian juga dalam pembaharuan dibidang pendidikan, sosial, politik, dan militer.<br />Kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam pola fikir dan pola sikap masyarakat dalam menghadapi hidup ini. sikap rasional menjadi ciri utama masyarakat madern, karena itu paktek-praktek ilmu fiqh sebagai hasil pemikiran para fuqaha di masa lalu mulai kurang dapat menjawab berbagai persoalan. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata-mata membolak balik kitab-kitab fiqh yang sudah ada. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa beriktunya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya.<br />Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kehidupannya diatur oleh hukum Allah, tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini - yang tidak lain merupakan formulasi resmi dari hukum syara- belum seluruhnya memenuhi keinginan umat Islam, oleh karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitabnya itu. Karena itu diperlukan usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.<br /><br />Sumber Hukum Islam Kontemporer<br />Definisi fiqh kontemporer dan cakupannya telah dibicarakan dalam makalah pertama. Yang menjadi tugas pemakalah adalah menguraikan apa yang menjadi sumber hukum Islam kontemporer dan metode penjelasannya.<br />Yang dimaksud hukum Islam dalam makalah ini adalah fiqh, dan perbedaan sekaligus persamaannya telah dibahas secara panjang lebar oleh beberapa penulis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Seperti kita ketahui bahwa makna fiqh adalah ilmu/pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang difahami dali dalil-dalilnya yang terperinci <a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Sebagai suatu ilmu tentu saja harus bersandar pada sumber yang kuat dan jelas. Sebelum kita membicarakan apa saja yang termasuk sumber Hukum Islam, ada baiknya kita bahas dulu arti dari sumber hukum itu.<br />Sumber dalam hukum fiqh merupakan terjemahan dari مصدر ج مصادر . Ada juga orang yang menyebutnya dengan dalil (دليل ) karena beranggapan bahwa kedua kata tersebut adalah sinonim. Namun, bila dilihat secara etimologis, keduanya tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan dengan kata “syari’ah”. Kata masdar dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />Kata “sumber” dalam pengertian ini dapat digunakan untuk al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah tempat ditimbanya hukum syara, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma, qiyas,dan yang lainnya , karena bukan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma, dan qiyas merupakan cara/metode dalam menemukan hukum.<br />Para ulama mengartikan dalil dengan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada apa yang dikehendaki. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Secara istilah dalil - seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab Khalaf - sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qathi’ maupun secara dhanni.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Oleh karena itu kata “dalil” dapat digunakan untuk al-Qur’an dan sunnah juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan الأدلة الأحكام المنصوصة sedangkan ijma dan qiyas merupakan الأدلة الأحكام غير المنصوصة . Untuk yang pertama sering para ulama menyebutnya dengan dalil naqli sementara yang kedua disebut dalil aqli. Sealain ijma dan Qiyas yang termasuk dalam katagori ini adalah al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-istishab, al-Urf, syar’u man qablana, qaul shahabi. Namun yang disepakati para ulama hanyalah ijma dan qiyas, artinya semua ulama memakai keduanya sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya para ulama berbeda pendapat ada yang memakai, ada pula yang menolaknya.<br />Yang termasuk sumber hukum dan dalil hukum Islam adalah :<br />Al-Qur’an<br />Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang membacanya merupakan ibadah.<br />Dari 6 ribuan lebih ayat al-Qur’an, hanya sebagian kecil yang mengandung hukum yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan perbuatan dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya Al-Qur’an merupakan sember utama bagi hukum Islam sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Alqur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.<br />Karena kedudukan al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Artinya sumber yang lain tidak boleh bertentangan/menyalahi al-Qur’an.<br /><br />Al-Sunnah<br />al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan dan dinukilkan oleh sahabatnya. Sunnah fi’liyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan sekaligus sebagai dalil hukum dalam hukum Islam setelah al-Qur’an.<br />Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Ketiga tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.<br /><br />Ijma<br />Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> Para ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma shahabat.<br />Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat dibawah dalil nash (al-qur’an dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma’ tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafi’i.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br /><br />Qiyas<br />Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illah hukum.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada sumbernya yani al-Qur’an dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar yang membentuknya.<br /><br />Metode Penjelasan dan Pendekatan Hukum Islam Kontemporer<br />Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri, Syi’ah Imamiyah dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan. Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingak dengan hukum positif dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri.<br />Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah, mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan setiap waktu.<br />Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya.<br />Agar selalu aktual dan membumi tentu saja aspek sosiologis, antropologis dan kemaslahatan selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hukum kontemporer tersebut. Wallahu A’lam.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abdul Wahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984<br />Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Darul Fikr al-Arabi 1958<br />Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta<br />Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I Jakarta Logos 1997,<br />Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986<br />Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama,<br />Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986<br />Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terj, Yudian W, Asmin, Surabaya : al-Ikhlas 1995<br />Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Baerut, Darul Fikr 1991<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta Logos 1997, jilid I hal 33<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> ibid<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN tahun 1986, hal 9<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Muslim Ibrahim, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, hal 44<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> lihat Amir Syarifuddin dalam op.cit, lihat juga Ahmad Sukardja dalam Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Beragama Dalam Masyarakat yang Majemuk, diterbitkan oleh UI Press Jakarta<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al-Arabi, 1958 hal 26<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Amir Syarifudin, op. Cit hal 43<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama, hal 41<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Abdul Waahab Khalaf Ilmu Ushul Fiqh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah, cet VIII 1984, hal 20<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Ibid, hal 36<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syari’at dan terakhir perawi hadis ahad tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya, jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Muhammad Abu Zahrah, Op.cit, hal 198<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Ibid, hal 205<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> ibid, hal 218yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-85675740982318602832007-02-01T21:03:00.000-08:002007-02-01T21:05:31.861-08:00HAK-HAK PEREMPUAN : SEJARAH PERKEMBANGAN GENDER..Seorang laki-laki disebut terhormat,<br />apabila ia menghormati perempuan.<br />Jika ia melecehkan perempuan,<br />Maka tanggallah kehormatannya……..<br />(Ali bin Abi Thalib)<br /><br />Pendahuluan<br />Pada hakikatnya, semua mahluk diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan, tak terkecuali manusia. Ada laki-laki dan ada perempuan yang merupakan dua jenis kelamin yang berbeda namun satu sama lain saling membutuhkan. Keduanya diciptakan dalam harkat, derajat, dan martabat yang sama meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda gunanya agar bisa saling mengetahui dan melengkapi satu sama lainnya. Demikian yang tersurat dalam kitab suci.(al-Hujurat : 13)<br />Namun perbedaan laki-laki dan perempuan itu ternyata masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Dua jenis kelamin manusia itu secara biologis dengan mudah dapat dibedan, misalnya laki-laki mempunyai penis, berkumis, mempunyai gondok laki, dan bersuara besar. Sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara yang menonjol besar, mempunyai daur haid, bisa hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Intepretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. (Nazaruddin : 1999)<br /> Dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan manusia banyak mengalami perubahan, peran, dan status dalam masyarakat sejak zaman nomaden dimana manusia menggantungkan hidupnya kepada alam semesta dengan melakukan perburuan, kemudian menetap dengan bercocok tanam dan mengambil ikan di lautan, diteruskan dengan penemuan teknologi industri yang dapat mempermudah kerja manusia. Namun tetap saja sejak zaman primitif hingga zaman modern kedudukan perempuan tetap saja sebagai jenis kelamin dua. Ada persepsi yang mengendap dibawah sadar seseorang jika ia mempunyai atribut biologis seperti laki-laki mempunyai penis atau perempuan mempunyai vagina, maka itu juga menjadi atribut untuk penentuan status sosial dalam masyarakat. Jadi dapat dibedakan antara pemilikan penis atau vagina sebagai peristiwa biologis (physical genetical) dan pemilikan penis atau vaginan sebagai peristiwa sosial-budaya (cultural gentical). Secara biologis, alat kelamin adalah kosntruksi biologis karena bagian tubuh dari seseorang yang tidak ada hubungan langsung dengan keadaan sosial-budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya alat kelamin menjadi faktor penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, maka pada sat itu konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi gender seperti pembagian fungsi, peran dan status dalam masyarakat. Sehingga karena laki-laki mempunyai penis, ia mengambil peran yang dominan dalam fungsi, peran dan status didalam masyarakat, sementara perempuan yang tidak mempunyai penis, ia tersisih dan terhempas dalam fungsi, peran, dan status di dalam masyarakat. <br />Ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam percaturan sosial inilah yang sangat menggugah rasa keadilan manusia. Dengan landasan sama-sama manusia dan sama-sama mahluk Tuhan, tetapi mengapa ada perbedaan? <br />Masalah keadilan dan kesetaraan gender merupakan topik yang relatif baru sehingga menimbulkan interpetasi yang berbeda dalam pemahamannya di kalangan pejabat, pakar, dan masyarakat. Karena itu materi kesetaraan gender merupakan bokok bahasan penting dalam rangka memberikan wawasan, persepsi, dan pemahaman yang sama bagi peserta pelatihan dan orientasi untuk menanamkan sikap dan prilaku yang responsif gender.<br /><br />Makna Gender<br />Sebelum menerangkan lebih jauh apa dan bagaimana sejarah perjuangan kaum perempuan, ada baiknya kita mengetahui beberapa kata kunci dalam gender itu. Karena ternyata banyak orang yang salah faham tentang gender, orang sering menyamakan gender dengan kesetaraan, persamaan peran, emansipasi, bahkan sampai pada gerakan anti laki-laki.<br />Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan, misalnya laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempuan mempunyai vagina, payudara dan rahim, karenanya perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui. Seks adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi biologi. Seks lebih berorientasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karekteristik biologis lainnya. Seks adalah juga semua yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara biologis, karenanya tidak dapat dipertukarkan. Seks sering juga disebut kodrat, karenanya sifatnya yang abadi tidak bisa dipertukarkan dan sama disepanjang abad dan tempat.<br />Gender berasal dari bahasa Ingris yang berarti jenis kelamin, (John M. Echols, 1983) atau perbedaan yang nampak antara laki-laki den perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Webster’s : 1984) dan menurut istilah gender adalah pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibuat atau diciptakan oleh manusia melalui pembagian peran laki-laki dan permpuan. Gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. (Nazaruddin : 1999). Gender adalah suatu sifat dan prilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena bentukan, maka gender tidak berlaku selamanya. Gender bisa tergantuk kepada trend masanya. Misalnya, kalau dulu yang menggunakan anting-anting atau berambut panjang adalah perempuan, trend akhir-akhir ini justru kebalik, justru banyak laki-laki yang beranting dan berambut panjang sedangkan perempuan berambut pendek dan tidak memakai anting-anting. Gender juga sangat tergantung pada tempat atau wilayah, misalnya kalau disebuah desa perempuan memakai celana dianggap tidak pantas, maka ditempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan memakai rok. Karena bentukan, maka gender bisa dipertukarkan. Misalnya, kalau dulu pekerjaan memasak selalu dikaitkan dengan perempuan, bahkan kalau ada laki-laki yang ikut memasak disebut kethuk (banci : bencong : wadam), maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurus dapur atu susah karena harus tergantung kepada perempuan untuk tidak kelaparan.<br />Pada zaman dahulu orang belum banyak tertarik ntuk membedakan seks dan gender karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap bahwa keduanya adalah sama. Mereka menganggap eperbedaan gender sebagai akibat perbedaan seks. Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar, akan tetapi belakangan ini disadari bahwa tidak meski perbedaan seks menyebabkan ketidak adilan gender (gender inequality).<br />Dalam masyarakat kita, dikenal perbedaan peran dalam hal pekerjaan misalnya : laki-laki dianggap pekerja produktif sedangkan perempuan pekerja reproduktif. Kerja produktif bisa menghasilkan nilai tukar (dibayar) atau status politik, kerja reproduktif adalah kerja yang bersifat merawat, memelihara, seperti pekerjaan rumah tangga dan melahirkan anak. Biasanya pekerjaan reproduktif tidak mendapatkan imbalan.<br />Pembedaan kerja dalam produktif dan reproduktif ini juga menimbulkan perbedaan wilayah. Laki-laki berada di wilayah publik dan perempuan berada di wilayah domestik. Wilayah publik adalah di luar rumah tempat dimana kehidupan sosial diatur dan dijalankan, dan domestik adalah di rumah atau sering disebut sebagai ruang pribadi.<br />Perbedaan status, laki-laki sering digambarkan sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan (kalau bekerja) disebut sebagai pencari nafkah tambahan. Laki-laki pemimpin, perempuan dipimpin. Dalam status ini ada yang berperan sebagai subjek yaitu laki-laki dn yang berperan sebagai objek yaitu perempuan.<br />Perbedaan sifat, perempuan dilekati dengan sifat dan atribut feminin dan laki-laki dilekati dengan sifat maskulin. Sifat atau atribut feminin misalnya halus, sopan, lembut, kasih sayang, cengeng, penakut, emosional,”cantik”, memakai anting-anting, bersanggul, memakai rok. Sedangkan sifat maskulin misalnya kuat, keras, rasional, kasar, gagah memakai celana, berambut cepak.<br />Ada beberapa persoalan yang lahir akibat kesalah fahaman tentang gender yang berkembang di masyarakat. Diantaranya adalah :<br />1. penomorduaan (sub-ordinasi) yaitu sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan dapa posisi yang lebih rendah dari laki-laki.<br />2. Pemiskinan (marginalisasi) yaitu suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan.<br />3. Cap atau anggapan negatif (Stereotipe) yaitu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat perempuan selalu pada pihak yang dirugikan.<br />4. Beban kerja ganda (bouble burden) pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan perempuan. Ada peribahasa yang mengatakan : waktu kerja suami adalah sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari, sedangkan waktu kerja istri sejak terbit mata suami sampai terbenam mata suami.<br />5. Kekerasan (violence) yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak (bisanya laki-laki) terhadap pihak lain (biasanya perempuan) yang mengakibatkan penderitaan secara langsung dan tidak langsung baik fisik maupun non fisik.<br />Pembedaan gender terjadi kepada dua jenis kelamin, yaitu kepada laki-laki dan perempuan. Tetapi pembedaan gender yang ditujukan kepada perempuan ternyata mengakibatkan banyak sekali ketidakadilan. Pertama ketidakadilan tersebut disebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia bagi perempuan. Hak-hak dasar yang dimaksudkan adalah hak untuk menentukan diri sendiri secara otonom (madiri). Seluruh peran, status, wilayah dan pensifatan kepada laki-laki dan perempuan menghalangi perempuan untuk secara individu menjadi manusia yang otonom dan menghalangi perempuan sebagai kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan norma bersama.<br /><br />Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan<br />Sejarah Kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia terutama setelah berakhirnya perang dingin (cold war) antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered dovelopment) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Suatu kecendrungan yang perlu difahami, dicermati, dan diantisipasi agar tidak mudah terbawa aliran yang tidak sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia atau bertentangan dengan keyakinan manusia dan kodrat manusia. Manusia yang diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain. Keterpaduan antara dua bagian yang tidak sama dengan kemitraan dan keharmonisan adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan perpasangan. Masalah gender pada dasarnya adalah menganut prinsip tersebut, meskipun dalam kenyataannya seing terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub-ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak (laki-laki) ke pihak lain (perempuan) baik di dalam maupun diluar kehidupan rumahtangga. Perlakuan yang merupakan hasil akumulasi dan akses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat tanpa ada klarifikasi yang rasional. Akibatnya, seluruh kesalahan yang sering ditimpakan pada kaum laki-laki yang telah mendominasi dan memarjinalkan kaum perempuan tanpa menjelaskan mengapa budaya tersebut terjadi, untuk itu, informasi tentang perjuangan kaum perempuan dalam menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki menjadi cukup relevan untuk dikaji.<br /> Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya di banding dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar keteringgalan tersebut, maka dikembangkanlah konsep emansipasi (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan di tahun 1950 dan 1960-an. Usaha yang lebih memilih pendekatan pertentangan (dikotomis) daripada kerjasama (kompromis). Pada tanggal 12 Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori gerakan kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) No.861F (XXVI), dan diakomodasi pemerintah Indonesia pada tahun 1968. Untuk mewadahi perjuangan tersebut dibentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia dengan SK Menteri Negara Kesra No34/Kpts/Kesra/1968<br />Pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Women- PBB yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam (a) pendidikan dan pekerjaan, (b) memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan (c) memperluas partisipasi perempuan dalam pembanguan, (d) tersedia data dan informasi partisipasi perempuan, (e) pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin. Untuk itu dikembangkan bergagai program untuk pemberdayaan perempuan (women empowerment programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut, maka diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (Women in Development) yang disingkat WID.<br />Pada tahun 1980 di Kopenhagen dilakukan World Conference UN Mid Decade of Women. Dalam pertemuan itu disahkan UN Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Againts Women (CEDAW). Ketentuan tersebut kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1984. Tahun 1985 di Nairobi, diadakan World Conference on Result of Ten Years Women Movement, yang menghasilkan Forward Looking Strategis for the Advancement of Women dengan menekankan pada kesetaraan perempuan dalam pembangunan dan perdamaian.pada tahun itu pula PBB membentuk satu badan yang disingkat UNIFEM (the United Nations Fund for Women) untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi, dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara international. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang dilakukan selama 10 tahun lebih (atara tahun 1970-1980-an) tidak banyak menampakkan hasil yang signifikan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai bahkan menimbulkan sikap sinis dari kaum laki-laki (male backlash) terhadap perjuangan perempuan tersebut. Berdasarkan berbagai studi, maka tema WID diubah menjadi pendekatan WAD (Women and Development) perempuan dan pembangunan. Kata dalam diganti dengan kata dan yang memberi makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas. Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan the 34Th commission on the Status of Women dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kaum laki-laki nampaknya juga kurang membawa hasil seperti yang diharapkan. <br />Dari studi yang dilakukan oleh Anderson (1992) dan Moser (1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan atau sebaliknya. Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Conference on Population dan Development (ICPD) di Cairo, Mesir tahun 1994 dan dalam the 4th World Conference on Women di Beijing, Cina tahun 1995. Dari dua konferensi tersebut disepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap perumusan kebijaksanaan, dan pelaksanaan sampai pada menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang sangat mendasar yaitu dari pembahasan pada masalah fisik biologis (biological sphere) ke masalah sosial budaya (social-culture sphere).<br />Secara nasional di Indonesia, pergerakan kaum perempuan mulai diilhami oleh perjuangan RA. Kartini yang ingin terbebas dari budaya kraton (Jawa), meskipun secara diam-diam dan tidak terbuka. Gagagsan ini dicerna oleh kaum perempuan yang aktif dalam Gerakan Kebangkitan Nasional tahun 1928, yang ditindak lanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diperingati menjadi Hari Ibu. Dalam perjuangan kemerdekaan, peran perempuan sangat penting baik secara fisik maupun berjuang digaris belakang (penyediaan logistik, perawatan korban, dan penghubung antar para kelompok pejuang). Untuk itu dikenal beberapa nama pejuang perempuan di medan perang seperti Cut Nyak Dien dan Martha Tiahahu, dibidang pendidikan terdapat nama Rasuna Said, Dewi Sartika, dibidang politik terdapat SK Trimurti, Fatmawati, Supeni. Untuk menghimpun potensi perempuan, maka tahun 1950 didirikan organisasi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan dilanjutkan dengan pembentukan BKOW (Badan Kontak Organisasi Wanita) bagitu pula dalam organisasi sosial keagamaan seperti Muslimat (NU) Aisyiyah (Muhammadiyyah), Wanita Katolik, Wanita Marhaen, dan sebagainya.<br />Dengan dibentuknya Komita Wanita Nasional tahun 1967, maka wadah perjuangan kaum perempuan semakin dikonkritkan pada tahun 1975 dalam kabinet pembangunan II dimana dibentuk kementrian yang disebut dengan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita dan Menteri Negara Ususan Peranan Wanita. Sejalan dengan itu dibentuk Organisasi Perempuan seperti PKK, Dharma Wanita (istri PNS), Dharma Pertiwi (Isteri TNI) IWAPI (Isteri Pengusaha), dan sebagainya. Kementrian ini telah beberapa kali ganti kabinet dan menteri dari menteri muda ke menteri negara, tetap diperlukan pemerintah dan masyarakat sampai sekarang. Meskipun tema telah berubah, namun nama kementrian yang bertanggung jawab terhadap perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan program kesetaraan dan keadilan gender, nama kementrian masih diberi Kementrian Pemberdayaan Perempuan.<br /><br />Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender<br />Masalah keadilan dan kesetaraan gender tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan Hak Azasi Manusia yaitu Declaration of Human Rights (HAM) PBB pada tahun 1948.<br />Dalam tahap awal HAM hanya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak individu setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Titik perhatian tahap pertama lebih pada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai perkembangan zama meliputi hak-hak sosial ekonomi dan budaya seseorang. Pelaksanaan hak-hak azasi itulah ang memberikan aspirasi bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak azasi dan reproduksinya dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu proses aktualisadsi dari kaum perempuan dalam mengatasi kepincangan dan ketidakadilan perlakuan sebagai konstruksi sosial terhadap laki-laki dan permpuan. Ketidakadilan dirasakan sebagai diskriminsai yang menempatkan perempuan dalam stataus dibelakang kaum laki-laki telah memacu kaum perempuan untuk berjuang memberbaiki status, peranan, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Perjuangan itu semakin dipicu oleh berbagai kasus seperti yang dialami oleh seorang dokter di Ingris yang ditolak oleh rekan-rekannya seprofesi yang berjenis kelamin laki-laki untuk menjalankan praktek bersama maupun dalam kepengurusan organisasi profesi. Penolakan ini bukan didasarkan oleh rendahnyakemampuan yang bersangkutan, tetapi lebih disebabkan karena ia seorang perempuan. Kemudian secara statistik disajikan data ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang profesi dan pekerjaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh citra baku (stereotype) dalam pandangan masyarakat yang menempakan perempuan lebih banyak berperan dalam sektor domestik (rumah tangga) dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif u ntuk menopang ekonomi kehidupan rumah tangga. Karena peran tersebut, maka laki-laki lebih diutamakan dalam memperoleh pendidikan dan keterampilan dibandingkan dengan kaum perempuan.<br />Masalah kesetaraan dan keadilan gender bukan saja menjadi perhatian kaum perempuan, tapi juga telah menarik perhatian para ahli dan politisi. Edward Wilson dari harvard University (1975) membagi perjuangan perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar. Kelompok bertama disebut konsep nurture (konstruksi budaya) dan kelompok kedua disebut konsep nature (alamiah).<br />1. Aliran Nurture beranggapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan perean dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan laki-laki dan perempuan dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dalam kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Perjuangan persamaan tersebut dipelopori oleh kaum feminist Indoenasional yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (fifty-fifty). Konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas). Apabila hal itu sulit dicapai secara kopromi karena berbagai hambatan baik nilai budaya maupun agama, maka metode perjuangan yang dipakai dengan menggunakan pendekatan sosial konflik. Suatu konsep yang diilhami oleh ajaran karl Marx (1818-1883) dan Machiavvelli (1469-1527), dilanjutkan oleh David Lockwood (1957 dengan tetap menerapkan konsep dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan isteri sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender. Konsep sosial konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar).bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindasan demi untuk mencapai kebebasan dan perasamaan. Karena itu aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang banyak dianut oleh masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan persamaan proposional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti keterwakilan perempuan di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan pimpinan partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut disediakan program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut, yang dikenal dengan perilaku male backlash. Keberhasilan sebagian masyarakat barat dalam kesetaraan perempuan telah menimbulkan perubahan sikap dan perilaku perempuan yang bergaya maskulin seperti agresif, egoistis, kasar, dan tidak mau menikah. Bila membangun keluarga tidak mau punya anak, bila punya anak tidak bersedia menyusui dan sebagainya.<br />2. Aliran Nature yang menerima perbedaan kodrat biologis secara alamiah antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu memberikan idikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture diatas lalu beralih ke teori natur. Pendekatan nurture dirasa tidak enciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalannya maka dikembangkanlah konsep pemberdayaan perempuan (women empowerment) suatu program khusus yang dikenal dengan program affirmartif action guna memperbaiki posisi dan kondisi kaum perempuan. Perempuan perlu lebih diberdayakan agar bisa menyumbangkan potensi dan kemampuannya dalam pembangunan ke dalam rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara tanpa harus menimbulkan konflik sosial. Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh paa peran yang berisfat naluri (instrinct). Perjuangan kelas ini tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai fungsi, tugas dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Tidak mungkin satu kapal dipimpin oleh oleh dua orang nahkoda. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Plato yang kemudian diperbaharuhi oleh August Comte (1798-1857) Emile Durkheim (1858 – 1917), Herbert Spencer (1820 – 1930) bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab. Talcott Parsons (1902 – 1979) dan Persons & Bales berpendapat bahwa keluarga sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membatu satu sama lainnya. Karena itu peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara laki-laki dan perempuan. Aliran ini melahirkan paham struktur fungsional yang menerima perbedaan peranan asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga atau antara kaum laki-laki perempuan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.<br /><br />3. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equibrium) yang menekankan pada konsep keimitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum laki-laki dan perempuan, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan itu, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran dari laki-laki dan perempuan secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkannya bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etis aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Karena itu penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini membedakan sekurang-kurangnya tiga konteks kehidupan seseorang yaitu, keluarga, masyarakat dan agama. Sedang situasional menunjukkan penerapan kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sama di semua strata masyarakat. Karena itu Vandana Shiva menyebutkan equality in diversity (persamaan dalam keragaman). Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan yang komplementer yang bisa diwujudkan melalui strategi pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming). Strategi dalam upaya penyeimbangan peranan, kedudukan dan stratus antara laki-laki dan peremuan mulai dari perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan sampai menikmati hasil pembangunan. Pandangan ini diharapkan dapat mempercepat proses menciptakan sesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga, masyarakt, bangsa dan negara. Hidup harmonis adalah hidup yang seimbang lahir bathin, termpenuhi kebutuhan dasar fisik dengan memadai dan tercapai aktualisasi diri dalam pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian perbedaan bukan alasan untuk menundukkan satu sama lain, tetapi sebaliknya dengan perbedaan maka perlu saling melengkapi dan saling bekerjasama untuk menciptakan sesuatu yang bebih baik dan berguna bagi keluraga, masyarakat, dan bangsa. Aliran keseimbangan sangat mempertimbangkan kondisi dan situasi aktual dari suatu masyarakat agar setiap orang bisa hidup selaras dan serasi dengan kondisi lingkungannya. Tokoh aliran ini antara lain adalah Betty Friedman, Alice Rossi, dan Mery Ann Mason yang menjelaskan bahwa perbedaan peranan dan fungsi biologis memiliki tujuan fundamental dalam menjaga keharmonisan hidup manusia. Mereka secara aktif melancarkan kampanye tentang perlunya kembali pada nilai-nilai luhur pembentukan keluarga (back to the family values) dengan berbagai kegiatan. Negara Asia cenderung memilih pembangunan keluarga harmonis dan sejahtera serta landasan pembangunan masyarakat dan bangsa. Yang penting bahwa dalam keluarga modern diharapkan perempuan memiliki posisi tawar menawar (bergaining posision) yang sama dengan kaum lelaki sehingga setiap keputusan dilakukan dengan musyawarah dan kebersamaan. Oleh karena itu, dalam kebijakan Pengarus Utamaan Gender yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2000) berpijak pada prinsip-prinsip (a) menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralisme) (b) tidak menggunakan pendekatan konflik (dikotomis) (c) diperjuangkan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi, (d) menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan demokrasi.<br /><br />Masalah yang di Hadapi Perempuan.<br />Dari hasil konferensi di Beijing 1995 diidentifikasi sejumlah masalah yang banyak dihadapi oleh kaum perempuan di sebagian besar belahan bumi. Kumpulan masalah tersebut disebut dengan keprihatinan Beijing sebagai berikut :<br />1. masalah perempuan dan kemiskinan terutama karena kemiskinan struktural akibat dari kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku<br />2. keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar-menawar menuju kesetaraan gender<br />3. masalah kesehatan dan hak reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai<br />4. kekerasan fisik terhadap perempuan baik dalam rumah tangga maupun ditempat kerja tanpa mendapatkan perlindungan secara hukum.<br />5. Perempuan ditengah wilayah konflik militer dan kerusuhan banyak yang menjdi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai meskipun sudah dijamin oleh Konvensi Geneva, 1949<br />6. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha<br />7. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan pengambilan keputusan di keluarga masyarakat dan negara masih sangat terbatas.<br />8. Keterbatasan kelembagaan dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan dalam sektor pemerintahan dan non-pemerintahan (swasta)<br />9. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah.<br />10. Keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh perempuan sebagai media promosi dan eksploitasi murahan.<br />11. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lain.<br />12. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap perempuan.<br />Sedangkan masalah yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia dan membutuhkan perhatian bersama adalah :<br />1. masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.seperti dalam UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Imigrasi, UU Agraria dll.<br />2. Banyak terjadi tindak kekerasan, perkosaan, dan penyiksaan fisik terhadap kaum perempuan tanpa mendapat perlindungan hukum yang memadai.<br />3. Eksploitasi tutuh dan tindakan pelecehan seksual (pornografi dan pornoaksi) yang dilakukan dengan alasan seni atau parawisata.<br />4. Budaya kawin muda di kalangan masyarakat yang diikuti dengan tingginya tingkat perceraian yang dapat merendahkan martabat perempuan.<br />5. Budaya melamar dengan antaran dan maskawin yang mahal sehingga dapat menimbulkan persepsi seperti jual-beli perempuan.<br />6. Pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah atau bercampur aduk dengan budaya yang tidak berpihak pada perbaikan status perempuan. Seperti konco wingking : Surga nurut neraka katut<br />7. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja.<br />8. Pemaksaan dalam penggunaan kontrasepsi atau kurangnya jaminan bila terjadi komplikasi atau kegagalan yang memadai sehingga banyak merugikan perempuan.<br />9. Masih banyaknya penjualan perempuan dengan kedok peluang tenaga kerja.<br />10. Demikian makalah ini semoga bermanfaat. Amin…. Wallahu A’lam<br /><br />REFERENSI :<br />Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Gender, Panduan Pelatihan Regional Pengarusutamaan Gender di Bidang keserhatan Reproduksi dan Kependudukan, Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, 2001<br />Gender dalam Islam, Booklet Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) : Yogyakarta, 2001.<br />Nazaruddin Umar, Perspektif Gender dalam al-Qur’an, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999<br />Leila Ahmed, Women dan Gender in Islam, New Haven & London : Yale University Press, 1978<br />Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996<br />Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, terjemahan Hartian Silawati, Yogyakarta, 1996<br />John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Jakarta Gramedia, cet XII tahun 1983<br />Webster’s New World Dictionary, New York : Webster’s New World Clevenlan, 1984.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-7793401866438650612007-02-01T21:01:00.000-08:002007-02-01T21:03:09.395-08:00POLITISI BUSUK DAN ETIKA ISLAMMenarik apa yang disampaikanYunus Yosfiah – mantan jenderal yang kini menjadi politisi di salah satu partai besar Islam—yang menyatakan bahwa mengumumkan politisi busuk bertentangan dengan etika Islam karena menurutnya mengumumkan politisi busuk sama saja dengan membuka aib seseorang, dan membuka aib seorang –apalagi seorang muslim- adalah perbuatan dosa sesuai dengan sebuah hadis : barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutup aibnya diakhirat kelak.<br />Pernyataan ini menjadi sangat menarik, terlebih ditengah suhu perpolitikan Indonesia yang sedang memanas. Tentu saja pernyataan itu menjadi sangat politis, ketimbang etis. Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada udang dibalik batu dibalik pernyataan itu, yaitu untuk menyelamatkan "muka" beberapa politisi yang memang mempunyai ”cacat akhlak" dan "cacat sosial"? terlebih pernyataan itu diutarakan ditengah gencar-gencarnya beberapa LSM dan tokoh politik untuk mengumumkan politisi busuk yang menjadi Calon Legeslatif.<br /><br />Islam dan Etika<br />Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan etika (akhlak) sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis : sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran etika.(HR. Ahmad)<br />Muhammad adalah orang yang sesempurna-sempurnanya etika, prilaku, tuturkata, sikap, kebijakan, keputusan dan pandangan serta ajarannya adalah mulia. Sehingga setiap orang Islam wajib untuk mengikuti jejak langkahnya untuk dijadikan suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebaliknya, Islam melarang umatnya untuk melakukan perbuatan mungkar yang tidak mempunyai akhlak yang luhur.<br /><br />Penggunaan Ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi Politik<br />Harus diwaspadai akan banyak politikus atau partai politik –khususnya Partai Politik berbasis massa Islam -- yang menjadikan ayat al-Qur'an dan Hadis sebagai amunisi politik. Tentu saja dua teks suci ini akan menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan dan menarik simpati hati umat Islam. Tentu saja, --menurut saja—politikus/partai politik seperti ini memakai teori Miccavelli yaitu menghalalkan segala asal tujuan tercapai. Tentu saja menjadikan ayat al-Qur'an atau Hadis dalam kampanye merupakan perbuatan rendah, hina. tercela sebagaimana firman Allah .:……dan janganlah kalian menjaual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah……<br /><br />Bolehkah membongkar Aib Seseorang?<br />Pada prinsipnya, memang betul apa yang diungkapkan oleh Yunus Yosfiah bahwa mengumbar dan mengumumkan aib seseorang adalah perbuatan tercela karena membuat orang yang di bongkar aibnya itu tidak suka, tidak enak. Tetapi, jangan titik sampai disitu. Dalam khazanah pengetahuan Islam ada satu disiplin ilmu yang salah satu kajiannya adalah membongkar borok atau aib seseorang yaitu ulumul hadis (ilmu Hadis). Didalam ilmu ini ada satu bidang yang mengkhususkan diri untuk melakukan kritik terhadap perawi (transformer/orang yang meriwayatkan) hadis yang disebut ilmu jarh wa ta'dil. Jarh artinya melukai dan ta'dil adalah membenarkan. Ilmu ini membuka secara blak-blakan kemampuan ilmiah, sikap, prilaku, dan karakter seorang perawi baik sikap yang jeleknya (jarh) seperti pembohong, tidak adil, tidak jujur, suka memalsukan hadis, pelupa, suka menambah dan mengurangi hadis dll. maupun sifat baiknya (ta'dil) seperti : kuat hafalannya, adil, jujur, berakhlak mulia.<br />Yang menarik adalah ketika seorang perawi dinilai mempunyai kedua sifat yang berbeda – baik dan buruk—mana yang harus dikedepankan dan diutamakan?. Para ulama hadis sepakat untuk mengutamakan jarh daripada Ta'dil, artinya perawi itu dinyatakan busuk (marjuh), tidak berkompeten untuk meriwayatkan hadis. Tentu saja secara otomatis hadis yang diriwayatkannya tidak bisa diterima. Saking pentingnya ilmu itu sehingga Ibn al-Mubarak mengatakan bahwa ilmu ini merupakan bagian dari ajaran Islam (Shahih Muslim)<br />Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Oleh karena itu diperlukan adanya pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadis, demi menjaga orsinilitas hadis, diperlukan suatu perangkat keilmuan yang dapat menditeksi terjadi pemalsuan terhadap hadis. Untuk itu lahirlah Ilmu jarh wa tah'dil merupakan piranti untuk menilai dan mengkritik orang-orang yang meriwayatkan hadis, sehingga dapat diketahui nilai hadis yang diriwayatkan. Dan terhindar dari perawi yang busuk.<br />Walaupun para perawi sangat maklum tentang adanya warning dari Nabi : jika seseorang berbuat dusta tentang aku dengan sengaja, hendaklah dia yakin dan bersiap-siap untuk ditempatkan didalam neraka. Namun, dalam kenyataannya, banyak juga orang (perawi) yang nekad untuk melakukan kebohongan atas nama Nabi dengan beberapa motivasi dan kepentingan yang berbeda, khususnya masalah politik.<br /><br />Perlukah menerapkan Jarh wa Ta'dil untuk Caleg.?<br />Kalau dalam jarh wa ta'dil yang melakukan kritik terhadap para perawi hadis yang tujuannya untuk pemurnian hadis, untuk menghidarkan hadis dari kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, untuk menegakkan ajaran agama Islam. maka, demikian pula sama pentingnya jarh dan ta'dil harus dilakukan terhadap calon legeslatif kita untuk menyeleksi siapa saja calon legeslatif yang kompeten dan mempunyai integritas moral supaya betul-betul bersih, amanah, jujur dan terpercaya dan dapat melaksanakan amanat rakyat. Dengan terpilihnya calon legeslatif yang bersih, amanah, jujur, dan terpercaya dapat terwujud Indonesia Baru, pemerintahan yang legitimed, bersih dari KKN. Yang pada akhirnya dapat mewujudkan Indonesia yang baldatun thayyibatun wa robbun ghafuur.<br /><br />Penulis Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum<br />Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta<br />Dan wakil Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Azasi Manusia PUSKUM-HAM) UIN Jakartayayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-83189236894277490092007-02-01T21:00:00.001-08:002007-02-01T21:00:46.795-08:00SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN HAM DI PERGURUAN TINGGI ISLAMPendahuluan<br />Kalau ditanya darimana istilah HAM itu berasal? Maka harus jujur kita katakana bahwa istilah itu berasal dari barat. Ingeris, Amerika dan Prancislah sebagai Negara peletak dasar HAM yakni mulai dari raja John Lackland (1199-1218) dimana kesewenang-wenangan raja Inggeris mendapat protes dari kalangan bangsawan. Protes itu melahirkan Magna Chatra (1215). Dalam piagam itu berisi agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Pada masa pemerintahan raja Edward I (1272-1307) lahir The Great Charter of Leberties yang isinya merupakan perluasan dari Magna Charta yaitu kebebasan bertindak bagi kota-kota, kebebasan perdagangan.. pada pemerintahan Edward II (1327-1377) lahir House of Lord (perwakilan kaum bangsawan) dan House of Commons (perwakilan Rakyat) dan ketika Willem III (1689-1702) lahir Bill of Rights (Bor) tepatnya tanggal 16 Desember 1689. rentetan peristiwa tadi merupakan peralihan kekuasaan dari tangan raja ke tangan parlemen. hal ini merupakan perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan demokrasi di Ingris dan sejak itu sistem pemerintahan parlementer mulai dilaksanakan.<br />Pertumubuhan HAM yang disebutkan diatas tadi sangat dipengaruhi oleh pandangan beberapa pakar yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ Rousseau. Setelah Ingris sukses menerapkan HAM, kemudian hal itu diikuti oleh Amerika. Yang pada tanggal 4 Juli 1776 mendeklarasikan Declaration of Independence of the USA disusul Perancis menceklarasikan Declaration des droits de'l Homme te du citoyen (pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara). Presiden Fanklin D Roosevelt menyatakan Four Freedom (empat kebebasan) :Freedom of speech and expression(kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat), Freedom of workship (kebebasan beragama) Freedom from fear (kebebasan dari rasa takut) dan Freedom from want (kebebasan untuk berkehendak). Kemudian PBB pata tanggal 10 Desember 1948 mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights.<br />Sedangkan di Indonesia, HAM sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, setidaknya dalam pemikiran Boedi Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu baik langsung maupun melalui pers, yakni Goeroe Desa. Demikian juga dalam Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Muhammad Hatta, Sarekat Islam yang dipimpin oleh H. Agus Salim. Ketika merumuskan BPUPKI, masalah HAM juga sempat mewacana. Dan akhirnya sangat tergambar dalam primbun pembukaan UUD 45 yaitu pada kalimat : bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa……. <br />Setelah Indonesia merdeka, perkembangan HAM mengalami dinamika. Diperiode awal kemerdekaan, HAM sangat mendapt tempat di kalangan para pemimpin bangsa, khususnya ditekankan pada hak untuk merdeka (self determination). Hal ini memberikan peluang kepada rakyat untuk mengekspresikan kebebasan berserikatnya melalui organisasi politik, sehingga pada masa itu begitu banyak partai politik yang muncul. Pada tahun 1950-an dimana Indonesia menjalankan demokrasi parlementer. Suasana demokrasi partementer memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri dibidang politik sangat bebas. Namun suasana bebas ini redup ketika Soekarno di tahun 59 menolak system demokrasi parlementer dan menggantikannya menjadi demokrasi terpimpin dimana kekuasaan terpusat dan berada dibawah gengamannya. Setelah kekuasaan Soekarno beralih ke Soeharto pada fase awal, ada semangat untuk menegakkan HAM. Namun pada fase tahun 1970-80 kenyataan berbalik arah dan mengalami kemunduran. HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Para elit penguasa beranggapan bahwa HAM merupakan produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pada fase ini banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat yang mengatasnamakan ketertiban dan kestabilan nasional. Tahun 1990-an arus berbalik lagi. Pemerintah yang tadinya represif dan depensif beralih ke akomodatif terhadap tuntutan penegakkan HAM. Tahun 1993 keluarlah KEPRES No 50/1993 tentang Komisi Nasional Hak Azasi Manusia yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah tentang pelaksanaan HAM. Ketika tumbangnya rezim Suharto tahun 1998 memberikan kesempatan kepada pemajuan dan perlindungan HAM. Indonesia melakukan ratipikasi terhadap instrument HAM Internasional dan akhirnya membuat UU HAM. Diantaranya :<br />1. UU No. 5/1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat,<br />2. UU No. 8/1999 tentang perlindungan Konsumen<br />3. UU No. 9/1998 tentang kebebasan Menyatakan Pendapat<br />4. UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen UU No. 25/1997 tentang Hukum Perburuhan<br />5. UU No. 19 / 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja.<br />6. UU No. 21/1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan<br />7. UU No 29/1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan dalam sebala bentuk diskriminasi<br />8. UU No 39/1999 tentang HAM<br />9. UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers<br />10. UU No 26 tentang Pengadilan HAM<br />11. Kepres No 181/1998 tentang pendirian Komisi Nasional penghapusan Kekerasan terhadap Wanita<br />12. Kepres No 129/98 tentang Rencana Aksi Nasional HAM tahun 1998 – 2003<br />13. Kepres No 5/2001 tentang Pembenukan Pengadilan HAM Ad Hoc pda Pengadilan negeri jakrta Pusat<br />Disamping hal yang menggembirakan diatas, ternyata ada hal yang masih memprihatinakan kita. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan RI ada sekitar 32 Undang-undang yang masih bias HAM. Oleh karena itu masih banyak hal yang harus dipelajari dalam HAM ini dan sangat signifikan HAM menjadi matakuliah di Perguruan Tinggi.<br /><br />Kekhawatiran mempelajari HAM<br />Ada pertanyaan yang perlu kita renungkan dan mencari jawabannya dan terkadang membuat kita ragu-ragu untuk melangkah : Betulkah HAM itu produk barat, mengajarkan individualistik, dan bertentangan dengan karakteristik bangsa Indonesia? Memang, banyak sekali tokoh nasional kita yang masih berfikiran seperti itu, salah satunya adalah (alm) Hartono Mardjono yang menyatakan bahwa HAM semata-mata lahir dari pemikiran atau penggangan-anganan manusia, dengan sama sekali mengabaikan sifat fitrah yang senantiasa ada dan melekat pada diri dan jiwa setiap individu, yakni keimanan kepada adanya Allah dan hukum-hukum-Nya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Lebih lanjut Hartono menyatakan bahwa HAM berpangkal pada paham bahwa tiap diri manusia menjadi pusat segala-galanya, artinya manusialah yang menentukan segalanya. Satu-satunya hal yang dapat membatasinya hanyalah kepentingan manusia itu sendiri secara keseluruhan (masyarakat atau orang lain). Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi nilainya dalam kehidupan umat manusia dimuka bumi yang paling dihormati. Bagi Hartono, prinsip inilah yang kemudian melahirkan individualistik yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi telah melahirkan paham liberalisme dan kapitalisme. Setiap anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan yang sebebas-bebasnya (free fight competition).. dalam posisi ini tugas Negara hanya sebagai polisi lalulintas yang mengatur agar lancar dan tidak saling bertabrakan antara hak satu manusia dengan manusia lainnya. Dalam prakteknya, ternyata implementasi paham tersebut menimbulkan berbagai masalah diantaranya adalah tumbuhnya kesenjangan bahkan tidak jarang terjadi benturan antara yang lemah dengan yang kuat baik antar individu maupun antar kelompok.<br />Sebetulnya pemahaman seperti diatas ada benarnya jika yang menjadi "kacamata baca-nya" adalah teori radikal universal yang berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat unversal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah. Teori ini berpendangan bahwa hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tembat dan disembarang waktu dan dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Namun bagi penulis tidak demikian, kita bisa pisahkan mana nilai-nilai HAM yang harus bersifat universal dan mana nilai-nilai HAM yang bersifat partikular.<br />Disamping itu, kalau kita tarik lagi ke belakang, sebetulnya Islam sudah lebih dahulu memproklamasikan HAM dibandingkan dengan Ingeris, misalnya. Kita ketahui bahwa dalam Piagam Madinah telah tercantum beberapa prinsip-prinsip HAM diantaranya :<br />1. semua pemeluk Islam, walaupun berasal dari banyak suku, baik pendatang maupun penduduk asli Madinah merupakan suatu komunitas<br />2. hubungan antara sesame anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan komunitas lain, didasarkanatas :<br />a. bertetangga baik<br />b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama<br />c. membela mereka yang teraniaya<br />d. saling menasehati dan konsultasi<br />e. menghormati kebebasan agama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br /><br />Pentingnya Mempelajari HAM di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia<br />Ada beberapa masalah yang sangat urgent untuk diangkat dan dijadikan alasan mengapa pendidikan HAM perlu diberikan di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, diantaranya :<br />HAM merupakan bagian yang paling pokok dalam agama kita. seperti yang dituturkan oleh Tarmidzi Taher<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> bahwa pelaksanaan HAM dibidang agama pada intinya adalah bagaimana mewujudkan suatu kerukunan umat beragama, sehingga dapat tercipta suasana saling menghormati, menghargai, mempercayai serta saling kerjasama antara umat beragama yang berbeda. Tentu saja secara nasional, mempelajari HAM dapat menjauhkan dari disintegrasi bangsa.<br />HAM merupakan wacana global. Apabila kita tidak mengikutinya maka niscaya kita akan termarjinalkan dalam percaturan global. Contoh konkrit adalah ketika HAM menjadi senjata untuk melakukan bargain position ketika Negara-negara donor yang terhimpun dalam CGI, G-7 atau IMF dalam mengucurkan dana pinjaman ke Indonesia.<br />dalam penelitian-penelitian lembaga Internasional, acapkali nama Indonesia muncul sebagai Negara yang masuk dalam rekor paling tinggi melakukan pelanggaran HAM. Tentu saja pencitraan buruk terhadap Indonesia yang dianggap sebagai sebuah bangsa yang barbaris, biadab, tidak ramah dan tidak toleran. Akibatnya tentu saja akan sangat mengganggu sekali terhadap langkah dan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia<br />banyak persoalan yang masih memerlukan pengkajian khususnya masalah HAM dikaitkan dengan isu-isu keagamaan. Seperti masalah hukum hudud, atau hak-hak perempuan dalam Islam.<br />Perguruan tinggi merupakan wahana diseminasi yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai yang luhur diantaranya nilai-nilai HAM karena kampur merupakan tempat persemaian agent of change yang akan mentransformasikan perubahan-perubahan dan pencerahan di masa yang akan dengan cara yang pelan tapi pasti dan meyakinkan.<br />Banyak masalah atau muatan materi yang dikandung dalam HAM dan dimungkinkan dijadikan salah satu mata kuliah<br />Masalah HAM akan banyak membantu mahasiswa untuk memahami dan mempersiapkan diri untuk menjadi good citizenship dan dapat mewujudkan cita-cita terwujudnya masyarakat madani..<br /><br />Cara melakukan Pendidikan HAM di Perguruan Tinggi<br />Menjadikan pendidikan HAM salah satu mata kuliah yang ditawarkan, syukur-syukur menjadi mata kuliah wajib (MKDU). Atau menjadi mata kuliah wajib pada fakultas atau jurusan tertentu seperti politik Islam di Syari'ah atau Ushuluddin. Perlu diketahui bahwa<br />menjadi salah satu sub-bagian dari mata kuliah tertentu seperti yang telah dilakukan oleh ICCE UIN Jakarta dalam Pendidikan Kewargaan (Civic Education)<br />"disisipkan" dalam setiap mata kuliah sebagai bahan komparasi dari materi yang ada. Seperti dalam materi fiqh jinayah tentang hukuman mati, hadd zina, had pencurian, khadaf, hukuman bagi pelaku riddah. Dalam politik hukum Islam tentang Darul Islam, Darul Harbi, Kafir Harbi, Kafir Dzimmi, atau hak-hak perempuan dalam Islam yang berserakan dalam hamper setiap mata kuliah. Penulis telah melakukannya dalam mata kuliah Tarikh Tasyri, Praktek Hukum Islam di Indonesia, dan Hukum Perkawinan di Indonesia.<br />Adapun metodologi pengajaran yang paling tepat digunakan adalah dengan active learning. Diantara keuntungan mengajar memakai strategi ini adalah :<br />yang diajarkan adalah orang dewasa,<br />dalam proses mengajar, dihindarkan istilah menggurui tetapi hubungan dosen-mahasiswa sebagai mitra. Karena kata "menggurui" itu bermakna dosen sebagai orang yang paling tahu, paling bisa dan paling mengerti sedangkan posisi menerima, orang yang tidak tahu dan tidak mengerti.<br />yang menjadi target dari pendidikan HAM di Perguruan Tinggi bukan saja berada di ranah kognisi sebagai ilmu pengetahuan (memahami pengertian HAM, menganalisa sejarah perkembangan HAM, menjelaskan bentuk-bentuk HAM), atau ranah afeksi yang dapat menyadarkan mahasiswa tentang pentingnya HAM (menganalisa nilai-nilai HAM, memahami konsep HAM dalam perpektif agama-agama, menganalisa perundang-undangan yang tidak sensitif HAM), tetapi lebih masuk ke ranah konasi sehingga mahasiswa bukan hanya tahu dan sadar saja tetapi dapat melaksanakan HAM untuk dirinya dan orang lain, menjadi pelopor, penggerak dan berpartisipasi dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM.<br />Demikianlah makalah ini sebagai sebuah pengantar untuk diskusi. Tentusaja konstribusi para peserta untuk mengoreksi, menyanggah dan memberikan ulasan, masukkan dan penjelasan lebih mendalam sangat diharapkan untuk lebih berbobotnya diskusi ini.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Hartono Mardjono, Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1997. hal 37.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Munawwir Sadjali, Penegakkan HAM dalam Pluralisme Agama : Tinjauan Konseptual, dalam HAM dan Pluralisme Agama. (Anshari Thayib : Ed) Jakarta : Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 49-50.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Tarmidzi Taher , Prolog : HAM dan Pluralisme Agama, Jakarta : (Anshari Thayib : Ed) Pusat kajian Strategis dan Kebijakan, 1997 hal 3.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-15713234692089089732007-02-01T20:57:00.000-08:002007-02-01T20:58:28.131-08:00KLONING DALAM PERSPEKTIF SAINS DAN AL-QUR’ANLATAR BELAKANG MASALAH<br />Jika ada manusia berbuat ulah dan mengegerkan dunia, ada dua hal yang kita perbuat pertama kita berdecak kagum kerena salut terhadap keberanianya dan kedua kita menyumpahinya dengan sumpah serapah karena jengkel dan marah.<br />Dua tahun yang lalu tepatnya pada bulan Maret 1997 dunia dihebohkan dengan lahirnya seekor anak domba yang diberi nama Dolly<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Ada apa dengan anak domba, apa ulah anak domba ini sehingga membuat heboh dunia ? apa ada yang aneh dari fisik domba ini, atau ada suatu hal yang “luar biasa” sehingga menghebohkan dunia?<br />Dolly si anak domba ini adalah domba biasa dari ras Finn Dorset, ia berbulu, berkaki empat, bertanduk, dan mengembik. Yang aneh dan menghebohkan kelahiran Dolly ini adalah proses “kejadian” anak domba ini. Ia tidak melalui proses alami seperti anak domba yang lain yang ada di seantero dunia ini, melalui proses reproduksi alami yakni perkawinan, hamil lalu melahirkan, juga reproduksi non alami yakni dengan insiminasi buatan yakni dengan pranserta tangan manusia yang memilih bibit pejantan unggulan, diambil spermanya, kemudian sperma tersebut disuntikkan kedalam rahim betina, hamil dan melahirkan.<br />Dolly lain lagi, ia lahir tidak melalui proses reproduksi alami dan tidak juga melalui insiminasi buatan, tetapi kelahirannya merupakan hasil upaya rekayasa genetika yang super canggih dari seorang genius berkebangsaan Skotlandia yang bernama DR. Ian Wilmut dari Institut Roslin, Edinburgh. Dolly lahir bukan hasil pertemuan sperma jantan dan ovum perempuan kemudian terjadi pembuahan, akan tetapi ia lahir dari proses pengkloningan. Klon (clone)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> berarti tiruan yang sifatnya persis dengan aslinya, bukan sekedar duplikat atau kopian, ia lebih dari itu. Jadi kloning adalah suatu proses penggandaan makhluk hidup dengan cara nucleus transfer dari janin yang sudah berdiferensisi dan dari sel dewasa.<br />Pada awalnya sebuah sel diambil dari payudara (ambing) hewan dewasa domba jenis Fin Dorset. Sel yang terdiri dari ribuan DNA (Dioksirybo Nucleat Acid/ penentu sifat makhluk), kromosom, dan sel-sel kecil lain, kemudian ditempatkan ke dalam cawan petri. Agar tidak membelah, sel ini diberi “makanan” yang berkadar gizi rendah. Dalam kondisi ini, sel tidak dapat membelah tapi gen-genya tetap aktif. Disini, yang diperlukan adalah inti selnya. Sementara itu, diambil juga sel telur yang belum dibuahi dari domba betina jenis Blackface. Lalu, inti sel telur itu disedot keluar, sehingga sel ini tidak mempunyai inti lagi. Namun, mesin-mesin sel yang diperlukan untuk memproduksi embrio tetap utuh. Dengan diberikan kejutan listrik, maka sel ambing dan sel telur manyatu sehingga sel telur memprogram genetika di dalam sel ambing untuk memproduksi embrio. Enam hari kemudian, embrio yang berada dalam sel itu disuntikkan kedalam rahim domba Blackface. Setelah melalui proses kehamilan, lahirlah domba Finn Dorset yang secara genetis identik dengan domba donor inti sel.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa :<br /> 1. Kloning adalah suatu proses pembuahan tanpa melalui perkawinan (asexual)<br /> 2. Proses pengklonan ini tanpa memerlukan sperma dari pihak jantan.<br /> 3. Induk betinanya bisa semu kalau sel yang dibutuhkan bukan berasal dari selnya, dan kehamilannya dititipkan pada rahim domba yang lain.<br />Penemuan tersebut merupakan penemuan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam rekayasa genetika dan merupakan loncatan teknologi yang “wah” dan bermanfaat bagi peradaban manusia, khusunya bagi dunia peternakan yang harus berkompotisi dengan ledakan jumlah penduduk dunia yang tanggal 12 Oktober tahun ini (1999) sudah melebihi 6 milyar orang, sehingga tanpa teknologi pangan yang canggih dikhawatirkan dunia dilanda kekuarangan pangan khususnya daging dan susu dunia dapat teratasi?<br />Apabila teknologi tersebut diterapkan pada tanaman, khususnya tanaman pangan unggulan akan menunjang pada efesiensi bercocok tanam yang media tanam di jagad raya ini sudah kian menyempit sehingga dapat dicapai hasil yang maksimal, yakni dari lahan yang sempit dan waktu yang singkat dapat dihasilkan hasil yang melimpah. Bukankah hal inipun akan menguntungkan bagi peradaban manusia ? Lalu, apa yang menghebohkan ?<br />Jika diterapkan dalam dua kasus di atas, jawabannya adalah “ya” atau “memang seharusnya begitu”. Tetapi, kalau rekayasa genetika itu diterapkan pada manusia – manusialah yang di “klon” bukan domba lagi seperti Dolly atau tumbuhan,. Inilah yang menjadi persoalan terutama permasalahan yang berkaitan langsung dengan hukum keluarga dalam hukum Islam.<br />Pertanyaan berikutnya yang muncul, apakah cara ini layak secara etika dan hukum? siapa orang tua manusia klon ini? bagaimana ia harus mengurus Akta Kelahirannya? Apa ia akan dianggap sebagai manusia biasa yang lahir melalui proses yang wajar dan alami, atau hanya dianggap “manusia produk”, Bagaimana perlindungan “hak azasi manusianya” ? dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab. Permasalahan-permasalahan tersebut itu timbul sebagai konsekuensi logis dari keluarbiasaan proses kejadian seorang anak, diluar perhitungan kerangki fikir hukum Islam yang sudah ada.<br />Kloning ini sudah menjadi perhatian umat Islam di seantero dunia. Macam-macam reaksi umat Islam dalam menanggapi hal ini.ada yang menganggap berita ini sebagai berita yang “sensasional” adapula yang meyakini kebenarannya.<br />Nah, sekarang bagaimana sebenarnya “tanggapan Al-Qur’an” terhadap masalah kloning diatas? apakah kloning ini sejalan dengan keyakinan kita tentang penciptaan manusia sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an?<br /><br />PEMBAHASAN<br />Penjelasan kloning dalam al-Qur’an tidak dengan jelas dikemukakan, bahkan kalau kita mencari istilah kloning itu sendiri tentunya tidak akan kita dapatkan. Namun apabila kita dapat mengungkap dan menyingkap isyarat al-Qur’an, tentu saja kita akan dapatkan penjelasan kloning tersebut.<br />Kejadian Manusia dengan metodologi kloning ini dapat ditangkap dalam isyarat penciptaan Nabi Isa AS yang lahir tanpa adanya pencampuran sperma dari seorang laki-laki (tanpa ayah) dalam rahim seorang ibu. Kelahiran Isa hanya memerlukan seorang ibu saja. Seperti yang dikisahkan dalam surat Maryam (16 - 22)<br />واذكر في الكتاب مريم اذ انتبذت من أهلها مكانا شرقيا * فاتخذت من دونهم حجابا فأرسلنا اليها روحنا فتمثل لها بشرا سويا* قالت اني أعوذ بالرحمن منك ان كنت تقيا * قال انما انا رسول ربك لأهب لك غلاما زكيا * قالت أني يكون لي غلاما ولم يمسسني بشر ولم اك بغيا * قال كذالك قال ربك هو علي هين ولنجعله ءاية للناس ورحمة منا وكان أمرا مقضيا * فحملته فانتبذت به مكانا قصيا* <br />Dan ceriterakanlah kisah Maryam di dalam al-Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluargana ke suatu tempat di sebelah timur.<br />Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus roh Kami (malaikat Jibril) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.<br />Maryam berkata : “sesungguhnya aku berlindung padamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kami seorang yang bertaqwa”.<br />Jibril berkata “sesungguhnya aku ini merupakan utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”.<br />Maryam berkata “Bagaimana aku bisa mendapatkan seorang anak laki-laki, sedangkan aku tidak pernah seorang manusiapun menentuhku dan aku bukan pula seorang pezina”.<br />Jibril berkata “Demikianlah Tuhanmu berfirman : Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagian rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.<br />Maka Maryam mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (Surat Maryam 16 - 22)<br />MUFRADAT<br />* انتبذت : اعتزلت : mengasingkan diri<br />* مكانا شرقيا : Sebuah tempat di sebelah Timur Masjid al-Aqsha untuk mengkhususkan diri/mengasingkan diri untuk beribadah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />* روحنا : Ruh Kami. Para ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan “ruh Kami” tersebut adalah Malaikat Jibril. yang menyerupai seorang laki-laki yang sempurna wajahnya (tampan)<br />* بشر : رجل Laki-laki,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Manusia<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />* غلام : Anak Muda, pemuda<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> anak kecil (bayi) hingga hingga pemuda ( الصبي من حين يولد الي أن يشب )<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />* اي ولم يباشرني رجل بالحلال من طريق الزواج: ولم يمسسنى بشر: <a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> (Dan tidak ada seorang lelakipun yang pernah “menyentuhku”). Wahbah al-Zuhaili menafsirkan bahwa perkataan ini merupakan sebuah kinayah dari “bersetubuh” : <a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> كناية عن المعاشرة الزوجية بالجماع<br />* بغيا : Pezina<br />Dari ayat diatas dapatlah dikatakan bahwa proses kejadian Nabi Isa AS “mungkin” merupakan hasil kloning Allah. Hal ini dapat disimpulkan dari proses diciptakan Nabi Isa tanpa adanya pembuahan biasa, yakni pembuahan melalui “perkawinan” seorang laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya pembuahan yakni dengan masuknya sperma laki-laki kedalam ovum merempuan.<br />Bedanya dengan kloning yang terjadi pada Dolly, kalau Dolly merupakan hasil pengembangan dari rekayasa genetika manusia, sedangkan Nabi Isa merupakan rekayasa Allah. Dalam kloning Nabi Isa AS dibutuhkan rahim Ibunya yakni Siti Maryam sebagai tempat perkembangan dan pembesaran embrio yang sudah hidup. (wallahu a’lam )<br />Dalam proses penciptaan manusia, Allah menunjukkah Kemaha Kuasaan-Nya. Ada beberapa macam proses penciptaan manusia yang diceriterakan dalam al Qur’an yakni :<br /> 1. Allah menciptakan manusia dari sperma laki-laki dan ovum perempuan menyebabkan terjadinya pembuahan di dalam rahim yang menyebabkan kehamilan.(al-Haj : 5)<br /> 2. Allah juga menciptakan manusia yang menurut ilmu kedokteran kejadian ini dinyatakan tidak mungkin yakni Kelahiran Nabi Yahya dari pasangan Nabi Zakariya yang sudah tua renta dengan isterinya yang mandul. (Maryam : 8)<br /> 3. Allah ciptakan manusia dari seorang perempuan, tanpa adanya pranserta seorang laki-laki, yakni dalam penciptaan Nabi Isa AS. (Maryam 16-22)<br /> 4. Allah menciptakan manusia tanpa ayah dan ibu yakni penciptaan Nabi Adam dan Siti Hawa. (al-Baqarah : 30)<br /><br />PROSES KEJADIAN MANUSIA<br />Ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang proses kejadian manusia ada dalam 12 ayat,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> diantaranya dalam surat al-Hajj ayat 5 yang berbunyi :<br /><br />ياايها الناس ان كنتم فى ريب من البعث فانا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم ونقر فى الأرحام ما نشاء الى اجل مسمى ثم نخرجكم طفلا ثم لتبلغوا اشدكم ومنكم من يتوفى ومنكم من يرد الى ارذل العمر لكيلا يعلم من بعد علم شيئا وترى الأرض هامدة فاذا انزلنا عتيها الماء اهتزت وربت وانبتت من كل زوج بهيج (سورة الحج : 5 )<br /><br />Hai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur) maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah jadikan kamu dari tanah, kemudian dari nutfah kemudian dari segumpal darah kemudian dari segumpal daging yang sempurna, dan yang tidak sempurna agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kapi tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kenendaki sammmpai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sabagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulu telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemdian apabila telah Kami turunkan air dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam timbuh-tumbuhan yang indah.<br /><br />Kemudian dalam surat al-Mu’minun ayat 14 dikatakan :<br />ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسونا العظام لحما ثم أنشأناه خلقا أخر فتبارك الله أحسن الخالقين<br />Kemudian dari nutfah ini Kami jadikan segumpal darah, lalu dari segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhul yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.<br /><br />Dalam beberapa ayat diterangkan bahwa, Allah tidak tegas-tegas menyebut asal manusia itu air mani, akan tetapi memakai kata : <br />* تراب : tanah<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> (al-Hajj : 5 )<br />* نطفة : Air yang jernih, air mani<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> (al-Hajj : 5 )<br />* سلالة من طين : Saripati dari tanah (al-Mu’minun : 12), <a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />* من ماء مهين : Air yang hina, lemah, rendah<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> (Sajdah : 5).<br />* من علق : Segumpal darah (Al-:Alaq : 2)<br />Jika dilihat dari kejadian manusia yang diciptakan dari nutfah yakni cairan yang jernih, bukan hanya bermakna air mani, karena akar katanya menunjukkan arti mengalir, dan setetes kecil.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> Namun, sebagian besar ulama tafsir mengartikan nutfah sebagai air mani.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Adalah Ibn Kats ir dan Fakhrurrazi yang mengartikan nutfah itu salah dengan makna lain.<br />Namun tidak bagi orang yang menerjemahan nutfah itu dengan makna air mani karena diambil dari ayat lain yang menyebutkan:<br />الم يك نطفة من مني يمنى<br />Bukankah dahulu ia berupa nutfah, dari mani yang ditumpahkan (kedalam rahim) ? (al-Qiyamah: 37)<br />Disini dapat difahami bahwa nutfah itu merupakan bagian dari saripati mani, yang dilain ayat disebutkan sebagai air yang lemah. Bila arti setets cairan yang diambil dalam konteks ini maka cara kloningpun melewati fase setetes cair.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br />Kemudian dilihat juga kata penghubung من ثم dalam ayat tersebut diatas tidak hanya bermakna “sebuah proses” akan tetapi bisa juga diartikan sebagai “sebuah alternatif”. Bila mungkin, maka manusia bisa diciptakan langsung dari mudgoh, yakni daging yang secara genetika sudah lengkap, karena tafsiran ayat itu menyebutkan manusia bisa diciptakan dari tanah, dari mani, dari alaqah, maupun dari mudgoh, dan apabila demikian maka kloning mendapat jalan kesesuaian dengan al-Qur’an yakni dalam surat al-Mukminun : Kemudian dari nutfah ini Kami jadikan segumpal darah, lalu dari segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhul yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.<br />Ayat ini memperjelas urutan diatas sebagai proses, tetapi mengikutinya dengan keterangan bahwa setelah proses itu selesai barulah Allah menjadikannya makhluk lain. Keterangan ini juga membuka peluang bisa berlangsungnya proses kloning, karena toh untuk menjadikannya makluk atau bukan tergantung Allah.<br />Yang jelas, bagaimanapun canggihnya teknologi, dan kita tidak bisa menghentikannya termasuk kloning ini. Dan, apapun yang berkembang dan yang ditemukan oleh manusia dengan teknologi canggih itu tidak akan menyalahi sunatullah. Karena Allah telah cukup menyediakan media beserta keterangan-keterangan yang diperlukan untuk itu baik dalam naqli maupun dalam aqli. Tergantung manusia menggunakannya, akan digunakan ke hal-hal yang negatif atau positif.<br /><br />ISTINBATH HUKUM<br />Kalau kloning ini diterapkan pada manusia, menurut Satria Effendi,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> akan timbul permasalahan-permasalahan hukum seperti dibawah ini :<br /> 1. Bahwa untuk berketurunan tidak lagi memerlukan pasangan suami isteri sehingga akan mucul generasi yang tidak melalui institusi perkawinan. Hal ini akan membuat ketergantungan wanita kepada pria menjadi berkurang. Dengan adanya kloning ini maka wanita untuk mendapatkan seorang anak, tidak lagi membutuhkan seorang laki-laki (suami). Bagi pasangan lesbian, misalnya, kloning dapat mempunyai keturunan bagi mereka. atau bila kloning ini dapat dilakukan pada laki-laki, maka hal ini juga akan membuka peluang untuk kaum gay (homoseksual).<br /> 2. Ketidaktergantungan wanita pada pria dan sebaliknya dalam mendapatkan keturunan dengan teknologi kloning akan mengancam eksistensi institusi perkawinan. Padahal perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir-batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> Dengan dimungkinkannya berketurunan tanpa memerlukan hubungan suami isteri, berarti orang tidak lagi memerlukan institusi perkawinan. Terancamnya institusi perkawinan akan menibulkan berbagai permasalahan seperti, tidak adanya kasih sayang dalam pengasuhan anak, terlebih jika ‘pembuatan’ anak itu hanya untuk bercobaan belaka.<br /> 3. Anak yang ‘dilahirkan’ melalui kloning adalah anak yang tidak jelas garis keturunannya karena bukan hanya tidak lahir melalui lembaga perkawinan, juga tidak memerlukan sperma laki-laki. Anak itu akan kehilangan hak untuk dikasihani dan disayangi oleh dua orang tua, maka jelaslah tidak akan ada yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pendidikannya. Kalau garis keturunannya dinisbahkan kepada ibunya, apakah tidak akan dikatakan bahwa ia adalah anak zina? ini juga menjadi beban psikologis bagi sang anak.. Dalam Islam, keturunan yang diddmbakan adalah keturunan yang dibentuk secara ikatan perawinan, sehingga dengan itu secara legal jelas diakui garis keturunannya, dan jelas mana ibu dan mana ayahnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a> <br /><br />KESIMPULAN :<br /> 1. Kloning, apabila diterapkan pada tumbuhan dan binatang ternak yang tujuannya untuk kemaslahatan manusia yakni meningkatkan intensifikasi dan maksimalisasi produk, adalah dianjurkan<br /> 2. Kloning, apabila diterapkan pada manusia, tidak mengandung maslahat sama sekali, bahkan memberikan kemudharatan yang sangat besar.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsyiyah, Bareut : Darul Fikr<br />Abu al-Fida Ismail ibn katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Mesir Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t.<br />Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir,Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1984<br />Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi , Baerut : Dar Ihya al-Turats al-Arabi jilid 17. t.t<br />Fakhrurrazi, Imam, Tafsir al-Kabir li Imam al-Fakhrurazi, Teheran : Dar al-Kutub al-Ilmiyah t.t, jilid 23<br />the New Glolier Webster International Dictionary of English Language : New York : Grolier Incorporated 1971<br />Masduqi : Kloning menurut Pandangan Islam ,Surabaya : CV. Garuda 1997<br />Majalah Tiras Nomor 11/thn. III/10 April 1997<br />Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadh al-Qur’an al-Karim, Istanbul, al-Maktabah al-Islamiyah, 1984<br />al-Qurthubi, Abi abdillah Muhammad bin ahman al-Anshari, Al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Baerut : Darul Fikr, 1995 jilid VII<br />Satria Effendi, Kloning Manusia dilihat dari sutud pandang Maqashid syari’ah, makalah diskusi Dosen Fakultas Syari’ah tahun 1999.<br />Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan<br />Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Baerut : Darul Fikr : 1991, Jilid 16<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Ada tiga nama Dolly yang terkenal di dunia ini, pertama Dolly di Surabaya yakni lokalisasi WTS, konon kabarnya tempat ini merupakan lokalisasi WTS terbersar di Asia Tenggara Dolly ini merupakan tempat pelepas nafsu kelamin para pria hidung belang. Dolly kedua adalah Dolly Parton, Seorang Artis Amerika pemeran film “Bay Wach” yang menjadi selebriti Amerika terseksi dan menjadi simbol sex karena memiliki sepasang payudara ukuran “jumbo” Dolly Parton dengan potongan tubuhnya yang seksi ini merupakan “pembangkit gairah sek” lawan jenis. dan Dolly ketiga adalah Dolly anak domba diatas. Dolly ini justru tidak perlu berhubungan kelamin untuk perkembangbiakannya karena ia lahir tampa diawali dengan berhubungan sek atau pembangkitan gairah sek. Ia lahir dengan cara kloning.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Dalam kamus the New Glolier Webster International Dictionary of English Language dikatakan sebagai : A group of cultivated plants consisting of indifiduals derived from a single original seedling or stock, the propagantion having been by the use of vegetative parts such as buds, grafts, tubers, or other asexual methods of reproduction. the New Glolier Webster International Dictionary of English Language New York : Grolier Incorporated : Jilid I halaman 189<br />Istilah Klon sendiri dari bahasa Yunani yang semula berarti ranting tanaman. Akan tetapi dikalangan hortikultur istilah ini sudah lama dipakai untuk menyatakan tanaman (beserta kelompoknya) yang berasal dari satu pohon intuk saja. Pohon ini biasanya pohon unggul hasil mutasi dari pohon kebanyakan.<br />Dalam perkembangannya, istilah klon ini hanya dikhususkan pada tumbuh-tumbuhan, tetapi sudah merebak kepada dunia fauna dan bahkan pada manusia, sehingga pengertian klon pun berkembang. (H.M. Masduqi : Kloning menurut Pandangan Islam ,Surabaya : CV. Garuda hal. 1-2)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Majalah Tiras Nomor 11/thn. III/10 April 1997<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Wahbah al-Zuhaili, Tasir al-Munir, Baerut : Darul Fikr 1991, Jilid XVI hal 68<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, Baerut : Darul Fikr, t.t, Jilid I hal 58.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir : Yogyakarta : Pusat Pengadaan Buku Ilmiah Pondok Pesantren Krapyak 1984, hal 92 Dikatakan Nabi Adam sebagai Abu al-Basyar yang berarti bapaknya manusia.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Ibid, hal 1090<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Ibrahim Anis, Op,cit, Jilid II, hal. 660<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Al-Qurtubi, Al-Jami li ahkam al-Qur’an, Baerut : Darul Fikr Jilid VI hal 19<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a>Wahbah al-Zuhaili, op. cit, hal 66<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadh al-Qur’an al-Karim, Istanbul, Maktabah al-Islamiyah, 1984. hal 705<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Menurut al-Qurthubi, yang diciptakan dari tanah hanyalah Nabi Adam saja, sedangkan keturunannya dari dari nutfah, op. cit, halaman 8 Sedangkan Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa tanah merupakan sumber makanan dari tumbuhan yang dimakan oleh manusia, kemudian dari makanan itu menjadi air mani. op. cit, halaman 156. Sedangkan al-Razi menghimpun kedua pemikiran tersebut. , Tafsir al-Kabir li Imam al-Fakhru al-Razi, Teheran ; Dar al-Kutub al-Ilmiyah jilid 23 halaman 7<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Ahmad Warson al-Munawir, op. cit, hal 1530<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Al-Maraghi mentafsirkan kata tersebut dengan apa yang dicabut dan dikeluarkan dari sesuatu, kadan bersifat disengaja, seperti saripati sesuatu seperti buih susu, kadang pula bersifat tidak disengaja, seperti tahi kuku dan debu rumah. Ahmad Mustafa al-Maraghi, tafsir al-maraghi, Baerut : Dar ihya al-Turats al-Arabi, t.t. Jilid 18 halaman 7.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> ibid, 1462 Wahbah mentafsirkan kata ini dengan : مني وهو ما يخرج عند اللذة من صلب الرجل, سمي نطفة لقلته, مأخوذ من النطف : اي الصب أو القطر lihat wahbah, op,cit hal 157<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Fakhrur Razi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nutfah adalah air yang kecil, air apa saja (bukan hanya bermakna mani) Op. cit,<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Diantaranya Wahbah al-Zuhaili, op. cit, lilid 17 halaman 156 Qurthubi, op.cit, jilid VII halaman 8, <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Maduoqi, op.cit, hal 44<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Satria Effendi, Kloning Manusia dilihat dari sutud pandang Maqashid syari’ah, makalah diskusi Dosen Fakultas Syari’ah tahun 1999.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Pasal I Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkakawinan<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsyiyah, Hal 541yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-83040129843353607292007-02-01T20:55:00.000-08:002007-02-01T20:57:09.929-08:00HUKUM ARAK SEBAGAI BAHAN CAMPURAN MAKANANI. PENDAHULUAN<br />Ketika kita jalan-jalan di Mall lalu melewati Foods Counter yang terjejer berbagai rumah makan internasional sebut saja restoran China, atau restoran Jepang, atau restoran past food ala Barat, tercium aroma yang luar biasa hebat, menggambarkan cita-rasa yang tinggi, sehingga membangkitkan selera makan bagi siapa saja yang menciumnya. Tak salah jika ada orang berkata “Jangankan yang lapar, yang kenyang saja jadi pingin lapar”. Oleh karena itu tidak salah jika di era 90 an di Indonesia telah terjangkiti sindrom makanan Cina (Chinese Food Syndrom). Karena ketertarikan dan kenikmatan makanan ala negeri tirai bambu itu.<br />Ketika anda, anak anda, atau handai taulan anda mengadakan pesta ulang tahun, lalu disana disajikan kue khas ulang tahun yakni Tar. Saya yakin (kecuali kuenya dibuat sendiri) dalam kue itu, disamping didominasi cokelat, juga ditambahkan Rum sebagai pembangkit citra rasa khas kue Tar (ini untuk Tar asli ala Barat).<br />Konon kabarnya, orang Aceh dulu dalam proses memasak daging (Semisal Rendang di Padang) – sebelum ganja disalah gunakan orang untuk mabuk – biasa memasukkan beberapa lembar daun Ganja kedalam masakan mereka, konon kabarnya daun ganja ini dapat meningkatkan citra rasa yang luar biasa.<br />Jika anda rajin buka buku resep ala China (misalnya Work with Yan : Buku dari Maestro masak ala China (Chinese food) yang menjadi Best Seller di seantero dunia), masakan ala Jepang atau masakan ala Barat kita akan dapati disana bahwa sebagian resep makanan dari China, Jepang, atau ala Barat ada sebagian yang memakai “khamr” sebagai salah satu bahan campuran makanan tersebut dengan nama dan jenis tertentu seperti : Arak China, Shake, Rum, Wisky, atau Cognac. <br />Dari buku tersebut dapat diketahui rahasia penggunaan khamr dalam makanan itu misalnya :<br />1. Jika akan memasak ikan atau daging, maka rendamlah terlebih dahulu ikan atau daging tersebut dengan dengan arak beberapa saat, (tentu saja dengan bumbu-bumbu yang lain), disamping bau amisnya akan hilang, ikan atau daging akan empuk, juga akan menambah aroma dan cita rasa yang khas.<br />2. Alkohol dapat membunuh bakteri yang merugikan yang terdapat pada ikan/daging sebelum dimasak.<br />3. Dalam pembuatan kue basah, (biasa di Amerika dan di Eropa disajikan untuk makanan penutup) sebelum melalui proses pembakaran, adonan kue itu ditambahi beberapa sloki Rum, atau Wisky, bisa juga dengan Cognac. Maka akan menampilkan kue yang punya rasa khas, wangi Rum atau Wisky masih ada, tetapi tidak mabuk walau kita makan banyak.<br />Hal diatas merupakan kebutuhan manusia dalam pola makanan, betul andaikan manusia meninggalkan untuk memakainya tidak akan memudharatkan kehidupannya, akan tetapi manusiapun butuh dengan hal-hal yang bagus, indah, enak, dan menarik, (estetika). Kelazatan hidup, merupakan gharizah setiap manusia yang tidak dapat dipungkiri.<br />Namun jika kita kembalikan ke masalah hukum Islam, ada hal yang masih menjadi permasalahan bagi kita yakni menyangkut hukum memakan makanan yang dicampuri dengan khamr, bagaimana hukumnya?<br />Para ulama mengatakan bahwa Khamr merupakan benda haram dan najis <a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>. Dengan alasan Surat al-Maidah : 90<br />Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala dan undian adalah kotor termasuk perbuatan syeitan …..<br />Kalau kita lihat dari ayat ini, dapatlah kita fahami bahwa makna rijs tersebut bisa mempunyai dua makna :<br />1. Dzat dari arak itulah yang haramkan. Dengan logika setiap yang haram adalah pasti najis. Dari pemahaman ini dapat diartikan bahwa khamr merupakan benda yang haram untuk dikonsumsi, dan najis apabila bersentuhan dengan benda yang kita pakai. Dan makanan yang tercampur dengannya tentu saja tidak boleh dimakan karena tercampuri benda haram/najis.<br />2. Dampak dari arak itulah yang diharamkan yakni perbuatan mabuknya, karena kata rijs nya khamr disejajarkan dengan perbuatan judi, menyembah berhala, mengundi nasib. Dari pemahaman ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dzat khamr bukan merupan benda najis karena dibuat dari benda suci (anggur, beras, gandum, madu, dll), yang dilarang adalah perbuatan dan akibat dari minum khamrnya.<br />Syatibi mengungkapkan bahwa dalam setiap hal yang tidak bermanfaat tentu ada kebalikannya yakni bermanfaat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Namun ketidak manfaatannya yang lebih dominan ketimbang kemanfaatannya. Demikian juga dalam al-Qur’an dikatakan bahwa: Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr dan perjudian, Jawablah, pada keduanya terdapat dosa besar dan mengandung manfaat bagi manusia, tetapi dosanya jauh lebih besar dibanding manfaatnya.. (al-Baqarah : 219)<br />Penelusuran secara mendalam tentang landasan filosofis hukum memakan makanan yang tercampur dengan Khamr ini merupakan ‘tugas’ dari studi Filsafat Hukum Islam. untuk itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita untuk ‘mencarikan’ landasan hukum agar dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat luas.<br /><br />II. PEMBAHASAN<br /> A. Makna Khamr.<br /> Kata Khamr disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali dalam di beberapa tempat yakni dalam surat al-Baqarah ayat 219 dan surat al-Ma’idah 90 dan 91 dari kedua ayat ini menerangkan tentang sifat dan hukum meminum khamr, kemudian dalam surat Muhammad ayat 15 menerangkan bahwa khamr merupakan minuman yang disediakan untuk ahli surga. Dua kali dalam surat Yusuf yakni dalam ayat 36 dan 41 yaitu tentang dialog dua orang pemuda yang berada di dalam penjara tentang mimpinya dan mimpi kedua kedua pemuda itu di ta’wil oleh Nabi Yusuf AS.<br /> Khamr (خمر) berasal dari kata خمر- يخمر - خمرا yang berarti ( ستره وغطاه ) menutupi, dan menyembunyikan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Sedangkan menurut Ali Ash-Shabuni yang dimaksud dengan khamr adalah : ما ستر علي العقل<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Dalam kamus Lisanul Arab ditemukan makna lain dari khamr yakni mendekati dan bercampur.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /> Sedangkan Al-Razi dalam tafsirnya memberi makna khamr dengan dua arti, pertama karena menutup akal dan merubahnya , kedua karena adanya perubahan dari bau perasan anggur itu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br /> Sedangkan menurut Istilah ada dua definisi, Pertama difinisi Abu Hanifah yakni sebagai nama (sebutan) untuk jenis minuman yang dibuat dari perasan anggur sesudah dimasak sampai mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Dari sari buah itulah yang mengandung unsur yang memabukkan. Kedua, definisi yang diberikan oleh Mazhab Hanafiyah dan jumhur ulama yang memberi definisi sebagai : seluruh minuman yang mengandung unsur yang memabukkan, sekalipun bukan terbuat dari perasan angur.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />Dari dua definisi ini tanpaknya ada perbedaan yang prinsipil yakni Abu Hanifah mengkhususkan pemaknaaan Khamr sebagai minuman khusus yang terbuat dari perasan anggur sedangkan Jumhur mangambil makna yang lebih umum, minuman terbuat dari apa saja yang dapat memabukkan.<br />Dalam Mazhab Hanafi dikenal dua istilah had (hukuman) bagi orang yang meminum khamr (asy-syurbi) dan mabuk (as-sakri) bagi minuman yang bukan khamr seperti nabidz. Bagi yang pertama tidak ada batasnya, sedikit atau banyak, mabuk atau tidak , tetap bagi pelakunya dikenakan had. Akan tetapi bagi peminum yang kedua tidak dikenakan sanksi apabila tidak mabok, tetapi apabila mabuk karena minum nabidz maka di beri had.<br />Kiranya pendapat kedua ini yang lebih dekat dengan keterangan sunnah yang diriwayatkan oleh Nasa’I dari Abi Hurairah :<br />الجمر من هاتين الشجرتين النخلة والعنبة (رواه النسائ)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Khamr itu dibuat dari dua buah-buahan yakni kurma dan anggur (HR. Nasa’I)<br /><br />sedangkan dalam hadis lain diungkapkan sebagai :<br />Khamr itu dibuat dari dua buah-buahan ini, yaitu kurma dan anggur<br />Sesungguhnya dari anggur itu terbuat khamr, demikian juga dari kurma, madu, gandrum dan biji sya’ir (HR. Abu Dawud, Turmudhi dan Ibn Hibban)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br /><br />Ternyata dalam perkembangan selanjutnya khamr telah mengalami perkembangan dalam prosesnya yakni pada zaman Nabi hanya terbuat dari dua bahan saja yakni kurma dan anggur sedangkan pada zaman Umar bin Khattab sudah berkembang menjadi lima. Demikian juga di Barat dibedakan antara bahan yang dibuat dari anggur putih, anggur merah dan anggur hitam. Dari bermacam-macam bahan dasar itulah terjadi berlainan nama dan sebutan ada yang dinamakan White Wine, Red Wine, Wisky, Rum, Cognac, Brendy, Vodka, dan lain-lain. Sedangkan di beberapa daerah di Indonesia, Khamr terbuat dari air Nira, air tape, atau air tebu yang lazim disebut Tuak.<br />Dari perasan anggur atau bahan lainnya terutama yang mengandung zat hidrat arang (seperti melase, gula tebu, sari buah) ketika disimpan atau diberi ragi kemudian disimpan selama beberapa waktu lamanya, akan terjadi proses permentasi. Dari proses permentasi ini keluarlah alkohol <a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Sudah sejak lama orang mengenal alkohol sebagai zat yang terdapat dalam cairan yang mengandung gula dan bisa menimbulkan rasa segar bila diminum. Sebagaimana mereka juga telah mengetahui bahwa alkohol memiliki daya pengaruh terhadap tubuh, yang memberikan rangsangan-rangsangan tertentu pada saluran saraf sehingga dapat menimbulkan dampak ketidaksadaran bagi pemakaiannya.<br />Dalam dunia medis, alkohol memang tergolong bahan atau zat yang relatif aman untuk digunakan. Yaitu bila digunakan dalam jumlah yang semestinya dan tidak dilakukan secara berulang-ulang. Karena tindakan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan adiksi (ketergantungan) bagi pemakaiannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Sementara dalam kamus psikologi dikatakan bahwa alkohol adalah senyawa kimia organis yang berperan sebagai obat peringan pada aktifitas saraf, merupakan minuman yang sifatnya memabukkan dan menimbulkan ketagihan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> Sedangkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia disebutkan bahwa alkohol adalah kelompok senyawa organik dengn kandungan gugus hidroksil (OH) yang terikat pada atom karbon jenuh, yang kecuali dengan gugus hidriksil ini ia hanya berkaitan dengan karbon lain atau hidrogen.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Pada umumnya alkohol disebut sebagai etanol atau hasil peragian pati atau gula yang merupakan senyawa organik antara karbon, hidrogen dengan oksigen di mana malekulnya mengandung satu atau lebih radikal hidroksil dengan rumus kimia C2 H5 OH. Sehingga alkohol bila dilihat dari jumlah hidroksil yang melekat pada atom karbon tersebut dibedakan menjadi tiga jenis :<br />1. Alkohol primer yaitu apabila karbon itu mengikat dua atau lebih atom hidrogen.<br />2. Alkohol skunder yaitu apabila hanya mengikat satu atom hidrogen.<br />3. Alkohol tersier yaitu apabila tidak mengikat atom hidrogen.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Sebagian besar etanol diproduksi di dunia minuman keras, yang diproses dari bahan pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara permentasi yaitu penyaringan dan peragian atau tanpa permentasi. Dari berbagai jenis minuman keras yang sudah dikenal di tengah masyarakat Indonesia, minuman beralkohol dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaktu :<br />1. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2 H5 OH) I % sampai dengan 5 %. Minuman ini sering dikatakan soft drink. Merk yang terkenal di pasaran misalnya Green Send.<br />2. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol 5 % sampai dengan 20 %. Salah satu dari kelompok ini adalah Beer.<br />3. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar 20 % keatas.<br />Pada masa sekarang ini banyak minuman keras yang diproduksi dengan kadar ethanol yang beraneka ragam, dibawah ini akan dijelaskan kadar alkohol yang terkandung dalam beberapa minuman yang sudah beredar :<br /><br />JENIS MINUMAN<br />KANDUNGAN ALKOHOL<br />Green Send<br />1 %<br />Bir<br />5 - 15 %<br />Bir Hitam<br />15 %<br />Rupa-rupa anggur<br />15%<br />Tokayer<br />15 %<br />Samsu<br />15-17%<br />Anggur Spanyol<br />15-20 %<br />Anggur Honggaria<br />15-20 %<br />Sherry<br />20 %<br />Wisky<br />30 - 40 %<br />Jenever<br />40 %<br />Bols<br />40 %<br />Vodka<br />43 %<br />Likeuren<br />30 - 50 %<br />Cognac<br />30 - 40 %<br />Rum<br />40 - 70 %<br />Brendy<br />40 - 70 %<br />Anggur Putih<br />40 - 70 %<br />Anggur Merah<br />40 - 70 %<br />Sampagne<br />40 - 70 %<br />Anggur Malaga<br />20 %<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br /><br />Perlu diketahui bahwa sifat-sifat al-kohol ini adalah :<br />1. Tidak berwarna<br />2. mudah menguap.<br />3. mudah terbakar.<br />4. mudah larut dengan unsur/ senyawa yang lain oleh karena itu seringkali alkohol dipakai untuk campuran obat.<br />5. membunuh bakteri (kuman). Apabila dokter mau menyuntik pasien, biasanya alat suntik dan kulit yang akan ditusuk diberi alkohol dulu supaya tidak terjadi infeksi. Selain itu alat-alat operasi biasanya dicuci, atau direndam dahulu dengan alkohol sebelum digunakan.<br /><br />B. Pengharaman Khamr.<br />Kita temukan dalam al-Qur’an bahwa Khamr dilarang dengan cara persuasif yaitu dengan jalan tadrijiy (bertahap) hal ini dikarenakan bahwa Khamr merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Arab pada waktu itu, tradisi minum Khamr sudah berurat berakar dan sangat sulit dipisahkan dari kehidupan mereka. Sehingga pelarangannyapun diperlukan secara bertahap agar masyarakat Arab - dalam hal ini umat Islam - yang baru memeluk agama Islam tidak kaget dan dengan suka hati meninggalkan kebiasaan buruknya meminum Khamr.<br /> Pertama, Surat al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi :<br /><br />يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمهما اكبر من نفعهما<br /><br />Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.<br />Sabab wurud dari ayat ini adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Umar bin Khattab, Muaz bin Jabbal, dan beberapa orang dari golongan Anshar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br />Dalam ayat ini belum ada larangan tentang pengharaman baik terhadap khamar maupun judi, hanya saja ayat ini menginformasikan bahwa didalam kedua hal ini terdapat dosa besar, akan tetapi diutarakan bahwa masih ada manfaatnya bagi manusia namun dosanya lebih besar dari manfaatnya. Maka pada masa itu sebagian orang meninggalkan meminum khamr tapi ada juga sebagian yang masih meminumnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a><br />Kedua, ketika Abdurrahman bin Auf beserta teman-temannya meminum khamr dan tibalah waktu shalat, kemudian Abdurrahman membaca surat al-Kafirun, ternyata - karena membacanya dalam keadaan mabuk - bacaan itu terbalik-balik dan tidak ada ujungnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> maka turunlah surat An-Nisa ayat : 43<br /><br />ياايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانيم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ….<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengerjakan shalat ketika kamu sedang mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan….<br /><br />Ketiga, setelah turun dua ayat ini masih pula banyak para sahabat yang suka meminum khamr ini dan terlihat dampak nagatifnya dari minuman tersebut sehingga Umar bin Khattab berdo’a <a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> :<br />اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا<br /><br />Maka turunlah surat al-Ma’idah ayat 90 yang berbunyi :<br /><br />ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi,(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, itu merupakan perbuatan syetan maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu mudah-mudahan kalian mendapat keberuntungan.<br /><br />Setelah ayat ini turun, Umar bin Khattab seraya berucap :انتهينا, انتهينا<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a><br />Dalam ayat ini manusia dituntut untuk meninggalkan meminum khamr karena hal itu termasuk perbuatan keji atau perbuatan setan. Dari ayat inilah dapat kita tarik kesimpulan bahwa Allah secara tegas mengharamkan khamr, dengan kalimat “ijtanibuu” yang merupakan fiil amr untuk menjauhi khamr.<br />Meminum Khamr merupakan dosa besar, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan khamr mendapatkan juga cipratan dosanya. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Turmudzi dari anas bin Malik mengatakan :<br />Dalam persoalan khamr ini ada sepuluh orang yang dikutuk karenanya, yakni pembuat, pengedar, peminum, pembawa, pengirim, penuang, pemakan hasilnya, pembayar, dan pemesannya.<br />Alasan mengapa khamr dilarang tentu saja ada tujuannya yaitu ada dua, Pertama : aspek lahir yakni menjaga kebutuhan primer manusia yang bersifat dharuriyah : (al-dharuriyah al-khamsah) yakni menjaga agama, menjaga akal, menjaga nyawa, menjaga harta, menjaga keturunan, dan menjaga kehormatan. Apabila keutuhan primer ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan tidak teratur dan berantakan.<br />Meminum khamr dapat merusak akal manusia, tidak mustahil bukan akal saja yang terancam tetapi dapat menyebabkan kebutuhan primer yang lainpun bisa terancam karenanya. Seorang peminum ketika mabuk dapat menghilangkan nyawanya atau nyawa orang lain, dapat menghamburkan hartanya atau merampas harta orang lain, dapat merusak keturunan, dan kehilangan kehormatannya atau mengganggu kehormatan orang lain, bahkan bagi orang yang sudah ketagihan zat adiktif seperti shabu-shabu, heroin, morfin, ekstasi dan benda sejenisnya, bisa saja agama dipertaruhkan dan ditukar dengan obat terlarang itu demi mendapatkan obat-obatan tersebut.<br />Kedua : aspek bathiniyah yakni menyebabkan tibulnya permusuhan, kebencian, jauh dari mengingat Allah SWT, meninggalkan shalat.<br />Oleh karena itu, bagi orang yang meminum khamr, dikenakan sanksi pidana hudud. Para ulama mewajibkan melaksanakan had bagi peminum khamr dengan minimal 40 kali cambuk dan maksimal 80 kali.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br />C. Khamr Ketika Berubah Menjadi Cuka<br />Para ulama berpendapat apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya yakni tanpa proses tangan manusia untuk menjadikan khamr itu cuka, maka cuka yang dari khamr ini halal dimakan. Namun apabila perubahan itu tidak dengan sendirinya, yakni disengaja dijadikan cuka, maka para ulama dalam hal ini terbagi menjadi tiga golongan, pertama menghukuminya haram.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Kedua, menghukuminya makruh, dan ketiga membolehkannya. Mereka yang membolehkannya itu antara lain, Umar bin Khattab, Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Sufyan Tsauri, Ibnu Mubarok, Ata bin Abi Rabah, Umar bin Abdul Aziz dan Abu Hanifah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br />D. Khamr Sebagai Campuran Makanan<br />Telah dibahas dimuka tentang hukum meminum khamr bahwa siapa saja yang meminum khamr merupakan dosa besar dan peminumnya wajib diberi hukuman had tanpa memperhatikan kadarnya.<br />Akan tetapi apabila khamr itu dicampurkan atau dipakai untuk merendam makanan kemudian makanan tersebut dipanaskan/dimasak yang menyebabkan kandungan alkohol itu menguap dan yang tertinggal dari khamr itu bahan asalnya seperti yang diilustrasikan dalam pendahuluan bagai mana hukumnya, apakah tetap haram kerena apapun bentuknya dan bagaimanapun caranya, khamr tetap khamr, dan makanan yang dicampuri khamr itu haram dimakan dan najis ? atau makanan itu halal dimakan karena sifat “memabukkan” dan penyebab “memabukkan”nya sudah tidak ada, dan yang tertinggal hanyalah bahan baku asal yang terbuat dari bahan yang halal dan suci?<br />Penulis lebih cenderung kepada pendapat kedua yakni makanan yang dicampuri khamr kemudian dimasak/dipanaskan hukumnya adalah halal dengan argumentasi sebagai berikut :<br />1. Yang dimaksud dengan “rijsun/najis” dalam ayat : ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فا جتنبوه لعلكم تفلحون adalah dengan pengertian majazi bukan pengertian haqiqi. Jadi yang dimaksud dengan najis disini adalah najis hukmi/najis li sifatihi (najis secara hukumnya saja, najis sifatnya, yakni sifatnya yang memabukkan) bukan najis aini (najis secara materi, atau bendanya). Dalam ayat ini tidak dinyatakan secara jelas perkataan “meminum/syurb khamr” tetapi hanya memakai kata “Khamr” saja. Kata khamr yang merupakan benda dalam ayat itu disejajarkan dan disebut berurutan dengan pekerjaan yakni al-maisir (judi) al-anshab (berkurban untuk berhala), al-azlam (mengundi nasib dengan anak panah). Maka penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan khamr disini adalah perbuatannya, yakni meminum khamrnya bukan zat khamrnya itu sendiri. Dalam surat Al-Taubah (9) ayat 28 dikatakan bahwa : ……. sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis….. Jadi badan mereka itu najis dan apabila kita bersentuhan dengan mereka, kita perlu membersihkan diri dari najis seperti kita telah bersentuhan dengan Anjing atau Babi?<br />Dari aspek kebahasaan, kata “rijs” diartikan sebagai najis, kotoran dan keharaman. Lebih jauh berarti perbuatan buruk, azab,laknat dan kufur.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a> Dalam Kamus al-Mu’jam al-Wasith dikatakan sebagai الفعل القبيح.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a><br />2. Apabila khamr itu merupakan benda yang najis, maka Rasulullah SAW akan melarang para sahabat menumpahkan khamr itu di jalan-jalan karena dikhawatirkan mengenai pakaian dan badan para sahabat, atau bekas tumpahannya yaitu ketika terjadi peristiwa turun surat Al-Taubah ayat 28 yang mana para sahabat menumpahkan khamr di jalan-jalan sehingga diilustrasikan oleh para mufasir bahwa kota Madinah banjir dengan khamr.<br />3. Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa didalam khamr itu ada manfaatnya, walau manfaatnya itu lebih kecil daripada dosanya.<br />ئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمهما اكبر من نفعهما . Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Syatibi bahwa dalam sesuatu hal yang diperintahkan tidak mutlak mengandung manfaat seluruhnya, demikian juga tidak semua yang larang tidak mutlak mengandung mafsadat seluruhnya. Hal itu tergantung pada kondisi, situasi, dan manusia yang melingkupinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> <br />Khamr, walaupun secara umum dipakai untuk mabuk-mabukan, tertapi ada manfaatnya seperti bahan campuran makanan yang telah dijelaskan dimuka.<br />4. Adanya perubahan kimiawi terhadap khamr apabila dipanaskan. Salah satu sifat dari alkohol yang merupakan zat penyebab terjadinya mabuk sangat peka terhadap panas. Jangankan dipanaskan, di simpan diruang terbuka saja al-kohol akan menguap. apalagi kalau dipanaskan, maka apabila makanan yang dicampuri dengan khamr itu dipanaskan, maka alkohol itu akan hilang dan yang tersisa hanya bahan baku khamr semula (yakni sari anggur, sari kurma dll). Ini merupakan analogi dari perubahan khamr ketika menjadi cuka, baik dengan sendirinya, maupun direkayasa oleh manusia dijadikan cuka. Oleh karena itu tidak salah jika Imam Hanafi berpendapat bahwa khamr yang sudah dipanaskan/diuapkan sehingga kadar alkoholnya hilang adalah halal untuk dimakan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />5. Asal dari khamr adalah barang halal, dan barang halal tidak akan menjadi barang haram. Hal ini sesuai dengan qaidah fiqhiyah : الأصل بقاء ما كان على ما كان Karena asalnya adalah buah anggur atau bahan lainnya yang halal sebagai bahan dasar khamr itu merupakan barang yang halal, kemudian diperas dan terjadi proses permentasi yang menyebabkan perasan anggur itu “didatangi” alkohol kemudian menjadi haram, tetapi apabila dipanasi dan hilanglah alkohol dari perasan anggur itu, maka yang tersisa adalah perasan anggur atau bahan yang lainnya dan kembali ke asal semula.<br />6. Apabila alkohol sebagai zat yang menyebabkan mabuk itu sudah tidak ada lagi pada perasan anggur, maka sifat memabukkan dari perasan anggurpun sudah tidak ada lagi. Maka, makanan yang dicampuri dengan khamr kemudian dipanaskan sudah lepas dari unsur-unsur iskarnya khamr. Jadi makanan yang diberi campuran khamr kemudian diuapkan maka hukumnya haram.<br />7. Pendapat Imam Rabi’ah (guru Imam Malik) al-Lais bin Saad, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (ulama terkemuka mazhab Syafi’I) mazhab az-Zahiri dan sebagian ulama Baghdad kontemporer mengatakan bahwa Khamr merupakan benda suci.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> <br />8. Manfaat yang didapatkan dari Pencamuran Khamr dengan makanan itu seperti yang telah dijelaskan dalam pendahuluan adalah :<br />One. Untuk bahan campuran kue akan menambah citra rasa dan aroma yang enak.<br />Two. Untuk dijadikan bahan “pembacam” (perendam) daging atau ikan adalah mengempukkan daging/ikan, mengembukkan tulang ikan, menghilangkan bakteri yang merugikan, menambah citera rasa dan aroma yang enak.<br /><br />III. KESIMPULAN<br />Dari uraian diatas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa :<br />1. Khamr merupakan benda suci karena terbuat dari benda suci.<br />2. Pengharaman khamr dalam al-Qur’an dengan menggunakan kata “rijs” adalah pengertian majazi bukan haqiqi.<br />3. Makanan yang dicampuri dengan khamr kemudian diproses dengan pemanasan api adalah halal untuk dimakan karena unsur iskar dari khamr itu sudah tidak ada lagi.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqaat li ushuli al-syari’ah, Mesir : Dar al Kutub al-Misriyah, Juz I<br />Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Krapyak, 1984<br />Anis Ibrahim dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, Baerut : Dar al-Fikr ; t.t jilid I<br />Budiardjo, Dkk, Kamus Psikologi, Semarang : Dahara Prize, 1991, cet II,<br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta : PT Cipta Adi Pusaka, 1990 cet II , Jilid I<br />Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid IV<br />Ensiklopedia Indonesia, Bandung : Van Hoeve, t.t. Jilid I<br />Ensiklopedi Ijmak, terjemah KH. Sahal Mahfudz, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987.<br />Ibn Katsir, Abi Fida’ Ismail bin Katsir al-Quraisyi al-Damsiqi, tafsir al-Qur’an al Adhim, Mesir, Isa al-Bab al-Halabi, t.t. jilid I<br />Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah alMuqtasid, Baerut : Darul Fikr,t.t, Juz II<br />Ibn Fadl Jalaluddin Muhammad bin Muharram al-Ifriqi, Lisanul Arab, Baerut : Dar Shadar,t.t, Jilid IV<br />Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Baerut : Darul Fikr, t.t, jilid<br />Imam an Nasa’I, Sunan an-Nasa’I, Mesir : Dar al-kutub al-Araby, t.t, Jilid VII<br />James A.H. Murray, Henry Brandly, eds. The Oxford English Dictionary, London: 1978<br />Lois Ma’luf kamus al-Munjid, Baerut: Dar al-Fikr, 1987<br />Materi Dakwah Terurai dalam Pembangunan, Pemerintah DKI Jakarta, Proyek Penataran Kader Mubaligh, Jakarta, 1994<br />Meka Dewi Implasia dkk, Kimia 3 untuk SMU kelas III, Jakarta: Galaxi Puspa Mega1994.<br />Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowai’I al-Bayan Tafsir ayaat al-ahkam, Baerut : Darul Fikr, t.t,<br />Muhammad Fakhruddin al-Razi bi Allamah Dhiya al-Din Umar, Tafsir Fakhrurrazi, Beirut, Dar al Fikr, 1981 Jilid XII<br />Suardhana Linggih dan prayitno Wibowo, Ringkasan Kimia, Bandung : Ganeca Exact1987<br />Soedjono D, Alkoholisme, Paparan Hukum dan Kriminoliogi, Bandung : Remaja Karya, 1984, cet I<br />Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo cet ke 32 1998.<br />Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr, jilid I<br />Al-Qurtubi, Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami li ahkam al- Qur’an, Mesir : Dar al-Kitab al-Mishriyyah Juz III <br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo cet ke 32 1998. hal 19<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqaat li ushuli al-syari’ah, Mesir : Dar al Kutub al-Misriyah, Juz I halaman 39.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Lihat Lois Ma’luf al-Munjid, halaman 195. Anis Ibrahim dkk, Al-Mu’jam al-Wasith jilid I halaman 254. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal.397<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rowai’I al-Bayan Tafsir ayaat al-ahkam, Baerut : Darul Fikr, t.t, hal 267<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Ibn Fadl Jalaluddin Muhammad bin Muharram al-Ifriqi, Lisanul Arab, Baerut : Dar Shadar, Jilid IV hal. 256<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Muhammad Fakhruddin al-Razi bi Allamah Dhiya al-Din Umar, Tafsir Fakhrurrazi, Beirut, Dar al Fikr, 1981 Jilid XII hal 84-85<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Jilid IV halaman 1180, lihat juga Ali Ash-shabuni, ibid, hal. 277.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Imam an Nasa’I, Sunan an-Nasa’I, Jilid VII hal 294<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Sebagian ulama ahli hadis mengatakan bahwa hadis tersebut bukan merupakan hadis Nabi, melainkan perkataan Umar bin Khattab yang bunyinya sebagai berikut :<br />ياايها الناس الا انه نزل تحريم الخمر يوم نزل وهي مت خمسة من العنب والتمر والعسل والحنطة والشعير والخمر ما خامر العقل<br />Bukankah telah diturunkan pengharaman khamr yang terbuat dari lima macam, yaitu anggur, kurma, madu biji gandum, dan gandum sedangkan yang dimaksud khamr adalah setiap sesuatu yang menghalangi (merusak) akal. lihat Sunan an-Nasai jilid VII halaman 295.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Dalam kamus Oxford alkohol dikatakan sebagai 1. By extention to fluides of the ide of sublimation an assence, guitessence or “spirit” obtained by distillation or rectification, as alcohol of wine, essense or spirit of wine. 2. short for alcohol of wine, this being the mosh familiar or “retified spirits” the pure or rectified spirit of wine the spiritous orintoxicanting element in fermented liquors. Also, populary, any liquor cauntaining this spirit. Absolute or anhydrous alcohol : alcohol entirely free from water. Lihat James A.H. Murray, Henry Brandly, eds. 1978, The Oxford English Dictionary, London. Hal 209. Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Alkohol adalah zat cair yang mengandugn gas dan dihasilkan dari penyulingan (distillation) seperti alcohol dari buah anggrur. Anggur yang telah diberi ragi dan terjadi permentasi dapat memabukkan karena sudah mengandung alkohol.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Soedjono D, Alkoholisme, Paparan Hukum dan Kriminoliogi, Bandung : Remaja Karya, 1984, cet I, hal 135<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Budiardjo, Dkk, Kamus Psikologi, Semarang : Dahara Prize, 1991, cet II, hal 22.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta : PT Cipta Adi Pusaka, 1990 cet II , Jilid I hal. 300<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Jenis-jenis minuman ini dijelaskan lebih lanjut dalam, Materi Dakwah Terurai dalam Pembangunan, Pemerintah DKI Jakarta, Proyek Penataran Kader Mubaligh, Jakarta, 1994, hal 197.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Wahbah al-Zuhaili, tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr, jilid I halaman270<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> ibid, hal 271<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Ibid, hal 271<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Ibn Katsir, tafsir al-Qur’an al Adhim, Mesir, Isa al-Bab al-Halabi, t.t. jilid I halaman. 255<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> ibid,<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Ensiklopedi Ijmak, terjemah KH. Sahal Mahfudz, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987. halaman 139. Lihat juga Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah alMuqtasid, Baerut : Darul Fikr,t.t, Juz II hal 332.<br />40 cambukan merupakan pendapat Imam Syafi’I yang berdasarkan pada hadis Nabi “Telah didatangkan kepada Nabi seseorang yang telah meminum Khamr. Lalu Rasulullah menderanya dengan dua pelapah kurma sebanyak 40 kali cambukan (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudhi dari Anas bin Malik). Sedangkan yang 80 kali cambukan ada dua alasan, pertama berdasarkan qiyas terhadap qadf, yang pelakunya didera dengan 80 kali cambukan, kedua dalam hadis tersebut dikatakan 40 kali cambukan dengan dua pelapah kurma. Ini bisa berarti 40 x 2 = 80 kali., maka kalau dipukul dengan satu batang rotan atau pelapah kurma maka 80 kali.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Ensiklopedi Ijmak, op.cit, hal 35<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Ensiklopedi Hukum Islam. Op. cit, hal 1182<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Ibnul Manzur Al-Ifriki, Lisanul Arab, op,cit, hal 964.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Baerut : Darul Fikr, t.t, jilid I hal 330. Lihat juga kamus al-Munawwir, Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta, 1984. hal 511 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Syatibi, Op. cit, hal 39-40<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Jami li ahkam al-Qur’an, Mesir : Dar al-Kitab al-Mishriyyah Juz III hal. 295<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Ensiklopedi Hukum Islam, Op.cit, hal 1183. Lihat juga Ali Shabuni, op. cit, hal 448yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-72159790761538014902007-02-01T20:53:00.000-08:002007-02-01T20:55:51.614-08:00KEADILAN SUAMI DALAM POLIGAMILatar Belakang Masalah<br />“Tidak ada manusia yang sanggup hidup sendiri di dunia ini” demikian ucapan para pujangga. Manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk saling membantu saling mengerti saling menghargai. Kebutuhan manusia terhadap manusia lain dalam berbentuk biologis seperti isteri, orang tua dan anak, dan dalam bentuk sosiologis seperti, tetangga dan orang lain untuk interaksi sosial. Oleh karena itu sosiolog menamakan manusia dengan homo sapien.<br />Manusia dan binatang diciptakan Allah naluri (gharizah) yakni keinginan untuk makan, minum, dan kenikmatan seksual. Bagi manusia, Penunaian kebutuhan seksual ini tidak dilakukan dengan sembarangan, Untuk menyalurkan nafsu seksual ini Allah menurunkan syari’at yang disebut nikah. Dalam syari’at ini ditentukan mana yang boleh dinikahi mana yang tidak, apa hak dan kewajiban bagi tiap pasangan.Inilah yang disebut dengan perkawinan.<br />Perkawinan merupakan aturan yang paling penting dalam kehidupan masyarakat serta paling mendatangkan resiko bagi perseorangan karena dalam perkawinan ada hak dan kewajiban, ada pertanggung jawaban suami isteri. Jika seseorang mujur dalam perkawinannya, maka ia akan hidup bahagia dan mantap, tetapi apabila ia gagal dalam perkawinannya, maka hidupnya sering dirundung sengsara. Oleh karena itu kelestarian kehidupan dan kebahagiaan manusia tidak lepas dari terwujudnya perkawinan/keluarga yang bahagia. Jadi tepatlah apa yang menjadi tujuan dari perkawinan yang termaktub dalam Undang Undang No. 1 tahun 1974 tengang Perkawinan pasal 1 yakni …. ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />Melalui perkawinan, Allah telah menjadikan jalan untuk mendapatkan keturunan secara benar dan halal. Dengan perkawinan terciptalah sebuah keluarga yang merupakan partikel terkecil dari sebuah bangsa. Rukun, sehat, dan bahagia sebuah bangsa merupakan cerminan langsung dari keadaan keluarga-keluarga yang yang ada di negeri itu. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir-batin dan tanggung jawab yang berlanjut, bukan hanya sekedar hubungan kepertadaan antar sesama manusia sewaktu hidup di dunia tetapi akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Untuk dapat mempertanggung jawabkan perkawinan di hadapan Allah, maka perkawinan itu harus berdasar dan dilakukan hukum Allah. Demikian pula pembinaan keluarga dan keturunan harus berdasarkan ketentuan-ketentuan agama. Masing-masing keluarga wajib menegakkan hukum agama.<br />Allah telah mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan agar terciptanya hubungan yang harmonis antara pria dan wanita serta anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dibawah naungan syari’at Islam. Perkawinan memiliki tujuan yang lebih mulia, dimana didalamnya terdapat hubungan cinta, kasih sayang, dan kesenangan.<br />Ketika perkawinan terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, maka akad harus selama-lamanya tidak boleh ditentukan batas waktunya. Ikatan perkawinan harus merupakan ikatan yang kekal (ميثاقا غايظا ) . Karena itu, Islam menutup pintu perceraian, meskipun tidak mengharamkannya. Di dalam hadis dikatakan bahwa : sesuatu yang halal tetapi dimurkai Allah adalah thalaq.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Perceraian merupakan jalan keluar dan pengecualian kalau keadaan terpaksa. Suami isteri diikat dengan ketentuan-ketentuan agama dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai suami isteri, sebagai orang tua dan sebagai subjek hukum dalam kaitannya dengan orang lain dan masyarakat.<br />Dalam kehidupan keluarga itu desebutkan oleh Allah bahwa suami sebagai pihak yang mempunyai kelebihan derajat atas wanita yang menjadi isterinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Kelebihan derajat sebagai pemimpin membawa konsekuensi yang lebih berat. Tumpuan tanggung jawab pembinaan keluarga, nafkah dan sebagainya ada ditangan suami. Isteri mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, seperti mengurusi urusan rumah tangga, menjaga harta suami ketika suami tidak ada dirumah, mengasuh dan mendidik anak dan lain-lain.<br /><br />Azas Perkawinan<br />Sejak 15 abad yang lalu, Islam telah meletakkan asas dalam perkawinan yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Azas perkawinan yang dianut oleh Islam adalah monogami yakni laki-laki hanya menikahi satu isteri demikian pula isteri hanya menikahi seorang pria. Demikian yang ditentukan oleh Allah dalam surat Annisa : 3<br />فان خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ماكت أيمانكم, ذالك أدنى ألا تعواوا<br /><br />Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (pada isteri-isteri kamu) maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.<br />Seperti telah dikemukakan diatas bahwa perkawinan menurut Islam harus didasarkan kepada dan untuk menegakkan hukum Allah. Salah satu kewajiban yang harus ditegakkan ialah berlaku adil. Jika sebelum kawin dengan isteri kedua sudah khawatir atau takut untuk tidak berlaku adil, maka hendaklah berketetapan hati untuk tetap menjaga ikatan perkawinan dengan seorang wanita saja, karena memang pada dasarnya suruhan untuk mengikat tali perkawinan itu hanya kepada seorang wanita. Kebolehan kawin dengan lebih dari seorang wanita, yang lebih dikenal dengan istilah poligami<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> dibebani syarat yang sangat berat yaitu berbuat adil. Jadi asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan sebagai suatu pengecualian bagi yang sanggup berlaku adil. Namun harus difahami pula, bahwa poligami menurut Islam, baik secara teori maupun secara praktek, bukanlah peraturan yang harus dijalankan melainkan suatu solusi. Ia hanya sebagai obat bagi keburukan-keburukan peradaban modern serta perbaikan terhadap situasi keburukan moral pada masa lampau.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> <br /><br />Makna Poligami<br />Kita mengenal tiga bentuk perkawinan yakni :<br /> 1. Perkawinan monogami yakni seorang pria hanya beristeri satu orang<br /> 2. Perkawinan Poliandri yakni seorang wanita menikah dengan dua orang atau lebih pria<br /> 3. Perkawinan poligami yakni seorang pria menikahi dua atau lebih wanita.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />Dari ketiga macam perkawinan tersebut, hanya dua macam perkawinan yang diperbolehkan yakni perkawinan monogami dan perkawinan poligami.<br />Poligami dalam prakteknya sudah di kenal sebelum Islam ada, bahkan para nabi sebelum Muhammad pun melakukan poligami ini. Ambil contohnya, Nabi Ibrahim AS yang mempunyai isteri dua yakni Siti Sarah dan Siti Hajar. Bahkan praktek poligami inipun dilakukan tidak hanya oleh masyarakat yang berkebudayaan tinggi, masyarakat yang berkebudayaan rendahpun (terbelakang) poligami banyak dilakukan. Bangsa-bangsa yang mempraktekkan poligami sejak dahulu adalah bangsa Cina, India, Arab, Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia,Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, dan lain-lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> <br />Jadi tidak benar tuduhan orientalis bahwa Islam merupakan pembawa sistem poligami. Sampai ini bangsa-bangsa yang tidak menganut Islam seperti bangsa Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang masih memberlakukan Poligami ini.<br />Bangsa Arab dan Yahudi pada jaman dahulu melaksanakan poligami dalam ruang lingkup yang sangat luas sehingga tidak membatasi jumlahnya. Poligami pada jaman Jahiliyah tidak memandang hak-hak kewanitaan, mereka mengawini tanpa batas. Akan tetapi setelah Islam datang, kaum muslimin dibatasi maksimal memiliki 4 orang saja. Diceritakan pada jaman Nabi Muhammad ada seorang sahabat yang bernama Ghailan mempunyai isteri 10 orang, kemudian Nabi menyuruh Ghailan untuk memilih 4 orang mana yang akan dipegang tetap menjadi isterinya dan menceraikan 6 orang sisanya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Para ahli antropologi dan sejarah kebubayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan dibanyak negara yang penduduknya dianggap sebagai tradisi, adalah merupakan sisa-sisa perbudakan kaum wanita, dimana orang-orang yang berkuasa dan para memilik harta memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas hawa nafsu dan penggabdi dirinya. Hal ini sering dilakukan oleh para raja, pangeran, kepala suku, dan para pemilik harta, juga terjadi pada negeri yang panas sehingga penduduknya memiliki nafsu seksual yang tinggi serta merkea melakukan perjalanan dan bertemu dengan wanita-wanita cantik dan melakukan poligami tanpa batas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> Umat manusia berrbeda dalam membatasi jumlah isteri, di Cina seorang lelaki boleh menikahi isteri sebang\yak 130 orang, sedangkan di Khazar laki-laki diperbolehkan beristri 25 orang.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Dari Uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam tidak membawa ajaran baru dalam poligami, tetapi memperbaiki apa yang telah dirusak oleh agama-agama sebelumnya dimana mereka melakukan poligami tanpa kendali. <br /><br />Dalil Kebolehan Poligami<br />Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan. Allah paling mengetahui kemaslahatan hambanya. Allah telah menyari’atkan poligami tetapi tidak diperintahkan sebagai sesuatu yang wajib.<br />وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثللاث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعولوا<br /><br />Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-ha) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian tiu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.<br />Dalam hadis ini para laki-laki muslim yang mampu berbuat adil diperbolehkan untuk beristeri lebih dari satu. Dalam tarikh diceritakan bahwa Rasulullah SAW mempunyai isteri sebanyak 9 orang. Hal ini merupakan takhsish bagi Nabi. Motifasi Nabi menikahi isteri-isterinya yang 9 orang itu bukan didasari nafsu birahi, tetapi bermotifkan sosial dan dakwah. Kebanyakan isteri-isteri Nabi itu telah berusia lanjut dan mereka itu adalah janda-janda para syuhada yang suaminya mati syahid membela Islam. Untuk menghargai perjuangan mantan suami mereka dan menjamin janda dan anak para suhada itu, Nabi menikahi mereka. Dalam beberapa literatur dikatakan banyak diantara isteri-isteri Nabi yang sudah tua itu sudah tidak lagi membutuhkan kebutuhan biologis dari Nabi, mereka menghibahkan “jatah”nya kepada Aisyah yang masih muda dan cantik itu.<br />Kembali ke dasar hukum, dalam hadis diceriterakan bahwa orang-orang yang masuk Islam di jaman Rasulullah dan mempunyai isteri lebih dari empat orang, Rasulullah menyuruhnya untuk memilih 4 orang saja dan menceraikan sisanya seperti dalam hadis :<br />عن قيس بن الحارث قال : اسلمت وعندى ثمان نسوة فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : اختر منهن اربعا (رواه : ابو داود وابن ماجة)<br /><br />Dari Qais bin al-harits berkata : saya masuk Islam dan saya pada waktu itu memiliki delapan orang isteri, kemudian hal itu saya ceriterakan kepada Nabi SAW maka beliau bersabda : Pilihlah empat orang diantara mereka.<br />Dari hadis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami diperbolehkan oleh syara’. Bahkan Nabi sendiri melakukan poligami walaupun jumlahnya lebih dari 4 orang isteri tapi 9 orang karena ini merupakan pengecualian untuk Nabi.<br /><br />Poligami dan Realitas Kehidupan Masyarakat<br />Setiap manusia diciptakan Allah tidak sama, baik rupa, keinginan, kecenderungan, kepintaran, rupa, kekayaan, kekuatan fisik, kekuatan seksual, dan lain-lain. Hal ini juga berlaku bagi setiap laki-laki. Ada laki-laki yang hanya menikahi seorang wanita dengan alasan yang berlainan pula, misalnya. Menikah dengan wanita lain berarti mengkhianati cintanya pada istrinya, ada juga yang beralasan baginya satu wanita sudah cukup karena menikah dengan banyak wanita memerlukan biaya yang banyak, waktu yang banyak untuk memperhatikan keluarga, atau dari satu isteri saja sudah menghasilkan sekian banyak anak apalagi kalau dari beberapa isteri, bagai mana anak-anak bisa diberi nafkah, di didik bukankah anak itu fitnah yang harus dipertanggung jawabkan? Ada juga yang berpendapat, nafsu seks saya biasa-biasa saja, dan saya sudah merasa cukup dengan pelayanan dari satu isteri.<br />Akan tetapi ada juga orang yang melakukan poligami yakni beristeri dua orang, tiga orang atau empat orang dengan alasan. Isteri pertama tidak bisa menghasilkan anak sedangkan anak merupakan penerus estafet kehidupannya. Ada yang berpendapat bahwa nafsu seksualnya luar biasa sehingga satu isteri tidaklah cukup. Seorang pengusaha dan budayawan Setiawan Djodi ketika diwawancarai RCTI dalam acara Cek & Ricek beberapa bulan yang lalu mengungkapkan sebab dia menjadikan Sandra Harun - seorang pragawati dan fotomodel kenamaan- sebagai isteri kedua Djodi memberikan alasan mengapa ia melakukan poligami, bahwa isterinya secara seksual sudah tidak mempunyai daya tarik sementara daya seksualnya masih normal dan hal ini juga diakui oleh isteri pertamanya, Kedua, anak-anak dari isteri pertama sudah besar-besar dan ia masih merindukan keturunan, Harta yang ia punyai lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan dua keluarga.<br />Jika ada lelaki yang mempunyai nafsu seks yang luar biasa, tetapi isterinya hanya dingin saja (frigid) atau sakit sehingga tidak bisa melayani kebutuhan seksual suaminya, atau masa haid dan nifasnya lama dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih lama daripada perempuan. Apakah dalam situasi seperti ini si laki-laki tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat pencari kawan tidur?<br />Atau orang kaya raya yang hartanya melimpah ruah dan kebetulan nafsu seksnya juga “kaya” (tinggi) dan dia bisa berlaku adil kepada para isterinya, maka merupakan hal yang logis kalau ia mempunyai banyak isteri dan banyak anak. karena dia bisa menanggung biaya hidup isteri-isteri dan anak-anaknya.<br />Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki (seperti di Indonesia, perbandingan antara pria dan wanita = 45 : 55), lebih-lebih karena akibat dari peperangan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka disini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang ditak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketentraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Ada satu hadis yang sangat menarik yang diriwayatkan oleh Bukhari. Nabi mengatakan bahwa seseorang yang bekerja keras untuk menafkahi para janda adalah seperti orang yang membiayai perang di jalan Allah atau orang yang terus menerus shalat (beribadah) di waktu malam atau orang yang berpuasa pada siang harinya. Jika hadis ini dilihat dari sinaran al-Qur’an yang mengizinkan poligami, penekanan para mengawini para janda dan gadis-gadis yatim menjadi semakin jelas. Dengan demikian hadis ini menjelaskan bahwa mengawini lebih dari satu isteri adalah untuk menolong janda dan anak yatim dan bukan demi kepuasan hawa nafsu. Maksud keseluruhannya adalah menegakkan keadilan sosial.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Apabila kita kembali kepada azas perkawinan yang menyatakan bahwa poligami merupakan pengecualian (rukhsah) asal tidak merusak tujuan perkawinan yakni terciptanya keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dengan adanya Poligami, ternyata menjadikan keributan dan “peperangan” antar isterinya sehingga keharomonisan dan kebahagiaan rumah tangga terganggu atau hilang sama sekali maka poligami semacam itu telah lepas dari tujuan perkawinan semula.<br />Jika poligami itu dilarang sedangkan kebutuhan sebagian laki-laki yang berkehendak untuk melakukan poligami itu tersalurkan, maka bukan tidak mungkin para laki-laki itu akan melakukan perzinaan. Maka, poligami merupakan pilihan yang terbaik daripada membiarkan para lelaki itu melakukan perzinaan.<br />Dalam menerangkan sebab-sebab yang menimbulkan poligami, para peneliti telah mengemukakan pendapatnya. Sebagian berpendapat bahwa poligami merupakan gejala pementingan diri, yang lazim dimiliki kaum laki-laki, sehingga sikap ini mendorong mereka untuk menguasai kaum perempuan. Tetapi jika gejala ini benar-benar ada, kenyataannya poligami justru bertujuan untuk memperkenankan dosongan alamiah dengan kata lain poligami merupakan gejala dari faktof gender alamiah laki-laki dan perempuan. Faktor ini menghendaki kelangsungan kekuatan yang aktif dan perluasan waktu, dan pada saat yang sama, faktor ini juga menghendaki adanya mas dimana tidak terdapat kesediaan untukmenerima pada kaum wanita.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br />Sebagian peneliti juga berpendapt bahwa poligami merupakan gejala hukum alam yang telah menetapkan wanita lebih banyak jumlahnya daripada kaum laki-laki. Hukum ini juga menetapkan adanya kekerasan alam terhadap kaum laki-laki yang menyebabkan jumlah kematian diantara mereka lebih banyak dibanding kematian yang terjadi di kalangan kaum perempuan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br /><br />Makna Keadilan dalam Poligami<br />Salah satu persyaratan diperbolehkannya melakukan poligami adalah dapat berlaku adil terhadap para isteri. Secara etimologis adil berarti : tidak berat sebelah, tidak memihak,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> atau menyamakan antara satu dengan yang lainnya (al-Musawah).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Istilah lain yang muradhif dengan kata adil adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal).<br />Secara terminologis adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil berarti berpihak atau berpegang pada kebenaran.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br />Dalam Lisanul Arab, Ibn Manzur mengatakan bahwa adil adalah lawan kata dari aniaya, seperti perkataan عدل الحكم فى الحكم (seorang hakim tidak boleh berlaku aniaya dalam hukum), adil juga dikatakan “hukum sebenarnya” seperti dalam perkataan هو يقضى بالحق ويعدل ( dia memutuskan dengan hak dan hukum yang sebenarnya). Sedangkan dalam sifat Allah, adil berarti Dia tidak condong pada keinginan untuk berlaku aniaya dalam hukum.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a><br /><br />Bentuk Keadilan<br />Keadilan dalam berpoligami merupakan syarat sebagaimana yang di jelaskan dalam surat al-Nisa : 3<br />وان خفتم الا تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت ايمانكم ذالك ادنى الا تعولوا<br /><br />Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-ha) perempuan yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian tiu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.<br />Ayat tersebut merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan di antara isteri-isteri dalam urusan sandang, pangan, dan papan, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mempu diwujudkan dan disamakan seperti kecenderungan hati dan cinta, maka suami tidak dituntut untuk mewujudkannya.<br />Keadilan kepada masing masing perempuan itu susah untuk diwujudkan sehingga al-Qur’an memberikan isyarat :<br />لن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم<br /><br />Kalian tidak akan pernah bisa adil terhadap para wanita itu walaupun kalian menjaganya. (An-Nisa : 129)<br /> Kaum pria disuruh untuk memelihara isteri-isterinya dengan cara adil. Implikasinya jelas langsung dan benar. Bila seorang pria yang memiliki isteri lebih dari seorang, mencurahkan cintanya lebih berat kepada salah seorang dari isteri-isterinya maka perbuatan tersebut merupakan sebuah dosa seperti yang diterangkan dalam hadis:<br /><br />من كان له امرأتان يميل لاحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجر احد شقيه ساقطا اومائلا<br />“barang siapa yang mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satunya, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring” (HR. Ibnu Hibban)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br /> Kemudian dalam surat an_Nisa : 19 diterangkan<br />ولا تعضلوهن لتذهبوهببعض ما اتيتموهن<br />Janganlah kamu tinggalkan dia (isterimu) sama sekali dan kamu biarkan terombang ambing tidak menentu….<br />Rasulullah SAW sendiri sebagai orang yang paling mengetahui tentang agama dan paling berhasyar melaksanakan keadilan diantara isteri-isterinya perna berdo’a :<br />اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تؤاخذنى فيما تملك ولا املك<br />Ya, Allah ini adalah bagian yang aku miliki dan Janganlah Engkau menyalahkan aku dalam hal yang tidak dapat aku miliki”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a><br /><br />Hadis ini berkenaan dengan perasaan beliau yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri yang lain. Islam sangat menekankan akan keadilan dalam berpoligami, karena bila hal tersebut diabaikan akan menimbulkan masalah baik isteri sendiri maupun masyarakat umum. Tujuan disyari’atkannya poligami bukanlah untuk kesenangan semata, tetapi sebagai hal yang bersifat darurat dan mendesak, bila tujuannya untuk kesenangan semata maka haramlah hukumnya melakukan poligami.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br /><br />Etika Berpoligami<br />Ada beberapa masalah yang harus diperhatikan oleh suami/ laki-laki jika akan melaksanakan poligami yakni etika bergaul dengan para isteri yakni :<br /> 1. Persamaan sikap dalam pergaulan sehari-hari, yaitu antara lain mengeluarkan perkataan yang baik, bermuka ceria, memandang baik apa yang dikerjakan oleh isteri, dan pengarahan yang baik bagi yang berbuat salah.<br /> 2. Tidak membeberkan apa yang terjadi antara dia dengan salah seorang isteri di hadapan isteri yang lain, temasuk hubungan intim suami isteri.<br /> 3. Jangan menyebut kekurangan atau memuji (yang berlebihan) isteri-isterinya yang lain. Menyebutkan kekurangan akan menyebbkan dia dihina dan memuji-muji akan menyebabkan yang lain benci kepadanya.<br /> 4. Seorang suami harus memelihara hubungan antar isteri sehingga tidak terjadi saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain.<br /> 5. Seorang suami hendaklah mengantisipasi dengan baik ungkapan isteri yang keliru dan didorong oleh perasaan ce,biri. baoldoarajlam kepada dirina maupun kepada isteri yang lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a> <br />Untuk itu sangat ditekankan kematangan berfikir dan kepekaan suami dalam mengatur isteri-isterinya agar keadilan tersebut bisa diwujudkan.<br />Adil dalam Memberi Nafkah bukan Kecenderungan Hati dan Rasa Cinta<br />Yang diharuskan kepada suami untuk berlaku adil pada isteri-isterinya adalah dalam hal material seperti nafkah, hari gilir, dan sikap lahiriyah lainnya. Keadilan dalam memberi nafkah diantaranya adalah :<br /> 1. Memberi nafkah disesuaikan dengan kondisi ekonomi suami, dan suami wajib untuk memberi nafkah yang sama diantara isteri-isterinya. Nafkah yang dimaksud adalah dalam hal makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.<br /> 2. Nafkah itu harus diperhitungkan dengan kondisi suami isteri secara bersamaan, maka ukuran nafkah itu sesuai dengan kemampuan suami, kemudian suami waji memenuhi hak-hak mereka sesuai dengan kebutuhan mereka. Maka si suami harus memberikan nafkah kepada isterinya yang miskin lebih sedikir dari istrinya yantg kaya, dalam hal seperti ini, maka tidak dituntut untuk berlaku sama namun bila mereka rela untuk disamakan dalam hal tersebut maka itulah yang terbaik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a><br />Adil, yang dimaksud dalam surat an-Nisa : 3 adalah adil dalam masalah-masalah lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Sebab masalah ini ada di luar kemampuan seseorang. Berlaku adil yang ditiadakan oleh ayat diatas adalah adil dalam cinta dan hubungan intim. Mengutip perkataan Abu Bakar Ibn Arabi, seperti yang dikutip dalam Fiqh Sunnah<br />“Memang benar bahwa adil dalam cinta di luar kesanggupan seseorang. Sebab hanya ada dalam genggaman Tuhan yang membolak-balikkannya (hati) menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan hubungan intim, terkadang seorang suami begitu bergairah dengan seorang isterinya, tetapi tidak begitu bergairah dengan isteri lainnya. Asalkan saja perbuatan itu bukan disengaja, maka ia pun tidak berdosa, karena hal itu diluar kemampuannya”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a><br /><br />Undang-undang Perkawinan dan Perlindungan terhadap Wanita<br />Dalam prakteknya, sering kali poligami yakni untuk sarana mengumbar hawa nafsu yang pada akhirnya bukan lagi mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal (sakinah), tetapi menjadi penyebab terjadinya prahara rumah tangga. Tak jarang dari peristiwa ini membuat keluarga jadi berantakan, anak-anak jadi broken home, dan sebih tragis lagi diakhiri dengan perceraian.<br />Ajaran agama tentang kebolehan poligami dijadikan alat untuk melegitimasi perbuatan laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Dan perempuan yang dijadikan isteri muda hanya dijadikan tempat berlabuh untuk dicicipi kehanyatan tubuhnya. Masalah keadilan yang menjadi syarat pokok dalam perpoligami diabaikan.<br />Diperburuk dengan adanya pernikahan (poligami) liar, yakni yang dilaksanakan dibawah tangan tanpa mengikuti prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang berlaku menyebabkan kedudukan wanita dalam posisi yang sangat lemah dan memprihatinkan.<br />Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang mendasari lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah masalah perlidungan terhadap nasib kaum hawa ini.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />Prinsip-Prinsip Poligami dalam UU Perkawinan<br />Dalam Undang-undang Perkawinan, poligami diatur sedemikian rupa agar tidak lepas dari tujuan semula yakni sebuah perkawinan/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />Bagaimana akan tertipta sebuah keluarga yang bahagia dan kekal apabila tidak tercipta suatu ketentraman karena muncul konflik keluarga akibat dari poligami yang tidak teratur seperti suami tidak berlaku adil terhadap isteri-isterinya, suami berlaku sewenang-wenang, atau bahkan - dan ini sering terjadi- suami menikah lagi dengan isteri lain tanpa sepengetahuan dan (apalagi) izin isteri pertama. Pada akhirnya terjadilah perselisihan, pertengkaran antara isteri-isteri, dan selanjutnya dapat memperkeruh dan mengancam keharmonisan keluarga. Hubungan antara suami, isteri pertama dan isteri muda menjadi renggang, sementara hubugan antara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan dan persaingan tak sehat, apalagi kalau si suami meninggal, tak mustahil akan terjadi persengketaan harta waris diantara mereka, Maka jadilah keluarga menjadi prorak - poranda pada akhirnya tujuan perkawinan yang mulia diatas tidak tercapai.<br />Untuk itu perlu keterlibatan negara, dalam hal ini pengadilan, untuk menertibkan pelaksanaan poligami diatas. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara tegas bahwa :<br /> (1) Dalam hal seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.<br /> (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :<br /> (One) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,<br /> (Two) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan<br /> (Three) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan<br />Izin tersebut akan diberikan kepada suami yang mengajukan permohonan izin ke pengadilan apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 5 undang-undang Perkakinan yakni :<br /> (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :<br /> (One) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri<br /> (Two) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.<br /> (Three) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.<br /> (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila si isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat mejadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim pengadilan.<br />Perkawinan Poligami, meskipun hal itu dikehendaki oeh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> Apabila syaratnya telah tercukupi dan mendapatkan keputusan dari pengadilan, barulah suami bisa melakukan perkawinan kedua/poligami. Tak mungkin pengadilan akan memberikan keputusan apabila tidak/belum tercukupinya persyaratan-persyaratan dimaksud. Namun apabila syarat-syarat diatas tidak tercukupi dan tidak juga mempunyai keputusan pengadilan kemudian laki-laki itu melakukan poligami, maka ia telah melanggar Undang-undang. Dan perkawinannya harus dianggap batal demi hukum, sedangkan pelakunya termasuk pegawai pencatat nikahnya- harus diberikan sanksi hukum sesuai dengan pasal 44 dan 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai penjelasan dari Undang-undang perkawinan. yakni didenda setinggi-tingginya Rp. 7.500 dan dihukum selama-lamanya 3 (tiga) bulan <a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br />Adanya keharusan untuk mendapatkan izin dari isteri pertama untuk melaksanakan poligami serta adanya ketetapan peradilan merupakan jaminan adanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam perkawinan poligami ini, sehingga terhidar dari pertikaian dan ketegangan keluarga, terutama dari para isteri. Dengan diberikannya izin oleh isteri pertama, tentu saja isteri kedua telah “direstui” kehadirannya oleh isteri pertama. Adanya restu inipun tidak menjadikan indikasi bahwa isteri pertama lebih unggul dan terhormat atau lebih berkuasa daripada isteri kedua.<br />Menurut penulis, peraturan diatas merupakan refleksi dari keharusan kita untuk melindungi dan memperlakukan kaum wanita seperti yang di titahkan Allah dalam surat al-Nisa : 19 :<br />وعاشروهن بمعروف فانةكرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كشيرا<br />Dan pergaulilah mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya pahala yang banyak.<br /><br />Kesimpulan<br />Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa :<br /> 1. Yang dimaksud dengan adil dalam perpoligami adalah adil dalam bentuk material seperti sandang pangan papan gilir,dan perhatian. Sedangkan yang berbentuk rasa seperti cinta dan kecenderungan hati tidak di tuntut karena sangat sulit.<br /> 2. Di Indonesia telah ditetapkan Undang-undang perkawinan yang didalamnya diatur masalah tatacara poligami. Aturan ini mengikat bagi setiap warga negara dan wajib untuk mematuhinya. Dimana dijelaskan bahwa laki-laki yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari isteri pertama serta persyaratan lain yakni isteri mandul, sakit yang terus menerus. Izin ini harus diajukan ke pengadilan, dan pengadilanlah yang memberikan dispensasi poligami ini.<br /> 3. Hakim di pengadilanlah yang akan menguji apakah seorang suami layak berpoligami atau tidak dengan memperhatikan keadilan dan kemempuannya dalam membiayai lebih dari satu keluarga.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala madzahib al-arba’ah, Daerut : Darul Fikr, 1990; jilid IV<br />Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1987.<br />Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1991 cet I jilid IX<br />Asghar Ali Engieer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta : LSSPA, 1994, cet I,<br />Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid I<br />Al-Amr ala al-Diin Ali bin Balbaan al-Farisy, al-Ihsan bitartibi shahih ibn Hibban, Baerut Darul Kutub al-Ilmiyah : 1987 Juz VI<br />Amak FZ, Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung, Al-ma’arif, 1976.<br />Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981<br />al-Hakim al-Naisaburi al-Mustadrak ala shahihaini, , Baerut, Dar al-Kutub al-Arabi, t.t, juz II<br />Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Sadr, t,t. Jilid II<br />Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 <br />Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, sebuah Studi atas Pemikiran Abduh, Jakarta Pustaka Pelajar 1996<br />Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Baerut Dar al-Fikr, 1986<br />Mahmud Syaltut, Islam aqidah dan Syari’ah, terj. Bustami A. Ghani Jakarta, Pustaka Amani, 1987 cet I<br />Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : CV. Masagung, 1993<br />Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Jakarta : Pustaka, 1986<br />Musfir al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Jakarta : Gema Insani Press, 1996<br />Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1983 cet IV Jilid II<br />Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 , Jakarta ; Pradnya Paramita, 1991<br />Yayan Sopyan, Kesatuan Hukum Negara-Hukum Agama : Studi tentang Hubungan integratif Undang-undan Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam, tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta<br />Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidi, Surabaya : Bina Ilmu, 1980.<br />Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul fikr, 1991, Jilid IV<br />W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka1976,<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Bakri A.Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981 hal 7<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1991 cet I jilid IX hal 261<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Surat al-Nisa 34<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : CV. Masagung, 1993, Hal 11<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Poligami berasal dari dua kata (latin) “poli” yang berarti banyak dan “gami” berarti pasangan, sinonim dari poligami adalah bigami “bi” berarti dua “gami” berarti pasangan. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV halaman 1185<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1987. Hal 73.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a>Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Jilid IV hal 1186 dikatakan : Yang dimaksud dengan poligami adalah Ikatan perkawinan di masa salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan . Sementara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawinai beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1988) <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Musfir al-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal 34<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, Ibnu Majah dan Tirmidzi.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Jakarta : Pustaka, 1986 hal. 51<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Musfir al-Jahrani, Op. cit, hal 37<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Faktor penting yang melatar belakangi turunnya surat An-Nisa ayat 3 adalah ayat ini turun segera setelah Perang Uhud dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada orang muslim setelah peristiwa yang membawa perubahan besar itu. Dalam perang ini 70 dari 700 orang laki-laki terbunuh dan kejadian ini jelas sangat mengurangi jumlah laki-laki muslim. Banyak perempuan muslim yang menjadi jand dan anak-anak perempuan menjadi yatim. Mereka harus dipelihara dan dalam konteks sosial yang berlaku pada waktu itu, jalan terbaik adalah dengan memperbolehkan laki-laki muslim mengawini para janda dan anak-anak yatim sampai empat dengan syarat mereka melakukan keadilan terhadap semuanya dan jika mereka tidak mampu berbuat demikian, mereka tidak boleh mengawini lebih dari seorang perempuan atau mengawini hamba sahaya saja. Lihat Asghar Ali Engieer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta : LSSPA, 1994, cet I, hal 143<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidi, Surabaya : Bina Ilmu, 1980. hal 263.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Asghar Ali Engieer, op.cit, hal 146<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Mahmud Syaltut, Islam aqidah dan Syari’ah, terj. Bustami A. Ghani Jakarta, Pustaka Amani, 1987 cet I hal 264<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> ibid, hal 265<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka1976, hal 16.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Baerut Dar al-Fikr, 1986 hal 491<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996) Jilid I hal 25.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Sadr, t,t. Jilid II hal. 430<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Al-Amr ala al-Diin Ali bin Balbaan al-Farisy, al-Ihsan bitartibi shahih ibn Hibban, Baerut Darul Kutub al-Ilmiyah : 1987 Juz VI hal 204. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Huarirah. Hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda diriwayatkan oleh Hakim melalui jalur Abu Huarah yang berbunyi : اذا كان عند الرجل امرأتان فلم يعدل بينهما جاء يوم القيامة وشقه ساقط Menurut al-Hakim hadis ini adalah hadis shahih karena telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, akan tetapi mereka tidak mengeluarkannya. Lihat al-Mustadrak ala shahihaini, oleh al-Hakim al-Naisaburi, Baerut, Dar al-Kutub al-arabi, t.t, juz II hal 186.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul fikr, 1991, Jilid IV hal 235<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, sebuah Studi atas Pemikiran Abduh, Jakarta Pustaka Pelajar 1996 hal 103.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Musfir al-jahrani op.cit, hal 65<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala madzahib al-arba’ah, Daerut : Darul Fikr, 1990; jilid IV hal 237<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1983 cet IV Jilid II, hal 99<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Informasi lebih lanjut tentang hal ini dapat di lihat dalam Amak FZ, Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung, Al-ma’arif, 1976.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Penjelasan AtasUndang-undang Nomor 1 tahun 1974 poin C.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Yayan Sopyan, Kesatuan Hukum Negara-Hukum Agama : Studi tentang Hubungan integratif Undang-undan Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam, tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. hal 176yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-63194183821139724492007-02-01T20:50:00.000-08:002007-02-01T20:53:13.232-08:00HUKUM KELUARGA DI SYRIAPENDAHULUAN<br />Berbicara masalah perkembangan hukum keluarga di Syria tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum di Turki Utsmani karena dulu Syria merupakan salah satu ‘negara bagian’ (wilayah kekuasaan) Turki Utsmani khususnya ketika al-majallah al-ahkam al-adliyyah (ottoman majelle) pada tahun 1877 diberlakukan diseluruh wilayah kekuasaan Turki Utsmani.<br />Pada awal abad ke 19, di Turki Usmani Fiqh Islam mencapai puncak kemundurannya. Pada awal waktu itu para fuqoha Turki limbung ketika melihat hal-hal baru yang terdapat di kalangan umat Islam. Terkadang, dengan sikap yang gegabah, suatu permasalahan akan langsung diputuskan “haram” jika ternyata hal tersebut tidak didapati dalam kitab kuning mazhab Hanafi. Sikap ulama yang seperti itu tentu saja mendapat reaksi yang cukup keras dari kalangan umat Islam itu sendiri. Tidaklah salah jika akhirnya Hukum Islam lalu dituding tidak lagi sanggup menjawab tantangan zaman dan anti modernisasi. Tegasnya, hukum Islam kala itu ada dipersimpangan jalan.<br />Ada tiga aliran yang mewakili sikap fuqoha dalam melihat dan memahami problematika hukum pada waktu itu :<br /> 1. Bertahan dalam bentuk fiqh semula dan menolak segala bentuk perubahan dan apa yang datang dari luar. Aliran ini ingin mempertahankan fiqh dalam bentuk keadaannya, tanpa membedakan apakah hukum itu berupa ketegasan wahyu atau berupa hasil ijtihad. Kelompok ini belakangan dinamakan sebagai kelompok konservatif -reaksioner.<br /> 2. Hukum Islam harus disingkirkan dan diganti oleh hukum yang lain, permasalahan yang serba kompleks dimasa sekarang tidak akan bisa dipecahkan dan dijawab oleh norma-noerma agama dalam ajaran hukum Islam oleh karena itu hukum Islam sudah tidak siap pakai dan tidak bisa lagi diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang hadir di abad modern ini. Kelompok ini belakangan disebut sebagai kelompok westernis-sekularis.<br /> 3. Umat Islam perlu mengadakan perubahan pemahaman fiqh sejauh menyangkut hasil ijtihad. Berpegang pada hasil ijtihad masa silam dalam benduk yang seadanya sesuai dengan yang tercantum pada kitab-kitab fiqh tidak akan cukup untuk memecahkan problematika yang serba komleks ini. Dan hasil ijtihad ulama tempo dulu dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang ada pada masa itu. Maka, jika terjadi perubahan terhadap latar belakang permasalahan menyangkut suatu masalah karena sudah berubah situasi dan kondisinya, bukan hal yang tabu, bahkan merupakan suatu keniscayaan untuk mengadakan perubahan dan perombakan terhadap hukum tersebut disamping mempertahankan produk lama yang masih relevan. Hal ini sesuai dengan kaidah (المحافطة بقديم الصالح واللأخد بجديد الأصلح )<br />Masing-masing aliran mencari pendukung masing-masing. aliran yang kedua yang mendapat respon dari pihak penguasa, salah satu faktornya adalah masalah eksternal politik yakni berbenturan dangan hubungan internasional. maka mulai tahun 1838 M terjadilan penerimaan secara besar-besaran terhadap hukum Barat, hampir seluruh lini hukum didikte oleh ajaran hukum barat, kecuali yang tersisa hanya dalam sektor al-ahwal al-syakhshiyah (hukum kekeluargaan)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> <br /><br />SYRIA DALAM SELAYANG PANDANG<br />Dipantai teluk Persia terdapat sebuah daratan berpasir yang sempit. Agak jauh kedaratan terdapat rangkaian pengunungan yang hampir sejajar dengan pantai, ia pengunungan Nusayriyah dan pegunungan Anti-Libanon. Disebelah pegunungan tersebut terdapat daratan rendah sungai orantes, lebih kedalam terdapat palo yang bersambung ke Irak, Disana ada dataran tinggi yang ditutup oleh gurun itulah negeri Syria atau Suriah merupakan sebuah negara berbentuk republik (al-jumhuriyyah al-arabiyyah al-Syuriyyah) beribukotakan Damaskus. Negara ini berada Asia Barat Daya tepatnya di pantai timur laut tengah berbatasan dengan Irak di sebelah timur, dengan Turki disebelah utara, Yordania dan Israel di sebelah selatan, dan Libanon dan laut tengah di sebelah barat. Dengan luas 185.180 KM2 Sekarang negeri itu dihuni oleh 15.524.000 jiwa. Satuan mata uang yang digunakan adalah Pound. Iklim disana termasuk tropis dengan curah hujan (Oktober - Mei) + 125 CM kecuali daerah Ansariya barat, kurang dari 12,5 CM.<br />Seperti Indonesia, mayoritas penduduk Syria memeluk agama Islam (90 %) sedangkan yang lainnya adalah Kristen (9 %) dan lain-lain (1 %). Karena disebut al-jumhuriyyah al-arabiyyah, maka mayoritas penduduknya berasal dari etnis Arab (90%) sedangkan sisanya adalah dari suku Kurdi (6 %) dan lain-lain (4 %). Umat Islam Syria mayoritas bermazhab Hanafi, sedangkan sisanya menganut Syi’ah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Mayoritas penduduk disana adalah petani yang menanam Gandrum, Kapas dan Zaitun. dan sebagian lain beternak Lembu atau kambing. penghasilan lain Syria adalah dari minyak bumi yang baru digali pada tahun 1956. Cadangan minyak disana diperkirakan 1,5 Milyar barrel. Disamping penghasilan diatas, Syria juga mendapat penghasilan dari sektor lain yakni pajak transit dari pipa-pipa minyak milik negeri tetangganya Irak dan Saudi Arabia yang melintasi negerinya untuk disalurkan menuju Teluk Persia selanjutnya dibawa ke Negara-negara konsumen khususnya Eropa dan Amerika.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Syria merupakan salah satu kota tertua yang tercatat dalam sejarah dunia. Bangsa Semit telah menguasai daerah ini sejak 35000 SM hingga 538 SM. Banyak temuan-temuan sejarah hasil olah para arkeolog menemukan peninggalan-peninggalan kejayaan bangsa Semit ini. Bangsa Semit yang pernah berkuasa dalam kurun waktu tersebut adalah suku Akkad, Kan’aan, Funisia, Amori, Ibrani dan Assyria. Banyak kota-kota indah dan megah dibangun oleh bangsa Semit ini sebagai pertanda tingginya peradaban mereka. <br />Setelah mengalami masa kejayaan yang gilang-gemilang dalam kekuasaan bangsa Semit, Syria kemudian ditaklukkan oleh suku bangsa non-Semit. Bangsa yang Pertama menaklukkan bangsa Semit adalah bangsa Persia yakni pada tahun 539 SM sampai dengan tahun 333 SM. Setelah dikuasai oleh bangsa Persia, kemudian Syria jatuh ketangan Alexander the great atau dalam bahasa kita Iskandar Dzulqarnaen atau Iskandar yang Agung pada tahun 333 SM setelah dapat mengusir bangsa Persia dari tanah Syria. Iskandar Dzulqarnaen mengembangkan politik akulturasi, dan yang terpenting adalah ia mengembangkan kebudayaan Yunani di tanah Syria itu.<br /> Dari bangsa Yunani. Syria kemudian direbut dan beralih ke bangsa Romawi pada tahun 64 SM. Ketika Nabi Isa AS lahir sebagian besar jazirah Arab sedang dikuasai oleh Romawi termasuk al-Kuds. Merupakan cerita yang panjang dan berliku apabila kita menceritakan sikap Romawi yang pada mula kenabian Isa AS sangat membenci dan berusaha untuk dapat membunuhnya, tetapi setelah Nabi Isa tidak ada (menurut kita di “angkat” dan menurut orang Nasrani “mati” di salib), mereka menganut ajaran nabi Isa dan mengharuskan bangsa Syria untuk memeluk agama Nasrani.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Bangsa Romawi mencengkramkan kekuasaannya di sana sekaligus dengan menerapkan sistem hukum yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekuasaannya. Romawi tumbang dari kekuasaannya oleh Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.<br />Islam masuk ke Syria pada tahun 633 M yakni ketika Islam diperintah oleh Abu Bakar al-Siddiq. Penyerangan Islam terhadap bangsa Romawi, khususnya yang berkuasa di Syria diawali oleh pengiriman utusan Rasulullah SAW. Utusan itu dibunuh oleh Romawi dan hal ini membuat geram umat Islam, Rasulullah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah untuk menyerang Romawi, namun penyerangan itu urung dilaksanakan dan pasukan Islam di tarik mundur setelah mendengar Rasulullah Wafat.<br />Kemudian pada masa pemerintahan Abu Bakar dikirimlah empat orang panglima perang unggulan untuk melanjutkan cita-cita Rasulullah yakni penyerangan Rangsa Ramawi di tanah Palestina dan Syria. Para panglima perang itu adalah Abu Ubaidillah bin Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan, Amru bin al-‘Ash dan Syurahbil bin Hasanah. Keempat panglima perang ini membawa beribu-ribu bala tentara dan Romawi dikepung pasukan Islam dari empat penjuru. Tentara Ramawi yang terkenal gigih itu mati-matian mempertahankan kekuasaannya di tanah Syria dan Palestin itu, akan tetapi tentara Islam lebih gigih dan lebih ulet dari mereka. Akhirnya, pengepungan ini baru berhasil pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br />Keberhasilan yang gilang gemilang bagi umat Islam dalam mengalahkan tentara Romawi di tanah Syria dan Palestina disusul dengan keberhasilan yang lain yakni keberhasilan dalam berda’wah untuk mengislamkan bangsa Syria. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari adanya berbagai faktor anatara lain, adanya kesamaan kebangsaan antara Umat Islam dan bangsa Syria yakni sama-sama bangsa Semit, sehingga penduduk menganggap umat Islam bukanlah orang asing jika dibandingkan dengan bangsa Romawi. Penyerangan Islam terhadap bangsa Romawi ditujukan untuk mengusir bangsa Romawi tidak membabi buta. Penyerangan umat Islam tidak disertai dengan pembunuhan, intimidasi, dan penindasan atas penduduk asli, tetapi sebaliknya umat Islam menyebarkan perdamaian, dan memberikan jaminan kebebasan beragama dan memberikan persamaan hak dalam bidang sosial-politik. Dilihat dari sejarahnya bahwa agama Nasrani yang dianut oleh bangsa Syria merupakan agama yang dipaksakan oleh bangsa Romawi, jadi agama yang mereka anut tidak lahir dari hati sanubari yang paling dalam dan bukan kesadaran yang penuh, ketika Bangsa Arab telah memeluk agama Islam, mereka dengan senang hati menggantikan agama mereka dengan agama Islam. Tentara Umat Islam setelah menggapai kemenangan tidak begitu saja meninggalkan Syria, tetapi banyak dari mereka yang tinggal dan menetap di Syria. Merekalah yang melakukan da’wah serta menjadi guru untuk orang Islam di Syria, akhirnya proses Islamisasi di Syria berjalan dengan mulus, merata, dan intensif sehingga Islam menjadi agama mayoritas di sana.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />Ketika Islam berada di tangan kekuasaan Bani Umayah pada tahun 661-750 M, Kota Damaskus - yang sekarang menjadi Ibu Kota Syria - menjadi pusat pemerintahan setelah dipindahkan dari Madinah oleh khalifah Mu’awiyah bin Sufyan karena Damaskus dianggap sebih strategis, khususnya dilihat dari mayoritas pendukung Mu’awiyah, disamping untuk menghindarkan intimidasi dari kelompok lawan. Ketika pusat pemerintahan di Damaskuslah Islam mulai melebarkan sayapnya dalam perluasan wilayah Islam khususnya ke daerah Afrika Utara (Maroko) dan Andalusia (Spanyol).<br />Ketika kekuasaan beralih ke tangan Bani Abbas dari tahun 740 sampai 1258 M, walaupun pusat kekuasaan Bani Abbas berpusat di Bagdad, Damaskus dan kota tetangganya Haleb dan Beirut menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang terkemuka.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Demikian juga ketika terjadi Shalahuddin al-Ayubi memimpin perlawanan terhadap tentara salib, Damaskus menjadi pusat pergerakan umat Islam dalam menjegal gerak langkah pasukan Salib tersebut.<br />Pada tahun 1260-1516 Syria dikuasai oleh dinasti Mamluk, kemudian dikuasai oleh Turki Utsmani sampai tahun 1918 karena Syria khususnya dan Turki Utsmani umumnya diserang oleh tentara gabungan Arab dan tentara sekutu pada perang dunia I. Prancis mengambil alih kekuasaan Syria.<br />Namun, penduduk Syria tidak rela negeri tercinta mereka dijajah oleh Prancis, kemudian para pejuang mereka terdiri dari para ulama Sunni, Syi’ah, Druze dan kaum nasionalis Arab dari Partai Rakyat mengadakan perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Prancis. Klimaks dari perjuangan ini terjadi pada bulan April 1946 ketika pasukan Prancis meninggalkan Syiria setelah gagal membom kota Damaskus.<br /> Ketika bangsa Yahudi dari negeri-negeri Eropa - setelah mereka mengalami penindasan di sana - berbondong-bondong kembali ke tanah leluhur yang dijanjikan, yakni Yerusalem dengan merebut paksa dari tangan bangsa Arab, mereka mendirikan negara yang dinamakan Israel. Tentu saja kehadiran mereka yang tidak diundang dan tidak tahu diri itu mendapat sambutan yang tidak simpatik. perebutan yang semena-mena dan di dukung oleh negara barat itu akhirnya melahirkan kebencian kolektif bangsa Arab untuk sama-sama melawan bangsa Israel. Terlebih, sebagian wilayah yang menjadi milik Syria direbut dan dikuasai Israel yakni dataran tinggi Gollan. Syria bangkit bersama beberapa negara Arab aktif dalam melawan bangsa Israel. Bukan hanya dengan perlawanan fisik saja, Syriapun turut aktif mengambil bagian dalam pembebasan tanah Arab dari bangsa Israel itu melalui jalur diplomatik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Bentuk negara Syria adalah Republik. Demokrasi adalah milik rakyat, artinya rakyatlah yang berdaulat. Selain itu Syria menganut faham sosialis. Sistem pemerintahan di Syria adalah presidensiil dimana presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan yang paling berkuasa. Namun konstitusi tahun 1973 membatasi kewenangan presiden serta membatasi masa jabatannya. karena partai Baath yang berkuasa disana, maka presidan merupakan pimpinan Partai Baath. Dalam konstitusi itu ditentukan bahwa presiden haruslah orang muslim (pasal 3 Konstitusi).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Selain Partai Baath, ada 4 partai lain yang hidup di Syria. Kelima partai ini terhimpun dalam Font Progresif Nasional yang bertujuan menyatukan kekuatan-kekuatan masa rakyat guna memenuhi kepentingan-kepentingan bangsa Arab. Konsorsium 5 partai ini dipimpin oleh Partai Baath.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> <br />Partai Baat, bukan hanya milik Syria, ternyata di berbagai negara Arab Partai yang bercorak Sosialis ini bermunculan dengan nama yang sama, sebut saja yang kita kenal yakni Irak yang negara dan partainya dipimpin langsung oleh Saddam Husen. Menurut Don Fertz, muncul dan suburnya partai yang berkiblat pada sosialis ini di negara-negara Arab berangkat dari sentimen nasional yakni ingin mempersatukan bangsa Arab yang selama itu terpecah-pecah, bahkan perpecahan itu sudah terhujam sangat lama yakni sejak masa kekuasaan Islam dipegang oleh Bani Umayah yang lebih mengutamakan bangsa Ajam (Persia dan Turki) ketimbang bangsa Arab.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Jika bangsa Arab bersatu, hal ini merupakan kekuatan yang maha dahsyat dan dapat ikut berperan dalam pembangunan peradaban manusia. Namun, apabila bangsa Arab terpecah-belah dan cerai berai, maka tak pelak bangsa ini akan kembali lagi hidup dalam cengkraman bangsa kolonial seperti dulu lagi. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang nyata untuk mempersatukan nagara-negara Arab ini dengan jalur diplomatik, agar lahir suatu kesatuan ide demi terwujudnya persatuan dan kesatuan, dan menolak semua bentuk perpecahan, penindasan dan keterbelakangan. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka babak baru sudah dibuka dimana bangsa Arab dapat berperan aktif dalam penciptaan peradaban dunia, minimal dunia mereka, yakni Dunia Arab. Dan penggerak pertama ke arah itu adalah Partai Baat, yaitu memadukan persatuan Arab, nasionalis dan sosialis untuk bangkit menuju masa depan yang cerah seperti yang pernah dialaminya yakni pada masa kejayaan bangsa Arab dahulu. Tujuan pertama adalah memerdekakan diri dari cengkraman penjajah. Puncak dari pada gerakan “Kebangkitan” ini adalah lahirnya gerakan kolektif untuk mewadahi kepentingan masyarakat Arab yakni membentuk Federasi Republik Arab pada tanggal 16 November 1970. Gerakan ini merupakan respon dari tunturan rakyat.<br />Syria sekarang masih dibawah kekuatan Partai Baath yang dipimpin oleh Presiden Hafez al-Asad.<br /><br />PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI SYRIA<br />Ketika Syria masih termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani, seluruh hukum yang berlaku di Turki Utsmani juga berlaku di Syria termasuk didalamnya Koodifikasi Hukum Islam yang dibuat pada waktu itu yakni al-majallah al-ahkam al-adhliyah (1877). Namun sayang, di Turki sendiri al-majallah sendiri hanya berumur kurang lebih 49 tahun karena pada tanggal 17 Feburuari 1926 pimpinan reformasi Turki, Kamal Al-Tatruk mencabut al-majallah ini dan digantikan dengan code civil jiplakan dari hukum perdata negeri Swiss.<br />Tahun 1947 Syria memproklamasikan kemerdekaannya. Kemudian dengan perlahan-lahan hukum dan perundang-undangan Syria menalami penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan dan setting sosio kultural di sana. kemudian digantikan dengan perundang-undangan yang baru.<br />Upaya intepretasi pada hukum Islam, khususnya hukum keluaga merupakan suatu keniscayaan disamping sebagai implementasi rasa ketaatan pada ajaran agama juga sebagai jawaban atas desakan dan gesekan hukum dengan hukum barat. Dan upaya pembaharuan hukum ini dengan memperhatikan i kondisi dan situasi serta problematika masyarakat yang ada setelah produk hukum tradisional (fiqh) tidak bisa lagi menjawab tantangan jaman.<br />Tujuan utama dari pembaharuan hukum keluarga ini adalah untuk meningkatkan status dan kedudukan perempuan serta memperkuat hak-hak para anggota inti (nuclear family) atas hak-hak para anggota keluarga yang lebih jauh dalam keluarga besar (extended family). Pembaharuan hukum keluarga ini banyak terjadi pada bidang perkawinan dan perceraian merupakan perubahan yang paling penting dalam pembaharuan hukum Islam. Di antara perubahan pokok yang telah disahkan iatu adalah diperbanyaknya alasan-alasan yang memperbolehkan perempuan menuntut perceraian atau membatasi hak suami menjatuhkan talak secara sepihak. Sebagai contoh, dalam konstitusi Syria pasal 44 ayat 2 dikatakan bahwa negara melindungi kaum ibu dan akan memberikan jaminan untuk mengembangkan bakat mereka. Kemudian dalam pasal 45 dinyatakan bahwa negara menjabin bagi kaum wanita semua kesempatanyang memungkinkan mereka dan memenuhi serta membantu sepenuhnya kehidupan politik, sosial, kultur, dan ekonomi masyarakat. Negara berusaha menghilangkan rintangan-rintangan yang menghambat pengembangan perembpuan dan serta mereka dalam membangun masyarakat sosialis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br />Pada tahun 1953, seorang mufti Damaskus yang bernama Syeikh Ali al-Tanthawi pempelopori terbentuknya hukum perorangan. Al-Tanthawi menyiapkan draft hukum ini dengan sangat sistematis dan komprehensip karena isi dari draft itu sudah diselaraskan dengan setting sosio-kultural yang ada dan berlaku di masyarakat pada waktu. Sehingga pemerintahan pada waktu itu menerima, bahkan menyambut dengan baik. Kemudian pemerintahan sendiri membentuk suatu komisi yang bertugas untuk mementuk rancangan undang-undang status hukum perseorangan. Kemudian draft Syeikh Ali al-Thantawi dijadikan referensi dalam penyusunan RUU tersebut. Selain draft al-Thantawi, diambil juga dari hukum keluarga Turki Utsmani 1917, hukum perseorangan Mesir 1920-1946 dan draft Qadhi Pasha dari Mesir. Pekerjaan komisi tersebut dikerjakan hanya beberapa bulan saja dan rampung pada tahun itu (1953) dan diundangkan pada tanggal 17 Sepetember 1953.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> Hukum status perorangan Syria memuat 308 pasal dalam 6 kelompok masalah (books) yakni :<br /> 1. Perkawinan ; memuat masalah perkawinan dan pertunangan, unsur-unsur perkawinan, macam-macam perkawinan dan akibat hukum dari perkawinan. tertulis dari pasal 1 - 84<br /> 2. Putusnya perkawinan : mencakup masalah talak, Khulu’, gugat cerai, dan akibat dari perceraian. tertulis dari pasal 85 - 129<br /> 3. Kelahiran dan akibat hukumnya : mencakup masalah keturunan, hak pengasuhan anak, susuan, dan biaya hidup. tertulis dari pasal 130 - 161<br /> 4. Cecakapan dan hukum perwalian : tertulis dari pasal 162 - 207<br /> 5. Wasiat : mencakup prinsip-prinsip dasar wasiat dan hukum tentang kewasiatan. tertulis dalam pasal 208 - 259.<br /> 6. Kewarisan : prinsip-prinsip dasar, sebab-sebab seseorang tidak dapat waris (موانع الارث,) ahli waris dalam Al-Qur’an, garis keturunan (laki-laki) dalam kewarisan, penghalang waris, waris bagi bayi dalam kandungan, mafqud, dan lain-lain.<br />Hukum status perorangan ini didominasi oleh pendapat mazham Hanafi yang menjadi mazhab resmi di Syria. dan Hukum ini juga memasukkah ketentuan-ketentuan hukum perseorangan bagi kaum minoritas yakni sekte Duruz dan umat Kristen Syria.<br />Setelah berlaku selama 22 tahun, Hukum status perseorangan ini diamandement pada tahun 1975 guna menyempurnakan dan memodifikasi kearah yang lebih sempurna. Amandemen itu sendiri memuat 20 point diantaranya tentang poligami, mahar, nafkah selama masa iddah, prceraian, hak pemeliharaan anak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> <br />Adapun sebagian isi kandungan dari pembaharuan hukum perseorangan dan keluarga setelah diundangkan pada tahun 1975 dan berlaku hingga saat ini adalah sebagai berikut :<br /> 1. Akad Nikah : ijab kabul boleh dilakukan dengan cara surat menyurat bila pihak pengantin laki-laki dan wali tidak bisa hadir dalam satu tempat. Untuk pengantin yang bisu bisa dengan tulisan, dan apabila mereka tidak bisa menulis bisa dilakukan dengan bahsa isyarat.<br /> 2. Perjanjian dalam perkawinan : diperbolehkan bagi suami - isteri yang ingin membuat perjanjian dalam perkawinan mereka, asal tidak bertentangan dengan hukum. Adanya perjanjian dalam perkawinan akan lebih menjamin kelanggengan suatu perkawinan dan memudahkan pihak perempuan untuk menggugat cerai suaminya apabila suami menyalahi perjanjian yang telah mereka buat.<br /> 3. Kecakapan dalam melangsungkan pernikahan : seorang laki-laki diperbolehkan melangsungkan pernikahan minimal berumur 18 tahun, sedangkan bagi perempuan apabila sudah berumur minimal 17 tahun. apabila kedua mempelai atau salah satunya berusia dibawah batas minimum yang telah ditentukan (15 tahun bagi laki-laki dan 13 tahun bagi perempuan), pengadilan memberikan dispensasi perkawinan dengan syarat mempelai yang dibawah umur itu sudah puber dan pihak wali yakin bahwa perkawinan yang akan diselenggarakan ini adalah sangat mendesak.<br /> 4. Perceraian : pengadilan dapat memberikan izin cerai bagi suami yang berumur kurang dari 18 tahun bila pengadilan telah meninjau dan menganalisa bahwa perceraian tersebut mengandung maslahat bagi keduabelah pihak, bukan karena sifat ke kanak-kanakannya.<br /> 5. Poligami : Pada prinsipnya azas perkawinan adalah monogami. Poligami merupakan pengecualian. Poligami dapat dilaksanakan apabila suami telah mendapatkan izin dari isterinya dan pengesahan dari Pengadilan. Pengadilan dapat menolak permohonan suami yang akan melaksanakan poligami jika si suami tidak mendapatkan izin terlebih dahulu dari isteri pertamanya, walau dalam kenyataannya suami telah memiliki kecakapan ekonomi untuk menghidupi lebih dari seorang isteri. Dipengadilan suami menyatakan kesanggupannya untuk bisa menanggung biaya hidup kedua isterinya.<br /> 6. Hak isteri terhadap Perkawinan yang Fasid. Bagi isteri yang tidak menyadari fasidnya suatu perkawinan, Isteri tetap mendapatkan hak mendapatkan nafkah dari suaminya.<br /> 7. Ganti rugi dalam perceraian : apabila telah terjadi perceraian dipengadilan, kemudian pengadilan mendapatkan adanya manipulasi terhadap alasan-alasan perceraian yang dilakukan oleh pihak suami dan menyebabkan kerugian dipihak isteri, maka pengadilan dapat menuntut suami untuk memberikan ganti rugi kepada si isteri dengan pembayaran kontan ataupun dengan cara dicicil.<br /> 8. Gugat cerai : Isteri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan dengan alasan :<br />a. suami sudah tidak mampu lagi memberikan nafkah batin,<br />b. kesehatan jiwa suami terganggu,<br />c. suami meninggalkan isteri selama satu tahun, suami dipenjara lebih dari 3 tahun,<br />d. ketidak mampuan suami memberikan nafkah hidup,<br />e. suami menyakiti isteri.<br /> 9. Status anak ; Anak sah adalah anak yang lahir dari suatu perkawinan sekurang-kurangnya lahir 180 hari dari perkawinan.<br /> 10. Waris : yang dimaksud dengan tirkah adalah hak kebendaan mayit, termasuk didalamnya harta, tanggungan dan hutang-piutangnya. Pembayaran utang piutang dilakukan setelah pembagian harta waris. kemudian masing-masing ahli waris berkewajiban untuk membayar hutang-piutang dan tanggungan si mayit sesuai dengan besarnya baian yang mereka terima. <br /> 11. Wasiat : di Syria ternyata berlaku wasiat wajibah yakni hakim dapat menentukan wasiat bila si mayit tidak meninggalkan wasiat atau permintaan dari ahli waris dalam penetapan wasiat tersebut dengan harus mendatangkan (untuk menyetujui) seluruh ahli waris.<br /><br />PENUTUP<br />Demikianlah paparan sekilas tentang potret global keberadaan hukum perseorangan dan keluarga di Syria, penulis sangat menyadari bahwa data yang diperoleh sedikit sekali yang up to date yang dimungkinkan belakangan terjadi perubahan di berbagai hal yang cukup mendasar tetapi penulis tidak mendapatkan informasinya. Sumbangsih pemikiran dari seluruh rekan-rekan peserta seminar ini penulis sangat harapkan. Insya Allah.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Atmosudirjo, Prajudi, Konstitusi Syria, Jakarta : Galia Indonesia, 1993<br />Coulson, Noel, A History of Islamic Law, London : Edinburg University press, 1964<br />Ensiklopedi Indonesia, Jilid VI halaman 3408 - 3410, Jakarta : Ichtiar baru Van- hoeve, 1986.<br />Hitti, Phillips, Syria : A Short History : New York : Collier Book, 1961<br />Mahmood, Taher, Family Law Reform in the Muslim World, New Delhi : The Indian Law Institute, 1972<br />……………, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi : Academ of Law dan Religion, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987.<br />Qam, Abdul Rahman Abdul Aziz, al-Islam wa Taqnin al-Ahkam, Kairu T.t. tp.<br />Pertz, Don, The Midle East Today, New York : Praeger Plub Publisher, 1986.<br />Pearl, David, A texbook on Muslem Personal Law, London,Croom Helm, 1987<br />Satria Effendi, Munawwir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, Wahyuni Nafis (ed.) Jakarta : Paramadina, 1995<br />Siba’I, Mustafa dan al-Shabuni Abdurrahman, al-Akhwal al-Syaksiyah wa al-Washiyah wa al-Tirkah, Syria : Maktabah Jamiah, 1970.<br />Syalabi, Ahmad, Mausuah al-Tarikh al-Islami wa al-Khadlarat al-islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah. 1974<br />Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Madkhal fi Fiqh al-Am. Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Satria Effendi, Munawwir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, Wahyuni Nafis (ed.) Jakarta : Paramadina, 1995 hal. 292<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Selain Islam sunni bermazhab Hanafi dan Syi’ah ada sekte Islam yang lain yang dinamakan Druze. Kelompok ini lain dari pada yang lain karena dalam banyak hal sangat berbeda dengan mazahab atau sekte yang lain, Druze didirikan oleh Hamzah. Para ahli berbeda pendapat apakah Druze ini termasuk agama ataukah hanya sebuah sekte dari agama Islam?<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Ensiklopedi Indonesia, Jilid VI halaman 3408 - 3410, Jakarta : Ichtiar baru Van- hoeve, 1986.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Phillips K Hitti, Syria : A Short History, New York ; Collier Book.1961. hal 73<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Ahmad Syalabi, Mausuah al-Tarikh al-Islami wa al-Khadlarat al-islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah. 1974, hal 101<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> ibid, hal 124<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Philips K. Hitti, op.cit, hal 143<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Philip K. Hitti, Syria : Short History, New York Collier Book. hal 229<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Prajudi Atmosudirjo, Konstitusi Syria, Jakarta : Galia Indonesia, 19993, Hal. 17<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Ibid, hal 18<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Don Pertz, The Midle East Today, New York : Praeger Plub Publisher, 1986. hal 397<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Atnisydurdjo, op.cit, 27-28<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries : History, Tezs and Comparative Analysis. New Delhi ; Academy of law an Religion, 1987. hal 140.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Ibid, hal 141.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-7387352320929559492007-02-01T20:09:00.000-08:002007-02-01T20:12:18.392-08:00IKHLAS DALAM BERAMALPENDAHULUAN<br />IKHLAS BERAMAL !!!! kiranya motto itu sudah sangat melekat dan sangat familier di telinga kita khususnya pegawai negeri unit Departemen Agama. Mungkin, kalimat itu merupakan suatu ajakan atau setidaknya harapan agar setiap pegawai negeri yang berada di lingkungannya dapat menunaikan tugasnya dengan ikhlas. Karena mau tidak mau, Departeman Agama yang merupakan departemen yang mengurus masalah keagamaan, diharapkan dalam setiap pekerjaannya dapat mencerminkan nilai-nilai keagamaan. <br />Namun, sebenarnya pekerjaan seperti apa yang disebut “Ikhlas” itu? apakah pekerjaan yang dikerjakan dengan bekerja sepenuh hati tanpa pamrih, tidak mengharap balasan apapun atau rela walaupun hanya diupah alakadarnya (dengan gaji yang pas-pasan atau bahkan kurang), yang terpenting mendapat ridho dan pahala dari Allah SWT. Atau, ikhlash itu adalah bekerja secara profesional, bekerja keras, dikerjakan dengan sepenuh hati, acountable, dan mendapat imbalan yang sepadan (bahkan kalau bisa, lebih) dengan pekerjaannya, sehingga mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga yang mana dengan tercukupinya kebutuhan tersebut diharapkan tidak menjadi rongrongan dan hambatan bagi penunaian tugasnya sehari-hari. Maka, tidak terdapat lagi di IAIN misalnya yang kini masih banyak dosen “luar biasa” yang gajinya tidak mencukupi memaksa mereka untuk menjadi dosen “biasa di luar” sekedar untuk menombok setoran. Ada seorang kawan yang bergurau kayaknya sekarang perlu membalik motto DEPAG itu dari IKHLAS BERAMAL menjadi BERAMAL SEIKHLASNYA saja! untuk menyesuaikan antara pekerjaan dan gaji yang didapat, yang penting ada ikhlasnya walau sedikit!<br />Kita kembali pada tema pokok makalah ini yakni tentang ikhlas. Sebetulnya seperti apa pekerjaan yang dikatagorikan “ikhlas”? apa hakikat ikhlas itu? Apa dan bagaimana konsep ikhlas, dan bagaimana hadis -- sebagai pedoman utama seorang muslim setelah al-Qur’an -- berbicara tentang “ikhlas”? apa manfaatnya ? Makalah ini mencoba untuk merambah makna ikhlas berdasarkan keterangan yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi yang tentu saja tidak lepas dari pemahaman al-Qur’an tentangnya sehingga dapat ditemukan pengertian ikhlas secara utuh.<br /><br />MAKNA IKHLAS<br />Kata ikhlas berasal dari kata خ - ل - ص yang artinya : tulus hati, dengan hati yang bersih.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Bersih, jenih, selamat, terhindar, melepaskan diri dari (bebas)….<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Ikhlas berarti pula tauhid karena melepaskan diri dari selain Allah, dan kebalikan dari ikhlas itu adalah syirik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Untuk itu mengapa surat ke 112 dinamakan dengan surat al-Ikhlas, karena surat ini membicarakan tentang tauhid yang murni, membersihkan diri dari sifat-sifat yang kurang, mengosongkan dari setiap bentuk penyekutuan, perbuatan seorang hamba untuk melepaskan diri dari perbuatan syirik, atau menjauhkan diri dari perbuatan yang menyebabkan diri masuk api neraka. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Dalam pelacakan hadis-hadis yang dibahas dalam makalah ini, dilakukan melalui CD-ROM Musu’ah al-Hadits al-Syarif, Hadits Encyclopedia al-Kutub al-Tis’ah.. Darinya ditemukan ada 32 buah hadis yang bersangkut-paut dengan ikhlas ini. Penulis tidak menurunkan semua hadis dalam makalah ini, cukup dengan memilih dan mengutip beberapa hadis saja yang dianggap penting. Disamping permasalahan diatas, banyak dari hadis itu yang isi/matannya atau maknanya sama walau dengan jalur sanad yang berbeda.<br /><br />Ikhlas Merupakan Pekerjaan Hati<br />Ikhlas merupakan pekerjaan hati. Pekerjaan hati yang paling penting menurut Imam al-Ghazali (505) adalah niat, ikhlas dan shiddiq.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Nurkholish Madjid memaparkan bahwa taqwa, tawakkal dan ikhlas semuanya menunjukkan berbagai kualitas pribadi seorang yang beriman. Kualitas-kualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi, sebab semuanya terletak dalam inti kedirian seseorang yang berpangkal pada batin dalam lubuk hatinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Ibn Atho’illah al-Sakandari menyatakan bahwa “Bermacam-macam jenis amal yang nampak itu karena adanya bermacam-macam keadaan yang datangnya dari dalam hati seseorang, amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang tegak, sedangkan ruh amal perbuatan itu ialah adanya rahasia keikhlasan didalamnya”. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Keikhlasan atau kemurnian batin merupakan nilai yang amat rahasia dalam diri seseorang. Sebagai ruh amal perbuatannya, ia tidak nampak begitu saja oleh orang luar dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan sendiri, tapi juga oleh Allah. Pada tingkat pribadi seseorang, keikhlasan terasa sebagai tindakan tulus tehadap diri sendiri dalam komunikasinya dengan Sang Maha Pencipta dan usaha mendekatkan diri kepadanya. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Untuk itu ikhlas tidak bisa dilepaskan dari niat, sehingga amatlah tepat imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (667 H) meletakkan hadis niat pada Ikhlas dan meletakkannya pada bab pertama dalam pembahasan bukunya Riyadus Sholihin.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Yakni hadis yang berbunyi :<br />حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ *<br />Artinya : Sesungguhnya setiap pekerjaan diiringi dengan niat, dan untuk suatu urusan sesuai dengan apa yang diniatkan. Oleh karena itu, barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul-Nya. dan barang siapa yang hijrahnya untuk kepentingan kehidupan dunia atau karena seorang perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya untuk apa yang ia niatkan tersebut. (HR. Bukhari)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Fungsi dan peran niat itu sangat menentukan sehingga sebagian ulama menyimpulkan :<br />رب عمل صغير تعظمه النية, ورب عمل كبير تصغره النية<br /><br />Terkadang, pekerjaan kecil menjadi besar (dampaknya) karena (bagus) niatnya, dan pekerjaan besar menjadi kecil (dampaknya) karena (salah) niatnya<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Kata ikhlas, atau kata yang bersuku kata dengan ikhlas dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi :<br />وما امروا إلا ليعبدوا الله مخلصين اه الدين حنفاء<br />Artinya :<br />Dan tiada diperintahkan mereka, melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah seraya mengikhlaskan taatnya kepada Allah, lagi condong kepada kebenaran. <br />Adapun hakikat niat itu adalah keadaan atau sifat yang timbul dalam hati manusia yang menggerakkan atau mendorongnya untuk melaksanakan suatu pekerjaan, dan tempatnya adalah hati manusia. Niat dan ikhlas merupakan dua faktor yang tidak boleh dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya, mengingat erat hubungan keduanya, tak ubahnya laksana pohon dengan bibit.<br />Jadi yang dimaksud dengan pekerjaan yang ikhlas adalah pekerjaan yang dilaksanakan dengan serius, penuh tanggung jawab, diniatkan sebagai amal bakti dengan mengharapkan keridha-an Allah semata.<br /> <a style="mso-comment-reference: Y0_1"></a><a language="JavaScript" class="msocomanchor" id="_anchor_1" onmouseover="msoCommentShow('_anchor_1','_com_1')" onmouseout="msoCommentHide('_com_1')" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_msocom_1" name="_msoanchor_1">[Y01]</a><br />Ikhlas Merupakan Ruhnya Setiap Pekerjaan<br />Islam cukup besar menaruh perhatiannya terhadap niat atau perasaan yang menyertai amal perbuatan manusia. Karena nilai amal manusia pada hakikatnya kembali kepada si pemiliknya, dan tergantung kepada niatnya.<br />Amal kebajikan yang kita laksanakan semata-mata karena Allah, yakni semata-mata mengharap keridhaan-Nya, itulah yang disebut dengan ikhlas. Ikhlash itulah ruh sesuatu amal, dan amal kebajikan, amal ibadah yang ditunaikan seseorang yang tidak disertai ikhlas, maka amal yang demikian itulah, amal yang tidak mempunyai ruh seperti sabda Rasulullah :<br />لا يقبل الله من العمل إلا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه (رواه ابن ماجه)<br />Allah tidak menerima pekerjaan seseorang, kecuali pekerjaan itu didasari dengan ikhlas dan hanya untuk mencari keridhaan Allah.<br />Hal ini sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Lail ayat 18 - 21 :<br />الذى يؤتى ماله يتزكى * وما لاحد عنده من نعمة تجزى * إلاابتغاء وجه ربه الاعلى * ولسوف يرضى<br />Artinya :<br />Orang yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah) untuk membersihkan dirinya. Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelakdia benar-benar mendapat kepuasan.<br />Nampaknya kita perlu renungi apa yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali tentang ikhlas yang menyatakan bahwa seluruh pekerjaan itu akan sia-sia tanpa adanya ikhlas. <br />فالناس كلهم هلكى إلا العالمون, والعالمون كلهم هلكى إلا العاملون, والعاملون كلهم هلكى إلا المخلصون, والمخلصون على خطر عظيم. فالعمل بغير نية عناء, والنية بغير إخلاص رياء<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a>. وهو للنفاق كفاء ومع العصيان سواء…….<br />Artinya :<br />Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan setiap yang berilmu akan binasa kecuali yang mengamalkannya, dan orang yang mengamalkan ilmu akan binasa kecuali orang yang ikhlas, dan orang yang ikhlas itu adalah dalam bahaya besar. Maka pekerjaan yang tidak disertai niat adalah tertawan, dan niat tanpa ikhlas adalah riya.Pekerjaan seperti itu adalah cukup untuk orang yang munafik dan orang yang gemar melakukan dosa…..<br />Ada dua buah cerita yang cukup menarik yang dituturkan dalam kitab Ihya Ulumuddin yang diambil dari dua buah riwayat (yang satu hadis dan yang satunya cerita Israiliyat) riwayat pertama adalah : Yang pertama-tama akan ditanyai di hari kiamat adalah tiga tiga golongan, pertama seorang yang Allah berikan kepadanya ilmu. Maka ketika ditanya orang itu, apa yang engkau perbuat dengan ilmu-mu itu? orang itu menjawab, aku bangun siang dan malam untuk mengabdi pada ilmu, aku belajar dan aku ajarkan ilmu yang aku peroleh itu demi pengabdianku pada bangsa dan negara. Allah bersabda : Bohong kamu!. Demikian pula malaikat membohongkannya: sesungguhnya kamu berbuat demikian itu supaya kamu dikatakan orang alim, orang pinter, cendikiawan, ilmuwan? Kemudian ditanya seseorang yang oleh Allah berikan kelebihan berupa harta benda kemudian Allah bertanya, Aku telah berikan kamu kelebihan harta benda, kamu apakan harta itu? kemudian orang itu menjawab : aku dermakan selalu setiap saat. Alah bohong kamu, demikian Allah dan malaikat membantah : . …. Kamu berbuat demikian itu, supaya kamu dibilang orang kaya, kan? Biar dibilang kamu dermawan. Kemudian seseorang yang meninggal dunia di medan pertempuran kemudian ditanya oleh Allah dan Malaikat, apa yang kamu perbuat dengan nyawamu itu? lalu ia menjawab, khan aku mati karena jihad fi sabilillah, yakni perang untuk membela namaMu. Ya, Allah. kamu bohong ! Kata Allah dan Malaikat, kamu ikut perang itu biar dibilang jagoan, biar dibilang preman, biar dibilang kamu pahlawan, hingga kamu tewas?! <a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Sedangkan cerita kedua tentang seorang pemuda yang alim dan ahli ibadah. Suatu ketika terdengarlah kabar bahwa di suatu tempat ada sekelompok orang yang menyembah bukan menyembah Allah melainkan menyembah sebuah pohon Beringin besar yang penampilan dari pohon itu cukup angker. Tertarik untuk memberantas kemusyrikan, maka bergegaslah orang tersebut dengan memanggul sebuah kapak besar yang sudah diasahnya dengan tajam untuk menebang pohon beringin angker itu. Kemudian iblis penghuni pohon beringin itu berniat untuk menghalangi maksud si pemuda dengan menjelma menjadi seorang kakek-kakek lalu berkata : mau kemana hai ki sanak? Aku akan menebang pohon beringin yang angker itu! jawab si pemuda. Kemudian si Iblis balik bertanya : memangnya ada apa dengan pohon itu? itu pohon adalah pohon kemusyrikan, banyak orang menyembah ponon itu, kalau pohon itu tumbang khan tidak disembah lagi!! Jawab si pemuda. Kemudian si Iblis memberi nasehat : begini ki sanak, lebih baik kau urungkan niat tersebut, ngapain, gitu aja kok repot!!!! Mendingan urus dirimu sendiri, kamu pulang ke pondokmu, kamu belajar, atau kamu beribadah deh dengan khusuk! Tidak ! jawab si pemuda, kalau kau menghalang-halangi maksudku, akan kutebas pula lehermu itu. Ini merupakan tugasku, inilah manifestasi dari bentuk ibadahku!!<br />Maka terjadilah pertarungan yang seru antara si Iblis dengan si pemuda, dan akhirnya si Iblis kalah. Tahan ki sanak…… aku nyerah deh, bebaskan aku…..suer aku sakit….. Demikian si Iblis merintih. Ki sanak……. Kiranya si pemuda menaruh kasihan maka dilepaskanlah si Iblis yang menjelma menjadi kakek-kakek itu. kemudian si Iblis berkata : gini deh ki sanak…… sesungguhnya gusti Allahmu itu ngak nyuruh kamu nebang pohon itu khan!! Itu kan cuma intepretasi kamu, itu cuma gagasanmu saja khan????? Gini deh lo … ki sanak, sesungguhnya….. em….m….. gusti Allahmu itu akan menumbangkan pohon beringin itu. Ia akan mengutus orang lain untuk menebangnya, yang jelas bukan kamu. kamu batalkan saja deh niatmu itu, wong itu kehendakmu saja khan…? Garepanmu saja khan…? mBok ya jangan ngarang-ngarang gitu. Iya toh… ? Begini kisanak…., kamu seorang pemuda pakir khan?? Tentu saja semua orang memandangmu dengan sebelah mata karena kefakiranmu itu, dan kamu sebetulnya mau jadi orang yang punya supaya kamu bisa bersedekah kepada saudara-saudara kamu yang senasib denganmu. Si pemuda rada bengong mendengar perkataan si kakek seraya berkata : kok kakek tahu…? Betul, demikianlah keadaanku! Kemudian si Iblis berkata : Kalau begitu, kamu pulang saja ke rumahmu, besok pagi, subuh-subuh, ketika kamu bangun tidur, kamu akan mendapatkan uang sebanyak dua dinar di bawah bantalmu. Dengan uang itu kamu bisa berbuat untuk dirimu dan juga untuk saudara-saudaramu, bersedekahlah untuk mereka! Maka pulanglah si pemuda tadi. Pagi harinya ketika pemuda itu bangun tidur, didapatinya uang sebanyak dua dinar di bawah bantalnya. Bener perkataan si kakek….. memang nebang pohon itu bukan tugasku….. dan bener pula tentang uang dua dinar itu…. kemudian si pemuda berbelanja untuk dirinya dan sisanya dibelanjakan untuk orang yang senasib dengannya.<br />Pada hari kedua ia dapati lagi uang dinar itu di bawah bantalnya. Namun pada hari ketiga, si pemuda itu tidak menemukan apa-apa dibawah bantalnya itu. Betapa marahnya si pemuda itu, sambil terpogoh-pogoh ia panggul kapak yang empat hari lalu ia bawa untuk menebang pohon beringin itu dan ia bergegas untuk menebangnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan si Iblis yang menjelma dalam tentuk kakek-kakek seperti jelmaan pertama kemudaian bertanya : hai kisanak mau kemana? Tanyanya. Si pemuda menjawab : akan ku potong pohon itu! kemudian si Iblis berkata : alah,….. percuma saja, pulang saja ente…… ngak bakal kuat nebang pohon itu…..udah…..pulang saja!!! betapa marahnya si pemuda mendengar perkataan tersebut seraya berkata : kamu mau menghalangi jalanku, kutebas batang lehermu ! katanya seraya menerjang si kakek. Tapi, tanpa ia duga, si kakek jadi lebih kuat dan gesit gerakannya. Akhirnya si pemuda keteter dan menyerah kalah. Ente berhenti dari niat busukmu itu atau ku penggal lehermu?? Kata si kakek geram. Si pemuda bingung, mengapa si kakek jadi lebih kuat dan gesit gerakannya hingga ia terjatuh kalah, bahkan kekuatannya sirna sama sekali. ampun kek… lepaskan….tolong lepaskan….. rintih si pemuda. Kemudian si pemuda bertanya : kek…. Mengapa pertama kali aku melawanmu, kamu terkapar kalah dan begitu mudahnya aku mengalahkanmu, tapi, kali ini kenapa aku yang kalah? Si kakek menjawab : karena, perkelahian kita yang pertama didasari oleh kemarahan kamu yang karena Allah…. Maka gusti Allahmu itu membantumu hingga aku kalah, tetapi hai anak muda, untuk kali ini, kamu datang dan marah kepadaku karena nafsumu dan demi uang dinar itu, khan…… makanya kamu kalah! <a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> <br /><br />Ikhlas Dapat Menghapus Dosa<br />Rasulullah bersabda :<br /> إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ لِأَهْلِ الْإِخْلَاصِ ذُنُوبَهُمْ..(رواه البخارى)……<br />Manusia yang berjiwa ikhlas terhindar dari hawa nafsu yang buruk dan bebas dari kekeliruan dan kesalahan, karena ikhlas menyinari jiwa lebih terang daripada kesulitan-kesulitan yang menyempitkan, sehingga ia bisa tenang berdiri dihadapat Allah sabil bertaubat dan mengharapkan rahmat-Nya dengan rasa takut kepada siksa-Nya<br />حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ لَا وَالَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا فَعَلْتُ قَالَ بَلَى قَدْ فَعَلْتَ وَلَكِنْ غُفِرَ لَكَ بِالْإِخْلَاصِ (رواه أحمد)<br /><br />Ikhlas Menentukan Diterima atau Ditolak suatu Ibadah<br />Niat yang benar dan hati yang ikhlas, keduanya kelihatan seperti amal duniawi biasa. Tetapi niat dan keikhlasannya itu menjadikan amalnya naik sebagai ibadah yang diterima. Demikian pula niat yang buruk, membawa amal ibadah murni terseret kebaawah, bahkan sampai ke lembah maksiat yang jelek. Jika telah demikian, seseorang tidak mendapatkan apa-apa lagi dari pekerjaannya kecuali kegagalan dan kerugian<br />Semua amal yang baik, bila dilakukan dengan niat yang baik dan ikhlas akan mendapat imbalan pahala ibadah. Pekerjaan, walaupun sedikit, tetapi dikerjakan dengan ikhlas maka akan menghasilkan.<br />Ikhlas merupakan syarat diterimanya segala amal ibadah, sebagaimana firman Allah :<br />وما امروا إلا ليعبدوا الله مخلصين اه الدين حنفاءويقيموا الصلاة ويؤتواالزكاة وذلك دين القيمة (البينة :5)<br />Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayinah : 5)<br /><br />Demikian juga ketika kita, baik selaku mahasiswa ataupun dosen, dalam belajar hendaklah ikhlas, karena barang siapa yang belajar atau mengajar tidak karena ikhlas, tetapi mencari popularitas, mencari nilai yang tinggi, misalnya, di hari kiamat tidak akan dimasukkan ke surga bahkan mencium baunyapun tidak.<br />حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ *(رواه الترمذى)<br />حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَسُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ أَبِي طُوَالَةَ عَنْ سَعِيدِ ابْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا قَالَ أَبُو الْحَسَنِ أَنْبَأَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ *(رواه ابن ماجه)<br />حَدَّثَنَا يُونُسُ وَسُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبِي طُوَالَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ سُرَيْجٌ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رِيحَهَا *(رواه الدارمى)<br />Iklas Dapat Memeberikan Ketenangan Hidup<br />Barangsiapa yang mengaitkan hidup dan kehidupannya dengan kebenaran ini, hidupnya pasti senang dan sejahtera dan bisa dengan tenang menyiapkan diri untuk menuju akhirat. Barangsiapa yang berpisah dengan dunia (meninggal) dengan ikhlas karena Allah semata-mata dan ia selama hidupnya itu mendirikan shalat, kalau ia mampu ia juga menunaikan zakat, maka ketika ia mati ia tinggalkan dunia ini dalam keadaan Allah rela kepadanya (ia tinggalkan dunia dibawah naungan keridhaan Allah).<br />حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لَا شَرِيكَ لَهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ قَالَ أَنَسٌ وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَبَلَّغُوهُ عَنْ رَبِّهِمْ قَبْلَ هَرْجِ الْأَحَادِيثِ وَاخْتِلَافِ الْأَهْوَاءِ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فِي آخِرِ مَا نَزَلَ يَقُولُ اللَّهُ ( فَإِنْ تَابُوا ) قَالَ خَلْعُ الْأَوْثَانِ وَعِبَادَتِهَا ( وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ ) وَقَالَ فِي آيَةٍ أُخْرَى ( فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ) حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى الْعَبْسِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ مِثْلَهُ<br /> (رواه ابن ماجه)<br />Ikhlas membuat keadaan selalu segar dalam jiwa, karena ikhlas menuntut agar manusia mengetahui dan memperhitungkan sesuatu dengan baik, diwaktu senang ataupun diwaktu susah, sehingga perasaan ikhlasnya menjadi mantap dan berkesinambungan dalam perjalanan hidupnya.<br />Ikhlas tidak layu dalam situasi dan kondisi yang berganti-ganti. Manusia yang dalam jiwanya ikhlas, imannya mantap dan amalnya hanya karena Allah Semata, dan tidak karena yang lain.<br />Namun demikian keikhlasan bisa hilang berangsur-angsur, apabila dalam jiwa telah mulai timbul gejala egoisme dan senang kepada sanjungan manusia, senang mengejar pangkat dan pengaruh yang luas, sengan kepada kebanggaan yang bisa menyeret hidupnya ke jalan yang sesat. Jika keiklasan dalam jiwa telah terkontaminasi oleh hal yang demikian, maka rusaklah amal dan jauhlah dari keridhoan Allah, karena Allah hanya senang kepada pekerjaan yang bersih dan bebas dari polusi hati sebagaimana firman Allah :<br />إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق فاعبد الله مخلصا له الدين (الزمر : 2)<br />ٍSesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al0Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (Az-Zumar : 2)<br />Watak keutamaan dan keikhlasan laksana buah yang matang dan mulus, dan untuk memelihara keselamatan buah agar tetap segar dan mulus, bersih dan manis rasanya, diperlukan perawatan yang baik untuk membebaskan dari hama dan penyakit. Dan hama/penyakit dalam pekerjaan itu adalah riya dimana riya dapat merusak keutamaan dan keikhlasan suatu pekerjaan. Pekerjaan yang sudah terkontaminasi dengan riya, ibarat Jambu Air yang warna dan bentuknya begitu menarik dan menggiurkan siapa saja yang melihatnya, padahal kalau dibuka Jambu air yang warnanya merah menyala dan menggiurkan itu ternyata penuh dengan belatung dan busuk, tak dapat di makan. <br /><br />Ikhlas dapat menyelamatkan suatu negara, suatu umat dari kehancuran dan Malapetaka.<br /> أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ ظَنَّ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ *<br />Dari hadis diatas dapatlah difahami bahwa dengan adanya orang-orang yang lemah, karena do’a mereka, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka. Allah tidak menimpakan suatu malapetaka, musibah, pada suatu kaum. Tetapi, hadis ini jangan di salah artikan dengan pemahaman mafhum mukhalafah, yakni supaya umat ini tidak diberi malapetaka, tidak ditimpakan musibah, baka perbanyaklah kaum dhu’afa, kemudian suruh mereka untuk selalu mendirikan shalat dan ajari mereka untuk berbuat ikhlas.<br /><br />Tiga Kelompok orang Yang Tidak bisa Ditipu<br />Ada tiga kelompok manusia yang tidak dapat ditipu, dibohongi dan dipalsukan yakni : Hati seorang muslim yang ikhlas dalam mengerjakan sesuatu karena Allah, orang yang memberi nasehat para pemimpin muslim, dan orang yang selalu berada dalam jamaahnya.<br /><br /> حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ<br />(رواه مسلم)<br /><br />Ikhlas Dalam Ridha dan Marah<br />أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَمِّي قَالَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْوَاسِطِيِّ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ قَالَ صَلَّى عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ بِالْقَوْمِ صَلَاةً أَخَفَّهَا فَكَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوهَا فَقَالَ أَلَمْ أُتِمَّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ قَالُوا بَلَى قَالَ أَمَا إِنِّي دَعَوْتُ فِيهَا بِدُعَاءٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِ اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْإِخْلَاصِ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بِالْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِين (رواه النسائ)َ<br />Artinya : Ya Allah, Engkaulah yang mengetahui hal yang gaib, dan kekuasaan-Mu untuk menciptakan, jadikanlah hidupku, jika kehidupanku itu baik menurut-Mu dan matikanlah aku jika menurut-Mu kematian itu baik untuk baik untukku. Dan aku mohon pada-Mu untuk takut pada-Mu diwaktu sunyi dan diwaktu ramai. Dan jadikanlah selalu kalimat ikhlas itu menyertaiku ketika aku dalam keadaan ridho dan marah. Dan aku memohon pada-Mu untuk selalu memberi nikmat yang tiada batasnya. Dan Quratu’ain (keluarga yang enak dipandang, yang selalu menyejukkan hati) yang tiada putusnya. Dan aku mohon padamu untuk selalu ridho pada Qada dan kehidupan yang tenang setelah mati dan kenikmatan melihat Wajah-Mu dan kerinduan pada pertemuan dengan-Mu dan aku berlindung pada-Mu dari bahaya orang-orang yang membahayakan, dari fitnah orang yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami orang orang yang mendapat petunjuk seperti orang-orang yang engkau beri petunjuk. (HR. Nasa’I)<br /><br /><br />Do’a Supaya Di beri ketetapan Hati dengan Kalimat Ikhlas<br />Yang dimaksud dengan kalimat ikhlas disini adalah kalimat tauhid, seperti telah dijelaskan di muka.<br />قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ ذَرٍّ عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (رواه أحمد)<br />Kesehatan Merupakan Sesuatu Hal Yang Penting setelah Kalimat Ikhlas.<br />Oleh karena itu Rasulullah menganjurkan kita untuk senantiasa meminta kepada Allah agar diberi keyakinan yang kuat dengan selalu mengucapkan kalimat Ikhlas dan selalu diberi kesehatan. <br />حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ قَالَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الْمَلِكِ ابْنَ الْحَارِثِ يَقُولُ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْيَوْمِ مِنْ عَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ اسْتَعْبَرَ أَبُو بَكْرٍ وَبَكَى ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَمْ تُؤْتَوْا شَيْئًا بَعْدَ كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ مِثْلَ الْعَافِيَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ *(رواه أحمد)<br />Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia sangat berharga dan tidak bisa diperjual-belikan. Seperti pepatah menyatakan : kesehatan itu seperti mahkota, yang tidak diketahui keindahannya kecuali oleh orang lain. Maksudnya orang yang sehat tidak merasakan betapa nikmatnya kesehatan itu, akan terasa bahwa kesehatan itu nikmat dan penting ketika sedang sakit.<br />Namun sayang, sebahagian masyarakat kita masih banyak yang tidak bisa menjaga/kurang memperhatikan kesehatannya. Kekurang mengertian sebagian masyarakat terhadap pentingnya kesehatan karena faktor pengetahuan yang kurang tentang pola hidup sehat, ekonomi yang minim sehingga dengan terpaksa tidak berpola hidup sehat. Disamping upaya untuk melakukan pola hidup sehat, kita juga dianjurkan untuk selalu berdo’a agar senantiasa kita selalu diberi kesehatan.<br /><br />Simbol dari Ikhlas adalah Mengacungkan Telunjuk padawaktu Tahiyat.<br />Salah satu simbol dari keikhlasan kita dalam mengerjakan ibadah adalah ketika mengucapkan kalimat syahadat dalam tahiyat, dengan mengacungkan telunjuk sebelah kanan seperti yang terungkap dalam hadis dibawah ini :<br />حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ بَنِي تَمِيمٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ قَوْلِ الرَّجُلِ بِإِصْبَعِهِ يَعْنِي هَكَذَا فِي الصَّلَاةِ قَالَ ذَاكَ الْإِخْلَاصُ *(رواه أحمد)<br />Penutup<br />Untuk mengakhiri pembahasan kita, marilah kita renungkan apa yang dikatakan Ibn Atho’illah,<br />إدفن وجودك فى ارض الخمول , فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه<br />Tanamlah wujudmu (dirimu) di dalam bumi kerendahan. Maka sesuatu yang tumbuh tanpa di tanam itu tentu hasilnya tidak akan sempurna.<br />Untuk itu Marilah kita bekerja dengan ikhlas, janganlah kita campuri dengan maksud-maksud lain. Wallahu A’lam <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Atho’illah, Ibn, Matnul Hikam, terj Labib MZ, Kuliah Ma’rifat, mencapai hdup bahagia sepanjang masa, (Jakarta : Bintang Pelajar) tt.<br />al-Gazali, Imam Ihya Ulumuddin, (Baerut : Darul Fikr)juz 4<br />al-Gazali, Muhamad, Khuluq al-Muslim, alih bahasa oleh M. Rifa’I ahlak seorang muslim (Semarang : Wicaksana) 1986<br />CD-ROM Mausu’ah Al-Hadits al-Syarif<br />Ibrahim, Anis dkk, al-Mu’jam alwasith, (Baerut : Darul Fikr) tt. jilid I<br />Madjid, Nurkholish Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina) 1992,<br />Munawwir, Warson kamus al-Munawwir, (Yogyakarta : Pondok Pesantren Krapyak) 88<br />an-Nawawi, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarf, Riyadus Shalihin (Pekalongan : Maktabah Wa Muthaba’ah Raja Murah) t.t<br />Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN. Balai Pustaka : 1976) <br />al-Qasimi, Jamaluddin Mau’idhah al-Mu’minin, (Baerut : Darul Kutub al-Ilmiyah) t.t<br />al-Zuhaili, Wahbah Tafsir al-Munir, (Baerut : Darul Fikr) 1991, juz 30<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN. Balai Pustaka : 1976) hal 371<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Warson Munawwir, kamus al-Munawwir, hal 388 lihat juga Anis Ibrahim dkk, al-Mu’jam alwasith, jilid I hal 249<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’minin, (Baerut : Darul Kutub al-Ilmiyah) hal 301., lihat juga Imam al-Gazali, Ihya Ulumuddin, (Baerut : Darul Fikr)juz 4 hal 379<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Baerut : Darul Fikr) juz 30 hal 461<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Imam al-Ghazali Op.cit, jilid IV hal, 373<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Nurkholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina) 1992, hal 41<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> ibid, hal 48 lihat juga Ibn Atho’illah, Matnul Hikam, terj Labib MZ, Kuliah Ma’rifat, mencapai hdup bahagia sepanjang masa, (Jakarta : Bintang Pelajar) tt. Hal 52 teks lengkapnya adalah sebagai berikut :تنوعت أجناس الاعمال لتنوع واردات الاحوال الاعمال صور قائمة وارواحها وجود سر الاخلاص فيها<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> ibid, h. 50<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi, Riyadus Shalihin (Pekalongan : Maktabah Wa Muthaba’ah Raja Murah t.t) hal 6<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadus Shalihin min Kalami Sayyidil Mursaliin (Pekalongan : Raja Murah) t.t, hal 6. Lihat juga Shahih bukhari, CD ROM, dalam kitab al-Iman nomor hadis 52<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Ibn Atho’illah, op.cit, hal 53<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Imam al-Ghazali, op.cit, hal 362<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Disadur dari Ihya Ulumuddin, Jilid IV hal 377<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> dikutip dari Ihya Ulumuddin Jilid IV hal 377<br /><a name="_msocom_1"></a><br /> <a class="msocomoff" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_msoanchor_1">[Y01]</a>yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-34284723288170864192007-02-01T20:06:00.000-08:002007-02-01T20:09:05.608-08:00MENGENAL LEBIH DEKAT “CLASS ACTION”Latar Belakang Masalah<br />Sering kita dengar atau baca istilah “class action”, baik dalam media cetak maupun elektronik khususnya ketika terjadi musibah banjir yang melanda Jakarta, ketika PERTAMINA menaikkan harga elpiji, atau ketika PLN tidak mengalirkan listrik di wilayah Jawa dan Bali akibat kesalahan teknis. Ada beberapa pihak LSM yang menggugat pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut ke Pengadilan melalui gugatan class action. Permasalahannya : apa sebenarnya yang dimaksud dengan class action itu? masalah apa dan siap yang bisa mengajukan class action? Siapa yang boleh digugat dengan gugatan class action? Dan apa bedanya gugatan biasa dengan gugatan class action?<br /><br />Definisi Class Action<br />Class action atau gugatan perwakilan (selanjutnya disingkat CA) adalah prosedur pengajuan gugatan dimana ada satu orang atau lebih yang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus juga mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki fakta atau dasar hukum yang sama.<br />Jadi CA adalah langkah hukum yang diambil oleh seorang penggugat, atau sejumlah orang yang bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan sekaligus untuk kepentingan ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Orang yang tampil sebagai penggugat disebut wakil kelas (class representative) sedangkan sejumlah orang yang diwakilinya disebut sebagai anggota kelas (class members)<br /><br />Apa kegunaannya?<br />Bagaimana Sejarahnya?<br />Bedakah CA dengan Hak Gugat LSM?<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Ahmad Santosa dkk, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (class Action), Jakarta : ICEL, PIAC dan YLBHI, 1999yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-35901436838864597892007-02-01T20:05:00.000-08:002007-02-01T20:06:51.453-08:00BIAS JENDER DALAM LEMBAGA PERCERAIAN (Studi Perbandingan antara talak dan khulu’)BIAS JENDER DALAM LEMBAGA PERCERAIAN (Studi Perbandingan antara talak dan khulu’)<br />Oleh : Yayan Sopyan, M.Ag<br /><br /><br />A. Latar Belakang Masalah<br />Perkawinan merupakan syari’at Islam yang tujuannya bukan saja untuk menyalurkan instink seksual manusia dan meletakkannya pada jalan yang benar, tetapi berfungsu juga sebagai sarana reproruksi manusia untuk mengagungkan asma Allah sesuai dengan tugas manusia :<br />wamaa khalaktul jinna wal ins illa liya’budun<br />Nabi mengajurkan umatnya untuk menikah : annikahu sunnati waman raghiba an sunnatii falaisa minni (nikah adalah ajaranku, barangsiapa yang tidak mengikuti ajaranku maka ia bukan umatku). Dari hadis lain diriwayatkan bahwa nikah disamping untuk menyalurkan keinginan biologis manusia, juga untuk memperbanyak umat. Demikian juga dengan hadis Nabi dari Amru bin Ash : dunia itu adalah harta benda, dan sebaik-baiknya harta benda dunia adalah perempuan yang saleh. (HR Muslim)<br />Dalam menjalankan perkawinan suatu keluarga harus dijalani dengan konsep mawaddah wa rahmah, saling cinta mencintai, saling mengasihi, saling memberi dan menerima, saling terbuka. Sehingga diqiyaskan dalam al-Qur’an bahwa tali perkawinan sebagai mitsaqan galidha (ikatan yang kuat)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Terkadang, dalam menjalankan bahtera rumahtangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalah fahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya. Terkadang, percekcokan itu perlu ada ditengah dinamika keluarga sebagai bumbu penyedap keharmonisan dan variasi, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.<br />Namun, ada juga keluarga ada yang tidak dapat mengatasi problematika ini. Percikan api yang di munculkan oleh salah satu pasangan, oleh pasangan lain disiramnya dengan minyak sehingga terjadilah kebakaran hebat. Yang menyebabkan mahligai rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila dipertahankan keutuhan rumah tangga, baik suami maupun isteri akan mengalami penderitaan. Dimana masing-masing pasangan merasa teraniaya oleh yang lainnya. Kalau dibiarkan akan menimbulkan permusuhan, dan menanamkan bibit kebencian antara kedua orang tersebut, bahkan bisa merembet ke permusuhan antara kedua keluarga besar masing-masing.<br />Dalam kondisi seperti ini, Islam memberikan jalan keluar yang baik yakni adanya lembaga perceraian guna mencegah kerusakan lebih parah dari kedua pasangan tersebut. Supaya aniaya pendhaliman terhadap pasangan tidak terjadi, jadi untuk menghindarkan kerugian yang lebih besar. Sehingga prinsip perceraian adalah : abghadul halal indallahi aththalaq…..<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak. Dalam sejarah, Rasulullah pernah menceraikan Hafsah, namun ditegur Allah, kemudian dirujuk kembali.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Talak merupakan persoalan yang sangat serius, untuk itu perlu keseriusan dalam memutuskannya. Banyak hadis yang meriwayatkan kutukan bagi orang yang menghasut supaya hubungan perkawinan orang lain putus,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> laki-laki yang mempermainkan talak<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a>, atau perempuan yang meminta talak dari suaminya dengan alasan yang tidak tepat<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>.<br /><br />B. Perceraian Sebelum Islam.<br />Dalam agama Yahudi, seorang suami boleh mentalak isterinya dengan sewenang-wenang tanpa alasan yang jelas, misalnya menginginkan kawin lagi dengan wanita yang lebih cantik dari isterinya. Namun, alasan seperti ini dipandang tidak baik. Dalam agama Yahudi, alasan yang tepat untuk menceraikan adalah :<br />1. isteri mempunyai cacat badan seperti : rabun,, Juling, bau nafasnya, bungkuk, pincang, mandul dan semua yang termasuk dalam cacat fisik.<br />2. Cacat ahlak seperti : tidak mempunyai rasa malu, banyak bicara, jorok, pemboros, serakah, rakus, suka ngomel. Sedangkan zina merupakan alasan yang paling kuat untuk bercerai.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br /> Dalam agama Kristen perceraian terdiri dari dua hukum :<br />1. Katolik : Mengharamkan perceraian secara mutlak. Alasannya adalah Injil Markus Pasal 10 ayat 5 dan 6 : …sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikanlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”.<br />2. Aliran Ortodok dan Protestan membolehkan perceraian secara terbatas. Asal alasan utamanya adalah perzina. Namun setelah terjadi perceraian, baik suami maupun isteri tidak boleh lagi menikah dengan orang lain. Alasannya adalah Injil Matius Pasal 5 ayat 22-23 : barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zina, berarti membuat ia zina. Dalam Injil Markus Pasal 10-11 :<br /> barang siapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, berarti ia berzina dengan perempuan itu. Dan perempuan yang cerai dari suaminya, lalu kawin dengan laki-laki lain, berarti zina dengan laki-laki itu.<br /><br />Dalam masyarakat Jahiliyyah, seorang suami besikap seenaknya terhadap isterinya. Ia bebas menceraikan isterinya, kapan saja dan dimana saja dan bebas pula untuk merujuk kembali isterinya kapan saja, dimana saja tanpa ada batasan. Bahkan prilaku seperti ini masih ada ketika Muhammad sudah diutus menjadi Rasulullah. Ada sebuah peristiwa yang menjadi latar belakang sejarah (asbab an-Nuzul) turunnya surat Al-Baqarah ayat 229 diriwayatkan oleh Aisyah :<br /> …. laki-laki dengan sesuka hati dapat menceraikan isterinya. Perempuan yang diceraikan itu masih tetap menjadi isterinya kalau dirujuk di waktu iddahnya, sekalipun sudah disecraikan seratus kali atau lebih. Sehingga seorang lelaki ada yang berkata kepada isterinya,”demi Allah! Aku tidak akan menceraikan kamu dengan arti betul-betul engkau lepas dariku dan akupun tidak akan tidur bersamamu selama-lamanya”. Lalu ia bertanya, Bagaimana bisa begitu? Jawabnya, “aku ceraikan kamu. Kalau iddahmu hampir habis, aku rujuk kembali. Dan begitu seterusnya…. Kemudian perempuan itu datang ke rumah Aisyah dan menceritakan kepada Rasulullah, tapi Rasulullah diam saja hingga turunlah ayat : atholaqu marrotaani…<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br /><br />Hukum Perceraian<br />Cerai secara bahasa adalah :cerai bahasa Arabnya talak berarti melepaskan ikatan. Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan. Hukum asal perceraian adalah makruh berdasrkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar: sesuatu halal tetapi dibenci Allah ialah talak (Ibn Majah)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Perceraian, dilihat dari kemaslahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi empat macam :<br />wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri, sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai.<br />Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Haram, (bid’ah) dalam dua keadaan, pertama menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak sewaktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Talak bisa dilakukan dengan empat cara, yaitu dengan lisan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a>, dengan tulisan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> dengan isyarat<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> dan dengan mengirim utusan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br /><br />Macam dan Bentuk Perceraian<br />Secara umum perceraian dalam fiqh Islam terbagi dua yaitu Talak dan Fasakh. Setiap perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami disebut talak, sedangkan yang timbul dari pihak isteri disebut fasakh. Abdurrahman Taj, dalam bukunya ahkamu al-ahwal al-syaksiyyah al-Islamiyah<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> mengklasifikasikan perceraian atas :<br />1. Thalak yang terjadi karena keputusan hakim, yang masuk dalam katagori ini adalah :<br />li’an<br />perceraian dengan sebab aib suami, seperti suami mengalami impotensi.<br />Perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam<br />2. Talak yang terjadi tanpa putusan hakim, yang termasuk dalam katagori ini adalah :<br />talak biasa, yaitu talak yang diucapkan suami baik dengan lafadz sharih maupun kinayah<br />ila’<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a><br />Dhihar<br />perceraian karena murtadnya suami<br />3. Fasakh yang terjadi karena putusan hakim, yang termasuk dalam katagori ini adalah :<br />fasakh dengan sebab perkawinan anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur oleh wali yang bukan bapak atau kakeknya. (ghairu bulugh)<br />Fasakh dengan sebab perkawinannya dalam keadaan gila, yang walinya bukan bapak atau kakeknya (ghairu ifaqah)<br />Fasakh dengan sebab tidak sekufu (ghairu kafa’ah)<br />Fasakh dengan sebab kurangnya maskawin dari mahar mitsil<br />Fasakh dengan sebab menolaknya isteri masuk Islam<br />Fasakh dengan sebab menolaknya suami masuk Islam<br />4. Faksakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim<br />fasakh dengan sebab merdekanya isteri (jika isteri budak)<br />fasakh dengan sebab salah satu pihak dari suami isteri menjadi milik orang lain (jika salah satu atau keduanya budak)<br />fasakh dengan sebab ada hubungan mushaharah (semenda) antara suami-isteri<br />fasakh dengan sebab nikahnya fasid sejak semula, seperti tidak disaksikan oleh dua orang saksi<br />fasakh dengan sebab riddahnya suami.<br /><br />Kalau dikaitkan dengan Undang-undang Perkawinan, maka putusnya perkawinan itu ada tiga sebab yaitu : Kematian, Perceraian<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a>, dan keputusan pengadilan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a>.<br />Mengingat terbatasnya masalah yang akan dibahas maka dalam makalah ini hanya akan dibahas dan dibandingkan dua jenis perceraian yakni cerai talak yang berasal dari suami dan khulu’ yang datang dari isteri dikaitkan dengan hak dan akibat hukum dari kedua bentuk perceraian, dan guna melihat keadilan gender dalam lembaga perceraian.<br /><br />Talak<br />Talak menurut bahasa berasal dari kata itlaq, artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam Istilah fiqh adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> sehingga talak berarti suami memutuskan ikatan perceraian dengan isterinya dengan kalimat tertentu yang dimaksudkan untuk melepaskan ikatan perkawinan. Kata itu bisa memakai kalimat yang sharih (dengan perkataan yang jelas) seperti memakai kata : “saya cerai engkau” atau “saya jatuhkan talak untukmu”. Bisa juga memakai kalimat majazi misalnya “aku pulangkan engakau”.<br />Dalam doktrin fiqh, tidak dijelaskan secara rinci apa saja yang dapat dijadikan alasan talak. Namun suatu alasan yang mungkin dikemukakan suami untuk menjatuhkan talak kepada isterinya bahwa ia merasa tidak senang lagi kepada isterinya. Tentu saja alasan tidak senang itu bisa objektif, bisa juga subjektif. Artinya, tidak ada alasan yang diwajibkan kepada suami dalam menjatuhkan talak kepada isterinya, maka seorang suami bisa saja menceraikan isterinya tanpa disertai alasan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br /><br />Macam Talak<br />A. Secara garis besar, dilihat dari boleh/tidaknya dirujuk talak terbagi dua:<br />1. Raj’I yakni talak satu dan talak dua. Talak ini suami masih mempunyai hak untuk merujuk isterinya setelah talak dijatuhkan. Merujuk lagi isterinya itu tidak memerlukan persetujuan isteri, sama seperti mentalak, suami tidak memerlukan persetujuan isteri.<br />2. Ba’in. talak ini terbagi menjadi dua bagian<br />Ba’in sugra yaitu talak yang jatuh karena akumulasi talak raj’I sehingga menjadi talak tiga. Dalam talak ini suami tidak dapat menikahi dengan mantan isterinya kecuali telah terselangi oleh laki-laki lain kemudian diceraikan dan nikah lagi dengannya. Atau talak yang diminta oleh isteri melalui prosedur khulu’ . dalam talak ini si suami tidak boleh kembali dengan isterinya, kecuali dengan akad baru.<br />Ba’in kubro, talak yang sama sekali tidak boleh dirujuk selamanya. Perceraian ini terjadi karena, misalnya li’an.<br />A. Dari segi keadaan suami, terbagi menjadi talak mati, dan talak hidup<br />B. Dari segi proses/prosedur terjadinya terbagi tiga<br />talak yang dilakukan langsung oleh suami<br />talak tidak langsung, yang memutuskan adalah hakim<br />talak tidak langsung, yang memutuskan adalah hakamain<br />C. Dari segi baik/tidaknya ada<br />a. talak sunni, jika suami menjatuhkan talak ketika si isteri dalam keadaan suci dan belum digauli.<br />b. talak bid’I, jika suami menjatuhkan talak ketika si isteri dalam keadaan haid/nifas, atau dalam keadaan suci tetapi sudah digauli.<br /><br />Akibat Hukum Talak<br />Akibat jatuhnya talak terhadap isteri, maka akan muncul peristiwa hukum seperti dibawah ini :<br />1. Haramnya hubungan badan. Hubungan badan yang tadinya halal menjadi haram, jika dilakukan ketika isteri habis masa iddahnya dan tidak dinikah lagi dengan akad baru. Namun jika dilakukan sebelum iddah habis maka boleh, hal ini merupakan tindakan rujuk dengan perbuatan.<br />2. Adanya masa iddah bagi isteri. Selama iddah si suami mempunyai hak prerogatif untuk merlakukan rujuk pada isterinya, suka atau tidak suka, dengan persetujuan isteri ataupun tidak. Dengan perkataan, maupun dengan perbuatan (melakukan hubungan seks) di massa iddah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Tanpa perlu izin wali atau menghadirkan saksi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a> Illat adanya masa iddah adalah untuk mengetahui apakah dalam rahim si isteri terdapat jabang bayi dari hasil hubungannya sebelum perceraian terjadi (li baro’ah al-rahm)<br />3. Sebagai konpensasi dari talak, si isteri mendapatkan biaya hidup selama jangka waktu iddah raj’I, yakni berhak untuk mendapatkan termpat tinggal (di rumah suaminya), makanan, pakaian (baju) menurut yang ma’ruf.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />4. Isteri mendapatkan mut’ah dari suaminya. Mut’ah adalah pemberian dari suami berupa sesuatu untuk menggembirakan isterinya sebagai konpensasi dari perceraian. Hal dijelaskan dalam surat al-Baqarah 241.<br />5. Apabila si suami meninggal dalam jangka waktu iddah isteri, maka isteri masih mendapat warisan dari bekas suaminya, asalkan talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i.<br /><br />Khulu’ <br />Pada prinsipnya, talak itu adalah milik mutlak suami. Artinya hanya suamilah yang berhak menceraikan. Andai isteri mau cerai dengan suaminya maka ia harus meminta persetujuan (membujuk) suaminya,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> biasanya permintaan itu diikuti dengan konpensasi agar supaya suami mau melepas haknya. Perceraian seperti ini disebut khulu’.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> Perceraian ini terjadi berdasarkan persetujuan kedua belah pihak dari suami isteri sebagai usaha penyembuhan kehidupan perkawinan yang menderita gangguan, baik disebabkan oleh salah satu pihak maupun kedua-duanya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a> Sedangkan konpensasi yang diberikan oleh isteri kepada suaminya bisa berbentuk maskawin yang dulu ketika nikah diberikan, atau dengan benda lain yang harganya lebih mahal atau lebih murah dari maskawin. Konpensasi itu dalam terminologi fiqh disebut iwadh sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 229.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a><br /><br />Akibat Hukum Khulu’<br />Adapupn akibat hukum dari adanya khulu’ adalah :<br />1. adanya tebusan yang harus dikeluarkan oleh isterinya berupa benda, bisa maskawin, bisa benda yang lebih murah dari maskawin, atau yang lebih mahal tergantung pada kesepakatan suami.<br />2. Talak tebus ini boleh dilakukan baik dalam keadaan suci amaupun dalam keadaan haid, karena biasanya talak tebus itu terjadi dari kehendak dan kemauan isteri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa ia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang. Apalagi biasanya talak tebus itu tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahanannya lagi.<br />3. Perceraian yang dilakukan dengan talak tebus ini berakibat jatuhnya talak bain sugro yakni bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah talak sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru.<br />4. Talak tebus tidak boleh lahir karena kehendak suami atau tekanan suami. Karena hal ini berarti paksaan kepada isteri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan suami dan kalau suami yang ingin bercerai atau suami benci kepada isterinya, ia dapat bertindak dengan cerai talak, sebab talak itu ada dalam kekuasaannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a> sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa : 20<a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a><br /><br />Perceraian di Pengadilan Agama : Studi Komparatif antara Cerai Talak dan Cerai Gugat<br />Prinsip yang dipakai di pengadilan adalah mempersulit terjadinya perceraian dan untuk memungkinkan terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan persidangan. Karena perundang-undangan hanya mengakui bahwa perceraian itu hanya ada, sah dan mempunyai kekuatan hukum kalau terjadi di pengadilan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a><br />Dilihat dari orang yang mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat.<br /><br />Cerai Talak<br />Cerai talak adalah talak yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak suami. Sehingga, cerai talak dimasukkan dalam katagori perkara permohonan bersifat voluntair,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a> artinya perkara yang tidak mempunyai lawan (hanya satu pihak) sementara isteri dianggap bukan pihak lawan karena tidak mempunyai hak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a><br />Pada masa awal UU Pekawinan di sahkan, seperti yang tersurat dalam PP 9/75 sangat jelas dan kental sekali doktrin fiqhnya : Apabila suami mau menceraikan isterinya, ia cukup memohon/mengajukan surat kepada Pengadilan ditempat tingalnya, yang berisi permberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (pasal 14 PP. 9/1975) kemudian, Pengadilan hanya mengundang suami dan isteri dalam persidangan dan hakim hanya hadir untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14…….. (pasal 16). Dalam perkara cerai talak ini, Pengadilan tidak membuat keputusan, hanya menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. (pasal 70 ayat (3) kemudian pengadilan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak di depan sidang<a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a>. Dan suami dapat mengikrarkan talak baik isteri/wakil isterinya hadir atau tidak hadir (pasal 70 (5). Kemudian setelah sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut untuk keperluan pencatatan perceraian (pasal 17 PP 9/75), atas penetapan ini tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a><br />Kemudian, prosedur seperti yang di jelaskan dalam PP 9/75 ini dihapus oleh SEMA bahwa dalam perkara cerai talak dan izin poligami, isteri –walaupun bukan pihak dalam suatu sengketa – tetapi harus dianggap pihak. Disini terjadi penyimpangan prosedur yakni :<br />1. Seharusnya dalam perkara permohonan tidak mempunyai pihak, tetapi dalam kasus cerai talak dan izin poligami, isteri harus dianggap menjadi pihak lawan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn36" name="_ftnref36">[36]</a><br />2. hasil akhirnya adalah penetapan biasanya berbentuk penetapan. Namun dalam dua kasus itu, walaupun bentuk awalnya adalah permohonan tetapi hasil akhirnya adalah putusan..<a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn37" name="_ftnref37">[37]</a><br />3. kalau permohonan hasil akhirnya adalah penetepan, maka penetepan itu tidak bisa melakukan upaya hukum banding atau kasasi. Sedangkan dalam dua perkara ini karena hasil akhirnya adalah putusan, maka isteri bisa melakukan upaya banding/kasasi atas putusan pengadilan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn38" name="_ftnref38">[38]</a><br />Sedangkan bentuk talak yang biasanya di jatuhkan adalah talak raj’I (talak yang dapat dirujuk), kecuali kalau terjadi akumulasi penjatuhan talak sampai tiga kali, maka akan menjadi talak ba’in.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn39" name="_ftnref39">[39]</a><br /><br />Cerai Gugat<br />Di pengadilan agama permintaan cerai yang datang dari isteri disebut dengan cerai gugat. Namun, -tidak seperti dalam doktrin fiqh- setiap permohonan cerai yang diajukan oleh isteri itu tidak harus selalu berbentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran iwadh. tetapi dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan yakni Pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9/1975 pasal 116 dan 51 KHI, yaitu :<br />1. suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.<br />2. Suami meninggalkan isteri selama 2 tahun tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.<br />3. Suami mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung<br />4. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak isteri<br />5. Suami mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami.<br />6. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.<br />7. Suami melanggar taklik talak dan atau perjanjian perkawinan<br /> Dalam prosedur pengajuan perkara dikatagorikan sebagai perkara gugatan yang sifatnya kotentiosa, dan hasil akhirnya adalah sebuah putusan hakim. Terhadap putusan ini masing-masing pihak dapat mengajukan upaya hukum banding/kasasi.<br />Dalam gugatan perceraian apabila ternyata penyebab perceraian itu timbul dari suami atau tidak dapat diketahui dengan pasti maka perkawinan itu diputuskan dengan talak bain. Jika penyebab itu timbul dari isteri maka perkawinan itu diputuskan dengan khulu’, sehingga isteri wajib membayar iwadh yang besarnya ditentukan oleh hakim secara adil dan bijaksana. Sedangkan talak yang dijatuhkan berbentuk talak bain. Selanjutnya Pengadilan memberikan putusan.Terhadap putusan ini, suami berhak untuk mengajukan banding/kasasi selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.<br />Perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai tu memperoleh kekuatan hukum tetap. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, diberitahu kepada pihak yang berperkara (suami-isteri) dan diberikan akta cerai paling lambat 7 hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.<br /><br />Bias Jender<br />Dalam doktrin fiqh, bahwa laki-lakilah yang mempunyai hak mutlak dalam perceraian itu. Ia berhak menceraikan isterinya dengan atau tanpa alasan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn40" name="_ftnref40">[40]</a>. Dan si isteri tidak mempunyai hak pembelaan terhadap dirinya seperti menolak kehendak suaminya atau hak lain, ia harus menerima apa yang dikehendaki suaminya, suka atau tidak suka. Alasannya adalah karena suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah isteri, anak-anak dan kewajiban lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn41" name="_ftnref41">[41]</a> Alasan yang lain adalah karena suami mempunyai sikap rasional sedangkan isteri bersifat emosional.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn42" name="_ftnref42">[42]</a> Benarkah demikian?<br />Sebetulnya, doktrin talak itu milik suami merupakan doktrin yang tidak jelas landasan hukumnya. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga adalah sama dan sejajar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn43" name="_ftnref43">[43]</a> Doktrin ini muncul karena pada waktu Islam diturunkan, budaya Bangsa Arab pada saat itu sangat kental sekali dengan budaya patriarkhi.<br />Walaupun dalam masa Iddah isteri mendapat hak-hak tertentu seperti mut’ah, dan nafkah berupa makanan, tempat tinggal, dan pakaian<a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn44" name="_ftnref44">[44]</a>, tetapi hal itu merupakan “imbalan” dan kembali untuk kebutuhan suami yakni :<br />1. Suami mempunyai hak prerogatif untuk melakukan rujuk kembali kepada isterinya selama masa iddah, dengan atau tanpa persetujuan isteri.<br />2. Masa iddah adalah masa penantian dan kepastian apakah rahim si isteri itu bersih dari sperma suami dari persetubuhan yang halal? (li baroatir Rahmi). Kalau ada dan tumbuh janin, maka janin itu adalah milik suaminya.<br />Refleksi dari doktrin “cerai adalah milik mutlak suami” di Indonesia dapat terlihat dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya : UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama khususnya pasal 65 – 72 yang membedakan cerai berdasarkan orang yang mengajukannya yakni cerai talak yang berasal dari suami dan cerai gugat yang berasal dari isteri<a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn45" name="_ftnref45">[45]</a>.<br />Dari aspek tempat talak itu dijatuhkan, para jumhur ulama sepakat bahwa talak bisa diucapkan dimana saja, kapan saja, dalam keadaan serius atau bercanda, ada saksi atau tidak ada saksi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn46" name="_ftnref46">[46]</a>. Tentu saja dari pemikiran seperti ini akan banyak merugikan perempuan dan anak-anak yaitu sangat terbuka sekali akan terjadinya talak liar (cerai dibawah tangan). Sementara pendapat ulama Syi’ah, perceraian tidak sah bila tidak diucapkan didepan persidangan di Pengadilan. Demi kemaslahatan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak, kiranya ulama Indonesia yang merumuskan UU Perkawinan dan KHI melakukan talfiq. Namun sangat disayangkan, sebagian besar ulama – khususnya di daerah – tidak bisa menerima pendapat ini. Bagi mereka talak yang dijatuhkan disembarang tempat dan sembarang keadaan itu adalah sah berdasarkan sebuah hadis :<br />Tsalatsun jiddu hunna jiddun wa hazluhunna jiddun : Athalaqu, wannikahu warruju’<br />Timbul pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama, kalaulah talak itu bisa jatuh disembarang tempat dan sembarang keadaan : masa suatu perkawinan yang awalnya (akad nikah) dilaksanakan secara serius, khidmat, sakral mempersyaratkan ada wali, ada dua orang saksi yang adil, bahkan tidak jarang dihadiri oleh sanak saudara dan handai taulan, masa ketika berakhir (cerai) bisa dengan begitu saja bahkan dalam keadaan bercanda pun sah, tanpa adanya saksi atau wali?<br />Terkadang para ulama fiqh suka bersikap tidak konsisten, misalnya saja dalam permasalahan umum, ulama memandang bahwa perempuan itu mahluk yang lemah, setengah laki-laki, emosional, mendahulukan hawa nafsu ketimbang akal fikiran yang sehat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn47" name="_ftnref47">[47]</a> Tetapi ketika dalam merumuskan akibat perceraian, apabila dari laki-laki yang menjatuhkan talak maka jatuh lalak raj’i dimana dengan talak itu ia diberikan hak untuk rujuk sebagai wahana ralat, koreksi atau instrospeksi sebanyak dua kali, tetapi apabila perceraian itu datangnya dari pihak isteri, maka akibatnya adalah jatuh talak ba’in dimana dengan talak itu tidak diperbolehkan ralat, atau koreksi dan tidak bisa melakukan rujuk kepada bekas suaminya. Ia bisa kembali dengan bekas suaminya itu hanya dengan melakukan perkawinan dengan akad baru, bukan memakai lembaga rujuk seperti suami. Kalaulah para ulama fiqh itu konsisten, maka seharusnya talak yang dari isteri itulah yang talak raj’i karena keputusannya berdasarkan keputusan yang emosional, buru-buru dan kurang pertimbangan sesuai dengan karakteristik perempuan yang digambarkan mereka.<br />Hak rujuk. Selama masa iddah, perkawinan yang sudah diputus itu boleh ralat, institusi ralat itu disebut dengan rujuk. Rujuk adalah kembalinya mantan suami kepada mantan isterinya yang sudah diceraikan dalam kurun waktu iddah. rujuk, menurut jumhur ulama harus dilakukan dengan perkataan dan perbuatan. Perkataan, yakni dengan mengungkapkan kehendaknya suami untuk kembali kepada mantan isterinya, baik isteri itu setuju maupun tidak terdap rujuk itu. Perbuatan dengan melakukan wathi. Bahkan ulama Hanafi, dan Maliki berpandangan bahwa rujuk dapat dilakukan dengan pekerjaan tanpa adanya perkataaan, artinya suami dapat melakukan wathi terhadap isterinya tanpa harus mengatakan rujuk (apalagi meminta izin)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn48" name="_ftnref48">[48]</a>. Adapun alasan yang dibangun oleh para ulama adalah : rujuk adalah hak mutlak suami, isteri tidak bisa mempunyai hak inisiatif rujuk. Oleh karena rujuk itu sendiri ada ketika perceraian ada, maka kalau perceraian adalah hak mutlak suami, maka demikian pula dengan rujuk.<br />Lagi-lagi persoalan ini sangat bias jender, seharusnya isteri juga punya hak untuk menentukan apakah ia mau untuk kembali lagi (dirujuk) oleh mantan suaminya atau tidak? Hal ini perlu diberikan karena ia sendiri yang tahu karakteristik suaminya, dan ia sendiri yang telah mengalami suka dan duka, serta pahit getirnya perjalanan rumah tangga terdahulu dengan (bekas) suaminya itu. <br />Solusi<br />Gambaran al-Qur’an tentang kedudukan perempuan dan laki-laki, antara suami dan isteri adalah sama dan sejajar sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah 228 : dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya (terhadap suami) menurut cara yang ma’ruf…<a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn49" name="_ftnref49">[49]</a><br />Dari ayat itu mengisyaratkan pada kita bahwa Allah mendudukkan laki-laki dengan perempuan itu dalam derajat yang sejajar dan setara. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal salah satu obsesi al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan didalam masyarakat, dan masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan maupun yang berdasarkan jenis kelamin.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn50" name="_ftnref50">[50]</a><br />Suami mempunyai hak mutlak dalam perceraian merupakan budaya patriarkhi yang harus dengan sesegera mungkin ditinggalkan. Untuk menyelesaikan ketidakadilan dalam perceraian diperlukan solusi dan terobosan hukum, diantaranya ;<br />1. Perceraian hanya terjadi, dan sah jika diucapkan dimuka pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan (Agama) setelah Pengadilan (Agama) tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Karena dengan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan perceraian di luar pengadilan(perceraian liar) jelas-jelas tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk perempuan.<br />2. Perceraian bukan lagi milik suami atau milik isteri. Pengadilan sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan pemerintah bisa mengambil hak cerai dari suami. Sehingga bila suami atau isteri yang menginginkan perceraian, harus mengajukan ke Pengadilan. Biarlah pengadilan yang memutuskan dan menimbang dengan cermat apakah perceraian itu perlu dikabulkan atau tidak, tanpa melihat siapa yang mengajukan perceraian suamikah atau isteri. seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI : pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding atau kasasi. Namun perlu dicatat disini bahwa untuk menjamin keadilan dan kewibawaan hukum, Pengadilan Agama memerlukan hakim-hakim yang berwawasan (khususnya wawasan Gender), cakap, jujur, dan bijaksana.<br />3. Menghapuskan istilah cerai talak dan cerai gugat, yang ada hanya cerai saja. Sebetulnya apa yang berlaku di pengadilan sudah menedekati sempurna, namun kiranya Pengadilan Agama terjebak dalam dua kubu yang bertentangan yakni disatu pihak ingin mengangkat harkat derajat perempuan hingga setara dengan laki-laki, tapi dipihak lain ada ketakutan apabila menghlangkan doktrin fiqh. Maka lahirlah dua istilah, cerai talak untuk suami dan cerai gugat untuk isteri, walaupun prosedur pemeriksaan dan putusan akhirnya sama.<br />4. Hakim di Pengadilan Agama diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan/memutuskan bentuk cerai apakah yang paling cocok dalam perkara yang sedang dihadapinya apakah putusan cerai, raj’i atau bain, berdasarkan kemaslahatan kedua belah pihak. Seperti kalau si suami jelas-jelas berperangai buruk dan membahayakan isteri, dengan telah melakukan penganiayaan berat misalnya, maka hakim harus menjatuhkan talak bain.<br />5. Perlu sosialisasi hukum perkawinan, khususnya untuk perempuan. Dilihat dari realitas dilapangan bahwa di perkotaan seperti di Jakarta kesadaran Isteri terhadap hak talak sudah tinggi (65-70% cerai gugat, 35-30% cerai talak) dibanding dengan tingkat perceraian di Kabupaten Indramayu atau Majalengka yang terbalik (80% cerai talak, 20%cerai gugat).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn51" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn51" name="_ftnref51">[51]</a><br /><br /><br />Referensi :<br />Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Baerut : Darul Kutub al-Ilmiyah,, t.t.<br />Anderson, JND, Islamic Law in the modern World, Westport : CT. Greenwood Press Inc. 1975<br />Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1993<br />Bukhari, Muhammad Ismail, Shahih Bukhari, Baerut : Darul Fikr, tt<br />Coulson, A. History of Islamic Law, Edinburgh, Edinburgh at the University Press, 1964<br />CD ROM, maktabah al-kutub as-sittah.<br />Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laporan Studi Kebijakan dalam Rangka Penyajian dan Perbaikan Undang-undang Perkawinan, 2000<br />Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontermporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta : INIS, 2001<br />Muslim, Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo : Al-Halabi wa Auladuh, t.t<br />Nazaruddin Umar, Perpektif Jender dalam al-Qur’an, Disertasi Doktor, 1999<br />Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, jilid, II.<br />Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr : 1990 juz II<br />Al-Syairazi Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al Fairubady, Muhadzab Mesir : Matha'ah Isa alBab al-Halby wa-Ayarakah,tt Juz II<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> An-Nisa : 21<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Hakim.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Laitsa minna man khabbaba imroatan ala zaujiha, bukan dari golongan kami, seorang yang merusak hubungan perempuan dengan suaminya (HR. Abu Dawud dan Nasa’I). Dalam hadis lain diriwayatkan janganlah seorang perempuan minta agar saudaranya diceraikan, karena ingin untuk mencari kesempatan supaya dia dikawini. Sesungguhnya hanyalah ia akan mendapatkan apa yang menjadi takdirnya saja.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a>Bunyi hadisnya sebagai berikut : Tsalathun jidduhunna jiddun wa hajluhunna jiddun, an-nikaahu, wath-thalaqu, war-ruju’ (HR. Bukhari-Muslim) artinya : Ada tiga persoalan yang seriusnya merupakan hal serius, dan bercandanya juga merupakan hal yang serius yakni : nikah, talak, dan rujuk.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Perempuan yang manapun yang minta cerai dari suaminya tanpa alasan yang tepat, maka haram baginya bau surga. (HR. Ashabu as-Sunan, dan disahkan oleh Turmudzi)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, jilid, II. Hal 13.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Baerut : Darul Fikr : 1990 juz II, hal 331-332.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis No. 2008 lihat juga Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis No. 1863<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Pernyataan ini berdasarkan sebuah hadis yang menceritakan bahwa ada seorang suami mengadu kepada Rasulullah bahwa isterinya tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya. Maka Jawab Rasulullah : Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu. Lihat Muhazzab Juz II hal 78<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> hal ini berdasarkan sebuah hadis : suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepata isterinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian ia haid kembali, kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, boleh ia teruskan pernikahan sebagaimana yang lalu, atau jika menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu (riwayat : Mutafaq alaih)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> yakni dengan memakai lafadz yang sharih (jelas) yaitu memakai kata-kata yang jelas seperti kata cerai atau talak. Dan memakai lafadz kinayah (majaz) yakni memakai kata sindiran, seperti pulanglah engkau…<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> talak dengan tulisan adalah talak yang dilakukan seoran suami kepada isterinya dengan media tulis.bisa dilakukan baik si suami tidak bisa bicara maupun bisa. Jauh dari isterinya maupun dekat dengan syarat tulisan itu berbekas (dapat dibaca), dan jelas tujuannya yaitu ditujukan kepada isterinya.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Talak dengan isyarat hanya sah apabila dilakukan oleh orang yang bisu, karena tidak ada cara lain, kecuali dengan isyarat. Para ulama menyaratkan bahwa orang bisu bisa melakukan talak dengan isyarat apabila ia tidak bisa tulis baca. (lebih lanjut baca Fiqh sunnah juz VII hal 44)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> talak dengan utusan yaitu suami mengirim seorang utusan kepada isterinya yang jauh bahwa ia telah menjatuhkan talaknya. Si utusan berlaku dan bertindak atas nama suaminya. Lebih lanjut baca Sayyid Sabiq, Fiqh sunnah, juz vii hal 36<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> terbitan Darul Kutuub Mesir, 1955 hal. 186<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> ila’ adalah salah satu talak warisan Jahiliyah yaitu dengan tindakan suami yang bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya. Dengan sumpah itu berarti seorang isteri telah ditalak suaminya. Ketika Islam masuk, hukum Ila’ diperbaharuhi, Islam ingin meletakkan perempuan dalam posisi yang terhormat, sehingga tidak terjadi perceraian yang semena-mena. Ila yang tadinya tidak terbatas, menjadi dibatasi selama 4 bulan saja. Setelah 4 bulan suami harus memilih antara kembali kepada isterinya (dengan menyetubuhinya lagi) setelah sebelumnya membayar kafarat sumpah atau mentalak isterinya. Dasarnya adalah Firman Allah surat al-Baqarah 226 : ….kepada orang-orang yang mengila’ isterina diberi tangguh emapat bulan lamanya, kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang”. Kafarat yang harus dibayarkan adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakian, memerdekakan seorang budak, atau puasa selama tiga bulan berturut-turut.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Terdiri dari tiga bentuk, yang berasal dari suami, yang berasal dari isteri dan yang berasal dari kedua belah pihak. Cerai talak berasal dari suami. Selain cerai talak ada perceraian yang datangnya dari suami yakni ila’ dan dzihar. Sedangkan cerai gugat datangnya dari isteri. Selain cerai gugat, cerai yang datangnnya dari isteri adalah tafwidh. Ada juga perceraian berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yaitu khulu’ dan mubara’ah.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Perceraian yang berdasarkan putusan pengadilan agama adalah karena perlanggaran ta’lik talak, syiqaq, fasakh, riddah dan li’an.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, jilid 2 hal 9<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Djamil Latif, op.cit, hal 43. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa kalau isteri meminta cerai kepada suaminya dengan tanpa dilandasi alasan yang kuat, maka diharamkan baginya wangi surga. Apakah suami yang menceraikan isterinya tanpa dilandasi alasan yang kuat juga Allah haramkan baginya wangi surga????<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan suami boleh merujuk isterinya dengan melakukan wathi, dan perbuatan mewathi ini sudah dianggap sah sebagai bentuk rujuk walaupun si suami tidak mempunyai niat untuk merujuk. Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu : Bairut : Darul Fikr, 1999 juz VII hal 465. Lihat juga Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Baerut : Darul Fikr, J1994 ilid XIII hal 193<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> hukum menghadirkan saksi dalam rujuk hanyalah sunnah, karena dikhawatirkan apabila si isteri kelak akan menyangkal rujuknya suami (Slamet Abidin, hal 68). Padahal dalam surat At-Talak ayat 2 dijelaskan : ….apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu…..<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> namun dalam kenyataannya, isteri jarang sekali mendapatkan hak-hak tersebut termasuk hak mut’ah seperti yang ditetapkan al-Qur’an. Walaupun pengadilan telah memberikan menetapkan hak-hak perempuan itu dalam putusan sidangnya.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Sebetulnya banyak hadis yang mengungkapkan kejelekkan perempuan yang meminta cerai kepada suaminya diantaranya : Ayyumam roatin ikhtala’at min zaujiha min nusyuzin fa’alaiha la’natullh lihat Syamsuddin Syarakhsi, al-Mabsut, Baerut : Darul Ma’rufah,1989 juz VI hal 2 Ayyumam roatin sa’alat zaujaha thaqaha min ghairi ma ma’sin faharrama ‘alaiha raaihatal nannah. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis No. 1899<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> khulu’ sering juga disebut dengan talak tebus karena ada proses penebusan diri isteri itu dari suaminya. Alat penebusan itu disebut iwadh, bisa dengan mengembalikan maskawin atau benda lain yang lebih mahal atau lebih murah dari maskawin.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Djamil Latif, op.cit hal 57<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Alllah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya……<br />demikian juga dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas bahwa sanya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah kemudian ia berkata : Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak saya cela baik dalam akhlak maupun dalam beragamanya, tetapi aku tidak senang lagi kepadanya dan aku takut kufur setelah Islam. Maka Rasulullah berkata : apakah engkau mau mengembalikan kebun padanya? Jawab isteri Tsabit bin Qais : Ya, saya mau. Kemudian Rasulullah berkata kepada Tsabit bin Qais, Terimalah kebun itu kembali dan thalaqlah dia satu thalaq.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Sulaiman Rasyid, op.cit, hal 410<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a> Dan jika kamu ingin menganti isterimu dengan isteri lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun. Apakah kamu akan menggambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat….<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a> pasal 39 UU Perkawinan<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a> sering juga dikatakan sebagai jurisdictio voluntaria atau peradilan yang tidak sesungguhnya. Dikatakan peradilan yang tidak sesungguhnya karena Pengadilan tidak menjalankan fusngsinya sebagai judicative power. Oleh karena itu maka produk pengadilan adalah penetapan yang berguna untuk menerangkan saja (beschikking : Belanda/Itsbat : Arab). <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a> istri hanya perlu dihadirkan di depan sidang untuk didengarkan keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohon. Akibatnya, sekalipun termohon (isteri) tidak hadir di persidangan, bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti), maka permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti akan ditolak. Lebih lanjut baca Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama : Jakarta : Rajawali Press 1996, cet V, hal 59.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref34" name="_ftn34">[34]</a> Dalam fase ini, istreri apabila tidak setuju dengan keputusan hakim, dapat melakukan upaya hukum banding atau kasasi sebelum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Karena, setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tidak dibolehkan upaya hukum. Dan hakim akan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref35" name="_ftn35">[35]</a> Ada sedikit kemajuan yang ditemukan dalam pasal 70 (6) UU No. 7/89 yaitu izin ikrar talak itu dibatasi hanya 6 bulan. Jika suami yang sudah diberi izin, tetapi tidak kunjung mengikrarkan talaknya, dan tidak pula mengirimkan wakilnya, maka gugurlah penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref36" name="_ftn36">[36]</a> Tujuan dari adanya eksepsi (pengecualian) ini untuk melindungi hak-hak perempuan. Penulis melihat adanya sikap yang ambigue dari pembuat undang-undang. Disatu pihak harus mempertahankan doktrin bahwa cerai itu adalah hak prerogatif suami yang menjadi pengangan ulama Indonesia, tapi di pihak lain tuntutan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam perceraian juga harus ada, sehingga lahirlah kebijakan seperti ini.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref37" name="_ftn37">[37]</a> Dalam pasal 71 ayat 2 PP No. 9/75 dinyatakan bahwa penetapan cerai talak tidak dapat melakukan upaya hukum banding atau kasasi. Artinya si Isteri tidak berhak untuk melakukan upaya hukum dan harus menerima apa adanya. Kemudian pasal 71 ayat 2 itu diperbaharuhi oleh surat edaran Mahkamah Agung bahwa walaupun cerai talak itu permohonan, tetapi ia harus dianggap mempunyai/mengandung sengketa. Sehingga ia bisa melakukan upaya hukum seperti banding dan kasasi. Sehingga hasil akhir persidangan berbentuknya adalah putusan dengan amar berjudul Menetapkan, Maksudnya untuk melindungi hak-hak isteri dalam mencari upaya hukum. Lebih lanjut baca Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Hal 203<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref38" name="_ftn38">[38]</a> khusus dalam kasus dispensasi poligami, isteri bisa melakukan permohonan pembatalan nikah bagi suaminya dalam perkawinan poligami apabila ia telah mengetahui bahwa suaminya telah melakukan poligami liar dengan perempuan lain dalam jangka waktu 6 bulan setelah ia mengetahui peristiwa itu.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref39" name="_ftn39">[39]</a> Talak bain, adalah talak tiga karena terjadi akumulasi talak raj’I dua kali. Si suami tidak boleh kembali (rujuk) kepada isterinya baik dalam masa iddah maupun setelah iddah habis, kecuali jika si isteri telah dinikah oleh laki-laki lain, kemudian oleh laki-laki itu diceraikan, baru si suami pertama boleh menikahinya lagi.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref40" name="_ftn40">[40]</a> Yang selalu menjadi dasar legitimasi dari doktrin ini adalah sebuah hadis :<br />عن عبدالله قال الطلاق للرجال والعدة بالنساء رواه الطبراني ورجال أحد الاسنادين رجال الصحيح.<br />مجمع الزوائد ج: 4 ص: 337<br />Artinya : talak adalah hak laki-laki, iddah merupakan hak perempuan. (HR. Thabari dalam kitab Majmu az-Zawaaid Juz 4 hal 337)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref41" name="_ftn41">[41]</a> Djamil Latif, Aneka Perceraian di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985 cetakan II, hal. 40 yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya adalah kewajiban suami kepada isterinya ketika terjadi perceraian dengan isterinya itu, yaitu suami harus mengeluarkan biaya untuk : nafkah iddah (biaya hidup isteri selama jangka waktu iddah raj’I) , mut’ah (pemberian suami kepada mantan isterinya, biasanya sesuatu yang dapat memberikan rasa bahagia sebagai konpensasi atas perceraian) kiswah (baju atau pakaian) dan makan (tempat berteduh, rumah)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref42" name="_ftn42">[42]</a> Slamet Abidin, Op. Cit, hal 16.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref43" name="_ftn43">[43]</a> Q.S. Al-Hujurat, 13, al-Mu’min : 40, al-Baqarah : 228<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref44" name="_ftn44">[44]</a> Dalam banyak kasus di Pengadilan bahwa hak-hak isteri seperti hak mut’ah, dan nafakah seperti ; makanan, tempat tinggal, dan pakaian jarang dinikmati oleh isteri. Karena suami tidak menunaikan kewajibannya. Demikian hasil wawancara dengan Ketua-ketua Pengadilan Agama di Jakarta, Bantern, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dilakukan penulis untuk keperluan disertasi.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref45" name="_ftn45">[45]</a> dalam pasal 66 UU No. 7/89 ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan utuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref46" name="_ftn46">[46]</a> Pernah ada kasus di Pengadilan Agama Rangkas Bitung, seorang isteri meminta akta talak karena ia mengaku telah diceraikan suaminya. Bukti yang disodorkan kepada pengadilan adalah selembar kertas pembungkus rokok gudang garam yang terdapat tulisan suaminya : saya yang bernama ….. telah menjatuhkan talak kepada isteri saya yang bernama ……. Dengan talak tiga. (hasil wawancara dengan Drs. Abu Bakar, SH Ketua PA Rangkas Bitung, tanggal 24 Februari 2003)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref47" name="_ftn47">[47]</a> hal tersebut didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad : diriwayatkan dari Abdullah bin Umar katanya : Rasulullah telah bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah dan mohon ampunlah banyak-banyak. Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar diantara mereka bertanya : Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum permepuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah bersabda : Kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekuarangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih dari golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi : Wahai Rasulullah! Apa maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah bersabda : Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekuarangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan shalat pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbukan pada bulan Ramadhan karena mereka haid. Maka inilah yang sebut dengan kekurangan agama. Lebih lanjut baca Nazaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Islam, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Jakarta, hal 242.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref48" name="_ftn48">[48]</a> Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, Baerut Darul Fikr, Juz VII hal. 465<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref49" name="_ftn49">[49]</a> dan masih banyak ayat yang menunjukkan persamaan antara laki-laki dengan permpuan, baik dalam kedudukan, hak dan kewajiban diantaranya surat al-Zariyat : 56, al-A’raf 165, al-Baqarah : 30, al-A’raf 172, al-Isra’ : 70, al-Ma’idah : 89, Al-Mumtahanah : 12, al-Baqarah : 35, al-Baqarah : 187, Ali Imran “ 195, An-Nisa 124, An-Nahl : 97, Gafir : 40<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref50" name="_ftn50">[50]</a> Nazaruddin Umar, hal 253<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn51" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref51" name="_ftn51">[51]</a> Angka perceaian dengan cerai talak sangat tinggi angkanya di Pengadilan Agama Indramayu (80%), menurut penuturan Drs. H. Yahya Khaeruddin, SH Ketua Pengadilan Agama Idramayu (wawancara tahun 1999) hal ini disebabkan karena persepsi keliru masyarakat Indramayu tentang perceraian. Masyarakat menilai bahwa hak cerai merupakan hak mutlak suami, sehingga walaupun isteri dirugikan maka si suamilah yang harus menjatuhkan talak. Sering terjadi kasus seorang suami meninggalkan/menterlantarkan isteri dan anaknya dalam waktu yang lama tanpa tanggung jawab. Ketika si isteri atau keluarganya berkehendak untuk bercerai, bukannya datang ke Pengadilan Agama, melainkan ia mencari dulu suami, membujuk suami untuk menceraikan isterinya, tidak jarang mengerahkan pamong desa untuk mencari dan membujuk sang suami, bahkan tidak jarang memakai jasa Polisi atau Tentara dalam upaya itu.<br />Berlainan dengan masyarakat Jakarta, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan misalnya, kenyataan diatas menjadi terbalik 70% lebih inisiatif talak datangnya dari Isteri, artinya prosentase perceraian lebih banyak berbentuk cerai gugat. Menurut Drs. Zainuddin Fajari, SH, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat Jakarta sudah lebih baik.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-77685946293570691052007-02-01T20:03:00.000-08:002007-02-01T20:05:04.097-08:00PENERIMAAN ULAMA TERHADAP HADIS AHADPENDAHULUAN<br />Para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan khabar ahad dalam sebuah perkara dimana hadis itu mengandung cacat tetapi hadis tersebut sudah masyhur dikalangan ulama, apakah sah mengambil hadis tersebut sebagai hujjah atau tidak?<br />Jumhur ulama ushul diantaranya golongan Syafi’I, ashab Malik dan Hambali., menerima hadis tersebut untuk dijadikan hujjah jika sanadnya sahih.<br />Abu Hasan al Karakhi dari ulama mutaqadimin dari mazhab Hanafi, dan seluruh ulama mutaakhir Hanafiyah menolak penggunaan hadis ahad tersebut dan tidak mengamalkan isinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Adapun alasan kelompok yang mempergunakannya adalah :<br /> 1. Nash dari khabar ahad merupakan hal yang mutlak untuk diterima tanpa harus membedakan apakah didalamnya antara yang mengandung cela (umumul balwa) atau tidak.<br /> 2. Ijma sahabat yang memakai hadis ahad dalam hal “umumul balwa” diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwasanya ia berkata : kami melakukan “mukhabarah” selama 40 tahun dan selama itu tidak ada masalah sehingga datanglah riwayat Rafi bin Khadij bahwa Nabi SAW melarang hal tersebut dan kami menghentikannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Dalam hal ini pula, para sahabat kembali bersepakat setelah berbeda pendapat dalam hal wajibnya mandi karena bertemunya dua alat kelamin (bersetubuh) tanpa mengeluarkan mani. Mereka kembali kepada riwayat Aisyah yang berbunyi Jika dua khitan bertemu maka wajib mandi baik itu mengeluarkan mani atau tidak, aku dan Rasullullah berbuat demikian dan setelah itu kami mandi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br /> 3. Berdasarkan logika : yakni perawi hadis tersebut adalah masuk dalam katagori adil dan tsiqah, rawi mantap hati dalam meriwayatkan hadis yang benar adanya, oleh karena itu kita harus membenarkannya juga seperti hadis-hadis yang tidak berhubungan dengan masalah “umumul balwa”. Ini merupakan qiyas yang dapat diterima walaupun keberadaan hadis yang seperti itu lebih lemah dibandingkan dengan hadis ahad. Dan oleh karena itu hadis tentang hal ini lebih utama untuk diterima.<br /><br />Adapun alasan bagi orang yang tidak menerima hadis ahad - yakni ulama Hanafiyah - adalah bahwa secara adat-istiadat (kebiasaan) masyarakat luas menuntut banyaknya hadis yang berisi “Umumul balwa” seperti hadis yang menerangkan tentang ”memegang kemaluan”. Kalau memang bahwa memegang kemaluan itu dapat membatalkan wudhu, mengapa Nabi SAW hanya mengabarkan hadis tersebut kepada seorang saja bukannya kepada banyak orang yang dapat mencapai derajat mutawattir atau masyhur Dimana orang-orang tersebut akan berusaha keras menyebarkan hadis tersebut karena pentingnya permasalahan itu?<br />Ketika hadis tersebut tidak diberitakan kecuali oleh satu orang pada faktor-faktor pendorong untuk itu (dikhabarkan oleh orang banyak) terpenuhi, ini menunjukkan atas kebohongan atau lupa atau dihapusnya apa yang diriwayatkannya, seperti berita tentang terbunuhnya seorang walikota ditengah-tengah pasar di siang hari bolong dan disaksikan orang banyak, akan tetapi yang mengabarkan berita itu hanya seorang saja, atau seperti adanya suatu peristiwa yang menyebabkan orang-orang tidak dapat melaksanakan sembahyang Jum’at dan hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Sekali lagi hal seperti itu merupakan hal yang mustahil, dan tidak rasional.<br /><br />DAMPAK DARI PERBEDAAN KAIDAH INI<br />Dari permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa permasalahan, diantaranya adalah :<br /><br />1. BATALNYA WUDHU KARENA MENYENTUH KEMALUAN<br />Jumhur ulama diantaranya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal dalam dua riwayatnya dan Imam Malik dalam qaul masyhurnya, berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dengan tangan dapat membatalkan wudhu. Namun Imam Syafi’I memberikan pengecualian jika menyentuh kemaluan itu dengan telapak tangan bagian dalamnya. Sedangkan Imam Malik mengecualikannya jika dengan sentuhan yang memberikan kenikmatan atau sengaja disentuhkan. Adapun argumentasi mereka adalah hadis Basrah binti Sufyan bahwa Nabi bersabda :<br />Barang siapa yang memegang kemaluannya maka janganlah shalat sehingga dia berwudhu<br />Dalam riwayat lain dari Basrah bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :<br />dan wudhu sebab memegang kemaluan. <br />Hanafiyah berpendapat bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu, mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Qais bin Talk dari ayahnya Talk bin Ali yaitu bahwa dia bertanya kepada Nabi SAW tentang seseorang yang memegang kemaluannya, apakah dia wajib wudhu, Nabi menjawab :<br />Tidak, itu hanyalah daging lebihan dari badanmu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br /> Mereka menolak hadis yang diriwayatkan basah binti Sufwan dengan berpendapat bahwa hadis tersebut merupakan hadis ahad dengan masalah umum al-Balwa. Imam al-Syarakhsi dalam kitabnya al-Mabsuth berkata : Hadis yang diriwayatkan oleh Basrah bin Sufyan jauh dari kesahihan. Yahya bin Muin, berkata : ada tiga hal yang tidak sah darinya hadis dari Rasulullah SAW diantaranya adalah hadis ini, bagaimana Rasulullah SAW tidak mengatakan hadis ini di hadapan para sahabat-sahabat besar sehingga tidak seorangpun meriwayatkan hadis ini, tetapi Nabi mengatakannya di hadapan Basrah, Rasulullah SAW orang yang sangat pemalu terhadap perempuan yang ada di rumahnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /><br />MEMBACA BASMALAH SECARAZAHR DALAM FATIHAH<br />Imam Syafi’I berpendapat bahwa orang yang shalat dimana shalat itu merupakan shalat yang bacaannya didhahirkan wajib membaca basmalah dengan didhahirkan pula sebagaimana membaca surat al-Fatihah dan surat yang lainnya. Syafi’I mendasarkan pendapatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, dia berkata :<br /><br />Muawiyyah shalat di Madinah lalu ia mendhahirkan bacaannya dan membaca basmalah dalam bacaan fatihah, dan tidak membaca basmalah dalam membaca surat setelah fatihah, sehingga bacaannya selesai, dia tidak bertakbir ketika turun sehingga dia menyelesaikan salatnya, ketika Muawiyyah selesai salat, sekelompok orang dari Muawiyyah memanggilnya dan berkata : wahai Muawiyyah, apakah kamu mengurangi salat kamu atau kamu lupa? Setelah hal tersebut, Muawiyyah ketika shalat membaca basmalah ketika membaca surat yang setelah fatihah, takbir ketika turun.<br />Permulaan hadis yang diriwayatkan Qatadah dari Anas, dia berkata :<br /><br />Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar mereka mengawali bacaan dengan “al hamdulillahi rabbil Alamin”<br />Yang dimaksud adalah memulai bacaan dengan membaca fatihah sebelum membaca yang sesudahnya, bukan berarti mereka meninggalkan membaca basmalah. <br />Hanafiyyah dan Ahmad berpendapat bahwa bacaan basmalah itu dibaca secara pelan (sirri), mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadis diantaranya hadis yang diriwayatkan dari Annas dia berkata :<br /><br />Saya shalat bersama Nabi SAW, Abu Bakar Umar dan Utsman dan saya tidak mendengarkan salah seorang dari mereka mebaca basmalah. <br />Dalam riwayat lain diakatakan :<br /><br />Saya shalat dibelakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman maka mereka tidak mengeraskan membaca Basmalah.<br />Mereka menolak hadis yang dijadikan hujjah oleh Syafi’I dengan mengatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis ahad yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi banyak orang, oleh karena itu tidak bisa diterima.<br /><br />MENGANKAT KEDUA BELAH TANGAN KETIKA BANGKIT DARI RUKU’<br />Imam Syafi’I, ahmad, Maliki dalam Qaul masyhurnya serta jumhur ulama berkata bahwa orang yang shalat mengangkat kedua tangannya ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku sebagaimana dilakukan ketika takbiratul ikhram. Dasar pendapat mereka adalah hadais Ibn Umar, dia berkata :<br /><br />Nabi SAW ketika shalat beliau mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahunya kemudian takbir, dan ketika hendak ruku beliau ngangkat kedua tangannya seperti pertama, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku, juga mengangkat keuda tangannya juga sambi berkata “sami’allahu liman hamidah” (hadis riwayat al-Bukhari).<br />Dalam riwayat Bukhari yang lain dijelaskan bahwa :<br /><br />Rasulullah tidak melakukan hal tersebut ketika sujud an ketiak bangun dari sujud. <br />Abu Hanifah serta pengikutnya dan segolongan ulama Kufah berpendapat tidak mengangkat kedua tangan kecuali ketika takbiratul ikharam. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Ibn Mas’ud, dia berkata :<br /><br />Saya akan shalat untuk kamu sekalian seperti shalatnya Rasulullah SAW lalu dia shalat dan tidak mengangkat keuda tangannya kecuali satu kali.<br />Dan hadis Ibn Mass’ud yang lain dia berkata :<br /><br />Saya shalat bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar RA mereka tidak mengangkat kedua tangan mereka kecuali ketika perpulaan shalat saja (Takbiratul Ihram). <br />Mereka tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar walaupun hadis tersebut ada pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim karena hadis tersebut termasuk hadis yang berhubungan dengan banyak orang seharusnya hadis tersebut mencapai tingkat masyhur akan tetapi pada kenyatannya tidak demikian, masalah ini terus berlanjut dalam pembahasan menolak hadis karena adanya perawi hadis yang tidak mangamalkan hadis tersebut.<br /><br />TETAPNYA MELIHAT HILAL RAMADHAN<br />Tetapnya melihat tanggal (hilal) Ramadhan. Diantara yang berhubungan dengan masalah ini adalah penolakan hadis yang berhubungan dengan umumul balwa adalah tetapnya tanggal (hilal) Ramadahan. Imam Syafi’I dan Ahmad menurut qaul masyhurnya berpendapat bahwa tanggal (hilal) dapat ditetapkan dengan adanya seorang yang adil melihatnya, baik itu pada hari terang ataupun pada hari yang mendung.<br />Imam Syafi’I berkata :<br /><br />Apabila orang banyak tidak melihat hilal Ramadhan dan seorang yang adil melihatnya, pendapat saya menerimanya adalah karena atsar dan karena hati-hati. Syafi’I berkata Al-Darawardi menceriterakan kepada saya dari Muhammad bin Abdillah bin Amr bin Utsman dari ibunya Fatimah binti al-Husain, bahwa seorang laki-laki dihadapan Ali RA bersaksi melihat hilal Ramadhan maka Ali puasa, saya menduga dia berkata : dan Ali memerintahkan manusia untuk puasa, dan berkata puasa sehari pada bulan Sya’ban sebih sengan bagi saya daripada buka satu hari pada bulan Ramadhan. <br /><br />Hanafiyah memisahkan antara hari terang dengan hari mendung ketika melihat hilal itu. Mereka menerima persaksian seorang pada hari mendung, dan tidak menerimanya pada hari terang kecuali persaksian orang banyak, berdasarkan prinsip mereka yaitu menolak hadis ahad yang berhubungan dengan banyak orang. Pengarang kitab al-Hidayat berkata : <br /><br />Apabila di langit ada sesuatu illat maka pemimpin bisa menerima persaksian seorang ang adil dalam melihat hilal baik laki-laki ataupun perempuan, merdeka atau budak karena masalah tersebut merupakan masalah agama maka menyerupai periwayatan khabar-khabar karena itu tidak husus dengan lafadz syahadat dan disyaratkan keadilan karena perkataan orang fasik dalam masalah agama tidak diterima,<br /><br />kemuadian dia berkata :<br /><br />Kalau di langit tidak ada illat maka tidak diterima persaksian kecuali dari sekelompok orang, keyakinan dapat terjadi dari kahabar mereka, karena satu orang bersaksi dalam kaeadaan seperti ini dimungkinkan untuk salah, oleh karena itu wajib menunda persaksian seorang sehingga terdapat persaksian sekelompok orang berbeda ketika di langit ada illat, karena mendung itu terkadang bisa menutupi pandangan dari melihat hilal tapi terkadang sebagian hilal itu bisa terlihat.<br /><br />Adapun ulama Malikiyyah berpendapat bahwa melihat hilal tidak diterima hanya dari satu baik dalam keadaan terang maupun mendung tetapi harus dari dua orang laki-laki yang adil. <br />Golongan Hanafiyah ada pendapat yang diambil dari hadis ahad mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah orang banyak seperti batalnya wudhu disebabkan karena keluar darah dari hidung (mimisan) keluar darah, mundah dan sendawa yang ada pada hadis yang diriwayatkan Ismail bin Iyas dari Ibnu Juraij dari Abi Mulaikah dari Aisyah RA dia berkata :<br /><br />Rasulullah SAW bersabda : barangsiapa muntah, keluar darah dari hidung, sendawa atau mazi hendaklah wudhu, kemudian lakukan shalat dalam keadaan tidak boleh bicara”.<br />Hadis riwayat ibnu Majah dan al-Daruquthni. Dia berkata para huffadz dari kalangan Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Ibnu Juraij dari ayahnya dari Nabi SAW secara mursal.<br />Dan seperti batalnya sudhu disebabkan karena batuk didalam shalat berdasarkan apa yang datang dari Ma’bad al-Khuzai dia berkata :<br /><br />Ketika kami sedang shalat tiba-tiba datang seorang buta hendak shalat lalu dia masuk dalam perangkap binatang, maka orang-orang tertawa sehingga terbatuk-batuk, ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, ia bersabda : barang siapa yang terbatuk-batuk hendaklah mengulang wudhu dan shalatnya. <br />Inilah masalah-masalah yang dihadapi banyak orang dan ada dalam hadis ahad, walaupun demkian Hanafiyah memakainya sebagai hujjah. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />MENOLAK HADIS KARENA RAWI MENGINGKARI ATAU MENGAMALKAN SESUATU HAL YANG BERTENTANGAN DENGAN HADIS YANG DIRIWAYATKANNYA<br /><br /><br />INKARNYA RAWI<br />Apabila shahabat atau selainnya meriwayatkan suatu hadis kemudian rawi lain meriwayatkan hadis tersebut dari rawi tersebut lalu rawi pertama menginkari priwayatan hadis; jika inkarnya rawi pertama terhadap hadis tersebut dengan ingkar jahid, dengan mengatakan kamu berbohong dengan apa yang kamu riwayatkan dari saya, saya tidak meriwayatkan hal ini kepada kamu, atau yang lainnya, ulama sepakat hadis tersebut tidak bisa di amalkan, karena baik rawi pertama ataupun rawi kedua saling membohongi oleh karena itu salah satu dari keduanya pasti ada yang bohong walaupun tidak pasti yang mana, dan hal itu menyebabkan akan kecacatan sebuah hadis walaupun cacat terssebut tidak membuat perawi menjadi tidak adil , karena keyakinan kita pada keadilan dari salah satu dari keduanya serta adanya keraguan atas hilangnya sifat keadilan tersebut sedangkan suatu yang sudah yakin tidak hilang dengan suatu keraguan seperti dua saksi yang keduanya memenuhi syarat akan tetapi bertentangan maka keduanya tidak dapat diterima tetapi tidak menggugurkan sifat adil yang ada pada keduanya, maka dari itu hadis yang diriwayatkan keduanya dapat diterima selain tentang hadis lain. Apabila inkarnya rawi pertama atau inkar mutawakkif dengan mengatakan saya tidak menyebutkan bahwa saya meriwayatkan hadis ini, atau saya tidak tahu dsb.<br />Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat Imam syafii dan malik hal ini tidak membuat hadis itu cacat oleh karena itu dapat diterima hadis dari rawi kedua walaupun rawi pertama mengingkari selama rawi kedua tsiqat. Abu Hasan al-Karakhi dan ulama Hanafiyah dan satu riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa hadis tersebut tidak dapat diamalkan, pendapat inilah yang dipilih oleh al-Qodhi al- Imam , asy-Syaikhoni, dan sebagian ahli kalam.<br /><br />HUJJAH ULAMA YANG MENGAMALKAN<br /> 1. HadisDzil yadain, yaitu Nabi tidak menerima hadisnya ketika dia mengatakan Apakah engkau (Nabi) mengkasyar shalat atau lupa? Nabi berkata : semuanya tidak terjadi kemudian Dzil yadain berkata : sebagian dari itu terjadi, Nabi SAW berkata kepada Abu Bakar dan Umar, apakah benar apa yang dikatakan Dzil Yadain, keduanya menjawab Ya. Maka persaksian keduanya diterima atas apa yang diucapkan dzil yadain.<br /> 2. Lupa dari rawi kedua mungkin terjadi, demikian pula dengan rawi pertama, sedangkan keduanya sama-sama adil dan tsiqat. Oleh krena itu keduanya membenarkan apa yang dikatakan oleh dirinya masing-masing. Dan lupanya rowi yang lain tidak membatalkan apa yang dia rajihkan. Sebagaimana tidak batal sebab matinya salah satu rawi atau gilanya salah satu rawi.<br /> 3. Apa yang telah menjadi masyrhur di kalangan ahli hadis yaitu menerima hadis semacam itu dan tidak mengingkarinya.<br /><br />HUJJAH ULAMA YANG TIDAK MEMAKAI<br /> 1. Inkarnya Umar terhadap apa yang diriwayatkan oleh Ammar bin Yasir ketika Ammar berkata kepada Umar apakah anda ingat ketika saya dan anda ada dalam peperangan dan kita berjunub dan tidak menemukan air, lalu anda tidak shalat sedangkan saya berguling-guling di debu dan shalat, lalu Nabi SAW berkata cukuplah anda menepuk debu dengan kedua tanganmu kemudian kamu tiup lalu kamu usapkan ke wajah dan kedua telapak tanganmu, Umar berkata : Takutlah kamu kepada Allah ya Ammar, Amar berkata : jika anda menghendaki saya tidak akan menceriterakan hal tersebut, dalam hal ini Umar tidak menerima apa yang diriwayatkan Ammar walaupun Ammar tetap dalam keadaan adil dan berkata : orang yang junub tidak tayammum tetapi menunggu sampai mendapatkan air, sedangkan hukum mengatakan bahwa hadis dari wari kedua tidak diterima dalam keadaan rawi pertama tidak mengingkari.<br /> 2. Di Qiyaskan dengan persaksian. Mereka berkata kalau riwayat rawi kedua diterima padahal rawi pertama mengingkari maka hal tersebut bisa terjadi dalam masalah persaksian, sedangkan yang terjadi tidak demikian, lazimnya karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa saksi sekunder (pendukung) tidak diterima kalau saksi primer (utama) lupa. Dalil ini ditolak dengan membedakan antara riwayat dan saksi bahwa masalah persaksian lebih kecil cakupannya daripada masalah riwayat, oleh karena itu dalam persaksian disyaratkan adanya kemerdekaan, laki-laki, dan jumlah, serta tidak bolehnya “katanya” dan tidak bolehnya hijab dan harus memakai lazadz “saya menyaksikan” bukan “saya tahu”.<br /> 3. Qiyas terhadap persaksian berdasarkan putusan hakim. Mereka berkata kalau rawi yang kedua diterima padahal rawi yang pertama lupa, maka hakim boleh mengamalkan dengan keyakinan hakim sendiri, apabila dua orang saksi bersaksi dengan hukumnya pada suatu masalah dan dia lupa atas hukum tersebut, sedang pada kenyataannya tidak demikian karena hakim tidak bisa memutuskan dengan persaksian kesaksian mereka. Dalil ini ditolak dengan tidak bolehnya menafikan sesuatu yang lazim, karena wajib bagi hakim untuk memutuskan menurut Malik, Ahmad dan Abu Yusuf. Yang tidak mewajibkan hal tersebut adalah murid-murid Syafi’I sekiranya mereka tidak mewajibkan hakim untuk memutus suatu perkara. Kalangan Syafi’iyyah menjawab hal tersebut dengan mengatakan bahwa kemungkinan lupa dalam masalah periwayatan lebih banyak, sedang dalam masalah qada’ sangat jauh (sedikit kemungkinannya) karena lupanya taraffu dan panjangnya silsilah riwayat dan kembalinya hukum lebih jauh dari lupanya riwayat, oleh karena itu tidak bisa diqiyaskan.<br /><br />2. RAWI MENGAMALKAN SESUATU YANG BERTENTANGAN DENGAN APA YANG DIRIWAYATKAN<br />Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah rawi mengamalkan suatu yang bertentangan dengan apa yang diriwayatkan. Letak perbedaan tersebut ketika rawi mengamalkan sesuatu hal yang bertentangan dengan hadis setelah dia meriwayatkan hadis tersebut. Adapun ketika dia mengamalkan sesuatu yang bertentangan sebelum meriwayatkan hadis tersebut, maka tidak ada perbedaan ulama, karena mungkin rawi menarik pekerjaannya setelah dia mengetahui hadis.<br /><br />HUJJAH ORANG YANG MENGAMALKAN<br />Menurut Imam Syafi’I : yang dijadikan hujjah apa yang dinukil dari sahabat, bukan apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan. Karena bisa saja perkataan atau perbuatan sahabat itu berdasarkan ijtihad mereka sedangkan kita tidak menetapkan ijtihad mereka. Dalam masalah ini Imam Syafi’I berkata : bagai mana kita bisa meninggalkan hadis sebab perbuatan seseorang yang kalau kita hidup semasanya, maka saya akan mendebatnya.<br /><br />HUJJAH ORANG YANG TIDAK MENGAMALKANNYA<br />Orang yang tidak mengamalkan hadis tersebut berpendapat bahwa bila perbedaan itu nyata, bahwa hadis tersebut itu menyalahi pandangan dengan adanya hadis itu mansukh atau tidak ditetapkan - yakni yang jelas dari keadaannya- maka hadis itu tidak bisa dijadikan hujjah karena dinasakh atau dianggap tidak ada.<br />Apabila perbedaannya itu batal, dengan gambaran hadis itu berbeda karena sedikitnya kepedulian dan meremehkan hadis, atau karena lupa, atau lalai, maka periwayatan hadis tersebut gugur karena jelas hal tersebut tidak adil dan dia dikatagorikan fasiq. Atau jelas orang itu melalaikan hadis, dan keduanya menyebabkan tidak diterimanya periwayatan hadis.<br /><br />DAMPAK DARI PERBEDAAN INI<br />MENGANGKAT TANGAN KETIKA BANGKIT DARI RUKU<br />Jumhur ulama sepakat atas disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, dan lebih dari satu orang yang mengaku bahwa hal itu merupakan ijma. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal, apakah disunnahkan mengangkat kedua tangan atau tidak, diantaranya ketika hendak dan bangun dari ruku’.<br />Syafi’iyyah, Hanabilan dan salah satu riwayat dari Malik berpendapat dalam dua masalah diatas; disunnahkan mengangkat kedua tangan. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadis Ibn Umar beliau berkata :<br /><br />Nabi SAW ketika salat mengangkat kedua tangannya sebatas bahu kemudian takbir, demikian pula Nabi SAW mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku. Dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ demikian pula mengangkat kedua tangan dan beliau mengucapkan : sami’allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu…..<br />Kalangan Hanafiyah berpendapat tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan dalam dua masalah tersebut, mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Ibn Mas’ud, beliau berkata :<br /><br />Saya akan perlihatkan kepada kalian salatnya Rasulullah SAW lalu dia shalat, dan tidak mengangkat kedua tangannya kecuali sekali.<br /><br />Mereka mengatakan : Ibn Mas’ud adalah seorang yang sangat alim dan selalu bersama Rasulullah SAW mengetahui keadaan didalam dan diluarnya permasalahan. Oleh karena itu apa yang diriwayatkannya lebih utama daripada riwayat lain yang keadaannya tidak seperti Ibnu Mas’ud. Mereka juga mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadis yang dha’if, dan tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan Ibn Umar. Ibnu Umar mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diriwayatkannya. Mereka berkata : Mujahid berkata : Saya shalat di belakang Ibnu Umar dan dia tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika takbiratul ihram. Oleh karena itu mereka menolak hadis Ibnu Umar.<br />Ibnu Qudamah membantah dalil golongan Hanafiyah setelah menjelaskan dalil-dalil jumhur dan dia berkata : Apapun kedua hadis mereka itu dhaif, sedang hadis Ibn Mas’ud maka Ibn al-Mubarak berkata : Yazid bin Abi Ziyad menceriterakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila, tidak berkata dan tidak mengulang, dan ketika saya datang ke Kufah saya mendengarnya membicarakannya dan berkata: Dia tidak mengulangi saya menyangka mereka mengajarinya, al-Humaidi dan lainnya berkata : Yazin bin Abi Ziyad itu buruk hafalannya di akhir umurnya dan salah.<br />Kemudian jika kedua hadis itu sahih, maka tarjih bagi hadis-hadis kami lebih utama karena 5 alasan :<br /> 1. Karena hdis-hadis kita rawinya lebih adil, maka lebih mendekati kebenaran.<br /> 2. Hadis-hadis tersebut lebih banyak rawinya, maka kemungkinan benarnya lebih kuat dan jauh dari kemungkinan salah.<br /> 3. Mereka itu menetapkan, sedang orang yang menetapkan tiu mengabarkan sesuatu yang dilihat dan meriwayatkan oleh karena itu wajib mendahulukan perkataaannya karena dia mengamalkannya, sedangkan orang yang menafikan tidak melihat apa-apa dan karena itu perkataannya tidak diambil (tidak dipakai) dan karena itu pula kami mendahulukan orang yang cacatnya perawi daripada orang yang mengatakan adil.<br /> 4. Mereka memisahkan dalam meriwayatkannya<br /> 5. Hadis-hadis yang kita pakai senada dengan yang dilakukan oleh para salaf dari golongan shahabat dan tabiin, hal ini menunjukkan atas kuatnya hadis tersebut.<br />Perkataan mereka (golongan Hanafiyah) tentang ibnu Mas’ud itu pemimpin yang paling alim, kami berkata : kami mengakui atas keutamaannya, tetapi mendahulukannya atas amirul mu’minin (Umar dan Ali) seta yang lainnya tidak mungkin, dia tidak bisa menyamai satu dari mereka, bagaimana mengunggulkannya dari mereka semua? Dan Ibn Mas’ud meninggalkan apa yang dikatakannya dalam salah dalam beberapa hal, diantaranya : sesungguhnya Ibnu Abbas di dalam ruku’ (meletakkan kedua tangannya diantara dua lututnya) dia tidak melakukannya, memakai riwayat orang lain dalam meletakkan kedua tangannya dalam ruku’, meninggalkan bacaannya dan memakai bacaan Zaid binTsabit, dia berpendapat tidak tayamum karena junub, meninggalkan hal tersebut dan memakai riwayat-riwayat orang yang lebih sedikit dari wawi-rawi kami, dan lebih rendah, terlebih dalam masalah ini.<br />Dan kami mengakhiri ini dalam munaqashah Syafi’I terhadap lawannya dalam masalah ini, karena perbedaan pendapatnya berhubungan dengan dasar dari kaidah ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan. Didalam kitab al-Umm : saya berkata kepada Syafi’I tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat, dia berkata : orang yang shahat mengangkat kedua tangan ketika permulaan shalat sebatas bahu, ketika hendak ruku’ dan ketika bangun dari ruku’, tidak melakukan hal tersebut ketika sujud. Saya berkata kepada Syafi’I : apakah hujjahnya? Beliaw berkata : Ibn Uyyainah mengabarkan kepada kita tentang hal ini dari al-Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi SAW seperti apa yang saya ucapkan : saya berkata : kami berkata : Nabi SAW mengangkat tangan pada permulaan kemudian tidak mengulangi lagi.<br />Syafi’I berkata : Malik mengabarkan kepada kita dari Nafi bahwa Ibn Umar ketika memulai salat dia mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, demikian pula ketika bangun dari ruku’, dia meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa sesungguhnya Nabi SAW ketika memulai shalat mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, ketika bangun dari ruku’, juga mengangkatnya, kemudian kamu sekalian meninggalkan Rasulullah SAW dan Ibn Umar, lalu mengatakan Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika memulai shalat padahal telah diriwayatkan kepada kamu bahwa Nabi SAW dan Ibn Umar mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan bangun dari ruku’. Syafi’I berkata : apakah boleh bagi orang yang mengetahui (alim) meninggalkan Nabi SAW dan Ibn Umar lalu melakukan menurut pendapatnya, atau meninggalkan Nabi SAW karena memakai pendapat Ibn Umar, kemudian qiyas atas perkataan Ibn Umar lalu mendatangi tempat lain?<br />NIKAH TANPA WALI<br /><br />Para ulama berbeda pendapat dalam pernikahan seorang perawan yang sudah baligh dan menikahkan dirinya atau orang lain tanpa wali. Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya wali, diantara hujjah yang dikemukakan adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda:<br /><br />Perempuan yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, bela mereka telah berhubungan wajib bagi laki-laki membayar mahar, bila wali menolak maka penguasa (hakim) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.<br />Kebanyakan ulama dari golongan Hanafi mengatakan bahwa pernikahan tanpa adanya wali itu sah. mereka mendasarkan pendapat mereka pada sabda Nabi SAW :<br />janda lebih berhak atas dirinya dari walinya.<br />Mereka menolak hadis jumhur dengan mengatakan bahwa rawi hadis tersebut (Aisyah) telah melakukan hal yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkannya. Dia telah menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya (Hafsah binti Abdurrahman) dengan Mundzir bin al-Zubair dengan tanpa izin walinya ketika Abdurrahman tidak ada.<br />Dalam kitab al-Muwathha’ dari Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa sesungguhnya Aisyah menikahkan Khafsah binti Abdurrahman dengan al-Mundzir bin al-Zubair sedangkan Abdurrahman berada di Syam, dan ketika dia datang, dia berkata : seperti saya berfatwa dalam anak perempuannya, Aisyah berkata kepada al-Mundzir bin al-Zubari, dia berkata : hal itu berada di tangan Abdurrahman, Abdurrahman berkata : saya tidak berkehendak mengembalikan apa yang telah diputuskannya. Maka perkawinan Hafsah tetap berada di tangan Hafsah dan hal itu bukan merupakan talak. Dan hadis tersebut ditolak dari sisi kedua yaitu inkarnya rawi.<br />Ibnu Juraij berkata : kemudian saya bertemu dengan al-Zuhri. Dan ia adalah seorang perawi dari Aisyah, lalu saya bertanya kepadanya tentang hadis dan dia mengingkarinya.<br /><br /><br />PUTUSAN DENGAN SATU SAKSI DAN SUMPAH DALAM MASALAH HARTA.<br />Masalah putusan hakim dengan saksi dan yamin pembahasannya sudah dalam kaidah pembahasan nash dengan khabar ahad. Yang dimaksud dalam masalah ini adalah bahwa Hanafiyah tidak mengamalkan hadis yang diriwayatkan Rabiah bin Abdirrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari ayahnya dari Abi Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi SAW memutuskan dengan satu saksi dan yamin, karena Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi berkata : saya bertemu Suhail, saya menanyakan tentang riwayat Rabiah darinya tentang hadis ini, dia tidak mengetahuinya, dan setelah itu berkata : Rabiah menceritakan pada kami dai saya.<br />Dalam Muntaqa al-Akhbar : Abu Daud menambahkan, Abdul Aziz al-Darawardi berkata : saya menyebutkan hal tersebut kepada Suhail, dia berkata : Rawibah mengabarkan kepada saya - dia menurutku orang yang Tsiqah - bahwa sesungguhnya saya menceritakan hadis ini kepadanya, saya tidak hafal. Abdul Aziz berkata : dan lupa sebagian hadisnya, dan setelah itu mengabarkannya dari Rabiah dari ayahnya.<br /><br /><br />MEMBASUH BEJANA DARI JILATAN ANJING.<br />Apabila anjing menjilat bejana apakah disyarakkan bilangan dalam membasuh sehingga yakin bersih. Jumhur ulama : Malik, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa harus mencucinya tujuh kali, dan Syafi’Iyah juga Hambaliyah mensyaratkan salah satu dari tujuh basuhan itu harus memakai tanah. Argumentasi mereka adalah hadis Abu Hurairah :<br />Apabila anjing menjilat bejana kalian, maka cucilah tujuh kali.<br /><br />Hanafiyah mengatakan bahwa mencuci bejana yang dijilat anjing itu cukup tiga kali saja, karena Abu Hurairah sendiri mencucinya hanya tiga kali.<br /><br /><br /><br />MENYUSUKAN BAYI YANG SUDAH BESAR APAKAH BISA MENJADI MUHRIM?<br />Yang dimaksud dengan bayi yang sudah besar adalah bayi yang sudah berusia dua tahun atau lebih. Apakah menyusukan bayi yang sudah besar tetap dilarang seperti halnya menyusukan bayi yang masih kecil? <br />Menurut jumhur ulama menyusukannya tidak menyebabkan muhrim. Pendapat mereka berdasarkan hadis dari Aisyah :<br /><br />Ketika Nabi SAW masuk kamarnya didapatkannya seorang anak laki-laki, maka berubah merah lah muka Nabi SAW , maka Aisyah berkata Ya Rasulullah SAW sesungguhnya dia adalah saudara sepersusuanku. Nabi SAW menjawab : lihatlah pada saudara-saudaramu, sesungguhnya susuan itu merupakan minuman biasa saja.<br /><br />Ad-Dzahiriyah berpendapat bahwa susuan itu dapat mengharamkan pernikahan baik diberikan kepada bayi yang masih kecil maupun yang sudah besar. Mereka berhujjah dengan hadis Sahlah binti Suhail dimana ia menyusui Salim Maula Abu Huzaifah dan ia sudah besar, dan pembahasan masalah ini akan diperinci dalam bab al-Tabiqi.<br />Hanafiyah menolak hadis jika perawi mengamalkan kebalikan dari apa yang diriwayatkannya. Mereka berpendapat atas tetapnya keharaman menyusui pada bayi yang sudah besar berdasarkan hadis diatas. Aisyah mengamalkan berbeda dengan apa yang diriwayatkan dari Zainab binti Ummu Salamah, Ummu salamah berkata kepada Aisyah :<br /><br />Sesungguhnya masuk kerumahku seorang anak kecil dimana saya tidak suka ia masuk kerumahku. Aisyah berkata. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW adalah tela\dan yang baik, sesungguhnya istri Abi Huzaifah berkata : wahai Rasulullah SAW sesugguhnya Salim masuk ke rumahku padahal dia itu laki-laki dan abi Huzaifah mempunyai perasaan nagatif, Rasulullah SAW berkata: susuilah dia sehingga dia boleh masuk kerumahmu”.<br /><br />LABANUL FAHL<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />Jika ada seorang bayi perempuan menyusu kepada seorang ibu apakah keharaman menikah akan berdampak sama pada suami ibu yang menyusui anak perempuan itu, anak dari istri lain dari suami itu, atau keharaman itu hanya pada anak dan kerabat si ibu itu saja?<br />Jumhur ulama : Hanafiyah, Malikiah Syafi’iyah dan Ibn Hazm berpendapat bahwa labanul Fahl itu diharamkan. Dasarnya dalah hadis yang diriwayatkan Aisyah yaitu :<br /><br /><br />Bahwa Aflah, saudara Abi al-Qais datang meminta izin (untuk mengawini Aflah) kepada Aisyah. ia itu paman dari susuan Aflah- setelah turun ayat Hijab, Aisyah berkata : saya menolak untuk mengizinkannya, ketka Rasulullah SAW datang saya mengabarkan apa yang saya perbuat, lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengizinkannya.<br /><br />Dalam riwayat Abi Daud : Aisyah berkata :<br /><br />Aflah masuk ke rumahku maka saya membuat tutup (penghalang) dia berkata: Aisyah apakah engkau membuat tutup untuk saya, padahal saya ini pamanmu, saya berkata : dari mana (hubungan pamannya)? Ia berkata : saudara perempuanku telah menyusuimu. Aisyah berkata : yang menyusukan saya adalah perempuan bukan laki-laki, lalu Nabi SAW masuk dan saya menceriterakan kepada beliau kemudian beliau berkata : sesungghunya ia adalah pamanmu.<br />Golongan lain diantaranya Aisyah, Ibn Umar, Ibn Zubair, Rafi bin Khadij berpendapat bahwa keharaman itu tidak sampai kepada labanul fahl. Pendapat ini bersumber dari segolongan tabiin seperti Said bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar dan Atho bin Yasar. Dikatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat jumhur sahabat.<br /><br />Di riwayatkan dari Zainab binti Abi salamah bahwa Zainab berkata :<br /><br />Zubair masuk ke rumahku dalam keaaan saya sedang menyisir rambut, saya memandangnnya sebagai anak saya dan anaknya adalah saudaraku, karena istri Zubair (Asma) menyusuiku dan setelah merdeka, Abdullah bin Zubair mengutus orang kepadaku untuk melamar anak perempuanku untuk saudaranya Hamzah bin Zubai yaitu anak dari Kalbiyah, saya berkata : apakah dia (Ummi Kulsum) boleh menikah dengannya? Dia berkata sesungguhnya dia (Hamzah) itu bukan saudaramu, saudaramu adalah anak-anak Asma bukan anak-anak zubair dari orang lain. Zainab berkata : saya mengutus dan bertanya kepada para sahabat dan Ummahatul Mu’minin mereka menjawab : sesungguhnya susuan itu menimbulkan dampak apa-apa dari jalur laki-laki, maka saya menikahkannya dengan Hamzah, dan mereka hidup bersama sampai meninggal.<br /><br />Yang kami maksudkan dalam hal ini adalah bahwa telah dinukil dari Aisyah RA sebuah hadis yang bertentangan dengan apa yang dilakukan. Diriwayatkan bahwa Aisyah mengizinkan saudara perempuan dan anak perempuan saudara laki-laki yang menusuinya, dan tidak mengizinkan wanita dari saudara perempuan dan anak laki-laki saudara perempauan dari orang yang menyusui. Maka setiap ulama yang berkata menolak hadis apabila rawi melakukan hal yang bertentangan dengan yang diriwayatkan akan berkata tidak ada pengharaman bagi labanul fahl, bagi merke ada beberapa dalil yang lain, maka mereka menghukumi dengan hadis tersebut.<br />Dalam kitabnya al-Hidayah mengatakan : labanul fahl itu menyebabkan keharaman nikah, yaitu seorang wanita menyusui seorang bayi perempuan maka bayi itu haram bagi suami perempuan yang menyusui, bagi ayah dan anak suami tersebut, dan jadi suami yang menyebabkan keluarnya air susu, merupakan ayah bagi ayak yang disusui. Syafi’I dalam salah satu qaulnya berpendapat bahwa labanul fahl tidak menyebabkan keharaman nikah, karena keharaman itu menyerupai sebagian, sedang susu sebagian dri perempuan bukan sebagian dari laki-laki. Kita mempunyai hadis - haram disebabkan susuan apa yang disebabkan nasab - yakni keharaman nasab itu dari dua arah, maka demikian pula dengan susuan. Nabi SAW berkata kepada Aisyah:<br />……karena dia dalah paman kamu dari susuan, sebab adanya air susu maka dia ditempatkan pada tempatnya mahram karena hati-hati<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Al-Amidi (1/198), al-Kasyaf, al-Bukhari (3/16)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Hadis Rafi dalam melarang “Mukhabarah” dalam “Bukhari” sebelum bab Musawat bab menerangkan sebagian sahabat-sahabat Nabi, sebahagian yang lain dalam pertanian, buah-buahan No (1170) dan muslim dalam bab buyu’ No (1547) ini ulama bernbeda pendapat tentang makna “mukhabarah yang di lanrang, lihat Nailul Author : 5 / 272 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Asal hadis Aisyah tentang wajib mandi sebab berhubungan suami istri adalah ada dalam shahih muslim.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ahmad.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Al-Mabsuth (1/66)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Yang dimaksud dengan labanul fahl adalah : suami dari ibu susuan.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-61341459084130522312007-02-01T19:58:00.000-08:002007-02-01T20:00:47.066-08:00ARAH KIBLAT MASJID DAN MUSHOLLA DI KECAMATAN CIPUTAT BELUM TEPATLatar Belakang Masalah<br />Ka'bah merupakan tempat yang paling suci dalam agama Islam. Menurut sejarah, ia dibangun oleh Nabi ibrahim dan puteranya Ismail AS. Bangsa Arab pada umumnya menghormati tempat suci ini. Setiap tahun pada bulan-bulan haji Bangsa Arab dari segala penjuru datang berkunjung ke Makkah sebagai suatu kewajiban agama. Bahkan, ketika dilahirkan, Nabi Muhammad dibawa oleh kakeknya Abdul Muthalib ke kaki Ka'bah, dan di tempat suci inilah bayi itu diberi nama Muhammad.<br />Sebelum Islam datang, Ka'bah berada dalam kekuasaan suku Quraish. Mereka betul-betul bangga dengan Ka'bahnya dan menghambakan diri untuk mengurusnya dan mengurus para tamu yang datang untuk menemuinya. Melayani Ka'bah dan para tamunya adalah tugas suci dan menjadi kebanggaan. Dan tak jarang adanya peperangan atau perselisihan antara suku Quraisy untuk memperebutkan tugas ini.<br />Suku Quraisy menyimpan berhala-berhala di sekitar Ka'bah dan menjadikan Ka'bah sebagai pusat kegiatan ritual mereka. Mereka mengatakan bahwa berhala-berhala itu merupakan teman-teman Tuhan.<br />Kewajiban shalat pada awalnya tidak sekaligus didringi dengan kewajiban menghadap kiblat. Oleh karena itu Nabi melakukan kewajiban shalatnya dengan ijtihadnya menghadap ke Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Mengingat Baitul Maqdis pada waktu itu dianggap paling istimewa, sedangkan Ka'bah masih dikelilingi oleh berhala-berhala. Meskipun demikian, bila beliau berada di Makkah, pada saat yang sama juga selalu menghadap ke Ka'bah.<br />Kerinduan Nabi untuk menghadap Ka'bah yang masih dikuasai orang kafir Makkah mencapai puncaknya pada sekitar 16 atau 17 bulan pasca hijrah ke Madinah, ketika turun firmah Allah yang memerintahkan untuk berpaling ke Ka'bah. (2 : 144)<br />Pemindahan arah kiblatdari baitul Maqdis ke Ka'bah menimbulkan kehebohan baik dikalangan Umat Islam, terlebih orang kafir Quraisy dan Yahudi. Mereka menganggap bahwa Nabi kembali ke ajaran nenek moyangnya mengingat di Kabah pada saat itu masih dipenuhi oleh berhala-berhala. Ada yang menuduh Nabi tidak tetap pendiriannya. Sedangkan umat Yahudi menganggap bahwa ajaran Nabi hanya jiplakan dari ajaran agama mereka karena Nabi berkiblat ke Baitul Maqdis. Padahal, sebenarnya disisi Allah antara Baitul Maqdis dan Ka'bah adalah sama. Perubahan yang ada hanyalah untuk menguji ketaatan manusia kepada Allah dan Rasul-Nya.<br />Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat secara aini (tepat arah) merupakan hal yang wajib bagi orang yang berada di Masjidil Haram, atau orang-orang yang bisa melihat langsung Ka'bah. Adapun bagi orang-orang yang jauh dari Ka'bah sehingga Ka'bah tidak dapat dilihat oleh mata seperti di Indonesia, maka ia wajib menghadap kiblat secara tepat. Untuk mencapai ke arah yang tepat diperlukan ijtihad.<br />Melakukan ijtihad bukanlah masalah yang mudah, ada syarat-syarat yang harus dicukupi oleh pelaku ijtihad ini, diantaranya menguasai ilmu falak. Sementara ahli ilmu falak sampai hari ini masih sangat jarang, dan tidak ada satu lembagapun yang membuka diri untuk menjadi konsultan menentukan arah kiblat yang benar baik yang dibentuk oleh pemerintah (dalam hal ini Depertemen Agama), maupun LSM.<br />Selama ini dalam membangun tempat ibadah, baik masjid maupun musholla yang dilakukan oleh masyarakat, ketika menentukan arah kiblatnya terkadang masih ceroboh, terlebih bila disekitarnya tidak ada ahli falak. Yang dipakai pedoman oleh masyarakat adalah arah yang sudah dipakai oleh masjid atau musholla yang sudah berdiri terlebih dahulu, sehingga dimungkinkan, apabila masjid atau musholla yang diikuti salah arah kiblatnya, pastilah arah masjid atau musholla yang mengikuti itu juga ikut-ikutan salah. Atau, ada asumsi dimasyarakat bahwa arah kiblat itu identik dengan arah barat. Padahal tidak demikian.<br />Ciputat merupakan satu kecamatan dimana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berada. Idealnya, UIN peduli terhadap persoalan-persoalan, khususnya persoalan keagamaan yang berada di masyarakat sekitarnya. Dan ini sudah digariskan dalam Tridarma Perguruan Tinggi, salah satunya Pengabdian pada Masyarakat.<br />Untuk itu, perlu dilakukan penelitian tentang penentuan arah kiblat bagi masjid dan musholla.<br /><br />Perumusan Masalah<br />Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :<br />sejauh mana tingkat akurasi arah kiblat masjid dan musholla yang berada di Kecamatan Ciputat<br />bagaimana pola masyarakat Ciputat dalam menentukan arah kiblat bagi masjid dan musholla ketika awal pembangunannya.<br /><br />Tujuan Penelitian<br />mengetahui seberapa tingkat akurasi arah kiblat masjid dan musholla yang berada di Kecamatan Ciputat<br />Mengetahui Pola masyarakat dalammenentukan arah kiblat bagi masjid dan musholla ketika awal pembangunannya.<br /><br />Kegunaan Penelitian<br />penelitian ini berguna untuk :<br />mendapatkan informasi tentang akurasi arah kiblat bagi masjid dan musholla di wilayah Kecamatan Ciputat.<br />sebagai penelitian awal bagi penelitian yang lebih besar tentang akurasi arah kiblat bagi tempat ibadah umat Islam<br />memberikan masukan kepada masyarakat dengan mengoreksi arah kiblat dengan arah kiblat yang tepat pada masjid dan musholla yang tidak/kurang tepat arah kiblatnya<br />menjadi dasar pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dalam melakukan pembinaan tempat ibadah, khsusunya mengenai ketepatan arah kiblat.<br />menjadi dasar pertimbangan dan msukkan bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam hal ini Fakultas Syari'ah dan Hukum serta Pusat Pengabdian Masyarakat untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat melalui ilmu yang dikembangkan dikampus, khususnya ilmu falak.<br />Metodologi<br />Penilitian ini mengkombinasikan studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi lapangan melalui survey. Bermaksud untuk mendeskripsikan dan memetakan realitas akurasi arah kiblat pada masjid dan musholla di Kecamatan Ciputat.<br />Survey dilakukan dengan cara langsung turun ke lapangan dan melakukan pengukuran ulang terhadap arah kiblat masjid dan musholla yang menjadi objek penelitian. alat yang digunakan untuk mengukur adalah kompas standard dan theodolite. Untuk mengetahui informasi bagaimana masjid/musholla itu ditentukan arah kiblatnya ketika membangun, alat apa yang digunakan, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan pendiri atau pengurus masjid/musholla. Sampel yang diambil mencakup 13 desa. Dan tiap desa diambil sampel untuk masjid dua (2) buah dan untuk musholla tiga (3) buah. Jadi sampel yang digunakan berjumlah 65 sampel. Sampel ditentukan dengan teknik random sampling, berpedoman pada data base yang ada di Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciputat adapun uji validitas yang dilakukan dari hasil observasi itu dengan ketentuan :<br />PENENTUAN<br />AKURASI<br />VALIDITAS<br />diukur<br />tepat<br />Valid<br />diukur<br />Tidak tepat<br />Tidak valid<br />Tidak diaukur<br />Tepat<br />Tidak valid<br />Tidak diukur<br />Tidak tepat<br /> Tidak valid<br /><br />Makna Kiblat<br />Ada dua term yang perlu dijelaskan berkaitan dengan judul diatas yaitu arah dan kiblat. Al-Qur'an (2-144) menggunakan term syatrah untuk arah. Kata syatrah merupakan masdar dari syatara sinonim dari kata al-jihat wal hakiyah, yang artinya arah. Bila kara syatrah diikuti oleh kata masjid al-Haram, maka maknanya adalah arah (menghadap) masjidil Haram.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Sementara itu, kiblat mempunyai arti hadapan. Ka'bah bermaksa pusat pandangan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> jihat Ka'bah atau ain al-Ka'bah<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> ini berarti bahwa secara etimologi Ka'bah semakna dengan arah yang dalam bahasa Arab disebut Jihat atau syatrah yang dalam bahasa latin disebut Azimuth<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> sehingga secara populer orang menyebutnya dengan arah kiblat.<br />Arah menurut istilah adalah jarak terdekat dari suatu tempat ke Makkah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Dalam Dunia Astronomi difokuskan sebagai besar sudut suatu tempat yang dihitung sepanjang lingkaran kaki langit dari titik utara hingga titik perpotongan lengkaran vertikal yang menuju ke tempat itu dengan lingkaran kaki langit dengan arah sesuai dengan arah jarum jam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />Walaupun bumi bentuknya nyaris bulat atau oval, beimplikasi pada anggapan "kemanapun kita mengahap arah akan bertemu dengan Ka'bah". Tetapi anggapan ini sudah keluar dari peristilahan arah itu sendiri. Secara jelas, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan arah kiblat adalah jarak yang paling dekat dari dua posisi yaitu tempat tertentu dengan Ka'bah (di kota Makkah). Bekaitan dengan arti tern kiblat yakni jihat al-Ka'bah atau ain al-Ka'bah, maka perdebatan di sekitar arah kiblat juga akan berkait dengan kedua arti tersebut apakah yang dimaksud dengan arah kiblat itu jihatnya (arahnya) atau ainnya (wujud bendanya)<br /><br />Hukum Menghadap Kiblat<br />Setiap muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya dan harus menghadap kiblat. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa keharusan menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam surat al-Baqarah, 144, 149 dan 150. kewajiban menghadap kiblat itu dikuatkan lagi oleh hadis Nabi :<br />Dari Abu Hurairah Dia berkata : Nabi SAW berabda : Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadap kiblat dan bertakbirlah (HR. Bukhari dan Muslim)<br />Perbedaan muncul ketika memehami arah kiblat, apakah harus tepat menghadap Ka'bah (ainul Ka'bah) atau cukup ke arah taksirannya saja (jihatul Ka'bah)? Secara tekstual, dalam surat al-Bawarah diatas jelas disebutkan kata syatral masjidil haram yang berarti arah atau jihat. Hal ini mengindikasikan bahwa bagi orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah berkewajiban untuk menghadap Ka'bah (ainul Ka'bah), sedangkan bagi orang yang jauh dari Ka'bah para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini Ibnu Rusyd<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> membagi perbedaan pendapat itu dalam dua permasalahan yaitu :<br />apakah yang diwajibkan menghadap ainul Ka'bah atau jihatul kabah? Dalam hal ini, ada dua pendapat :<br />bagi orang yang jauh dari Ka'bah wajib atasnya menghadap ainul ka;bah, walaupun pada hakekatnya ia hanya menghadap jihatul Ka'bah. Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i<br />bagi orang yang jauh dari Ka'bah cukup menghadap jihat al-kabah saja. Ini merupakan pendapat Imam Hanafi.<br />apakah mujtahid dalam menentukan arah kiblat harus tepat atau pasti menuju arah kiblat yang sebenarnya, atau cukup hanya berdasar pada ijtihadnya saja? Dalam hal ini terdapat dua pendapat :<br />bila diharuskan tepat, apabila terjadi kesalahan maka shalatnya harus diulang (shalat mu'adah)<br />bila cukup berdasarkan ijtihadnya saja, apabila terjadi kesalahan menentukan arah kiblat, maka shalatnya tidak perlu diaulang. Sebab hasil ijtihad tiu bisa benar dan bisa salah, dan semua itu mendapat pahala.<br />Imam Syafi'I lebih cenderung kepada pendapat pertama, yakni harus tepat arah. Sedangkan Imam Hanafi dan Maliki lebih cenderung kepada pendapat kedua. Imam maliki menambahkan bila arah kiblat yang sebenarnya diketahui, sedangkan waktu shalat masih ada, maka yang bersangkutan disunnahkan untuk mengulangi shalatnya.<br /><br />Pengukuran Arah Kiblat di Kecamatan Ciputat<br />Penelitian arah kiblat untuk syatrah di Kecamatan Ciputat ini menggunakan metode penghitungan tahqiqi, mengingat metode ini lebih memberikan akurasi yang tinggi. Dengan kemiringan arah kiblat yang dihasilkan melalui metode ini, lebih memberikan kepastian. Penggunaan rumus spherical trigonometry dalam metode ini dengan sendirinya telah memperhitungkan bahwa sisi-sisi permukaan bumi bukanlah sisi-sisi yang datar seperti pada meta merkator, tetapi sisi-sisinya merupakan sisi-sisi yang melengkung sebagaimana lengkukang pada bola.<br />Data koordinat y ang diambil untuk Ciputat adalah data untuk Tangerang walaupun Ciputat tidak persis dengan Tangerang, namun inilah yang paling mendekati. Idealnya, untuk mencari data koordinat kota adalah dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Tetapi karena keterbatasan sarana, pada penelitian awal ini kami tidak memakainya.<br />Adapun perhitungan arah kiblat untuk Kecamatan Ciputat adalah :<br />proses penghitungan<br />data yang diperlukan<br />Lintang tempat Ciputat (Tangerang ) = - 6° 12' LS<br />Garis bujur Ciputat (Tangerang) = 106° 30' BT<br />Lintang Ka'bah = 21° 25' LU<br />Garis Bujur Ka'bah = 39° 50' BT<br />90° – (-6° 12' ) = 96° 12'<br />90° - 21° 25'= 68° 35'<br />106° 30 – 39° 50' = 66° 40'<br />Rumus<br />Cotg B – Cotg b. sin a – cos a. cotg c<br /> Sin c<br />Cotg B = Cotg 68° 35' x sin 96° 12' – cos 96° 12' x cotg 66° 40'<br /> Sin 66° 40'<br />Cotg B = 0,392231316 x 0,994150964 – (-0,107999355) x 0,431357893<br /> 0,918216106<br />Cotg B = 0,471254531<br />B = 64° 46' 3″.47 (U-B)<br />Atau 90° – 64° 3'47″ = 25° 13' 56″53 (B-U)<br />Jadi, sudut arah kiblat untuk Kecamatan Ciputat adalah 25° 13' 56″, 53 dihitung dari titik barat ke arah utara (kanan)<br /><br />Praktek Menentukan Arah Kiblat di Masyarakat.<br />Hal terpenting dalam persiapan membanun tempat ibadah adalah letak mihrob. Disebelahmana dan kearah mana ruang mihrob itu berada selalu menjadi perhatian karena kelak akan menjadi patokan orang untuk mengenali kiblat shalat. Asumsinya, letak mihrab merupakan arah kiblat yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan secara akurat dan ekstra hati-hati.<br />Dimasyarakat, masih terdapat pembangunan masjid/musholla yang arah kiblatnya diukur secara spekulasi mengikuti bangunan masjid yang ada, atau bahkan menghadap kearah barat. Lebih riskan lagi ternyata arah barat yang dimaksud itupun berdasarkan perkiraan belaka.<br />Dari hasil temuan di lapangan terdapat beberapa model dalam menentukan arah kiblat di masyarakat.<br />1. Metode pengukuran taqribi (menggunakan acuan perkiraan). Model yang digunakan dalam metode ini biasanya mengambil bentuk yang sederhana. Data yang diperlukan cukup dengan mengetahui titik mata angin utama yaitu : Barat, Utara, Timur dan Selatan. Biasanya yang melakukan pengukuran telah memiliki pengetahuan dasar yang sederhana perihal posisi Ka'bah ditinjau dari tempat/lokasi pengukuran. Dengan bekal pengetahuan arah mata angin utama tersebut maka letak Ka'bah dari tempat pengukuran cukup dikenali apakah lurus, miring ke kanan atau ke kiri. Karena sifatnya yang dikira-kira, tentu saja keakuratannya sangat rendah. Biasanya yang alat yang digunakan adalah :<br />a. menggunakankan pisau silet. Pusat magnet pada titik bumi dapat dicari melalui pisau silet. Caranya dengan menempatkan pisau silet diatas permukaan air dengan syarat jangan sampai tenggelam. Tunggu sampai silet bergerak mencari posisi, dan setelah stabil, silet telah menentukan posisi Utara Selatan.<br />b. Menggunakan Kompas. Cara ini relatif lebih mudah. Biasanya jarum kompas sangat sensitif dan mudah bergerak khususnya apabila ada logam disekitarnya. Ujung depannya selalu mengarah ke Utara-Selatan. Setelah arah Utara-Selatan disamping penunjuuk arah, ada juga kompas penunjuk arah kiblat. Kompas semacam ini sudah diberi angka-angka skala di sekelilingnya. Dapa tengah-tengah kompas melalui titik pusatnya terdapat tanda panah yang mengarah pada titik nol. Kompas ini memiliki buku panduan menentukan arah kiblat, biasanya mencantumkan nama kota besar di seluruh dunia dengan kode angka tertentu. Jika ujung jarum kompas diarahkan tepat pada kode angka tersebut, maka ujung gambar panah yang menunjuk titik nol. Itulah arah kiblat untuk kota yang berkode angka tersebut. Untuk kota-kota di Pulau Jawa, kode angka yang ditetapkan adalah 7,5. penyamarataan kode angka untuk seluruh kota di pulau Jawa ini menunjukkan bahwa arah kiblat yang ditunjukkan oleh panah kompas macam ini masih bersifat taqribi.<br />c. Penggunaan tongkat Istiwa. Biasanya tongkat ini terbuat dari kayu atau besi yang ditancapkan tegak lurus terhadap bidang datar di halaman. Penempatan di halaman dimaksud agar dapat membuat bayang-bayang dari sinar matahari secara langsung sebelum dan sesudah zawal (saat matahari mencapai titik kulminasi). Disekeliling tongkat yang tegak tersebut dibaut lingkaran dengan titik pusat pada tongkat. Saat bayang-bayang ujung tongkat menyentuh garis lingkaran, sebelum kulminasi maka diberi tanda titik. Demikian pula ditandai dengan titik saat bayang-bayang ujung tongkat menyentuh garis lingkaran setelah kulminasi. Dari kedua titik tersebut lalu dihubungkan, maka garis tersebut menunjukkan arah Timur-Barat. Penggunaan tongkat istiwa untuk menentukan arah mata angin sebetulnya sebih terjamin akurasinya dibanding dengan menggunakan pisau silet atau jarum kompas. Pada jarum kompas, untuk beberapa tempat di permukaan bumi mengalami deviasi arah akibat lengkungan permukaan bumi. Daftar penyimpangan jarum kompas dan true north (utara sejati) bisa ke arah kiri (barat) atau ke arah kanan (timur). Seberapa besar angka penyimpangannya, maka tidak selalu sama antara satu kota dengan kota yang lainnya. Penyimpangan dari satu kota ke kota lain relatif kecil, sehingga perbedaan angka yang terlalu kecil bisa diabaikan dan karenanya bisa dilihat dalam peta magnetik variation, penyimpangannya minus atau plus sekian derajat kearah timur/barat.<br />d. Memakai al-Rubu'ul mujayyab. Alat ini berbentuk sepertempat lingkaran (kwadrant) yang biasanya terbuat dari kayu. Pada salah satu permukaan sisinya diberi skala-skala derajat dicetak pada lempengan baja atau karton. Dari titik pusatnya diberi benang untuk menggantung pendulum (syaqul). Benang inilah yang dipakai untuk menunjukkan skala-skala tertentu baik pada kotak-kotak yang berjumlah 60 kotak pada sisi lempengan tersebut atau pada sepanjang busur yang diberi skala hingga 90 derajat. Pada salah satu sisi segitiga rubu' dari arah titik pusat hingga ujung ahkhir busur terdapat lobang kecil (hadafah) yang berfungsi untuk membidik sasaran. Selain itu bisa dipakai untuk mengukur kiblat, alat ini juga efektif untuk mengukur ketinggian benda langit, atau benda-benda lainnya termasuk mengukur kedalaman sumur.<br />2. metode pengukuran Tahqiqi (metode pengukuran akurat)<br />metode ini dikerjakan melalui perhitungan matematis dengan menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga (trigonometri) perhitungan dimaksud untuk mencari sudut arah kiblat, yakni sudut dari sebuah segitiga bola yang sisinya terbentuk dari lingkaran-lingkaran besar yang saling berpotongan melalui titik Ka'bah, kota/lokasi pengukuran dan titik utara. Selanjutnya melalui modifikasi rumus, untuk posisi di Indonesia, misalnya hasil yang diperoleh sudut arah kiblatnya bisa terbaca sekian derajat dari titk barat ke arah utara atau dari titik utara ke arah barat. Besaran arah sudut iblat yang dihasilkan dari perhitungan melalui rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola merupakan data terpenting dalam metode tahqiqi. Data yang diperlukan adalah : a) Lintang Tempat (lokasi pengukuran) b) garis bujur tempat (lokasi pengukuran) c) lintang kota Makkah (Ka'bah) d) Garis bujur kota Makkah (Ka'bah) seperti yang telah diterangkan dalam nenentukan arah kiblat di Ciputat. Keempat data tersebut dapat ditemukan dalam buku khusus untuk itu. Praktek pengukuran lainnya untuk menentukan lintang, dan garus bujur tempat adalah dengan menggunakan alat yang disebut GPS (Geographic Possition System). Sedangkan alat ukur y ang paling akurat adalah memakai Theodolite.<br /><br />Temuan Penelitian.<br />Dari 26 masjid dan 39 musholla yang dijadikan sampel ternyata hanya satu masjid (4%) sementara sisanya 96 % arah kiblatnya tidak tepat. Sedangkan untuk musholla, hanya dua musholla (5%) saja yang arah kiblatnya sudah tepat. Sisanya 95 % arah kiblatnya tidak tepat. Masjid/musholla yang tepat adalah Masjid Agung Al-Jihad Ciputat, Musholla Ar-Rahmah Legoso dan Musholla Al-Hidayah Sawah Baru. Tetapi kalau dilihat lagi dari cara menentukan arah kiblatnya, ternyata hanya masjid Al-Jihad saja yang diukur sesuai dengan metode yang benar, sedangkan sisanya, musholla Ar-Rahmah hanya dikira-kira saja dengan mengikuti arah kiblat masjid yang sudah ada, dan musholla al-Hidayat Sawah Baru dengan memakai kompas kiblat yang ada pada sajadah.<br />Dari beberapa masjid dan musholla, ada beberapa yang akurasi kiblatnya hampir mendekati kebenaran yaitu Masjid Baiturrahman Legoso dan Masjid Istiqamah Cempaka Putih. Kedua masjid ini hanya kurang – 2 derajat saja yang pengukurannya memakai kompas. Dimungkinkan kekurangan ini terletak dari cara pengukuran yang dilakukan yaitu kompas sangat mudah sekali untuk bergoyang, atau alat yang dipakai untuk membuat titik terbuat dari logam sehingga mempengaruhi magnet kompas, atau dalam menarik benang, yang menjadi patokan adalah pondasi kiri-kanan bangunan bukan ditengah, sesuai dengan mihrabnya. Sedangkan musholla yang akurasinya mendekati kebenaran adalah mushollaAr-Raudhah di Serua Lama dan musholla Al-Barkah di Serua Indah. Dalam penentuan arah kiblat kedua masjid ini dengan cara taqriri (dikira-kira)<br />Sedangkan penyimpangan arah kiblat yang paling besar pada masjid al-Istiqomah Cireundeu yang mencapai –31 derajat. Penentuan arah kiblat masjid ini menurut pendirinya adalah mengikuti arah barat dan mengikuti bentuk tanah. (dikira-kira) sedangkan musholla yang penyimpangan arah kiblatnya paling besar adalah musholla Al-Barkah Cipayung yang mencapai – 30 derajat. Dalam menentukan musholla ini seperti yang dituturkan oleh Pendirinya H. Barli hanya diperkirakan saja.<br /><br />Kesimpulan.<br />mayoritas masjid dan musholla yang ada di Kecamatan Ciputat arah kiblatnya tidak akurat.<br />dari hasil wawancara dengan pendiri adan pengurus Masjid/Musholla diperoleh keterangan bahwa ketika mendirikan masjid/musholla tidak didahului dengan pengukuran yang tepat karena ketidak tahuan mereka.<br />ada beberapa vasiasi cara menentukan arah kiblat yaitu memakai silet, mengikuti masjid/musholla yang sudah ada, memakai tongkat istiwa, memakai kompas penunjuk arah, memakai kompas arah kiblat. Namun ketika ditanya arah kiblat yang sebenarnya, mereka tidak mengetahuinya, yang mereka ketahui hanya arat Utara- Selatan saja. Atau paling mendekati adalah pernyataan bahwa arah kiblat itu adalah ke arah barat miring sedikit, tanpa menjelaskan berapa kemiringan itu.<br />ada sebagian masjid/musholla yang dibangun oleh Developer, namun keakuratannya cukup rendah, hal ini dapat dipastikan bahwa para developer itu tidak tahu arah kiblat yang pasti<br /><br />Rekomendasi.<br />perlu dilakukan pengukuran ulang seluruh masjid/musholla yang ada di Kecamatan Ciputat, supaya masyarakat mendapat keyakinan yang pasti akan arah kiblat yang benar.<br />untuk melaksanakan salah satu Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Perlu dibentuk sebuah lembaga/laboratorium di bawah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta yang berkonsentrasi pada masalah penentuan arah kiblat dan hisab ru'yat.<br /><br />Referensi :<br />Abdul Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta 1983<br />Dirjen Bimbaga Islam, Ditbinbapera Islam, Depag RI, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta, 1994-1995<br />Ibrahim Salamun, Ilmu Falak, cara mengetahui awal bulan, awal tahun muslim, Kiblat dan perbedaan waktu, Surabaya : Pustaka Progresif, 2002<br />Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Baerut : Darul Fikr, tt<br />Jan Van Den Brink & Marja Meeder, Kiblat Arah Tempat Menuju Mekkah, terj. Andi Hakim Nasution, Jakarta : Litera Inter Nusa, 1993<br />Warson Munawwir, Kamus al Munawwir, Yogyakarta : Pusat Pengadaan dan Penerbitan Buku Pondok Pesantren Krapyak, 1989<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, 1984, hal 770<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> ibid, hal 1169<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Abdurrahman al-Jaziri, 1990, hal 194.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Almanak Hisab Rukyat, Depertemen Agama RI 1981<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Jan Van Den Brink & Marja Meeder, Kiblat Arah tepat Menuju Makkah, terjemahan Andi Hakim Nasution, Jakarta Letera Antar Nusa , 1993 hal 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Depag, op.cit, hal 224<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, Bairut : Darul Fikr, hal 109 lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Baerut, Darul Syaqafah al-Islami, tth hal 80.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8564696348722281905#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Op.cit, hal 80-81yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8564696348722281905.post-24671868262163637692007-01-12T00:40:00.000-08:002007-01-12T00:44:02.715-08:00Pernikahan dalam Counter-Legal Kompilasi Hukum IslamPada hari Rabu siang tanggal 27 Oktober kemarin diadakan acara "Menyoal Pro Kontra Revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Acara ini sebelumya akan menghadirkan beberapa tokoh perwakilan kelompok Islam, diantaranya Fauzan Al-Anshari yang mewakili Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abdullah Moqsith Ghozali aktivis dari Jaringan Islam Liberal, dan KH. Ali Mustofa Ya'kub anggota Komisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, akhirnya pembicara yang hadir hanya Fauzan Al-Anshari dan Yayan Sofyan sebagai pembanding, dosen dari UIN Jakarta.<br />Sebenarnya acara-acara semacam ini telah banyak dilakukan terutama oleh kalangan akademis dan aktivis --baik yang pro ataupun kontra-- setelah ditampilkannya Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam oleh Kelompok Kerja Pengarus-utamaan Gender Departemen RI pimpinan Dr. Siti Musdah Mulia. Namun acara yang diadakan oleh UIN Jakarta ini menampilkan pendapat yang pro dan kontra yang dalam hal ini sebagai yang pro atau mendukung adalah Abdullah Moqsith Ghozali dari Islam Liberal yang identik dengan motonya "Mencerahkan dan Membebaskan". Dan pada pihak yang berlawanan atau kontra tampil Fauzan Al-Anshari dari MMI.<br />Masa ijtihad telah kembali muncul setelah hukum Islam (baca: fiqh) mengalami kemandegan. Hukum Islam bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah. Dan selanjutnya dalam sejarah awal Islam hukum Islam terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqh klasik yang dibuat oleh ahli-ahli fiqh jaman klasik, yang mana antara kitab-kitab fiqh itu menghasilkan kesimpulan hukum (istinbât al-hukm) yang berbeda-beda. Maka tak jarang pendapat antara para ahli fiqh itu berbeda dan tak jarang yang saling berlawanan, namun diantara para ahli fiqh itu tidak ada yang saling menyalahkan karena mereka menggunakan metode yang berbeda-beda. Ketidakfanatikan ahli fiqh itu tersirat misalnya dari kata-kata Imam Abu Hanifah, "Inilah pendapat saya... dan kalau ada orang lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar." Juga kata Imam Syafi'i, "Pendapat saya benar, tapi mungkin juga salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar." Dari kata-kata para ahli fiqh itu terungkap betapa tidak adanya keangkuhan dalam diri mereka, tidak anti kritik dan menerima kebenaran dari orang lain kalau terbukti kebenarannya. Jadi tidak ada kemutlakan di dalam pendapat seseorang. Inilah yang seharusnya terjaga minimalnya dalam masyarakat akademis yang harus selalu kritis dan menerima kritikan, dan lebih luas lagi pada masyarakat agar tidak saling mengklaim bahwa kelompok mereka adalah yang paling benar.<br />Counter-Legal Draft KHI merupakan pembanding terhadap KHI yang berbentuk Instruksi Presiden tahun 1991 yang berisi hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Rencananya, setelah mengalami sosialisasi, Counter-Legal Draft KHI yang berisi pembaharuan terhadap KHI tahun 1991 akan diajukan menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk digolkan menjadi Undang-Undang (UU) agar mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat.<br />Counter-Legal Draft KHI tersebar melalui majalah Tempo tanggal 17 Oktober 2004. Pada permasalahan poligami, KHI Lama menyebutnya boleh, dengan catatan (pasal 55-59) sedangkan Draft KHI Baru meyebutkan mutlak tidak boleh (pasal 3). Dalam pembahasannya, Yayan Sofyan menampilkan tiga dalil, yaitu QS. An-Nisâ' ayat 4, QS. An-Nisâ' ayat 129 dan hadits Rasul dimana beliau keberatan atas permintaan Ali untuk menikahi Fatimah puterinya karena Ali waktu itu dalam keadaan beristri. Jadi menurut Yayan Sofyan asas dasar pernikahan dalam Islam adalah monogami. Sebaliknya, Fauzan Al-Anshari menyebutkan bahwa asas dasar pernikahan dalam Islam adalah poligami sesuai dengan QS. An-Nisâ' ayat 4. Fauzan Al-Anshari yang beristeri empat dan beranak delapan belas itu beralasan bahwa QS. An-Nisâ' ayat 4 memerintah umat muslim untuk berpoligami ditambah dengan alasan-alasan klasik bahwa jumlah wanita saat ini lebih banyak dibanding pria. Alasan ini ditolak oleh Yayan Sofyan yang mencamkan bahwa wanita adalah bukan komoditas seksual. Pendapat ini diambil dengan alasan bahwa nabi Muhammad menjalani monogami dengan Siti Khadijah selama lebih kurang 27 tahun, baru dua tahun setelah kematian Siti Khadijah beliau memperistri beberapa wanita, itupun bukan dengan motif kebutuhan seksual semata, tapi lebih mulia dari itu.<br />Namun dalam permasalahan perjanjian perkawinan berjangka (baca: kawin kontrak), disebutkan dalam KHI Lama tidak diatur dan dalam Draft KHI Baru diatur, sehingga perkawinan dinyatakan bubar bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan (pasal 22 dan 28). Saya sependapat dengan Yayan Sofyan yang menyebutkan bahwa pendapat ini terkesan paradoksal dengan semangat pernikahan yang tidak hanya bermotif kebutuhan seksual. Kawin kontrak atau mut'ah dipandang sebagai pernikahan yang hanya mementingkan kebutuhan seksual, yang bertolak belakang dengan pernikahan yang tidak hanya bermotif kebutuhan seksual semata.<br />Terlepas dari pro dan kontra ini, penulis mengajak pembaca untuk mengapresiasi setiap pendapat, bukan malah memenggal kreatifitas suatu usaha pengambilan hukum yang sesuai dengan jamannya, yang selalu berhubungan dengan konteks budaya sosial setempat.***<br />31 Oktober 2004,<br />* Tulisan ini untuk menanggapi progresifitas hukum Islam dalam KHI terutama dalam bidang pernikahan.yayansopyanhttp://www.blogger.com/profile/02690715230876007084noreply@blogger.com0