Thursday, February 1, 2007

HUKUM KELUARGA DI SYRIA

PENDAHULUAN
Berbicara masalah perkembangan hukum keluarga di Syria tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum di Turki Utsmani karena dulu Syria merupakan salah satu ‘negara bagian’ (wilayah kekuasaan) Turki Utsmani khususnya ketika al-majallah al-ahkam al-adliyyah (ottoman majelle) pada tahun 1877 diberlakukan diseluruh wilayah kekuasaan Turki Utsmani.
Pada awal abad ke 19, di Turki Usmani Fiqh Islam mencapai puncak kemundurannya. Pada awal waktu itu para fuqoha Turki limbung ketika melihat hal-hal baru yang terdapat di kalangan umat Islam. Terkadang, dengan sikap yang gegabah, suatu permasalahan akan langsung diputuskan “haram” jika ternyata hal tersebut tidak didapati dalam kitab kuning mazhab Hanafi. Sikap ulama yang seperti itu tentu saja mendapat reaksi yang cukup keras dari kalangan umat Islam itu sendiri. Tidaklah salah jika akhirnya Hukum Islam lalu dituding tidak lagi sanggup menjawab tantangan zaman dan anti modernisasi. Tegasnya, hukum Islam kala itu ada dipersimpangan jalan.
Ada tiga aliran yang mewakili sikap fuqoha dalam melihat dan memahami problematika hukum pada waktu itu :
1. Bertahan dalam bentuk fiqh semula dan menolak segala bentuk perubahan dan apa yang datang dari luar. Aliran ini ingin mempertahankan fiqh dalam bentuk keadaannya, tanpa membedakan apakah hukum itu berupa ketegasan wahyu atau berupa hasil ijtihad. Kelompok ini belakangan dinamakan sebagai kelompok konservatif -reaksioner.
2. Hukum Islam harus disingkirkan dan diganti oleh hukum yang lain, permasalahan yang serba kompleks dimasa sekarang tidak akan bisa dipecahkan dan dijawab oleh norma-noerma agama dalam ajaran hukum Islam oleh karena itu hukum Islam sudah tidak siap pakai dan tidak bisa lagi diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang hadir di abad modern ini. Kelompok ini belakangan disebut sebagai kelompok westernis-sekularis.
3. Umat Islam perlu mengadakan perubahan pemahaman fiqh sejauh menyangkut hasil ijtihad. Berpegang pada hasil ijtihad masa silam dalam benduk yang seadanya sesuai dengan yang tercantum pada kitab-kitab fiqh tidak akan cukup untuk memecahkan problematika yang serba komleks ini. Dan hasil ijtihad ulama tempo dulu dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang ada pada masa itu. Maka, jika terjadi perubahan terhadap latar belakang permasalahan menyangkut suatu masalah karena sudah berubah situasi dan kondisinya, bukan hal yang tabu, bahkan merupakan suatu keniscayaan untuk mengadakan perubahan dan perombakan terhadap hukum tersebut disamping mempertahankan produk lama yang masih relevan. Hal ini sesuai dengan kaidah (المحافطة بقديم الصالح واللأخد بجديد الأصلح )
Masing-masing aliran mencari pendukung masing-masing. aliran yang kedua yang mendapat respon dari pihak penguasa, salah satu faktornya adalah masalah eksternal politik yakni berbenturan dangan hubungan internasional. maka mulai tahun 1838 M terjadilan penerimaan secara besar-besaran terhadap hukum Barat, hampir seluruh lini hukum didikte oleh ajaran hukum barat, kecuali yang tersisa hanya dalam sektor al-ahwal al-syakhshiyah (hukum kekeluargaan)[1]

SYRIA DALAM SELAYANG PANDANG
Dipantai teluk Persia terdapat sebuah daratan berpasir yang sempit. Agak jauh kedaratan terdapat rangkaian pengunungan yang hampir sejajar dengan pantai, ia pengunungan Nusayriyah dan pegunungan Anti-Libanon. Disebelah pegunungan tersebut terdapat daratan rendah sungai orantes, lebih kedalam terdapat palo yang bersambung ke Irak, Disana ada dataran tinggi yang ditutup oleh gurun itulah negeri Syria atau Suriah merupakan sebuah negara berbentuk republik (al-jumhuriyyah al-arabiyyah al-Syuriyyah) beribukotakan Damaskus. Negara ini berada Asia Barat Daya tepatnya di pantai timur laut tengah berbatasan dengan Irak di sebelah timur, dengan Turki disebelah utara, Yordania dan Israel di sebelah selatan, dan Libanon dan laut tengah di sebelah barat. Dengan luas 185.180 KM2 Sekarang negeri itu dihuni oleh 15.524.000 jiwa. Satuan mata uang yang digunakan adalah Pound. Iklim disana termasuk tropis dengan curah hujan (Oktober - Mei) +‎ 125 CM kecuali daerah Ansariya barat, kurang dari 12,5 CM.
Seperti Indonesia, mayoritas penduduk Syria memeluk agama Islam (90 %) sedangkan yang lainnya adalah Kristen (9 %) dan lain-lain (1 %). Karena disebut al-jumhuriyyah al-arabiyyah, maka mayoritas penduduknya berasal dari etnis Arab (90%) sedangkan sisanya adalah dari suku Kurdi (6 %) dan lain-lain (4 %). Umat Islam Syria mayoritas bermazhab Hanafi, sedangkan sisanya menganut Syi’ah.[2]
Mayoritas penduduk disana adalah petani yang menanam Gandrum, Kapas dan Zaitun. dan sebagian lain beternak Lembu atau kambing. penghasilan lain Syria adalah dari minyak bumi yang baru digali pada tahun 1956. Cadangan minyak disana diperkirakan 1,5 Milyar barrel. Disamping penghasilan diatas, Syria juga mendapat penghasilan dari sektor lain yakni pajak transit dari pipa-pipa minyak milik negeri tetangganya Irak dan Saudi Arabia yang melintasi negerinya untuk disalurkan menuju Teluk Persia selanjutnya dibawa ke Negara-negara konsumen khususnya Eropa dan Amerika.[3]
Syria merupakan salah satu kota tertua yang tercatat dalam sejarah dunia. Bangsa Semit telah menguasai daerah ini sejak 35000 SM hingga 538 SM. Banyak temuan-temuan sejarah hasil olah para arkeolog menemukan peninggalan-peninggalan kejayaan bangsa Semit ini. Bangsa Semit yang pernah berkuasa dalam kurun waktu tersebut adalah suku Akkad, Kan’aan, Funisia, Amori, Ibrani dan Assyria. Banyak kota-kota indah dan megah dibangun oleh bangsa Semit ini sebagai pertanda tingginya peradaban mereka.
Setelah mengalami masa kejayaan yang gilang-gemilang dalam kekuasaan bangsa Semit, Syria kemudian ditaklukkan oleh suku bangsa non-Semit. Bangsa yang Pertama menaklukkan bangsa Semit adalah bangsa Persia yakni pada tahun 539 SM sampai dengan tahun 333 SM. Setelah dikuasai oleh bangsa Persia, kemudian Syria jatuh ketangan Alexander the great atau dalam bahasa kita Iskandar Dzulqarnaen atau Iskandar yang Agung pada tahun 333 SM setelah dapat mengusir bangsa Persia dari tanah Syria. Iskandar Dzulqarnaen mengembangkan politik akulturasi, dan yang terpenting adalah ia mengembangkan kebudayaan Yunani di tanah Syria itu.
Dari bangsa Yunani. Syria kemudian direbut dan beralih ke bangsa Romawi pada tahun 64 SM. Ketika Nabi Isa AS lahir sebagian besar jazirah Arab sedang dikuasai oleh Romawi termasuk al-Kuds. Merupakan cerita yang panjang dan berliku apabila kita menceritakan sikap Romawi yang pada mula kenabian Isa AS sangat membenci dan berusaha untuk dapat membunuhnya, tetapi setelah Nabi Isa tidak ada (menurut kita di “angkat” dan menurut orang Nasrani “mati” di salib), mereka menganut ajaran nabi Isa dan mengharuskan bangsa Syria untuk memeluk agama Nasrani.[4]
Bangsa Romawi mencengkramkan kekuasaannya di sana sekaligus dengan menerapkan sistem hukum yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekuasaannya. Romawi tumbang dari kekuasaannya oleh Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Islam masuk ke Syria pada tahun 633 M yakni ketika Islam diperintah oleh Abu Bakar al-Siddiq. Penyerangan Islam terhadap bangsa Romawi, khususnya yang berkuasa di Syria diawali oleh pengiriman utusan Rasulullah SAW. Utusan itu dibunuh oleh Romawi dan hal ini membuat geram umat Islam, Rasulullah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah untuk menyerang Romawi, namun penyerangan itu urung dilaksanakan dan pasukan Islam di tarik mundur setelah mendengar Rasulullah Wafat.
Kemudian pada masa pemerintahan Abu Bakar dikirimlah empat orang panglima perang unggulan untuk melanjutkan cita-cita Rasulullah yakni penyerangan Rangsa Ramawi di tanah Palestina dan Syria. Para panglima perang itu adalah Abu Ubaidillah bin Jarrah, Yazid bin Abu Sufyan, Amru bin al-‘Ash dan Syurahbil bin Hasanah. Keempat panglima perang ini membawa beribu-ribu bala tentara dan Romawi dikepung pasukan Islam dari empat penjuru. Tentara Ramawi yang terkenal gigih itu mati-matian mempertahankan kekuasaannya di tanah Syria dan Palestin itu, akan tetapi tentara Islam lebih gigih dan lebih ulet dari mereka. Akhirnya, pengepungan ini baru berhasil pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab.[5]
Keberhasilan yang gilang gemilang bagi umat Islam dalam mengalahkan tentara Romawi di tanah Syria dan Palestina disusul dengan keberhasilan yang lain yakni keberhasilan dalam berda’wah untuk mengislamkan bangsa Syria. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari adanya berbagai faktor anatara lain, adanya kesamaan kebangsaan antara Umat Islam dan bangsa Syria yakni sama-sama bangsa Semit, sehingga penduduk menganggap umat Islam bukanlah orang asing jika dibandingkan dengan bangsa Romawi. Penyerangan Islam terhadap bangsa Romawi ditujukan untuk mengusir bangsa Romawi tidak membabi buta. Penyerangan umat Islam tidak disertai dengan pembunuhan, intimidasi, dan penindasan atas penduduk asli, tetapi sebaliknya umat Islam menyebarkan perdamaian, dan memberikan jaminan kebebasan beragama dan memberikan persamaan hak dalam bidang sosial-politik. Dilihat dari sejarahnya bahwa agama Nasrani yang dianut oleh bangsa Syria merupakan agama yang dipaksakan oleh bangsa Romawi, jadi agama yang mereka anut tidak lahir dari hati sanubari yang paling dalam dan bukan kesadaran yang penuh, ketika Bangsa Arab telah memeluk agama Islam, mereka dengan senang hati menggantikan agama mereka dengan agama Islam. Tentara Umat Islam setelah menggapai kemenangan tidak begitu saja meninggalkan Syria, tetapi banyak dari mereka yang tinggal dan menetap di Syria. Merekalah yang melakukan da’wah serta menjadi guru untuk orang Islam di Syria, akhirnya proses Islamisasi di Syria berjalan dengan mulus, merata, dan intensif sehingga Islam menjadi agama mayoritas di sana.[6]
Ketika Islam berada di tangan kekuasaan Bani Umayah pada tahun 661-750 M, Kota Damaskus - yang sekarang menjadi Ibu Kota Syria - menjadi pusat pemerintahan setelah dipindahkan dari Madinah oleh khalifah Mu’awiyah bin Sufyan karena Damaskus dianggap sebih strategis, khususnya dilihat dari mayoritas pendukung Mu’awiyah, disamping untuk menghindarkan intimidasi dari kelompok lawan. Ketika pusat pemerintahan di Damaskuslah Islam mulai melebarkan sayapnya dalam perluasan wilayah Islam khususnya ke daerah Afrika Utara (Maroko) dan Andalusia (Spanyol).
Ketika kekuasaan beralih ke tangan Bani Abbas dari tahun 740 sampai 1258 M, walaupun pusat kekuasaan Bani Abbas berpusat di Bagdad, Damaskus dan kota tetangganya Haleb dan Beirut menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang terkemuka.[7] Demikian juga ketika terjadi Shalahuddin al-Ayubi memimpin perlawanan terhadap tentara salib, Damaskus menjadi pusat pergerakan umat Islam dalam menjegal gerak langkah pasukan Salib tersebut.
Pada tahun 1260-1516 Syria dikuasai oleh dinasti Mamluk, kemudian dikuasai oleh Turki Utsmani sampai tahun 1918 karena Syria khususnya dan Turki Utsmani umumnya diserang oleh tentara gabungan Arab dan tentara sekutu pada perang dunia I. Prancis mengambil alih kekuasaan Syria.
Namun, penduduk Syria tidak rela negeri tercinta mereka dijajah oleh Prancis, kemudian para pejuang mereka terdiri dari para ulama Sunni, Syi’ah, Druze dan kaum nasionalis Arab dari Partai Rakyat mengadakan perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Prancis. Klimaks dari perjuangan ini terjadi pada bulan April 1946 ketika pasukan Prancis meninggalkan Syiria setelah gagal membom kota Damaskus.
Ketika bangsa Yahudi dari negeri-negeri Eropa - setelah mereka mengalami penindasan di sana - berbondong-bondong kembali ke tanah leluhur yang dijanjikan, yakni Yerusalem dengan merebut paksa dari tangan bangsa Arab, mereka mendirikan negara yang dinamakan Israel. Tentu saja kehadiran mereka yang tidak diundang dan tidak tahu diri itu mendapat sambutan yang tidak simpatik. perebutan yang semena-mena dan di dukung oleh negara barat itu akhirnya melahirkan kebencian kolektif bangsa Arab untuk sama-sama melawan bangsa Israel. Terlebih, sebagian wilayah yang menjadi milik Syria direbut dan dikuasai Israel yakni dataran tinggi Gollan. Syria bangkit bersama beberapa negara Arab aktif dalam melawan bangsa Israel. Bukan hanya dengan perlawanan fisik saja, Syriapun turut aktif mengambil bagian dalam pembebasan tanah Arab dari bangsa Israel itu melalui jalur diplomatik.[8]
Bentuk negara Syria adalah Republik. Demokrasi adalah milik rakyat, artinya rakyatlah yang berdaulat. Selain itu Syria menganut faham sosialis. Sistem pemerintahan di Syria adalah presidensiil dimana presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan yang paling berkuasa. Namun konstitusi tahun 1973 membatasi kewenangan presiden serta membatasi masa jabatannya. karena partai Baath yang berkuasa disana, maka presidan merupakan pimpinan Partai Baath. Dalam konstitusi itu ditentukan bahwa presiden haruslah orang muslim (pasal 3 Konstitusi).[9]
Selain Partai Baath, ada 4 partai lain yang hidup di Syria. Kelima partai ini terhimpun dalam Font Progresif Nasional yang bertujuan menyatukan kekuatan-kekuatan masa rakyat guna memenuhi kepentingan-kepentingan bangsa Arab. Konsorsium 5 partai ini dipimpin oleh Partai Baath.[10]
Partai Baat, bukan hanya milik Syria, ternyata di berbagai negara Arab Partai yang bercorak Sosialis ini bermunculan dengan nama yang sama, sebut saja yang kita kenal yakni Irak yang negara dan partainya dipimpin langsung oleh Saddam Husen. Menurut Don Fertz, muncul dan suburnya partai yang berkiblat pada sosialis ini di negara-negara Arab berangkat dari sentimen nasional yakni ingin mempersatukan bangsa Arab yang selama itu terpecah-pecah, bahkan perpecahan itu sudah terhujam sangat lama yakni sejak masa kekuasaan Islam dipegang oleh Bani Umayah yang lebih mengutamakan bangsa Ajam (Persia dan Turki) ketimbang bangsa Arab.[11] Jika bangsa Arab bersatu, hal ini merupakan kekuatan yang maha dahsyat dan dapat ikut berperan dalam pembangunan peradaban manusia. Namun, apabila bangsa Arab terpecah-belah dan cerai berai, maka tak pelak bangsa ini akan kembali lagi hidup dalam cengkraman bangsa kolonial seperti dulu lagi. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang nyata untuk mempersatukan nagara-negara Arab ini dengan jalur diplomatik, agar lahir suatu kesatuan ide demi terwujudnya persatuan dan kesatuan, dan menolak semua bentuk perpecahan, penindasan dan keterbelakangan. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka babak baru sudah dibuka dimana bangsa Arab dapat berperan aktif dalam penciptaan peradaban dunia, minimal dunia mereka, yakni Dunia Arab. Dan penggerak pertama ke arah itu adalah Partai Baat, yaitu memadukan persatuan Arab, nasionalis dan sosialis untuk bangkit menuju masa depan yang cerah seperti yang pernah dialaminya yakni pada masa kejayaan bangsa Arab dahulu. Tujuan pertama adalah memerdekakan diri dari cengkraman penjajah. Puncak dari pada gerakan “Kebangkitan” ini adalah lahirnya gerakan kolektif untuk mewadahi kepentingan masyarakat Arab yakni membentuk Federasi Republik Arab pada tanggal 16 November 1970. Gerakan ini merupakan respon dari tunturan rakyat.
Syria sekarang masih dibawah kekuatan Partai Baath yang dipimpin oleh Presiden Hafez al-Asad.

PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI SYRIA
Ketika Syria masih termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani, seluruh hukum yang berlaku di Turki Utsmani juga berlaku di Syria termasuk didalamnya Koodifikasi Hukum Islam yang dibuat pada waktu itu yakni al-majallah al-ahkam al-adhliyah (1877). Namun sayang, di Turki sendiri al-majallah sendiri hanya berumur kurang lebih 49 tahun karena pada tanggal 17 Feburuari 1926 pimpinan reformasi Turki, Kamal Al-Tatruk mencabut al-majallah ini dan digantikan dengan code civil jiplakan dari hukum perdata negeri Swiss.
Tahun 1947 Syria memproklamasikan kemerdekaannya. Kemudian dengan perlahan-lahan hukum dan perundang-undangan Syria menalami penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan dan setting sosio kultural di sana. kemudian digantikan dengan perundang-undangan yang baru.
Upaya intepretasi pada hukum Islam, khususnya hukum keluaga merupakan suatu keniscayaan disamping sebagai implementasi rasa ketaatan pada ajaran agama juga sebagai jawaban atas desakan dan gesekan hukum dengan hukum barat. Dan upaya pembaharuan hukum ini dengan memperhatikan i kondisi dan situasi serta problematika masyarakat yang ada setelah produk hukum tradisional (fiqh) tidak bisa lagi menjawab tantangan jaman.
Tujuan utama dari pembaharuan hukum keluarga ini adalah untuk meningkatkan status dan kedudukan perempuan serta memperkuat hak-hak para anggota inti (nuclear family) atas hak-hak para anggota keluarga yang lebih jauh dalam keluarga besar (extended family). Pembaharuan hukum keluarga ini banyak terjadi pada bidang perkawinan dan perceraian merupakan perubahan yang paling penting dalam pembaharuan hukum Islam. Di antara perubahan pokok yang telah disahkan iatu adalah diperbanyaknya alasan-alasan yang memperbolehkan perempuan menuntut perceraian atau membatasi hak suami menjatuhkan talak secara sepihak. Sebagai contoh, dalam konstitusi Syria pasal 44 ayat 2 dikatakan bahwa negara melindungi kaum ibu dan akan memberikan jaminan untuk mengembangkan bakat mereka. Kemudian dalam pasal 45 dinyatakan bahwa negara menjabin bagi kaum wanita semua kesempatanyang memungkinkan mereka dan memenuhi serta membantu sepenuhnya kehidupan politik, sosial, kultur, dan ekonomi masyarakat. Negara berusaha menghilangkan rintangan-rintangan yang menghambat pengembangan perembpuan dan serta mereka dalam membangun masyarakat sosialis.[12]
Pada tahun 1953, seorang mufti Damaskus yang bernama Syeikh Ali al-Tanthawi pempelopori terbentuknya hukum perorangan. Al-Tanthawi menyiapkan draft hukum ini dengan sangat sistematis dan komprehensip karena isi dari draft itu sudah diselaraskan dengan setting sosio-kultural yang ada dan berlaku di masyarakat pada waktu. Sehingga pemerintahan pada waktu itu menerima, bahkan menyambut dengan baik. Kemudian pemerintahan sendiri membentuk suatu komisi yang bertugas untuk mementuk rancangan undang-undang status hukum perseorangan. Kemudian draft Syeikh Ali al-Thantawi dijadikan referensi dalam penyusunan RUU tersebut. Selain draft al-Thantawi, diambil juga dari hukum keluarga Turki Utsmani 1917, hukum perseorangan Mesir 1920-1946 dan draft Qadhi Pasha dari Mesir. Pekerjaan komisi tersebut dikerjakan hanya beberapa bulan saja dan rampung pada tahun itu (1953) dan diundangkan pada tanggal 17 Sepetember 1953.[13] Hukum status perorangan Syria memuat 308 pasal dalam 6 kelompok masalah (books) yakni :
1. Perkawinan ; memuat masalah perkawinan dan pertunangan, unsur-unsur perkawinan, macam-macam perkawinan dan akibat hukum dari perkawinan. tertulis dari pasal 1 - 84
2. Putusnya perkawinan : mencakup masalah talak, Khulu’, gugat cerai, dan akibat dari perceraian. tertulis dari pasal 85 - 129
3. Kelahiran dan akibat hukumnya : mencakup masalah keturunan, hak pengasuhan anak, susuan, dan biaya hidup. tertulis dari pasal 130 - 161
4. Cecakapan dan hukum perwalian : tertulis dari pasal 162 - 207
5. Wasiat : mencakup prinsip-prinsip dasar wasiat dan hukum tentang kewasiatan. tertulis dalam pasal 208 - 259.
6. Kewarisan : prinsip-prinsip dasar, sebab-sebab seseorang tidak dapat waris (موانع الارث,) ahli waris dalam Al-Qur’an, garis keturunan (laki-laki) dalam kewarisan, penghalang waris, waris bagi bayi dalam kandungan, mafqud, dan lain-lain.
Hukum status perorangan ini didominasi oleh pendapat mazham Hanafi yang menjadi mazhab resmi di Syria. dan Hukum ini juga memasukkah ketentuan-ketentuan hukum perseorangan bagi kaum minoritas yakni sekte Duruz dan umat Kristen Syria.
Setelah berlaku selama 22 tahun, Hukum status perseorangan ini diamandement pada tahun 1975 guna menyempurnakan dan memodifikasi kearah yang lebih sempurna. Amandemen itu sendiri memuat 20 point diantaranya tentang poligami, mahar, nafkah selama masa iddah, prceraian, hak pemeliharaan anak.[14]
Adapun sebagian isi kandungan dari pembaharuan hukum perseorangan dan keluarga setelah diundangkan pada tahun 1975 dan berlaku hingga saat ini adalah sebagai berikut :
1. Akad Nikah : ijab kabul boleh dilakukan dengan cara surat menyurat bila pihak pengantin laki-laki dan wali tidak bisa hadir dalam satu tempat. Untuk pengantin yang bisu bisa dengan tulisan, dan apabila mereka tidak bisa menulis bisa dilakukan dengan bahsa isyarat.
2. Perjanjian dalam perkawinan : diperbolehkan bagi suami - isteri yang ingin membuat perjanjian dalam perkawinan mereka, asal tidak bertentangan dengan hukum. Adanya perjanjian dalam perkawinan akan lebih menjamin kelanggengan suatu perkawinan dan memudahkan pihak perempuan untuk menggugat cerai suaminya apabila suami menyalahi perjanjian yang telah mereka buat.
3. Kecakapan dalam melangsungkan pernikahan : seorang laki-laki diperbolehkan melangsungkan pernikahan minimal berumur 18 tahun, sedangkan bagi perempuan apabila sudah berumur minimal 17 tahun. apabila kedua mempelai atau salah satunya berusia dibawah batas minimum yang telah ditentukan (15 tahun bagi laki-laki dan 13 tahun bagi perempuan), pengadilan memberikan dispensasi perkawinan dengan syarat mempelai yang dibawah umur itu sudah puber dan pihak wali yakin bahwa perkawinan yang akan diselenggarakan ini adalah sangat mendesak.
4. Perceraian : pengadilan dapat memberikan izin cerai bagi suami yang berumur kurang dari 18 tahun bila pengadilan telah meninjau dan menganalisa bahwa perceraian tersebut mengandung maslahat bagi keduabelah pihak, bukan karena sifat ke kanak-kanakannya.
5. Poligami : Pada prinsipnya azas perkawinan adalah monogami. Poligami merupakan pengecualian. Poligami dapat dilaksanakan apabila suami telah mendapatkan izin dari isterinya dan pengesahan dari Pengadilan. Pengadilan dapat menolak permohonan suami yang akan melaksanakan poligami jika si suami tidak mendapatkan izin terlebih dahulu dari isteri pertamanya, walau dalam kenyataannya suami telah memiliki kecakapan ekonomi untuk menghidupi lebih dari seorang isteri. Dipengadilan suami menyatakan kesanggupannya untuk bisa menanggung biaya hidup kedua isterinya.
6. Hak isteri terhadap Perkawinan yang Fasid. Bagi isteri yang tidak menyadari fasidnya suatu perkawinan, Isteri tetap mendapatkan hak mendapatkan nafkah dari suaminya.
7. Ganti rugi dalam perceraian : apabila telah terjadi perceraian dipengadilan, kemudian pengadilan mendapatkan adanya manipulasi terhadap alasan-alasan perceraian yang dilakukan oleh pihak suami dan menyebabkan kerugian dipihak isteri, maka pengadilan dapat menuntut suami untuk memberikan ganti rugi kepada si isteri dengan pembayaran kontan ataupun dengan cara dicicil.
8. Gugat cerai : Isteri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan dengan alasan :
a. suami sudah tidak mampu lagi memberikan nafkah batin,
b. kesehatan jiwa suami terganggu,
c. suami meninggalkan isteri selama satu tahun, suami dipenjara lebih dari 3 tahun,
d. ketidak mampuan suami memberikan nafkah hidup,
e. suami menyakiti isteri.
9. Status anak ; Anak sah adalah anak yang lahir dari suatu perkawinan sekurang-kurangnya lahir 180 hari dari perkawinan.
10. Waris : yang dimaksud dengan tirkah adalah hak kebendaan mayit, termasuk didalamnya harta, tanggungan dan hutang-piutangnya. Pembayaran utang piutang dilakukan setelah pembagian harta waris. kemudian masing-masing ahli waris berkewajiban untuk membayar hutang-piutang dan tanggungan si mayit sesuai dengan besarnya baian yang mereka terima.
11. Wasiat : di Syria ternyata berlaku wasiat wajibah yakni hakim dapat menentukan wasiat bila si mayit tidak meninggalkan wasiat atau permintaan dari ahli waris dalam penetapan wasiat tersebut dengan harus mendatangkan (untuk menyetujui) seluruh ahli waris.

PENUTUP
Demikianlah paparan sekilas tentang potret global keberadaan hukum perseorangan dan keluarga di Syria, penulis sangat menyadari bahwa data yang diperoleh sedikit sekali yang up to date yang dimungkinkan belakangan terjadi perubahan di berbagai hal yang cukup mendasar tetapi penulis tidak mendapatkan informasinya. Sumbangsih pemikiran dari seluruh rekan-rekan peserta seminar ini penulis sangat harapkan. Insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirjo, Prajudi, Konstitusi Syria, Jakarta : Galia Indonesia, 1993
Coulson, Noel, A History of Islamic Law, London : Edinburg University press, 1964
Ensiklopedi Indonesia, Jilid VI halaman 3408 - 3410, Jakarta : Ichtiar baru Van- hoeve, 1986.
Hitti, Phillips, Syria : A Short History : New York : Collier Book, 1961
Mahmood, Taher, Family Law Reform in the Muslim World, New Delhi : The Indian Law Institute, 1972
……………, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi : Academ of Law dan Religion, New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987.
Qam, Abdul Rahman Abdul Aziz, al-Islam wa Taqnin al-Ahkam, Kairu T.t. tp.
Pertz, Don, The Midle East Today, New York : Praeger Plub Publisher, 1986.
Pearl, David, A texbook on Muslem Personal Law, London,Croom Helm, 1987
Satria Effendi, Munawwir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, Wahyuni Nafis (ed.) Jakarta : Paramadina, 1995
Siba’I, Mustafa dan al-Shabuni Abdurrahman, al-Akhwal al-Syaksiyah wa al-Washiyah wa al-Tirkah, Syria : Maktabah Jamiah, 1970.
Syalabi, Ahmad, Mausuah al-Tarikh al-Islami wa al-Khadlarat al-islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah. 1974
Zarqa, Mustafa Ahmad, al-Madkhal fi Fiqh al-Am. Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.
[1] Satria Effendi, Munawwir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, Wahyuni Nafis (ed.) Jakarta : Paramadina, 1995 hal. 292
[2] Selain Islam sunni bermazhab Hanafi dan Syi’ah ada sekte Islam yang lain yang dinamakan Druze. Kelompok ini lain dari pada yang lain karena dalam banyak hal sangat berbeda dengan mazahab atau sekte yang lain, Druze didirikan oleh Hamzah. Para ahli berbeda pendapat apakah Druze ini termasuk agama ataukah hanya sebuah sekte dari agama Islam?
[3] Ensiklopedi Indonesia, Jilid VI halaman 3408 - 3410, Jakarta : Ichtiar baru Van- hoeve, 1986.
[4] Phillips K Hitti, Syria : A Short History, New York ; Collier Book.1961. hal 73
[5] Ahmad Syalabi, Mausuah al-Tarikh al-Islami wa al-Khadlarat al-islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah. 1974, hal 101
[6] ibid, hal 124
[7] Philips K. Hitti, op.cit, hal 143
[8] Philip K. Hitti, Syria : Short History, New York Collier Book. hal 229
[9] Prajudi Atmosudirjo, Konstitusi Syria, Jakarta : Galia Indonesia, 19993, Hal. 17
[10] Ibid, hal 18
[11] Don Pertz, The Midle East Today, New York : Praeger Plub Publisher, 1986. hal 397
[12] Atnisydurdjo, op.cit, 27-28
[13] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries : History, Tezs and Comparative Analysis. New Delhi ; Academy of law an Religion, 1987. hal 140.
[14] Ibid, hal 141.

No comments: